Share

Part 3

"Tunggu, Pak." Lena menghentikan langkahnya, membuat Khair ikut berhenti. 

"Kenapa?" tanya Khair tanpa menoleh sedikit pun. 

Perempuan itu menarik napasnya dalam. Dia tampak menimbang-nimbang ucapannya, seolah yang akan dia katakan adalah hal yang berat. "Sebaiknya kita tidak pergi berdua, saya tidak mau bapak terjebak dosa lagi seperti malam itu."

Khair tersenyum, ternyata itu yang ingin Lena katakan. "Di dalam mobil ada Bi Inah, asisten rumah tangga Mama."

"Eh, kirain mau berdua lagi," sahut Lena. Kata itu meluncur begitu saja dari bibir tipisnya. 

"Ayo, kasihan Bi Inah sudah nunggu lama," ajak Khair. Meskipun dia tahu asisten rumah tangga mamanya itu hanya menunggu beberapa menit saja. 

"Kita mau ke mana?" tanya Lena dengan muka polosnya. 

“Belanja keperluanmu. Saya tidak mau melihat kamu memakai baju kurang bahan seperti kemarin,” ujar Khair sembari membuka pintu mobilnya. 

Lena melakukan hal yang sama, dia duduk di bangku belakang. Di sana sudah ada seorang perempuan setengah baya, mungkin itu yang namanya Bi Inah. 

Bi Inah tersenyum dan beringsut sedikit dari posisinya semula, memberikan akses untuk Lena duduk di sampingnya. 

"Maaf, Pak, tidak perlu repot-repot, lagian saya ini bukan siapa-siapa," ujar Lena. Dia merasa tidak pantas diperlakukan seperti ini. Mereka baru kenal dan tentunya tidak ada hubungan apa-apa. 

Entah apa alasan Khair sehingga begitu peduli dengan Lena, padahal selama ini banyak orang yang sengaja menjaga jarak darinya.

"Ya, mungkin untuk saat ini ucapanmu benar." Khair memasang sabuk pengaman dan mulai menjalankan mesin mobilnya. Tentu saja dengan posisinya saat ini, dia tidak bisa melihat wajah Lena yang kebingungan.

“Maksud Bapak?” tanya Lena tak paham. Ucapan Khair seperti puzzle yang berputar-putar di kepalanya. 

"Bukan apa-apa, memangnya saya ini terlihat seperti sudah punya anak?" Khair mencoba mengalihkan pembicaraan, walau dengan alasan apa pun dirinya terlalu ragu untuk menjelaskan perkataaannya yang asal-asalan itu. Pemuda itu menekan tombol CD-nya, dalam sekejap suara ayat-ayat suci Al-Qur'an mengalun merdu memenuhi udara. 

Kalau boleh jujur Lena ingin mengatakan bahwa Khair sangat tampan, lebih tampan dari artis Korea. Namun, hal itu Lena urungkan karena terkesan tidak sopan.

"Hmmm, tidak," ucap Lena seraya memperbaiki posisi duduknya. Dia tidak terbiasa memakai pakaian seperti ini, dan itu membuatnya sedikit kerepotan. Apalagi ujung gamisnya yang kadang terinjak high heels, membuatnya semakin sulit bergerak. Dia lebih nyaman menggunakan dress selutut karena tidak gerah dan ribet. 

"Lalu kenapa dari tadi kamu memanggil saya dengan sebutan pak?" Pertanyaan Khair membuat Lena salah tingkah.

Lena menatap Bi Inah yang sedari tadi tidak mengatakan sepatah kata pun. Perempuan itu hanya tersenyum geli sambil sesekali melempar pandangan ke luar jendela. 

"Tapi Aida?" tanya Lena.

"Dia sekretaris saya, sementara kamu bukan. Panggil saya dengan sebutan yang lain," titah Khair. Membuat Lena seketika bungkam.

Panggilan seperti apa sih yang dia inginkan? batin Lena. 

"Saya ada usul, Non. Bagaimana kalau Mas Khair, saja?" tawar Bi Inah. Akhirnya setelah sekian lama mematung Bi Inah angkat bicara juga. Sayangnya, tanpa disadari usulan itu nantinya justru akan menciptakan debar tersendiri dalam dada Lena. Ya, panggilan itu terlalu mesra baginya. 

"Itu boleh juga." Khair terkekeh.

Lena tersenyum, dirinya bukan perempuan pemalu yang pipinya akan bersemu merah ketika digoda. 

Dia tidak pernah menyangka pria seperti Khair ternyata bisa bercanda juga. Malam itu, Lena pikir Khair adalah pria dingin dan kaku. Tapi anggapannya salah, Lena justru merasa terhibur saat berada dekat dengannya.

Saat Khair dan Bi Inah fokus mendengarkan lantunan ayat suci Al-Qur'an, Lena justru menatap Khair. Meskipun dari belakang, tapi Lena bisa melihat bahwa pemuda itu memiliki pesona yang berbeda. 

"Kita sudah sampai." Suara Khair membuyarkan seluruh lamunan Lena.

Lena turun dari mobil dengan mengangkat sedikit bagian bawah gamisnya. Dia takut kakinya terbelit dan menyebabkan tubuhnya jatuh. Namun, hal itu malah membuat orang di sekitar mall memandangnya dengan tatapan aneh. 

"Jangan diangkat gitu gamisnya, nanti auratnya kelihatan. Lagian ini nggak sedang banjir," ucap Khair membuat Lena dengan segera menurunkan gamisnya.

"Maaf, habis ribet sih. Hmm, boleh ganti nggak?" sahut Lena dengan mimik muka memelas, cuaca yang terik membuat keringatnya bercucuran.

Lena berharap Khair akan membiarkannya melepas gamis itu dan mengganti dengan baju yang dia inginkan. Namun, pemuda itu malah menatapnya datar. “Mau ganti pakai apa?” tanya Khair.

Lena baru ingat kalau sekarang dia tidak punya apa-apa. Bahkan dia lupa gamis yang dipakainya adalah milik Aida.

"Lena, perempuan yang sudah akil baligh itu wajib menutup auratnya. Itu tidak akan mengurangi kecantikanmu, tapi akan semakin membuatmu terhormat dan istimewa. Sekarang, tahan aja. Gerah itu nantinya yang akan menyelamatkanmu dari api neraka," ujar Khair.

Apa sih dia, kok bawa-bawa neraka segala, batin Lena. 

Mereka bertiga masuk ke pusat perbelanjaan. Lena tidak habis pikir, para wanita yang semula sibuk memilih pakaian kini malah menatap kagum ke arah Khair, layaknya lelaki itu adalah artis. Sayangnya, Khair tak peduli. 'Ck, dia terlalu naif atau bagaimana?'

"Kamu bisa pilih gamis yang kamu sukai, biar Bi Inah yang bantu. Saya tunggu di sebelah sana," ujar Khair seraya menunjuk sudut yang berisi beberapa sofa nyaman dan sebuah meja kecil.

Khair berkata Lena harus memilih gamis, bukan pakaian lainnya. Dia sedikit menarik sudut bibirnya, gagal sudah rencananya membeli dress selutut.

“Non, siapa namanya? Bibi lupa." Bi Inah tampak menggaruk kepalanya. 

"Bukan lupa, Bi. Tapi belum tahu," jawab Lena seraya memilah-milah gamis yang pas di badannya. Dia tidak ingin salah memilih dan malah terlihat seperti ibu-ibu.

"Oh, ya. Maklum udah tua." Bi Inah tertawa.

"Saya Lena, Bi. Lena Anastasya," ucap Lena.

"Non Lena cocok dengan Den Khair," celetuk Bi Inah membuat Lena menghentikan aktivitasnya dan memandang wanita setengah baya itu dengan tatapan penuh makna. "Nggak lah, Bi. Kami baru aja kenal, lagipula saya ini bukan wanita baik-baik, nggak cocok sama pria shalih seperti Mas Khair," tukas Lena. 

"Kata siapa? Yang bisa menentukan pantas dan tidaknya seseorang itu hanya Allah SWT. Kita cuma manusia biasa, kalau sudah takdir mah bisa apa?"

Lena terhenyak, angannya terlalu tinggi jika sampai dia menaruh perasaan pada pria seperti Khair. Bukankah di Al-Qur'an sudah jelas disebutkan bahwa lelaki baik adalah untuk wanita baik, begitupun sebaliknya. Meskipun dia tidak melihat terjemahan ayatnya secara langsung, tapi Ustadzah Maryam pernah mengatakannya sewaktu Lena ikut jamaah salat zuhur di masjid dekat rumahnya. Sudah lama sekali, tapi kata itu tak pernah lepas sedikit pun dari ingatannya.

"Mau pilih yang mana, Non?" tanya Bi Inah seraya menenteng beberapa gamis beserta jilbab di tangannya.

"Yang mana aja, Bi," ucap Lena tak bersemangat. Entah mengapa mood-nya suka berubah dengan cepat. 

"Tidak usah terlalu dipikirkan, Bibi doakan semoga kalian berjodoh," ujar Bi Inah sembari mengusap kepala Lena dengan lembut. Ah, perlakuan Bi Inah justru membuat Lena merindukan ibunya, entah di mana perempuan itu saat ini.

Khair yang sedari tadi duduk, kini berjalan menghampiri mereka. "Kalau sudah, mari ke kasir," ucapnya. Lena mengangguk, membiarkan Bi Inah membawa belanjaannya.

Setelah Khair selesai membayar, mereka bergegas keluar. Namun, tiba-tiba tangan Lena ditarik seseorang dengan paksa hingga membuat tubuhnya berputar dengan cepat. 

Deg!

"Enak ya kamu foya-foya di sini? Sementara di rumah, ayahmu kelaparan. Di mana kamu semalam?" tanya Pak Santoso dengan suara sedikit ditekan.

"Maaf, Yah. Lena tidak berniat kembali ke kelab malam lagi," lirih Lena. Dia melepaskan cengkeraman tangan ayahnya.

"Kamu ini ngomong apa? Kamu lupa kita bisa makan dari mana? Ya dari sana, dan pakaian ini nggak cocok sama kamu! Tubuh indahmu jadi nggak terlihat sama sekali."

"Cukup, Yah! Lena capek jadi seperti yang ayah inginkan. Selama ini apa ayah pernah memikirkan sedikit saja perasaan Lena? Tidak pernah. Ayah hanya memanfaatkan Lena untuk kesenangan pribadi ayah sendiri," ujar Lena seraya mengusap air matanya.

“Kamu ini jadi anak kurang aj*r, ya! Lama-lama Ayah gamp ….”

Khair menahan tangan Pak Santoso yang akan menampar Lena. “Maaf, Pak. Sebaiknya jangan kasar sama anak sendiri,” ujar Khair.

"Heh, anak bau kencur! Nggak usah ikut campur! Tahu apa kamu tentang mendidik anak? Ini anak saya, jadi terserah mau saya apakan," bentak Pak Santoso, membuat Lena bergidik ngeri.

"Saya memang tidak tahu apa-apa, tapi tidak baik menyakiti darah daging sendiri. Ingat dosa, Pak!" ucapan Khair malah membuat Pak Santoso terbahak. “Malah ceramah. Kamu pasti yang ngaku-ngaku pacarnya Lena, kan? Anak saya nggak butuh laki-laki macam kamu. Ayo Lena ikut Ayah! Jangan jadi anak durhaka kamu!” Pak Santoso menyeret tangan anaknya. 

Lena menatap Khair dengan mata berkaca-kaca, seolah ingin mengucapkan kata maaf padanya. Sementara Khair tidak bisa berbuat apa-apa, dirinya bukanlah orang penting dalam hidup Lena yang bisa mencegah seorang ayah membawa pergi anaknya."Kasihan Non Lena, Den," ucap Bi Inah prihatin setelah melihat Lena dipaksa keluar dari mall oleh ayahnya.

"Hmm, mau gimana lagi, Bi? Kita bukan siapa-siapa dalam hidup mereka. Ayo pulang, simpan saja gamisnya di rumah, kita bisa berikan lain waktu," tutup Khair.

"Kalau gitu kasih label halal aja, Den. Biar dia nggak menderita seperti itu," celetuk Bi Inah.

"Ck, emang makanan? Bisa dengan mudah dapat label halal dari MUI." Khair terkekeh, tapi kalau dipikir-pikir omongan Bi Inah benar juga. 

'Apa saya harus menikahi Lena agar perempuan itu bisa terbebas dari ayahnya?'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status