"Tunggu, Pak." Lena menghentikan langkahnya, membuat Khair ikut berhenti.
"Kenapa?" tanya Khair tanpa menoleh sedikit pun.
Perempuan itu menarik napasnya dalam. Dia tampak menimbang-nimbang ucapannya, seolah yang akan dia katakan adalah hal yang berat. "Sebaiknya kita tidak pergi berdua, saya tidak mau bapak terjebak dosa lagi seperti malam itu."
Khair tersenyum, ternyata itu yang ingin Lena katakan. "Di dalam mobil ada Bi Inah, asisten rumah tangga Mama."
"Eh, kirain mau berdua lagi," sahut Lena. Kata itu meluncur begitu saja dari bibir tipisnya.
"Ayo, kasihan Bi Inah sudah nunggu lama," ajak Khair. Meskipun dia tahu asisten rumah tangga mamanya itu hanya menunggu beberapa menit saja.
"Kita mau ke mana?" tanya Lena dengan muka polosnya.
“Belanja keperluanmu. Saya tidak mau melihat kamu memakai baju kurang bahan seperti kemarin,” ujar Khair sembari membuka pintu mobilnya.
Lena melakukan hal yang sama, dia duduk di bangku belakang. Di sana sudah ada seorang perempuan setengah baya, mungkin itu yang namanya Bi Inah.
Bi Inah tersenyum dan beringsut sedikit dari posisinya semula, memberikan akses untuk Lena duduk di sampingnya.
"Maaf, Pak, tidak perlu repot-repot, lagian saya ini bukan siapa-siapa," ujar Lena. Dia merasa tidak pantas diperlakukan seperti ini. Mereka baru kenal dan tentunya tidak ada hubungan apa-apa.
Entah apa alasan Khair sehingga begitu peduli dengan Lena, padahal selama ini banyak orang yang sengaja menjaga jarak darinya.
"Ya, mungkin untuk saat ini ucapanmu benar." Khair memasang sabuk pengaman dan mulai menjalankan mesin mobilnya. Tentu saja dengan posisinya saat ini, dia tidak bisa melihat wajah Lena yang kebingungan.
“Maksud Bapak?” tanya Lena tak paham. Ucapan Khair seperti puzzle yang berputar-putar di kepalanya.
"Bukan apa-apa, memangnya saya ini terlihat seperti sudah punya anak?" Khair mencoba mengalihkan pembicaraan, walau dengan alasan apa pun dirinya terlalu ragu untuk menjelaskan perkataaannya yang asal-asalan itu. Pemuda itu menekan tombol CD-nya, dalam sekejap suara ayat-ayat suci Al-Qur'an mengalun merdu memenuhi udara.
Kalau boleh jujur Lena ingin mengatakan bahwa Khair sangat tampan, lebih tampan dari artis Korea. Namun, hal itu Lena urungkan karena terkesan tidak sopan.
"Hmmm, tidak," ucap Lena seraya memperbaiki posisi duduknya. Dia tidak terbiasa memakai pakaian seperti ini, dan itu membuatnya sedikit kerepotan. Apalagi ujung gamisnya yang kadang terinjak high heels, membuatnya semakin sulit bergerak. Dia lebih nyaman menggunakan dress selutut karena tidak gerah dan ribet.
"Lalu kenapa dari tadi kamu memanggil saya dengan sebutan pak?" Pertanyaan Khair membuat Lena salah tingkah.
Lena menatap Bi Inah yang sedari tadi tidak mengatakan sepatah kata pun. Perempuan itu hanya tersenyum geli sambil sesekali melempar pandangan ke luar jendela.
"Tapi Aida?" tanya Lena.
"Dia sekretaris saya, sementara kamu bukan. Panggil saya dengan sebutan yang lain," titah Khair. Membuat Lena seketika bungkam.
Panggilan seperti apa sih yang dia inginkan? batin Lena.
"Saya ada usul, Non. Bagaimana kalau Mas Khair, saja?" tawar Bi Inah. Akhirnya setelah sekian lama mematung Bi Inah angkat bicara juga. Sayangnya, tanpa disadari usulan itu nantinya justru akan menciptakan debar tersendiri dalam dada Lena. Ya, panggilan itu terlalu mesra baginya.
"Itu boleh juga." Khair terkekeh.
Lena tersenyum, dirinya bukan perempuan pemalu yang pipinya akan bersemu merah ketika digoda.
Dia tidak pernah menyangka pria seperti Khair ternyata bisa bercanda juga. Malam itu, Lena pikir Khair adalah pria dingin dan kaku. Tapi anggapannya salah, Lena justru merasa terhibur saat berada dekat dengannya.
Saat Khair dan Bi Inah fokus mendengarkan lantunan ayat suci Al-Qur'an, Lena justru menatap Khair. Meskipun dari belakang, tapi Lena bisa melihat bahwa pemuda itu memiliki pesona yang berbeda.
"Kita sudah sampai." Suara Khair membuyarkan seluruh lamunan Lena.
Lena turun dari mobil dengan mengangkat sedikit bagian bawah gamisnya. Dia takut kakinya terbelit dan menyebabkan tubuhnya jatuh. Namun, hal itu malah membuat orang di sekitar mall memandangnya dengan tatapan aneh.
"Jangan diangkat gitu gamisnya, nanti auratnya kelihatan. Lagian ini nggak sedang banjir," ucap Khair membuat Lena dengan segera menurunkan gamisnya.
"Maaf, habis ribet sih. Hmm, boleh ganti nggak?" sahut Lena dengan mimik muka memelas, cuaca yang terik membuat keringatnya bercucuran.
Lena berharap Khair akan membiarkannya melepas gamis itu dan mengganti dengan baju yang dia inginkan. Namun, pemuda itu malah menatapnya datar. “Mau ganti pakai apa?” tanya Khair.
Lena baru ingat kalau sekarang dia tidak punya apa-apa. Bahkan dia lupa gamis yang dipakainya adalah milik Aida.
"Lena, perempuan yang sudah akil baligh itu wajib menutup auratnya. Itu tidak akan mengurangi kecantikanmu, tapi akan semakin membuatmu terhormat dan istimewa. Sekarang, tahan aja. Gerah itu nantinya yang akan menyelamatkanmu dari api neraka," ujar Khair.
Apa sih dia, kok bawa-bawa neraka segala, batin Lena.
Mereka bertiga masuk ke pusat perbelanjaan. Lena tidak habis pikir, para wanita yang semula sibuk memilih pakaian kini malah menatap kagum ke arah Khair, layaknya lelaki itu adalah artis. Sayangnya, Khair tak peduli. 'Ck, dia terlalu naif atau bagaimana?'
"Kamu bisa pilih gamis yang kamu sukai, biar Bi Inah yang bantu. Saya tunggu di sebelah sana," ujar Khair seraya menunjuk sudut yang berisi beberapa sofa nyaman dan sebuah meja kecil.
Khair berkata Lena harus memilih gamis, bukan pakaian lainnya. Dia sedikit menarik sudut bibirnya, gagal sudah rencananya membeli dress selutut.
“Non, siapa namanya? Bibi lupa." Bi Inah tampak menggaruk kepalanya.
"Bukan lupa, Bi. Tapi belum tahu," jawab Lena seraya memilah-milah gamis yang pas di badannya. Dia tidak ingin salah memilih dan malah terlihat seperti ibu-ibu.
"Oh, ya. Maklum udah tua." Bi Inah tertawa.
"Saya Lena, Bi. Lena Anastasya," ucap Lena.
"Non Lena cocok dengan Den Khair," celetuk Bi Inah membuat Lena menghentikan aktivitasnya dan memandang wanita setengah baya itu dengan tatapan penuh makna. "Nggak lah, Bi. Kami baru aja kenal, lagipula saya ini bukan wanita baik-baik, nggak cocok sama pria shalih seperti Mas Khair," tukas Lena.
"Kata siapa? Yang bisa menentukan pantas dan tidaknya seseorang itu hanya Allah SWT. Kita cuma manusia biasa, kalau sudah takdir mah bisa apa?"
Lena terhenyak, angannya terlalu tinggi jika sampai dia menaruh perasaan pada pria seperti Khair. Bukankah di Al-Qur'an sudah jelas disebutkan bahwa lelaki baik adalah untuk wanita baik, begitupun sebaliknya. Meskipun dia tidak melihat terjemahan ayatnya secara langsung, tapi Ustadzah Maryam pernah mengatakannya sewaktu Lena ikut jamaah salat zuhur di masjid dekat rumahnya. Sudah lama sekali, tapi kata itu tak pernah lepas sedikit pun dari ingatannya.
"Mau pilih yang mana, Non?" tanya Bi Inah seraya menenteng beberapa gamis beserta jilbab di tangannya.
"Yang mana aja, Bi," ucap Lena tak bersemangat. Entah mengapa mood-nya suka berubah dengan cepat.
"Tidak usah terlalu dipikirkan, Bibi doakan semoga kalian berjodoh," ujar Bi Inah sembari mengusap kepala Lena dengan lembut. Ah, perlakuan Bi Inah justru membuat Lena merindukan ibunya, entah di mana perempuan itu saat ini.
Khair yang sedari tadi duduk, kini berjalan menghampiri mereka. "Kalau sudah, mari ke kasir," ucapnya. Lena mengangguk, membiarkan Bi Inah membawa belanjaannya.
Setelah Khair selesai membayar, mereka bergegas keluar. Namun, tiba-tiba tangan Lena ditarik seseorang dengan paksa hingga membuat tubuhnya berputar dengan cepat.
Deg!
"Enak ya kamu foya-foya di sini? Sementara di rumah, ayahmu kelaparan. Di mana kamu semalam?" tanya Pak Santoso dengan suara sedikit ditekan.
"Maaf, Yah. Lena tidak berniat kembali ke kelab malam lagi," lirih Lena. Dia melepaskan cengkeraman tangan ayahnya.
"Kamu ini ngomong apa? Kamu lupa kita bisa makan dari mana? Ya dari sana, dan pakaian ini nggak cocok sama kamu! Tubuh indahmu jadi nggak terlihat sama sekali."
"Cukup, Yah! Lena capek jadi seperti yang ayah inginkan. Selama ini apa ayah pernah memikirkan sedikit saja perasaan Lena? Tidak pernah. Ayah hanya memanfaatkan Lena untuk kesenangan pribadi ayah sendiri," ujar Lena seraya mengusap air matanya.
“Kamu ini jadi anak kurang aj*r, ya! Lama-lama Ayah gamp ….”
Khair menahan tangan Pak Santoso yang akan menampar Lena. “Maaf, Pak. Sebaiknya jangan kasar sama anak sendiri,” ujar Khair.
"Heh, anak bau kencur! Nggak usah ikut campur! Tahu apa kamu tentang mendidik anak? Ini anak saya, jadi terserah mau saya apakan," bentak Pak Santoso, membuat Lena bergidik ngeri.
"Saya memang tidak tahu apa-apa, tapi tidak baik menyakiti darah daging sendiri. Ingat dosa, Pak!" ucapan Khair malah membuat Pak Santoso terbahak. “Malah ceramah. Kamu pasti yang ngaku-ngaku pacarnya Lena, kan? Anak saya nggak butuh laki-laki macam kamu. Ayo Lena ikut Ayah! Jangan jadi anak durhaka kamu!” Pak Santoso menyeret tangan anaknya.
Lena menatap Khair dengan mata berkaca-kaca, seolah ingin mengucapkan kata maaf padanya. Sementara Khair tidak bisa berbuat apa-apa, dirinya bukanlah orang penting dalam hidup Lena yang bisa mencegah seorang ayah membawa pergi anaknya."Kasihan Non Lena, Den," ucap Bi Inah prihatin setelah melihat Lena dipaksa keluar dari mall oleh ayahnya.
"Hmm, mau gimana lagi, Bi? Kita bukan siapa-siapa dalam hidup mereka. Ayo pulang, simpan saja gamisnya di rumah, kita bisa berikan lain waktu," tutup Khair.
"Kalau gitu kasih label halal aja, Den. Biar dia nggak menderita seperti itu," celetuk Bi Inah.
"Ck, emang makanan? Bisa dengan mudah dapat label halal dari MUI." Khair terkekeh, tapi kalau dipikir-pikir omongan Bi Inah benar juga.
'Apa saya harus menikahi Lena agar perempuan itu bisa terbebas dari ayahnya?'
Inah! Dari mana saja kamu? Pagi-pagi sudah ngilang!" teriak Mama Reta ketika melihat Bi Inah masuk ke dalam rumah bersama dengan putranya."A-anu, Nya. Itu ...," jawab Bi Inah gagap."Anu-itu, apa? Dan kamu Khair, kenapa masih di sini? Nggak kerja?" potong Mama Reta seraya menghampiri mereka."Habis zuhur Khair ke kantor, Ma. Tadi ada urusan sebentar sama Bi Inah," sahut Khair, dia melirik ke arah asisten rumah tangga mamanya yang terlihat menunduk."Kamu itu jangan terlalu baik sama pembantu, ntar lama-lama dia ngelunjak. Pakai acara beliin barang-barang segala," ucap Mama Reta seraya melirik paperbag di tangan Bi Inah.Astaga! Khair lupa meletakkan gamis Lena di bagasi mobil, untung mamanya berpikir itu belanjaan Bi Inah. Kalau sampai perempuan itu tahu yang sebenarnya, bisa runyam urusannya. Tapi kasihan juga Bi Inah, sekarang dia malah terkena imbas dari masalah Khair."Masuk aja, Bi. Terima kasih sudah bersedia menemani saya," uja
Khair berhenti, sedikit memutar tubuhnya agar menghadap Lena. "Saya akan menikahimu," ucapnya setelah mereka berdua sampai di halaman tempat tersebut.Ucapan Khair seketika membuat Lena terperanjat. Mungkinkah saat ini pendengarannya sedang bermasalah? Atau pria di hadapannya justru sedang bercanda."Duduklah Lena, malam ini saya ingin mengatakan hal penting padamu," ujar Khair.Mereka duduk bersisihan di bangku depan kelab malam. Suasana di luar sepi, meski kadang masih ada beberapa orang lewat."Pakai ini, udara malam tidak bagus untuk kesehatanmu." Khair melepas jasnya dan memberikannya pada Lena.Perhatian seperti ini yang selalu saya rindukan, Mas, batin Lena."Lena, saya berniat serius melamarmu. Saya ingin kamu menjadi istri saya." Khair mengulang ucapannya yang tadi sempat terjeda untuk beberapa saat.Lena menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Dia benar-benar tidak menyangka Khair akan mengatakan
"Ma ... Khair belum selesai bicara," ucap Khair dengan suara agak keras. Dia berharap Mama Reta mendengar suaranya dan kembali menemui Lena. Sayangnya, perempuan itu benar-benar tak peduli. Mama Reta malah berjalan menaiki tangga dan menuju kamarnya.Khair memandang Lena yang sedari tadi hanya diam. Khair tahu perempuan itu pasti kecewa sebab sikap Mama Reta tidak seperti apa yang Lena bayangakan. Bahkan mungkin Lena tersinggung dengan perkataan Mama Reta yang tajam, meski sebenarnya semua itu benar adanya."Lena, kamu duduk dulu ya! Anggap aja rumah sendiri. Saya tinggal ke atas sebentar," ucap Khair lembut lalu bergegas menyusul Mama Reta. Sepertinya memang dia harus bicara dengan mamanya itu.Lena mengangguk. Perempuan itu memandang Khair dengan tatapan tak berdaya. Ternyata pemikirannya salah, Mama Reta tak menyukainya. Padahal dia sangat berharap nantinya akan mendapatkan kasih sayang dari calon mertuanya. Karena semenjak ibunya pergi bersama lelaki l
"Len, tumben jam segini sudah masak? Pulang jam berapa tadi?" tanya Pak Santoso seraya menuangkan air putih ke dalam gelas lalu menenggaknya."Jam sembilan," ucap Lena cuek.Pak Santoso tampak tersedak mendengar jawaban Lena dan buru-buru meletakkan gelas yang masih berisi setengah air itu ke atas meja."Kamu nggak melayani pelanggan?" tanyanya lagi."Nggak, Lena pergi sama Khair," sahut Lena dengan wajah datar.Brakk!Pak Santoso menggebrak meja di hadapannya, seketika terdengar suara dentingan sendok dan garpu secara bersamaan.Lena sudah menduga, ayahnya pasti marah mendengar perkataannya. Namun, dia sudah tidak peduli lagi, sekalipun sang ayah menghajarnya habis-habisan karena telah melarikan diri dari kelab malam. Semua itu tetap tidak akan mengembalikan kehormatannya yang telah terenggut. Siksaan dari ayahnya sudah menjadi makanan sehari-hari untuk Lena."Kamu ini sudah nggak waras? Mami Dora bisa pecat kamu k
Setelah semua pekejaan kantor dan meeting selesai. Aida dan Khair menuju supermarket. Kini mereka sedang memilih barang untuk diberikan pada Lena. "Sepertinya yang ini bagus, Pak," ucap Aida sembari menenteng satu boneka dengan warna biru muda berbentuk beruang dilengkapi love di bagian perutnya."Kira-kira Lena suka nggak, Ai?" tanya Khair seraya mengambil alih benda itu dari tangan Aida dan mengamatinya."Mudah-mudahan suka, Pak," sahut Aida. "Sepertinya ini sudah cukup. Ada cokelat, jam tangan, parfum sama boneka ini," lanjutnya."Oke kita ke sana mumpung belum terlalu siang. Hari ini kamu ada acara nggak?" tanya Khair."Kebetulan saya lagi free, Pak." Aida membawa semua barang belanjaan mereka dan menuju kasir. Khair mengikuti langkah Aida, lalu membayar semua belanjaan mereka setelah kasir menyebutkan nominalnya, dan segera bergegas menuju rumah Lena.***Lena mengambil sapu dan mulai membersihkan rumahnya. Mungkin aca
Khair ingin menceritakan sedikit tentang kehidupan Lena, mumpung mood mamanya sedang baik. Sayangnya, Melody lebih dulu datang dan menyapa mereka."Assalamualaikum," sapa Melody dengan membawa sebuah rantang di tangannya."Waalaikumsalam. Duduk, Mel! Tante kangen sama kamu." Mama Reta memeluk perempuan itu layaknya menantunya sendiri."Ini ada titipan dari Bunda untuk Mas Khair dan Tante," ucap Melody seraya menyodorkan rantang yang sepertinya berisi makanan pada Mama Reta. Ya, Bunda Soraya memang sering memberikan makanan pada Khair dan mamanya. Karena mereka memang sudah seperti kerabat."Khair kamu nggak mau cicipin?" Mama Reta meletakkan rantang yang dibawa Melody di meja dan membuka satu persatu isinya. Seketika aroma dari berbagai makanan menguar di udara. Sayang, Khair sudah kenyang."Nggak, Ma. Khair mandi dulu, gerah soalnya." Khair berlalu menuju rumah. Dia tidak ingin Melody semakin berharap padanya. Khair bisa me
Awas baper!"Khair, kamu benar-benar mau memberikan mahar ke Lena dan Pak Santoso sebanyak itu?" tanya Mama Reta setelah mereka sampai di rumah. Wajahnya tampak menginterogasi layaknya hakim yang sedang berhadapan dengan terdakwa. Sekejap kemudian, perempuan itu melempar tas-nya yang cukup bermerk dengan sembarangan."Iya, Ma. Memangnya kenapa?" tanya Khair polos. Dia sama sekali tidak merasa tindakannya adalah sebuah kesalahan."Awalnya memang Mama setuju, tapi kayanya kamu harus pikir-pikir dulu. Mahar 15 juta rupiah bukan uang sedikit, terlalu mahal jika diberikan pada wanita bekas orang lain," ujar Mama Reta. Nada suaranya terdengar mengejek, seolah Lena memang serendah itu di matanya."Ma, Lena jauh lebih berharga dari itu," tandas Khair."Terserah lah! Ini kalau orang sudah dibutakan sama cinta, pikirannya jadi nggak berfungsi dengan baik!" tukas Mama Reta sinis. Perempuan itu membenarkan letak kacamatanya deng
"Apa masih ada yang lain, Ai?" tanya Khair pada sekretarisnya. Kini dia sedang berada di kantor bersama Aida, untung ada pak satpam yang sedang berjaga. Sehingga mereka tidak hanya berdua saja.Khair terpaksa harus datang ke kantor malam-malam untuk menyelesaikan dan menandatangani berkas yang akan dipakai meeting besok pagi. Meja kerjanya tampak sangat berantakan, kertas dan dokumen berserakan di atasnya."Tidak ada, Pak. Sepertinya sudah selesai. Maaf, saya merusak malam pertama Bapak dengan Ibu Lena," ucap Aida seraya membereskan dokumen-dokumen kantor tersebut. Wajahnya tampak menyesal."Tidak masalah, kalau begitu saya pulang dulu. Kamu pesan taksi saja atau ojek online biar lebih cepat sampai rumah," tutup Khair seraya bergegas menuju pelataran kantor. Bukan Khair tidak ingin mengantar Aida, hanya saja dia harus menjaga perasaan Lena. Mengingat ini belum terlalu malam, masih banyak kendaraan dan angkutan umum yang lewat. Jadi kemungkinan Aida tidak terlalu