Share

CHAPTER 2 Jadi Ini Gadis Kampung Itu?

Jakarta terlihat tenang di pagi hari kala Nindia  membuka mata, perjalanan malam dari Klaten ke Jakarta membuatnya banyak tidur, meskipun tak terbilang nyenyak untuknya.

Setidaknya dia cukup memejamkan mata dan sesekali melihat lampu malam di luar jendela kaca. Mobil tersebut hanya sekali istirahat di rest area, kemudian kembali menapak ke Jakarta.

Nindia terpesona dengan pemandangan yang terpampang di depan matanya saat ini. Bagaimana tidak. Kemarin, dia hanya bisa melihat petak-petak sawah dan pepohonan, dan hanya bisa membayangkan suasana Jakarta dari gambar-gambar yang dia lihat di kalender dan dari cerita orang-orang.

Saat ini, dia benar-benar melihat dengan mata kepala sendiri gedung-gedung pencakar langit terpampang jelas berdiri dengan angkuhnya.

"Selamat datang di Ibu kota Jakarta, Nindia," ucapnya nyaris tidak terdengar.

Dengan noraknya dia membuka kaca jendela mobil dan mulai merasakan udara pagi Jakarta yang masih segar. Dia belum mengetahui bagaimana suasana Jakarta di siang hari. Mungkin, jika dirinya tahu, ia akan memilih menutup kaca jendela mobil itu dan duduk dengan tenang.

Nindia mulai mengamati satu per satu gedung-gedung pencakar langit yang dilaluinya. Hatinya semakin kagum saat melihat salah satu gedung pencakar langit yang menjulang di mana terdapat logo salah satu stasiun televisi di bertengger kokoh di atasnya.

"Sudah bangun, Non?" tanya Pak Manto tersenyum padaku.

"Sudah dari tadi, Pak. Sengaja gak bilang, biar Pak Manto tetap fokus," jawabku menutupi rasa malu karena tertangkap basah mengagumi gedung pencakar langit itu. "Apa masih lama sampainya, Pak?" tanyaku.

"Sebentar lagi kita sampai. Persiapkan diri bertemu dengan mereka semua, Non," jawab Pak Manto.

Nindia tiba-tiba merasakan ketakutan luar biasa mendengar penuturan Pak Manto. Dia harus siap bertemu dengan Pak Edward dan keluarganya. Terlebih, setelah mendengar cerita tentang salah satu anak Pak Edward yang angkuh.

"Ya Allah, kuatkan hati hamba untuk bertemu mereka," ucapnya disambut tawa Pak Manto.

"Hahaha, Non Nindia ini ternyata lucu juga. Seperti mau maju berperang saja," ucapnya tertawa.

"Iih Pak Manto malah ketawa. Aku benar-benar gugup," ucap Nindia merajuk.

"Hahaha, maafkan bapak. Hanya saja melihat Non Nindia begitu membuat bapak merasa lucu," lanjutnya lagi.

Mobil berhenti di sebuah rumah yang cukup besar bagi ukuran Nindia yang tidak pernah melihatnya. Dia semakin kagum saat melihat pintu gerbang berwarna coklat itu terbuka dengan sendirinya seolah-olah ada yang mengendalikan.

Matanya tidak berkedip menyaksikan itu semua. Tidak berapa lama, muncul seorang penjaga mendekati mobil dan menyapa Pak Manto ramah, lalu tersenyum saat melihat dirinya.

Nindia tidak dapat menyembunyikan kekagumannya atas rumah itu. Setelah Pak Manto menyuruhnya turun, dia menatap ke halaman luas yang berada di dalam rumah.

Luas halaman rumah itu mungkin cukup untuk lomba lari orang-orang satu kampung. Nampak pula di kanan kiri halaman terdapat pepohonan rimbun dan terdapat pula tanaman bunga,  mempercantik halaman rumah tersebut.

"Cantik ..." ucap Nindia spontan.

Melihat kearah depan, gadis yang baru saja menginjakkan kakinya di Jakarta tersebut, terpaku lantaran melihat rumah mewah design klasik eropa lengkap dengan pilar besar berbentuk silinder berdiri dengan angkuh. 

Semakin mendekat dada Nindia semakin berdebar, ia seperti tiba di planet asing. Nyali Nindia menciut ketika, dia ingin kabur saja dari kenyataan. 

Baginya, di panti asuhan, meskipun sederhana, tapi dipenuhi canda dan tawa. Sementara, di rumah ini, hanya segelintir orang yang tinggal.

Nindia yakin dia akan merasa kesepian tinggal di rumah sebesar ini. Belum lagi, cerita tentang anak kedua Pak Edward yang menurut penuturan laki-laki itu sangat angkuh dan sedikit arogan. Rasanya, Nindia ingin kembali masuk ke dalam mobil dan meminta Pak Manto mengantarkannya kembali ke panti.

Belum-belum, Nindia sudah merasa tidak nyaman berada di rumah ini. Terlebih, tidak ada teman bermain untuk sekedar berbagi cerita. Dia merindukan suasana panti di mana dirinya selalu sibuk dengan berbagai kegiatan bersama penghuni panti lainnya.

Teringat akan panti asuhan, Nindia membayangkan apa yang biasa dilakukannya pada jam seperti ini. Biasanya, dia akan sibuk membantu umi mempersiapkan sarapan dan membantu memberi makan bayi-bayi tidak berdosa yang berada di sana.

Biasanya, jam segini, panti akan ramai dengan tangis para bayi dan anak-anak yang berlarian di halaman depan panti. Nindia sangat sedih teringat akan mereka semua.

"Kalian pasti tengah merindukan aku ya ..." ucapnya berkaca-kaca.

Terbesit rasa sedih dan penyesalan dalam hatinya. Seandainya kemarin dia menolak beasiswa itu, mungkin saat ini dirinya masih bersama mereka. Namun, dia teringat ucapan Abah dan umi bahwa dirinya harus berhasil

Panggilan Pak Manto yang meminta dirinya mengikuti langkahnya memasuki rumah kediaman Pak Edward membuyarkan lamunan Nindia.

"Ayo masuk. Non pasti capek menempuh perjalanan Klaten-Jakarta. Istirahat dulu sebelum bertemu dengan bapak," ucapnya.

Dia pun mengikuti Pak Manto memasuki rumah. Akan tetapi, belum lagi laki-laki itu membuka pintu, muncul sosok laki-laki berwajah tampan dari balik pintu tengah menatap ke arah mereka.

Mata Nindia sempat beradu pandang dengan laki-laki tampan di hadapannya itu. Dia terkagum-kagum memandang makhluk sempurna yang diciptakan Tuhan dimuka bumi ini.

"Siapa dia, Pak Manto?" tanyanya dengan nada datar.

"Ini Non Nindia yang papa Den Kevin ceritakan waktu itu," jawab Pak Manto memperkenalkan dirinya.

Nampak tatapan laki-laki itu meliriknya dari atas sampai bawah sebelum akhirnya menghembuskan napas.

"Owh, jadi ini gadis kampung yang papa ceritakan waktu itu. Ya sudah, cepat bawa dia ke belakang, Pak. Merusak pemandangan ku saja," ucap laki-laki itu membuat kesal Nindia.

"Baik, Den Kevin," jawab Pak Manto memberi isyarat pada Nindia untuk mengikutinya.

Nindia melirik sekilas ke arah laki-laki arogan itu sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya mengikuti Pak Manto.

"Cih, sombong sekali dia. Lihat saja, aku tidak akan bersikap baik padanya," ucap Nindia dalam hati.

Kevin, anak kedua dari keluarga Pak Edward memang terkenal dengan sikap arogan dan keangkuhannya. Mungkin, karena dia merasa orang berada, maka dirinya memandang rendah orang lain. Terlebih, saat melihat kehadiran Nindia yang hanya gadis kampung.

Hari itu Kevin memang terlihat begitu tampan. Meski hanya mengenakan kaos oblong dan celana pendek, tetap saja penampilannya sangat memukau.

Banyak gadis rela antri hanya untuk bisa berkenalan dengan Kevin. Bahkan, mereka rela merendahkan dirinya dihadapan laki-laki itu hanya untuk menarik simpati dan bisa menjadi kekasihnya.

Otak jenius yang dimiliki oleh Kevin menjadi nilai lebih untuk dirinya dalam mengelola bisnis yang digeluti oleh perusahaan milik sang papa. 

Karena itu pula lah, hampir setiap hari baik di rumah ataupun di perusahaan, bertebaran kiriman hadiah dari berbagai pihak, khususnya perempuan untuk memperlancar bisnis mereka ataupun menarik perhatian Kevin. Namun, semua itu tidak begitu saja bisa diterima olehnya.

Dia memiliki standarisasi tersendiri dalam menilai seorang perempuan. Terlebih, jika perempuan itu terlihat murahan. Kevin tidak akan segan mencaci maki dan mempermalukan mereka.

Terlebih, melihat bentuk tubuh Kevin yang atletis, membuat Nindia terpesona. Akan tetapi, semua pikiran itu sirna lantaran sifat angkuh Kevin.

Lagipula, Nindia juga punya standar penilaian tersendiri dalam menilai sosok laki-laki. Dan di matanya, Kevin itu nol besar. Meskipun baru pertama kali melihat, dia sudah dapat menebak bagaimana Kevin sebenarnya.

"Dia pikir, dengan ketampanan saja itu bisa membuatku mengubah penilaian tentang dirinya? Cih, dasar sombong," gerutu Nindia.

Sementara itu, dalam benak Kevin, Nindia hanyalah gadis udik yang baru pertama kali datang ke kota. Tentu saja, hal itu tidak membuatnya merasa tertarik sama sekali.

Saat mereka bertemu, Nindia hanya mengenakan sweater Navy dipadu dress motif bunga kecil berwarna biru muda.

"Kampungan!" desisnya sinis.

Andai Kevin tahu, baju yang dipakai oleh Nindia saat itu adalah baju terbaik yang dibelikan oleh umi panti di pasar tradisional di daerah Klaten. Hal itu sangat berkesan untuknya karena sengaja umi membelikan untuk dipakai saat dia berangkat ke kota kemarin.

Meski berkali-kali membatin tentang betapa kampungannya sosok Nindia di mata Kevin. Dia merasa ada sesuatu yang membuatnya penasaran pada gadis itu. Terlebih, saat pandangan mata mereka bertemu tadi.

Ada getaran samar yang dirasakan dalam hatinya. Namun, tetap saja, Kevin tidak ingin memperlihatkan semua itu dihadapan Nindia, dan tetap memperlihatkan wajah angkuhnya.

Di matanya, Nindia tidak selevel para gadis yang pernah bersanding dengannya selama ini.

Entah mengapa, Kevin tidak bisa menghilangkan bayangan wajah Nindia. Padahal, dia sudah berusaha keras untuk menepisnya.

Di dalam bathroom, Kevin tanpa sadar berkali-kali memikirkan Nindia, matanya gadis itu, bibir gadis itu, anak rambut tipis lembut yang menghiasi kening gadis itu.

Namun lekas-lekas membuang pikiran tersebut, enggan untuk mengingat kembali meskipun dalam benaknya gadis itu terlihat menantang sekaligus meneduhkan sebagai seorang perempuan. 

Kevin menggeleng kepalanya mencoba menghempaskan pikiranya terhadap gadis yang di katain kampungan tersebut.

"Mengapa aku jadi memikirkan gadis kampungan itu?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status