Khair ingin menceritakan sedikit tentang kehidupan Lena, mumpung mood mamanya sedang baik. Sayangnya, Melody lebih dulu datang dan menyapa mereka.
"Assalamualaikum," sapa Melody dengan membawa sebuah rantang di tangannya.
"Waalaikumsalam. Duduk, Mel! Tante kangen sama kamu." Mama Reta memeluk perempuan itu layaknya menantunya sendiri.
"Ini ada titipan dari Bunda untuk Mas Khair dan Tante," ucap Melody seraya menyodorkan rantang yang sepertinya berisi makanan pada Mama Reta. Ya, Bunda Soraya memang sering memberikan makanan pada Khair dan mamanya. Karena mereka memang sudah seperti kerabat.
"Khair kamu nggak mau cicipin?" Mama Reta meletakkan rantang yang dibawa Melody di meja dan membuka satu persatu isinya. Seketika aroma dari berbagai makanan menguar di udara. Sayang, Khair sudah kenyang.
"Nggak, Ma. Khair mandi dulu, gerah soalnya." Khair berlalu menuju rumah. Dia tidak ingin Melody semakin berharap padanya. Khair bisa melihat dari sorot mata Melody bahwa perempuan itu menyukainya. Bukan karena Khair terlalu percaya diri, tapi Melody juga sering memberikan perhatian-perhatian kecil.
Melody tersenyum ke arah Khair, tapi lelaki itu malah masuk ke dalam rumah tanpa menoleh sedikitpun. 'Segitu tidak pedulinya kamu denganku, Mas. Sampai membalas senyumanku saja kamu sudah tidak ingin.'
"Mel, kok bengong?" Pertanyaan Mama Reta sontak membuat Melody tersadar dari lamunannya.
"Ah, enggak, Tante. Mel perhatiin akhir-akhir ini Mas Khair berbeda, ya. Apa gara-gara perempuan itu?" tanya Melody dengan wajah penuh ironi. Hatinya benar-benar sakit saat mendapati kenyataan yang membuatnya dipaksa melupakan lelaki yang dikaguminya. Selama ini dia hanya mencintai Khair, tidak ada yang lain di hatinya. Sayangnya, harapannya harus kandas seketika saat perempuan bernama Lena hadir di antara mereka. Melody harus menelan pil pahit dari perihnya cinta bertepuk sebelah tangan.
"Lena maksudnya? Tante kurang tahu, sih. Tante juga minta maaf karena terpaksa harus merestui hubungan mereka dan membuatmu kecewa." Mama Reta menatap Melody dengan perasaan bersalah. Sejujurnya dia hanya ingin Melody yang menjadi menantunya, bukan Lena atau wanita lain.
Melody membalas tatapan Mama Reta dengan perasaan tak percaya. Dia tidak habis pikir, satu-satunya orang yang mendukung dan bisa membantunya bersatu dengan Khair justru berpihak pada Lena. Hatinya semakin tersayat saat mengetahui Mama Reta telah menyetujui pernikahan mereka.
"Tante kenapa tega ngelakuin ini sama Mel?" tanyanya dengan suara lirih."Maafkan Tante, Tante tidak punya pilihan lain. Tante nggak mau hanya karena tidak mendapatkan restu untuk menikahi Lena, Khair memilih ikut papanya," jelas Mama Reta. Membuat hati Melody terasa semakin perih.
"Nanti kalau Tante sudah punya menantu, Mel nggak boleh datang ke sini lagi dong?" pancing Melody.
"Siapa bilang? Kamu itu sudah Tante anggap seperti anak sendiri. Rumah ini selalu terbuka untukmu." Jujur Mama Reta tidak ingin kehilangan Melody. Karena selama ini mereka cukup dekat.
***
Matahari telah pulang ke peraduannya, menandakan hari berubah malam. Khair dan Mama Reta sudah berada di depan sebuah rumah petak yang tidak terlalu besar. Bangunannya cukup rapi dengan dihiasi banyak bunga di halaman rumah. Khair sengaja tidak memberitahu Lena. Dia ingin memberikan kejutan pada perempuan itu.
Khair baru akan mengucap salam saat seseorang telah lebih dulu membuka pintu rumah Lena. "Reta! Kamu di sini?" Lelaki yang tak lain adalah ayah Lena melongo menatap Mama Reta. Walau bagaimanapun seseorang yang pernah menjalin hubungan dengan orang lain pasti hafal akan penampilannya. Sejenak terjadi kecanggungan antara mereka berdua. Mama Reta tampak sedikit tidak nyaman berada di dekat lelaki itu. Entah apa alasannya, padahal hubungan mereka sudah lama berakhir."Lena ada, Pak?" Khair akhirnya memecah kecanggungan antara mereka.
Namun, bukannya menjawab, Pak Santoso justru maju satu langkah hingga tubuh pria tua itu berdiri tepat di samping Mama Reta. "Jangan bilang kamu kangen sama saya, makanya datang ke sini," ujar Pak Santoso dengan senyuman penuh teka-teki seraya mengitari tubuh Mama Reta.
"Cih! Jangan kepedean kamu! Jika bukan karena anak saya tergoda dengan Lena--anak kamu saya nggak sudi menginjakkan kaki di gubuk jelekmu ini!" cecar Mama Reta dengan senyuman mengejek.
"Oh, jadi ini anak kamu? Bilang sama dia nggak usah ganggu Lena. Kaya nggak laku aja!" celetuk Pak Santoso yang membuat Mama Reta mengarahkan telunjuknya di wajah lelaki itu. "Eh, mulut kamu ini masih sama ya! Berasa nggak pernah disekolahin. Kamu pikir anakmu itu siapa? Bidadari surga?"
Mama Reta dan Pak Santoso terus saja berdebat. Mereka berdua tidak ada yang mau mengalah. Khair hanya diam seperti patung. Dia menyandarkan tubuhnya di tiang teras rumah Lena. Cukup lama terjadi adu mulut antara mereka hingga akhirnya perdebatan sengit itu berhenti saat Lena keluar."Mas Khair, Tante Reta? Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut?" tanya Lena. Perempuan itu merasa terheran-heran. Dia sedikit terkejut melihat Khair dan Mama Reta tiba-tiba ada di depan rumahnya. Entah mengapa Khair tidak memberitahunya lebih dulu, untung Lena memakai gamis, jika tidak, bisa-bisa kejadian kemarin terulang lagi.
"Lena, saya datang ke sini untuk melamar kamu, tapi mereka keburu ribut," ucap Khair dengan nada jengkel.
Lena tampak terkejut, tapi dia bersyukur Mama Reta akhirnya menyetujui hubungan mereka. "Ayah, biarkan Mas Khair sama Tante Reta masuk dulu. Jangan ribut di sini, nggak enak dilihat tetangga," ujar Lena yang tanpa sadar membuat Pak Santoso dan Mama Reta seketika mendelik memandangnya. Rupanya mereka tidak suka dianggap ribut, padahal begitulah adanya.
Mereka akhirnya masuk ke rumah Lena, tapi
Rupanya keributan masih terus berlanjut di dalam. Khair belum sempat mengutarakan maksudnya lebih banyak karena Pak Santoso dan Mama Reta terus saja berdebat."Jangan bilang kamu yang minta anak kamu ini buat nikahin Lena supaya bisa besanan sama saya," ujar Pak Santoso malah memancing amarah Mama Reta.
"Cih! Tisu mana tisu? Khair bawa tisu nggak?" tanya Mama Reta yang sontak membuat semua orang bingung.
"Buat apa, Ma?" Khair malah balik bertanya.
"Buat lap mulut kalau mama beneran muntah dengar omongan dia!" teriak Mama Reta.
"Astaga!" ucap Khair seraya memandang Lena yang juga memandangnya. Tak lama kemudian mereka justru saling pandang.
"Gimana, Pak? Bolehkah saya meminang Lena untuk menjadi istri saya?" Khair menengahi perdebatan mereka.
"Gimana ya? Jujur saja Lena ini sudah bekas orang lain lo!" ujar Pak Santoso yang membuat air mata Lena seketika lolos begitu saja.
Mama Reta tampak terkejut mendengar perkataan Pak Santoso, tapi kali ini dia tidak menyela ucapan lelaki itu.
"Saya menerima Lena apa adanya, Pak!" tegas Khair.
"Hmm, terserah kamu aja deh. Tapi saya mau mahar 15 juta rupiah. Karena nanti setelah Lena menikah dengan kamu tidak akan ada lagi yang membantu saya mencari uang. Jadi saya butuh modal untuk buka usaha sendiri," terang Pak Santoso.
Mama Reta tampak tidak terima dengan permintaan Pak Santoso, mungkin baginya itu terlalu berlebihan. "Heh, kamu pikir anak kamu itu berlian? Kamu dari dulu nggak berubah ya! Tetep mata duitan," cerca Mama Reta, tapi Pak Santoso malah tersenyum santai. "Ya, terserah. Kalau nggak mau juga nggak apa-apa. Lagian anak kamu itu orang kaya. Mana ada artinya uang segitu, ya tapi kalau dia bener-bener cinta sama Lena, sih."
"Dasar nggak tahu diri!" Mama Reta menatapnya sebal.
"Ma, sudah. Saya setuju, Pak. Asalkan setelah menikah Lena benar-benar ikut dengan saya. Kapan kira-kira pernikahannya bisa dilangsungkan?" tanya Khair meminta kepastian dari calon mertuanya.
"Terserah kamu maunya kapan, besok juga bisa, " pungkas Pak Santoso.
"Baik, nanti saya kabari lagi ya. Lena, kami pamit dulu," ujar Khair melangkah keluar.
Lena ingin mencium tangan Mama Reta, tapi perempuan itu malah menepisnya. Sepertinya Mama Reta tidak benar-benar ikhlas merestui hubungannya dengan Khair. Namun, bagi Lena itu tidak masalah. Setidaknya, ini adalah awal yang bagus, Aida benar, lama-lama Lena pasti akrab dengan perempuan itu.
"Ayah kenapa minta mahar sebanyak itu? Kasihan Mas Khair." Lena mendekati ayahnya yang memasang wajah tanpa dosa.
"Buat apa kasihan? Calon suami kamu itu orang kaya! Uang segitu mana masalah buat dia. Lagian ayah butuh modal usaha setelah kamu tinggal sama suamimu." Pak Santoso berusaha meyakinkan Lena.
"Ayah beneran mau buka usaha sendiri?" tanya Lena dengan tampang sedikit curiga.
"Kamu ini pikirannya jangan negatif terus sama orang tua. Bisa kualad kamu. Udah diam aja! Tinggal nurut sama ayah kamu apa susahnya?"
Lena sebenarnya merasa tidak enak dengan Khair, tapi mau bagaimana lagi? Khair juga sudah mengatakan kalau dia setuju. Semoga ayahnya benar-benar berubah.
Awas baper!"Khair, kamu benar-benar mau memberikan mahar ke Lena dan Pak Santoso sebanyak itu?" tanya Mama Reta setelah mereka sampai di rumah. Wajahnya tampak menginterogasi layaknya hakim yang sedang berhadapan dengan terdakwa. Sekejap kemudian, perempuan itu melempar tas-nya yang cukup bermerk dengan sembarangan."Iya, Ma. Memangnya kenapa?" tanya Khair polos. Dia sama sekali tidak merasa tindakannya adalah sebuah kesalahan."Awalnya memang Mama setuju, tapi kayanya kamu harus pikir-pikir dulu. Mahar 15 juta rupiah bukan uang sedikit, terlalu mahal jika diberikan pada wanita bekas orang lain," ujar Mama Reta. Nada suaranya terdengar mengejek, seolah Lena memang serendah itu di matanya."Ma, Lena jauh lebih berharga dari itu," tandas Khair."Terserah lah! Ini kalau orang sudah dibutakan sama cinta, pikirannya jadi nggak berfungsi dengan baik!" tukas Mama Reta sinis. Perempuan itu membenarkan letak kacamatanya deng
"Apa masih ada yang lain, Ai?" tanya Khair pada sekretarisnya. Kini dia sedang berada di kantor bersama Aida, untung ada pak satpam yang sedang berjaga. Sehingga mereka tidak hanya berdua saja.Khair terpaksa harus datang ke kantor malam-malam untuk menyelesaikan dan menandatangani berkas yang akan dipakai meeting besok pagi. Meja kerjanya tampak sangat berantakan, kertas dan dokumen berserakan di atasnya."Tidak ada, Pak. Sepertinya sudah selesai. Maaf, saya merusak malam pertama Bapak dengan Ibu Lena," ucap Aida seraya membereskan dokumen-dokumen kantor tersebut. Wajahnya tampak menyesal."Tidak masalah, kalau begitu saya pulang dulu. Kamu pesan taksi saja atau ojek online biar lebih cepat sampai rumah," tutup Khair seraya bergegas menuju pelataran kantor. Bukan Khair tidak ingin mengantar Aida, hanya saja dia harus menjaga perasaan Lena. Mengingat ini belum terlalu malam, masih banyak kendaraan dan angkutan umum yang lewat. Jadi kemungkinan Aida tidak terlalu
"Mana istrimu? Belum bangun?" tanya Mama Reta."Sudah kok, Ma. Sebentar lagi turun." Khair mengambil nasi dan mulai memasukkannya ke dalam piring."Kamu jangan diam aja dong, Khair! Kalau punya istri itu dinasehatin. Masa hari pertama jam segini belum turun juga. Mau sampai kapan dia malas-malasan kaya gitu? Bikin enek mama lihatnya. Apa gunanya punya istri kalau kamu melakukan apa-apa sendiri?" gerutu Mama Reta, tapi Khair hanya diam dan menikmati sarapan."Namanya juga pengantin baru, Nya," celetuk Bi inah."Halah!! Tahu apa kamu soal pengantin baru? Kayak pernah nikah aja!" ceplos Mama Reta.Bi Inah langsung diam. Apa yang dikatakan Mama Reta benar adanya. Dia memang belum pernah menikah sama sekali, meski usianya sudah semakin tua."Halo, Ma! Pagi," sapa Lena dengan senyumnya yang mengembang. Perasaannya sedang bahagia sebab berhasil menggoda Khair. Lena langsung menarik kursi, lalu mendudukinya. Tanpa Lena sadari
"Lebih baik Mas Khair keluar saja. Saya sedang ingin sendiri." Lena mendongakkan kepala, menatap sekeliling yang tampak buram akibat air mata yang menghalangi pandangannya."Baiklah! Tapi sebelumnya Mas ingin menanyakan satu hal padamu." Khair duduk di samping Lena, mensejajarkan dirinya dengan perempuan itu.Lena tidak menjawab, dia justru semakin terisak."Kenapa Lena mau menikah dengan Mas?" tanya Khair lembut. Lelaki itu mengusap pelan pundak istrinya."Karena saya ingin hidup dengan Mas Khair lah!" lirih Lena."Nah, jika Lena ingin terus hidup bersama Mas, ini adalah ujian yang harus dihadapi. Lena, perlu kamu tahu, pernikahan adalah perjanjian yang besar di hadapan Allah SWT dan orang-orang yang hadir untuk meng-aminkan doa kita. Semua yang terjadi di dalam pernikahan adalah pahala, ibadah terlama dalam hidup kita. Karena imbalannya surga maka ujiannya juga tidak mudah. Jadi, untuk bisa terus mempertahankan rumah
Warning! 21+Harap yang masih di bawah umur bijaklah dalam membaca."Lena mana, Ma?" tanya Khair saat baru memasuki rumah."Ada di kamar, bertapa mungkin. Soalnya dari tadi nggak keluar-keluar," sahut Mama Reta enteng sambil terus memasukkan biskuit ke dalam mulutnya.Khair beranjak menuju kamar. Matanya menerawang seluruh sudut ruangan itu.Dia menatap iba seorang perempuan yang sedang berada di dekat jendela dengan sebuah buku di tangannya. Lena--gadis pemilik bulu mata lentik dan wajah oval yang mampu menjerat dirinya hingga terbuai rasa.Khair memang mempunyai banyak koleksi buku mulai dari yang bernuansa agama hingga novel percintaan."Sayang ...," panggilnya mesra, tetapi Lena hanya diam. Rupanya perempuan itu masih merajuk."Makan yuk! Mas lapar," lanjutnya seraya memeluk dari belakang tubuh sexy yang kini berbalut gamis lebar."Malas, Mas!" jawab Lena cuek dan melepas paksa pelukan s
Saat Khair akan masuk ke permainan inti, Lena justru menangis. Perlahan butiran bening terus saja mengalir dari sudut matanya, hingga membuat maskara Lena luntur.Tiba-tiba perasaan Lena hancur. Tubuhnya terasa lemas saat sadar ini bukan kali pertama dia melakukan hal seperti ini bersama seorang pria.Mahkota yang seharusnya disentuh suaminya telah terenggut sebab kebodohannya di masa lalu. Hati Lena terasa nyeri, dia merasa hina telah menodai pernikahannya.Khair menatap Lena dengan pandangan lembut dan menenangkan."Tidak akan ada noda di ranjang panas kita, Mas Khair akan menyesal pernah menikahi saya," lirih Lena pelan, membuat Khair menghentikan aktivitasnya. Mungkin Lena berpikir kalau Khair akan mengungkit masalah itu setelah permainan malamnya dengan Lena berakhir.Khair membaringkan badannya di samping Lena. Lalu, lelaki itu menarik selimut tebal guna menutupi tubuhnya dan perempuan itu. "Bagi Mas kamu t
"Sayang ...." Khair tiba-tiba memeluk tubuh istrinya, melingkarkan tangannya di pinggang perempuan itu hingga membuat Lena terkejut.Pasalnya ini sudah malam. Waktu Lena turun dari tangga tidak ada siapapun, televisi juga sudah dimatikan tinggal remotnya yang masih nangkring di atas meja.Bi Inah juga tidak kelihatan, mungkin sudah terlelap setelah lelah seharian bekerja. Lena tidak tega membangunkannya. Jadi dia memilih memasak untuk suaminya saat melihat makanan di meja tinggal sedikit."Mas Khair ngagetin aja," protesnya seraya mengerucutkan bibir."Lagi ngapain, sih? Kok lama banget ambil makanannya," ucap Khair seraya memandang punggung Lena yang putih dan mulus. Sepertinya perempuan itu tidak sadar jika resleting gamisnya hanya terkunci setengah.Khair mendekatkan wajah. Rambut Lena terasa menggelitik indra penciumannya, seketika dia mencium aroma vanili yang memabukkan.Lena membalikkan badannya dengan cepat sa
Lena menoleh seketika. Bukan hanya Lena saja, tetapi para wanita yang tadi sibuk membicarakannya juga menghentikan aktivitas mereka dan beralih menatap ke arah Khair seraya berbisik-bisik.Lena melihat Khair yang sudah berdiri di belakangnya, memakai celana pendek dan kaos polos yang dilapisi varsity juga sepatu vans berwarna hitam putih. Gaya lelaki itu terlihat lebih santai. "Mas belum berangkat?" tanyanya seraya membungkuk untuk meletakkan alat penyiram tanaman.Khair tersenyum sembari mengusap lengan Lena. "Sana ganti baju, Mas mau ajak kamu jalan-jalan," ucapnya lembut.Lena mengangguk, lalu bergegas masuk ke rumah."Mas Khair, yakin istri kamu sudah berhenti dari pekerjaan kotornya? Bisa jadi kalau kamu sedang pergi bekerja diam-diam dia ke kelab malam lo," celetuk Sofia.Sama-samar Lena masih mendengar suara mereka. Dia sudah berusaha sabar, tetapi sepertinya mereka memang tidak bisa dibiarkan begitu saja.Lena