"Lena, tunggu! Saya sudah bayar mahal untukmu. Jangan lari begitu saja!” Seorang lelaki sedang mengejar Lena. Jangan kamu pikir dia adalah pemuda tampan yang mirip pangeran dari cerita dongeng. Tidak. Lelaki itu lebih cocok dipanggil om-om, karena seumuran ayah Lena. Ayah yang telah membuatnya terjebak dalam dunia gelap seperti ini, hingga berlumur dosa.
Lena telah menjadi seorang wanita hina. Orang-orang menatapnya seperti sampah bila berpapasan dengannya di jalan. Jangankan anggapan orang-orang itu, bahkan dia pun malu pada diri sendiri atas perbuatan yang telah dilakukannya.
Sudah lama tubuh Lena menolak melakukan hal-hal tidak pantas itu, tapi mau bagaimana lagi? Kelab malam dulu menjadi tempat yang asyik untuk menuangkan seluruh kekesalan dan kelelahannya akan hidup yang berat ini. Andai ibu tak meninggalkannya dan memilih pergi bersama pria lain, pasti hidupnya akan lebih baik.Lena terus berlari sekuat tenaga. High heels di kaki dia lepaskan agar bisa berlari secepat kilat.
Tak sengaja Lena justru tersandung batu di depannya. Sakit. Dia berusaha sekuat tenaga untuk berdiri dan kembali melarikan diri. Tidak! Dia tidak ingin kembali masuk pada lingkar dosa itu.
Sayangnya, keadaan tak berpihak padanya. Lelaki tua itu sudah berhasil menyusul dan kini berdiri di depannya.
“Mau ke mana kamu anak manis? Jangan coba-coba kabur! Atau ayahmu yang tak tahu diri itu akan membusuk di penjara.”'Ya, Allah, apa saya harus tertangkap? Saya tidak ingin melakukan perbuatan kotor itu lagi.'
Rasanya Lena ingin menjerit sekeras mungkin, tapi dia tahu itu tidak akan merubah apapun. Jalanan ini sepi, tidak akan ada kendaraan yang lewat tengah malam begini.
Kenapa hidupnya jadi menderita seperti ini?Lelaki tua itu mulai membuka kancing baju Lena, lalu menggelengkan kepalanya beberapa kali. “Lena sayang … jangan menangis seperti itu. Kita nikmati malam ini sepuasnya.” Dia semakin mendekat dan mendekat.
Lena mendorong kasar tubuh pria itu sampai sempoyongan. Namun, pria itu tidak menyerah. Tatapannya tajam, seperti singa kelaparan yang akan menerkam setiap mangsa di hadapannya.
"Jangan, Om! Lepasin saya! Saya mohon,” pinta Lena memelas, tapi pria yang akrab disapa dengan sebutan Om Ady itu tak peduli.
“Sst! Tenang saja, tidak akan ada yang tahu,” ujar Om Ady sembari meletakkan jari telunjuk di bibir Lena. Sisa aroma r*k*k masih menguar di sana.
Muak! Lena muak dengan keadaan mengerikan seperti sekarang.
"Saya mohon, Om,” lirih Lena sembari berusaha bangkit. Ia berhasil berdiri, tapi sayang, lengannya kembali dicekal. S*al! Dia benar-benar s*al! Kekuatannya tak seimbang untuk melawan lelaki itu.
“Argh! Kamu ini nggak bisa dibaiki, ya. Oke! Saya akan lakukan dengan cara kasar kalau begitu,” sungut Om Ady.
“Tidak! Jangan sentuh saya!” jerit Lena sambil terus berusaha melepaskan diri.
“Kenapa? Kamu lupa siapa dirimu dan sebejat apa kelakuanmu?” tanya Om Ady dengan menahan emosi. Giginya gemeretak, membuat Lena semakin takut, meski tak juga membuatnya gentar melawan.
"Saya ingat! Saya janji akan cicil semuanya, tapi saya mohon lepaskan!"
“Halah, banyak drama! Tidak semudah itu. Sudah, kita nikmati saja malam ini dan terima nasibmu dengan ikhlas,” ujarnya.
'Ikhlas dia bilang? Seumur hidup Lena tidak akan ikhlas dirinya menjadi perempuan penuh noda.'
Om Ady menghempaskan kasar tubuh Lena ke jalan, hingga pada bagian sikunya timbul beberapa luka lecet.
Sekarang dia pasrah. Om Ady telah mengunci seluruh ruang geraknya. Dia hanya berharap ada keajaiban untuknya agar bisa lepas dari cengkraman lelaki b*jat itu.
Satu ... dua ...
Ketika Om Ady siap melakukan aksinya, sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di hadapan mereka.
Sebelumnya, Lena sempat mendengar suara decitan yang cukup keras, itu menandakan mobil tersebut berhenti secara mendadak.
Tak butuh waktu lama, seorang pemuda keluar dari mobil dan langsung memukul Om Ady hingga tubuh lelaki tua itu tersungkur ke jalan.
Lena bersyukur, setidaknya, kali ini ada secercah harapan untuknya bisa lepas dari Om Ady.
"Pemuda s*alan! Siapa kamu? Ikut campur urusan orang!" Om Ady mengerang kesakitan, dengan tertatih dia berusaha berdiri dan membalas pukulan pemuda itu. Sayangnya, pemuda itu lebih kuat, sehingga membuat tubuh Om Ady ambruk sekali lagi.
"Saya paling tidak suka melihat pria melecehkan wanita," ucap pemuda itu tegas.
Om Ady tertawa, "Hahah siapa kamu? Asal kamu tahu, bapak dia punya hutang banyak sama saya dan dia ... ah, malu saya mengatakannya," ujar Om Ady setengah mabok.
Astaga, benar-benar terlihat mengerikan.
"Ini kartu nama saya. Silahkan hubungi dan sebutkan nominalnya. Saya jamin besok semua hutangnya akan lunas. Sekarang, lebih baik Anda pergi dari sini." Pemuda itu melempar selembar kertas ke arah Om Ady.
"Cuih! Sombong! Saya tunggu besok. Awas kalau bohong!" ucapnya seraya berjalan menjauh dengan tubuh sempoyongan.
Pemuda itu mendekat ke arah Lena, tapi tidak menatapnya. Apa dia jij*k? Entahlah.
"Terima kasih," ucap Lena penuh air mata."Lain kali cari pekerjaan yang lebih baik," ujar pemuda itu dingin.
Lena memandang pemuda di hadapannya dengan tatapan nanar. Jika boleh memilih, dia juga tidak mau melakukannya, tapi pemuda ini tidak tahu seberat apa hidupnya hingga terpaksa harus melakukan pekerjaan kotor.
"Ikutlah dengan saya, pakaianmu sama sekali tidak pantas untuk dilihat," ucapnya lagi.
Lena mengangguk, dia baru sadar ternyata ini alasannya. Pantas saja dari tadi pemuda itu seperti enggan menatap dirinya.
"Aww ...," pekik Lena, ternyata luka di kakinya akibat tersandung tadi membuatnya sulit berdiri. Sekarang bagaimana caranya dia masuk ke mobil sementara jalan saja susah?
Pemuda itu menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak, tak lama kemudian mengangkat tubuh Lena dan membawanya masuk ke mobil.
Sepanjang perjalanan pemuda itu hanya diam, sementara Lena terlihat masih syok dan terus menangis. Berkali-kali dia dipaksa menerima keadaan yang tak pernah berpihak padanya. Kini Lena pasrah kemanapun pemuda itu membawanya.
"Tenang, semua akan baik-baik saja." Pemuda itu menatapnya sekilas, seolah benar-benar paham dengan perasaan Lena.
Lena mengusap air matanya, "Terima kasih sudah menolong saya."
Pemuda itu tersenyum simpul, kemudian memberhentikan mobilnya di halaman sebuah rumah.
"Kenapa berhenti di sini?" tanya Lena dengan suara serak.
"Tunggu sebentar," ucapnya datar, lalu turun dan mengetuk pintu rumah sederhana berdinding kayu tersebut. Tak lama kemudian, perempuan muda berjilbab keluar. Mereka terlihat berbincang sebentar lalu berjalan menghampiri Lena.
"Apa kakimu masih sakit?" ucap pemuda itu setelah sampai di samping Lena.
"Hmm, tak apa, Pak. Biar saya saja yang membantunya." Perempuan muda itu membantu Lena keluar dari mobil.
Lena tampak bingung, tapi dia tidak punya pilihan lain selain melakukannya.
"Pergilah! Malam ini kamu bisa menginap di rumah Aida dan memakai pakaiannya untuk sementara." Pemuda itu menjalankan mesin mobilnya dan meninggalkan mereka berdua di keheningan malam.
"Mari masuk, Bu. Silakan duduk dulu, saya ambilkan kotak obat," ucap Aida seraya berjalan menuju ruang kamar.
Lena menatap bagian rumah Aida dengan kagum, rumah itu tidak besar, tapi semua barang-barang di dalamnya tersusun dengan rapi.
"Tahan ya, Bu." Aida mengobati sedikit demi sedikit luka di kaki Lena. Sesekali terdengar rintihan Lena saat lukanya terasa perih akibat obat yang dioleskan Aida.
"Hmm, apa kamu pacar dari ...."
"Bukan, saya sekretaris Pak Khair," potong Aida cepat, sebelum Lena melanjutkan ucapannya.
'Jadi namanya Khair, pas sekali dengan orangnya yang tampan dan baik hati.'
"Boleh saya pinjam baju untuk ganti, Aida?" tanya Lena ragu.
"Tentu saja, mari saya antar ke kamar. Memang rumahnya tidak terlalu besar, tapi saya harap ibu betah tinggal di sini."
Aida membantu Lena menuju kamarnya, kemudian dia membuka almari miliknya, "Silakan kamu pilih mana yang disukai," ucapnya tersenyum.
Lena tertegun, pasalnya di almari Aida hanya ada gamis longgar dan beberapa baju juga celana panjang.
"Maaf, apa tidak ada dress selutut?" tanya Lena hati-hati.
Aida menggeleng, "Tidak ada, Bu. Hanya ini saja."
"Bantu saya memakainya, ya!" pinta Lena.
"Ngomong-ngomong kamu tahu siapa saya?" tanya Lena saat Aida mengambil gamis dari ranjang dan memberikan benda itu padanya.
Tentu saja Aida tidak tahu, tapi melihat pakaian yang dikenakan Lena siapapun pasti bisa menebak bahwa dia seorang wanita malam.
"Tidak, tapi saya sama sekali tidak keberatan," jawab Aida.
"Kamu tidak jij*k? Bosmu saja enggan menatap saya." Lena terkekeh.
"Hmm, bukan begitu, Bu. Pak khair hanya menjaga diri dari zina mata dan soal dia mau mengangkat tubuh ibu, saya yakin karena terpaksa," jelas Aida.
Benarkah begitu? Apakah dia berdosa telah membuat pria baik-baik terjerumus dosa karena menyentuhnya?
"Aida!"
Panggilan mengejutkan itu membuat Lena dan Aida terperanjat. Mereka berdua serempak menoleh ke sumber suara.
"Kenapa kamu bawa perempuan mur*han ini ke rumah kita?"
Seorang wanita setengah baya dengan wajah penuh emosi berjalan ke arah mereka.
Warning! Kisah ini mungkin sedikit berbeda dari yang lainnya. Karena tokoh utamanya bukanlah wanita baik-baik dan ada beberapa kata kasar yang sengaja disensor author, tapi setiap cerita pasti memiliki pelajaran tersendiri untuk diambil hikmahnya. Jadi bijaklah dalam membaca!Sepertinya perbincangan mereka menyebabkan anggota lain di rumah Aida terbangun. Ya, karena ini tengah malam, jadi meski pun suara mereka pelan, akan tetap terdengar keras."Jangan coba-coba pakai baju keponakan saya di tubuh kotormu itu ya!" ujar Tante Nisa sembari mengambil paksa gamis Aida dari tangan Lena."Maaf, saya tidak bermaksud ....""Perempuan penuh noda sepertimu tidak pantas dimaafkan, sudah terlalu banyak dosa yang kamu perbuat," potong Tante Nisa dengan muka meremehkan.Astaghfirullah, batin Lena."Tante Nisa, jangan bicara seperti itu. Kita tidak berhak menghakimi seseorang, dia adalah temannya Pak Khair," sahut Aida seraya mengusap len
"Tunggu, Pak." Lena menghentikan langkahnya, membuat Khair ikut berhenti."Kenapa?" tanya Khair tanpa menoleh sedikit pun.Perempuan itu menarik napasnya dalam. Dia tampak menimbang-nimbang ucapannya, seolah yang akan dia katakan adalah hal yang berat. "Sebaiknya kita tidak pergi berdua, saya tidak mau bapak terjebak dosa lagi seperti malam itu."Khair tersenyum, ternyata itu yang ingin Lena katakan. "Di dalam mobil ada Bi Inah, asisten rumah tangga Mama.""Eh, kirain mau berdua lagi," sahut Lena. Kata itu meluncur begitu saja dari bibir tipisnya."Ayo, kasihan Bi Inah sudah nunggu lama," ajak Khair. Meskipun dia tahu asisten rumah tangga mamanya itu hanya menunggu beberapa menit saja."Kita mau ke mana?" tanya Lena dengan muka polosnya.“Belanja keperluanmu. Saya tidak mau melihat kamu memakai baju kurang bahan seperti kemarin,” ujar Khair sembari membuka pintu mobilnya.Lena mel
Inah! Dari mana saja kamu? Pagi-pagi sudah ngilang!" teriak Mama Reta ketika melihat Bi Inah masuk ke dalam rumah bersama dengan putranya."A-anu, Nya. Itu ...," jawab Bi Inah gagap."Anu-itu, apa? Dan kamu Khair, kenapa masih di sini? Nggak kerja?" potong Mama Reta seraya menghampiri mereka."Habis zuhur Khair ke kantor, Ma. Tadi ada urusan sebentar sama Bi Inah," sahut Khair, dia melirik ke arah asisten rumah tangga mamanya yang terlihat menunduk."Kamu itu jangan terlalu baik sama pembantu, ntar lama-lama dia ngelunjak. Pakai acara beliin barang-barang segala," ucap Mama Reta seraya melirik paperbag di tangan Bi Inah.Astaga! Khair lupa meletakkan gamis Lena di bagasi mobil, untung mamanya berpikir itu belanjaan Bi Inah. Kalau sampai perempuan itu tahu yang sebenarnya, bisa runyam urusannya. Tapi kasihan juga Bi Inah, sekarang dia malah terkena imbas dari masalah Khair."Masuk aja, Bi. Terima kasih sudah bersedia menemani saya," uja
Khair berhenti, sedikit memutar tubuhnya agar menghadap Lena. "Saya akan menikahimu," ucapnya setelah mereka berdua sampai di halaman tempat tersebut.Ucapan Khair seketika membuat Lena terperanjat. Mungkinkah saat ini pendengarannya sedang bermasalah? Atau pria di hadapannya justru sedang bercanda."Duduklah Lena, malam ini saya ingin mengatakan hal penting padamu," ujar Khair.Mereka duduk bersisihan di bangku depan kelab malam. Suasana di luar sepi, meski kadang masih ada beberapa orang lewat."Pakai ini, udara malam tidak bagus untuk kesehatanmu." Khair melepas jasnya dan memberikannya pada Lena.Perhatian seperti ini yang selalu saya rindukan, Mas, batin Lena."Lena, saya berniat serius melamarmu. Saya ingin kamu menjadi istri saya." Khair mengulang ucapannya yang tadi sempat terjeda untuk beberapa saat.Lena menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Dia benar-benar tidak menyangka Khair akan mengatakan
"Ma ... Khair belum selesai bicara," ucap Khair dengan suara agak keras. Dia berharap Mama Reta mendengar suaranya dan kembali menemui Lena. Sayangnya, perempuan itu benar-benar tak peduli. Mama Reta malah berjalan menaiki tangga dan menuju kamarnya.Khair memandang Lena yang sedari tadi hanya diam. Khair tahu perempuan itu pasti kecewa sebab sikap Mama Reta tidak seperti apa yang Lena bayangakan. Bahkan mungkin Lena tersinggung dengan perkataan Mama Reta yang tajam, meski sebenarnya semua itu benar adanya."Lena, kamu duduk dulu ya! Anggap aja rumah sendiri. Saya tinggal ke atas sebentar," ucap Khair lembut lalu bergegas menyusul Mama Reta. Sepertinya memang dia harus bicara dengan mamanya itu.Lena mengangguk. Perempuan itu memandang Khair dengan tatapan tak berdaya. Ternyata pemikirannya salah, Mama Reta tak menyukainya. Padahal dia sangat berharap nantinya akan mendapatkan kasih sayang dari calon mertuanya. Karena semenjak ibunya pergi bersama lelaki l
"Len, tumben jam segini sudah masak? Pulang jam berapa tadi?" tanya Pak Santoso seraya menuangkan air putih ke dalam gelas lalu menenggaknya."Jam sembilan," ucap Lena cuek.Pak Santoso tampak tersedak mendengar jawaban Lena dan buru-buru meletakkan gelas yang masih berisi setengah air itu ke atas meja."Kamu nggak melayani pelanggan?" tanyanya lagi."Nggak, Lena pergi sama Khair," sahut Lena dengan wajah datar.Brakk!Pak Santoso menggebrak meja di hadapannya, seketika terdengar suara dentingan sendok dan garpu secara bersamaan.Lena sudah menduga, ayahnya pasti marah mendengar perkataannya. Namun, dia sudah tidak peduli lagi, sekalipun sang ayah menghajarnya habis-habisan karena telah melarikan diri dari kelab malam. Semua itu tetap tidak akan mengembalikan kehormatannya yang telah terenggut. Siksaan dari ayahnya sudah menjadi makanan sehari-hari untuk Lena."Kamu ini sudah nggak waras? Mami Dora bisa pecat kamu k
Setelah semua pekejaan kantor dan meeting selesai. Aida dan Khair menuju supermarket. Kini mereka sedang memilih barang untuk diberikan pada Lena. "Sepertinya yang ini bagus, Pak," ucap Aida sembari menenteng satu boneka dengan warna biru muda berbentuk beruang dilengkapi love di bagian perutnya."Kira-kira Lena suka nggak, Ai?" tanya Khair seraya mengambil alih benda itu dari tangan Aida dan mengamatinya."Mudah-mudahan suka, Pak," sahut Aida. "Sepertinya ini sudah cukup. Ada cokelat, jam tangan, parfum sama boneka ini," lanjutnya."Oke kita ke sana mumpung belum terlalu siang. Hari ini kamu ada acara nggak?" tanya Khair."Kebetulan saya lagi free, Pak." Aida membawa semua barang belanjaan mereka dan menuju kasir. Khair mengikuti langkah Aida, lalu membayar semua belanjaan mereka setelah kasir menyebutkan nominalnya, dan segera bergegas menuju rumah Lena.***Lena mengambil sapu dan mulai membersihkan rumahnya. Mungkin aca
Khair ingin menceritakan sedikit tentang kehidupan Lena, mumpung mood mamanya sedang baik. Sayangnya, Melody lebih dulu datang dan menyapa mereka."Assalamualaikum," sapa Melody dengan membawa sebuah rantang di tangannya."Waalaikumsalam. Duduk, Mel! Tante kangen sama kamu." Mama Reta memeluk perempuan itu layaknya menantunya sendiri."Ini ada titipan dari Bunda untuk Mas Khair dan Tante," ucap Melody seraya menyodorkan rantang yang sepertinya berisi makanan pada Mama Reta. Ya, Bunda Soraya memang sering memberikan makanan pada Khair dan mamanya. Karena mereka memang sudah seperti kerabat."Khair kamu nggak mau cicipin?" Mama Reta meletakkan rantang yang dibawa Melody di meja dan membuka satu persatu isinya. Seketika aroma dari berbagai makanan menguar di udara. Sayang, Khair sudah kenyang."Nggak, Ma. Khair mandi dulu, gerah soalnya." Khair berlalu menuju rumah. Dia tidak ingin Melody semakin berharap padanya. Khair bisa me