Jakarta terlihat tenang di pagi hari kala Nindia membuka mata, perjalanan malam dari Klaten ke Jakarta membuatnya banyak tidur, meskipun tak terbilang nyenyak untuknya.
Setidaknya dia cukup memejamkan mata dan sesekali melihat lampu malam di luar jendela kaca. Mobil tersebut hanya sekali istirahat di rest area, kemudian kembali menapak ke Jakarta.Nindia terpesona dengan pemandangan yang terpampang di depan matanya saat ini. Bagaimana tidak. Kemarin, dia hanya bisa melihat petak-petak sawah dan pepohonan, dan hanya bisa membayangkan suasana Jakarta dari gambar-gambar yang dia lihat di kalender dan dari cerita orang-orang.Saat ini, dia benar-benar melihat dengan mata kepala sendiri gedung-gedung pencakar langit terpampang jelas berdiri dengan angkuhnya."Selamat datang di Ibu kota Jakarta, Nindia," ucapnya nyaris tidak terdengar.Dengan noraknya dia membuka kaca jendela mobil dan mulai merasakan udara pagi Jakarta yang masih segar. Dia belum mengetahui bagaimana suasana Jakarta di siang hari. Mungkin, jika dirinya tahu, ia akan memilih menutup kaca jendela mobil itu dan duduk dengan tenang.Nindia mulai mengamati satu per satu gedung-gedung pencakar langit yang dilaluinya. Hatinya semakin kagum saat melihat salah satu gedung pencakar langit yang menjulang di mana terdapat logo salah satu stasiun televisi di bertengger kokoh di atasnya."Sudah bangun, Non?" tanya Pak Manto tersenyum padaku."Sudah dari tadi, Pak. Sengaja gak bilang, biar Pak Manto tetap fokus," jawabku menutupi rasa malu karena tertangkap basah mengagumi gedung pencakar langit itu. "Apa masih lama sampainya, Pak?" tanyaku."Sebentar lagi kita sampai. Persiapkan diri bertemu dengan mereka semua, Non," jawab Pak Manto.Nindia tiba-tiba merasakan ketakutan luar biasa mendengar penuturan Pak Manto. Dia harus siap bertemu dengan Pak Edward dan keluarganya. Terlebih, setelah mendengar cerita tentang salah satu anak Pak Edward yang angkuh."Ya Allah, kuatkan hati hamba untuk bertemu mereka," ucapnya disambut tawa Pak Manto."Hahaha, Non Nindia ini ternyata lucu juga. Seperti mau maju berperang saja," ucapnya tertawa."Iih Pak Manto malah ketawa. Aku benar-benar gugup," ucap Nindia merajuk."Hahaha, maafkan bapak. Hanya saja melihat Non Nindia begitu membuat bapak merasa lucu," lanjutnya lagi.Mobil berhenti di sebuah rumah yang cukup besar bagi ukuran Nindia yang tidak pernah melihatnya. Dia semakin kagum saat melihat pintu gerbang berwarna coklat itu terbuka dengan sendirinya seolah-olah ada yang mengendalikan.Matanya tidak berkedip menyaksikan itu semua. Tidak berapa lama, muncul seorang penjaga mendekati mobil dan menyapa Pak Manto ramah, lalu tersenyum saat melihat dirinya.Nindia tidak dapat menyembunyikan kekagumannya atas rumah itu. Setelah Pak Manto menyuruhnya turun, dia menatap ke halaman luas yang berada di dalam rumah.Luas halaman rumah itu mungkin cukup untuk lomba lari orang-orang satu kampung. Nampak pula di kanan kiri halaman terdapat pepohonan rimbun dan terdapat pula tanaman bunga, mempercantik halaman rumah tersebut."Cantik ..." ucap Nindia spontan.Melihat kearah depan, gadis yang baru saja menginjakkan kakinya di Jakarta tersebut, terpaku lantaran melihat rumah mewah design klasik eropa lengkap dengan pilar besar berbentuk silinder berdiri dengan angkuh. Semakin mendekat dada Nindia semakin berdebar, ia seperti tiba di planet asing. Nyali Nindia menciut ketika, dia ingin kabur saja dari kenyataan. Baginya, di panti asuhan, meskipun sederhana, tapi dipenuhi canda dan tawa. Sementara, di rumah ini, hanya segelintir orang yang tinggal.Nindia yakin dia akan merasa kesepian tinggal di rumah sebesar ini. Belum lagi, cerita tentang anak kedua Pak Edward yang menurut penuturan laki-laki itu sangat angkuh dan sedikit arogan. Rasanya, Nindia ingin kembali masuk ke dalam mobil dan meminta Pak Manto mengantarkannya kembali ke panti.Belum-belum, Nindia sudah merasa tidak nyaman berada di rumah ini. Terlebih, tidak ada teman bermain untuk sekedar berbagi cerita. Dia merindukan suasana panti di mana dirinya selalu sibuk dengan berbagai kegiatan bersama penghuni panti lainnya.Teringat akan panti asuhan, Nindia membayangkan apa yang biasa dilakukannya pada jam seperti ini. Biasanya, dia akan sibuk membantu umi mempersiapkan sarapan dan membantu memberi makan bayi-bayi tidak berdosa yang berada di sana.Biasanya, jam segini, panti akan ramai dengan tangis para bayi dan anak-anak yang berlarian di halaman depan panti. Nindia sangat sedih teringat akan mereka semua."Kalian pasti tengah merindukan aku ya ..." ucapnya berkaca-kaca.Terbesit rasa sedih dan penyesalan dalam hatinya. Seandainya kemarin dia menolak beasiswa itu, mungkin saat ini dirinya masih bersama mereka. Namun, dia teringat ucapan Abah dan umi bahwa dirinya harus berhasilPanggilan Pak Manto yang meminta dirinya mengikuti langkahnya memasuki rumah kediaman Pak Edward membuyarkan lamunan Nindia."Ayo masuk. Non pasti capek menempuh perjalanan Klaten-Jakarta. Istirahat dulu sebelum bertemu dengan bapak," ucapnya.Dia pun mengikuti Pak Manto memasuki rumah. Akan tetapi, belum lagi laki-laki itu membuka pintu, muncul sosok laki-laki berwajah tampan dari balik pintu tengah menatap ke arah mereka.Mata Nindia sempat beradu pandang dengan laki-laki tampan di hadapannya itu. Dia terkagum-kagum memandang makhluk sempurna yang diciptakan Tuhan dimuka bumi ini."Siapa dia, Pak Manto?" tanyanya dengan nada datar."Ini Non Nindia yang papa Den Kevin ceritakan waktu itu," jawab Pak Manto memperkenalkan dirinya.Nampak tatapan laki-laki itu meliriknya dari atas sampai bawah sebelum akhirnya menghembuskan napas."Owh, jadi ini gadis kampung yang papa ceritakan waktu itu. Ya sudah, cepat bawa dia ke belakang, Pak. Merusak pemandangan ku saja," ucap laki-laki itu membuat kesal Nindia."Baik, Den Kevin," jawab Pak Manto memberi isyarat pada Nindia untuk mengikutinya.Nindia melirik sekilas ke arah laki-laki arogan itu sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya mengikuti Pak Manto."Cih, sombong sekali dia. Lihat saja, aku tidak akan bersikap baik padanya," ucap Nindia dalam hati.Kevin, anak kedua dari keluarga Pak Edward memang terkenal dengan sikap arogan dan keangkuhannya. Mungkin, karena dia merasa orang berada, maka dirinya memandang rendah orang lain. Terlebih, saat melihat kehadiran Nindia yang hanya gadis kampung.Hari itu Kevin memang terlihat begitu tampan. Meski hanya mengenakan kaos oblong dan celana pendek, tetap saja penampilannya sangat memukau.Banyak gadis rela antri hanya untuk bisa berkenalan dengan Kevin. Bahkan, mereka rela merendahkan dirinya dihadapan laki-laki itu hanya untuk menarik simpati dan bisa menjadi kekasihnya.Otak jenius yang dimiliki oleh Kevin menjadi nilai lebih untuk dirinya dalam mengelola bisnis yang digeluti oleh perusahaan milik sang papa. Karena itu pula lah, hampir setiap hari baik di rumah ataupun di perusahaan, bertebaran kiriman hadiah dari berbagai pihak, khususnya perempuan untuk memperlancar bisnis mereka ataupun menarik perhatian Kevin. Namun, semua itu tidak begitu saja bisa diterima olehnya.Dia memiliki standarisasi tersendiri dalam menilai seorang perempuan. Terlebih, jika perempuan itu terlihat murahan. Kevin tidak akan segan mencaci maki dan mempermalukan mereka.Terlebih, melihat bentuk tubuh Kevin yang atletis, membuat Nindia terpesona. Akan tetapi, semua pikiran itu sirna lantaran sifat angkuh Kevin.Lagipula, Nindia juga punya standar penilaian tersendiri dalam menilai sosok laki-laki. Dan di matanya, Kevin itu nol besar. Meskipun baru pertama kali melihat, dia sudah dapat menebak bagaimana Kevin sebenarnya."Dia pikir, dengan ketampanan saja itu bisa membuatku mengubah penilaian tentang dirinya? Cih, dasar sombong," gerutu Nindia.Sementara itu, dalam benak Kevin, Nindia hanyalah gadis udik yang baru pertama kali datang ke kota. Tentu saja, hal itu tidak membuatnya merasa tertarik sama sekali.Saat mereka bertemu, Nindia hanya mengenakan sweater Navy dipadu dress motif bunga kecil berwarna biru muda."Kampungan!" desisnya sinis.Andai Kevin tahu, baju yang dipakai oleh Nindia saat itu adalah baju terbaik yang dibelikan oleh umi panti di pasar tradisional di daerah Klaten. Hal itu sangat berkesan untuknya karena sengaja umi membelikan untuk dipakai saat dia berangkat ke kota kemarin.Meski berkali-kali membatin tentang betapa kampungannya sosok Nindia di mata Kevin. Dia merasa ada sesuatu yang membuatnya penasaran pada gadis itu. Terlebih, saat pandangan mata mereka bertemu tadi.Ada getaran samar yang dirasakan dalam hatinya. Namun, tetap saja, Kevin tidak ingin memperlihatkan semua itu dihadapan Nindia, dan tetap memperlihatkan wajah angkuhnya.Di matanya, Nindia tidak selevel para gadis yang pernah bersanding dengannya selama ini.Entah mengapa, Kevin tidak bisa menghilangkan bayangan wajah Nindia. Padahal, dia sudah berusaha keras untuk menepisnya.Di dalam bathroom, Kevin tanpa sadar berkali-kali memikirkan Nindia, matanya gadis itu, bibir gadis itu, anak rambut tipis lembut yang menghiasi kening gadis itu.Namun lekas-lekas membuang pikiran tersebut, enggan untuk mengingat kembali meskipun dalam benaknya gadis itu terlihat menantang sekaligus meneduhkan sebagai seorang perempuan. Kevin menggeleng kepalanya mencoba menghempaskan pikiranya terhadap gadis yang di katain kampungan tersebut."Mengapa aku jadi memikirkan gadis kampungan itu?"Senyum sepasang suami istri itu terasa hangat menyambut Nindia di ruang tamu. Sejenak, ada perasaan gundah dalam diri Nindia.Kekhawatiran Yang dianggap wajar bukan hanya pada Nindia yang akan menetap di rumah kediaman keluarga Edward selama dia kuliah di Jakarta.Nindia takut kehadirannya tidak diterima oleh keluarga itu. Terlebih, dengan sikap yang ditunjukkan. oleh Kevin--anak kedua mereka padanya. Namun, Nindia berusaha berpikir positif.Nindia berusaha mengambil simpati dari Tania--istri Edward yang tersenyum menatap ke arahnya. Dia berusaha menunjukkan sikap santun kepada kedua orang tua itu.Nindia melihat istri Pak Edward sangat menyukai kehadirannya. Ibu Tania nampak antusias memperlihatkan kamar yang akan menjadi milik Nindia nanti.Kamar itu kebetulan berdampingan dengan kamar milik Jeremy--anak ketiganya. Sementara, dua kamar lainnya menjadi tempat menginap untuk para tamu."Anggap aku sebagai ibumu sendiri. Jangan sungkan untuk menceritakan segala hal padaku," ucap Ibu Ta
Jeremy, mendadak mengerem langkahnya, ketika melewati kamar yang terbuka di sebelah kamarnya.“Aha…Bidadari pagi!” celetuknya, yang membuatnya mangkal dengan satu siku menyandar diambang pintu.Tidak peduli isi perbincangan mereka berdua yang jelas baginya ini adalah anugrah di pagi hari. Seorang gadis dengan mata bulat sayu, hidung mancung tegas, bulu matanya dan alis yang masih orisinil, rambutnya lurus terurai hitam panjang dengan penjepit mungil mengikat sebagian rambutnya.Jeremy mengusap matanya. Meyakinkan bahwa ini bukan mimpi baginya. Selama dia berada di ambang pintu, selama itu pula ia mencuri pandang mengamati. Tawa manis gadis yang belum disapanya. Jeremy terpesona sembari berucap pelan, “Masih adakah gadis cantik seperti ini tanpa riasan menor tapi tapi sudah begitu cantik?” Jeremy tersenyum tipis sambil menggelengkan kepalanya.Di depan sana, bibir mungil polos tanpa polesan sama sekali, seperti memiliki magnet yang menghisapnya.Apalagi, saat gadis tersebut berbicara
Dibalik kemudi, Kevin terngiang perkataan mamanya. Tapi, dia memilih tidak ambil pusing perkara tersebut.Baginya, Miranda adalah wanita kesenangan yang siap digauli kapan saja tanpa harus memikirkan status atau komitmen. Sama seperti perempuan lain yang dekat dengannya selama ini.Kevin memang sengaja mencari perempuan-perempuan yang memiliki pemikiran sama dengannya.Tentu saja tidak sulit bagi dia menemukan satu atau dua perempuan dalam waktu yang bersamaan tanpa harus terpikir untuk menikah kemudian punya anak.Menikah adalah hal berat menurutnya. Kenapa harus memiliki ikatan, ketika kedua belah pihak sudah cukup bahagia dan saling menguntungkan pikirnya.Baginya, satu-satunya tujuan berhubungan dengan perempuan hanya persoalan biologis, tidak lebih.Lagipula, belum tentu dalam perjalanan pernikahan dia atau sang perempuan, perasaan saling mencintai itu akan awet. Bisa jadi, diantara mereka akan tertarik dengan yang lain. Hal justru akan melukai perasaan pasangannya. Sebenarnya,
Tania tengah sibuk di ruang tengah memilah baju yang dipesan dari butik langganannya untuk Nindia. Ibu tiga anak tersebut bak memiliki anak perempuan lagi, Nindia seolah seperti manekin yang siap di dandani mengikuti perkataan Tania. Nindia tak banyak protes dia mengikuti semua arahan dari Tania. “Ini sepertinya oke di kamu sayang” menempelkan satu stel baju berwarna biru muda di tubuh Nindia. “Tapi tant… maaf..ma, apakah ini tidak terlalu sempit untuk Nindia?” Jawab Nindia malu karena tidak terbiasa menggunakan celana ketat.“Ini bagus sayang,tidak terlalu ketat, pas ukurannya di kamu, iya kan bi Ratri?” Tanya Tania minta dukungan. “Iya non cocok banget, wis pokok e nyonya Tania gak bakal salah pilih” Jawab Ratri menyakinkan.Kevin yang memperhatikan mereka saat menuruni anak tangga, seolah terusik dengan kegiatan yang mereka lakukan. “Mama sedang apa sih?” Tanya kevin, protes seolah tak rela mamanya melakukan semua itu. “mama sedang pilihkan baju untuk Nindia, agar besok
POV Kakek WidjayaSejak malam itu aku tak pernah sekalipun melupakan mata itu, mata sayu yang selalu membayangi malam-malamku, meskipun aku telah bersama orang lain namun dia tetaplah cawan canduku. “Lisa,,tak sedetikpun ku lupa akan dirimu” “Akankah gadis itu cucu Lisa, yang mana merupakan cucu kandungku? Aku telah menggagahinya berkali-kali ketika suaminya tengah berada di luar kota. Apakah mungkin? “Aku dipisahkan dari kekasihku Lisa ketika kami telah menjalin hubungan lebih dari tujuh tahun. Saat itu, keluarga kami tidak memiliki apa-apa yang untuk meminang Lisa. Semantara keluarga Lisa menginginkan seorang menantu yang mampu mencukupi kebutuhan Lisa,, sekaligus kebutuhan keluarga.Datanglah seorang laki-laki bernama Timo, meskipun saat itu Timo telah memiliki dua istri, namun tetap tak menyurutkan keinginan keluarga Lisa untuk menyerahkan anak gadisnya kepada Timo, laki-laki yang kurang ajar menurutku. Pada kenyataannya Lisa tak pernah mendapatkan perlakuan manis, malahan di
Pagi ini Edward sedikit gusar lantaran obrolan dengan ayahnya semalam, seusai makan bersama. Beliau mengingatkan kepada Edward untuk mengatur Kevin agar lebih bisa menghargai perempuan terutama Nindia. Widjaya beranggapan Kevin terlalu dimanja oleh orang tuanya, sehingga dia tidak mampu berempati kepada penderitaan orang lain, terutama orang-orang yang berada di bawah garis kemiskinan.Selama ini Kevin memang tercukupi dari segi materi, bahkan untuk membiayai gaya hidupnya yang cenderung hedon. Atau mengadakan pertemuan dengan teman-temannya yang hampir dilakukannya setiap pekan. Ketika mendapat perkataan dari Kakek Kevin tersebut, Edward merasa begitu gagal sebagai seorang ayah yang seharusnya mendidik Kevin tidak hanya kognitif saja, namun tentu dia berharap bisa mendidik Kevin dari sisi emosional. Saat Tania memasangkan dasi Edward, laki-laki itu berkata kepada istrinya. “Sayang, menurutmu jika Kevin selalu bersinggungan dengan Nindia, apakah dia bisa memberikan pengaruh positi
Tok.. tok…tok…!“Gadis bodoh keluar kamu! aku sudah terlambat”. Teriak Kevin dari luar kamar Nindia.Tak ada suara sama sekali dari dalam, Nindia kelihatannya memang belum bangun. “Hey gadis tuli, bangun kamu, kau dengar aku tidak?!”Teriaknya sekali lagi. Diguncang- goncangnya gagang pintu Nindia, hingga membuatnya terbuka tanpa sengaja. Kevin langsung saja masuk dalam kamar Nindia, tanpa permisi, tanpa instruksi dari sang pemilik kamar. Di atas kasur terlihat Nindia yang masih tertidur, gadis tersebut baru saja tidur setelah subuh.Akhir-akhir ini Nindai memang memiliki banyak tugas yang harus diselesaikan, dia sering menutup mata setelah fajar menjemput. Hanya saja kali ini dia sama sekali tidak mendengar alarm berbunyi. Bahkan saat Kevin datang membangunkannya. “Nindia…”Kevin memanggil nama gadis tersebut, namun Nindia tak juga lekas membuka mata. Seperti mendapat kesempatan emas pria itu duduk di samping Nindia, dengan sangat hati-hati. Senyum Kevin mengembang sembari dibela
Kring.. Kring.. Kring..“Halo”“Abah Riantiarno ada?”Suara berat seorang laki-laki terdengar di seberang sana, kala itu Puspa sedang bertugas membantu Abah mengoreksi pekerjaan siswa di ruang kerja, tangannya terhenti saat mendengar telepon yang mencari pimpinan yayasan mereka.“Abah masih mengajar di sekolah, apakah ada keperluan mendesak? Nanti saya sampaikan” balas Puspa. Saat ditanya demikian orang di seberang sana terdiam, solah berpikir apa yang hendak ia sampaikan, sementara hal yang ingin dia gali adalah informasi rahasia yang memang harus ditanyakan secara langsung. “Jam berapa Abah biasa pulang? ““Biasanya ba’da ashar sudah sampai di rumah” Sahut Puspa. “Kalau begitu saya akan datang sore ini” Jawab Laki-laki di seberang, segera ingin mengakhiri percakapan. Buru-buru Puspa mendesaknya dengan pertanyaan perihal nama, namun laki-laki tersebut kembali terdiam, tak lekas memberi jawaban. Jeda suara yang dirasa tak wajar oleh Puspa membuatnya berpikir macam-macam. Sement