Share

CHAPTER 3 Kemewahan Yang Mau Tak Mau Harus Dinikmati

Senyum sepasang suami istri itu terasa hangat menyambut Nindia di ruang tamu. Sejenak, ada perasaan gundah dalam diri Nindia.

Kekhawatiran Yang dianggap wajar bukan hanya pada Nindia yang akan menetap di rumah kediaman keluarga Edward selama dia kuliah di Jakarta.

Nindia takut kehadirannya tidak diterima oleh keluarga itu. Terlebih, dengan sikap yang ditunjukkan. oleh Kevin--anak kedua mereka padanya. Namun, Nindia berusaha berpikir positif.

Nindia berusaha mengambil simpati dari Tania--istri Edward yang tersenyum menatap ke arahnya. Dia berusaha menunjukkan sikap santun kepada kedua orang tua itu.

Nindia melihat istri Pak Edward sangat menyukai kehadirannya. Ibu Tania nampak antusias memperlihatkan kamar yang akan menjadi milik Nindia nanti.

Kamar itu kebetulan berdampingan dengan kamar milik Jeremy--anak ketiganya. Sementara, dua kamar lainnya menjadi tempat menginap untuk para tamu.

"Anggap aku sebagai ibumu sendiri. Jangan sungkan untuk menceritakan segala hal padaku," ucap Ibu Tania pada Nindia.

"Terima kasih karena ibu dan bapak sudah mau menerima diriku dengan baik di rumah ini. Jujur, aku sangat terharu," jawab Nindia dengan mata berembun.

Ibu Tania langsung memeluk erat diriku. Entah mengapa, aku merasakan kehangatan sosok ibu dalam dirinya.

"Mulai sekarang, panggil aku dengan sebutan mama, dan panggil suamiku dengan sebutan papa. Kau sudah kami anggap sebagai putri kandung sendiri," pintanya tulus dan semakin membuat Nindia  menangis haru.

Nindia dapat melihat bagaimana sikap Pak Edward dalam menyambut kedatangannya. Laki-laki itu seperti Abah. Ia tidak banyak bicara. Sementara, Ibu Tania--istrinya nampak sangat mendominasi.

Hal itu dapat dibuktikan dari bagaimana Ibu Tania sangat antusias menceritakan tentang ketiga anaknya pada Nindia.

Nindia sangat mengagumi interior yang ada dalam kamar miliknya. Dari luar, rumah kediaman Pak Edward dirancang dengan gaya Eropa klasik. Akan tetapi, saat memasuki dalam rumah, nampak gaya modern mendominasi seluruh ruangan, termasuk kamar miliknya.

Nindia merasa sangat beruntung bisa mengenal keluarga ini. Mereka sangat memperhatikan detail apa saja yang dibutuhkan olehnya saat ini. Mulai dari dekorasi kamar dengan tempat tidur besar, mengingatkan Nindia akan kedua temannya di panti.

"Inggit dan Pipit pasti akan senang jika berada di sini. Ah, aku akan mengajak kalian suatu saat nanti," ucapnya tersenyum merindukan mereka.

Kamar pribadi Nindia dilengkapi kamar mandi sendiri. Yang lebih menakjubkan, dia juga mempunyai balkon sendiri untuk menikmati pemandangan di luar rumah dari balkon kamarnya.

"Nindia, semua koleksi yang ada dalam lemari ini adalah milikmu. Maaf, mama belum banyak membelikan barang karena tidak tahu  ukuran baju yang kau pakai. Next time, kita ke mall dan belanja semua kebutuhan mu," ucap Ibu Tania saat menunjukkan lemari yang berisi tas, sepatu dan pakaian untuknya.

"Ini sudah lebih dari cukup, Tante. Seharusnya, Tante tidak perlu membelikan barang sebanyak ini untuk Nindia. Rasanya, belum pantas Nindia menerima ini semua," ucap Nindia dengan mata berkaca-kaca.

"Kau pantas mendapatkannya, Nindia. Satu hal lagi, jangan panggil aku dengan sebutan Tante lagi. Panggil 'mama'," ucap Ibu Tania padanya.

"Terima kasih, M-mama ..." jawab Nindia terbata.

Nindia mengerti,  istri dari Edward ini hanya ingin menunjukkan ketulusan mereka dalam menerima kehadirannya di keluarga besarnya. Sekaligus memperlihatkan kesungguhan keduanya untuk memberikan beasiswa padanya

Jauh hari sebelumnya, Edward--suaminya sudah menceritakan kepada dirinya semua tentang Nindia--anak panti yang ditinggalkan oleh orang tuanya semenjak dia masih bayi.

Itu yang mendorong Tania memberikan kasih sayang lebih untuk Nindia. Dia juga tidak menyangka, gadis yang akan tinggal bersamanya sangat cantik dan manis, meski tanpa polesan make up di wajahnya.

Begitu juga dengan Nindia, terlepas dari laki-laki sombong yang menyebutnya kampungan di awal mereka bertemu Nindia sangat kagum dengan kecantikan mamanya. Tania terlihat santun dan baik hati.

Nindia melihat kecantikan terpancar dari wajah istri Edward tersebut. Meski tanpa polesan make up, wajahnya tetap merona sempurna.

Menurut penuturan Abah dan umi, suami istri itu menikah di usia mereka yang masih sangat muda. Jadi, wajar saja jika Nindia sangat mengagumi kecantikan wajah perempuan yang ada di depannya kini.

"Istirahatlah ... Mama tahu pasti kamu cape. Biar bibi mengantar sarapan ke kamarmu nanti," ucapnya berlalu dari hadapan Nindia.

Setelah Nindia memastikan istri Edward pergi, ia kembali menyentuh dan mengagumi semua yang ada dalam kamarnya. Nindia masih tidak percaya akan apa yang dilihatnya saat ini.

Belum lagi interior kamar mandi dengan dinding berlapis marmer memberikan nuansa natural dan mewah.

"Classy ..." gumam Nindia lirih.

 Ada juga meja belajar. Terlihat dua rak buku bersusun membuat garis siku-siku. Rak tersebut sudah berisi beberapa buku yang nampak bagai perpustakaan berjalan untuknya.

"Akhirnya, aku mempunyai perpustakaan pribadi impianku selama ini. Tapi, mengapa dan untuk apa mereka melakukan hal ini padaku? Padahal, aku bukan siapa-siapa," ucapnya dalam tanda tanya.

Selagi Nindia berpikir keras, dia tidak menyadari ada seseorang memasuki kamarnya dengan membawa nampan berisi sarapan dan segelas susu juga air mineral.

"Kata siapa non Nindia bukan siapa-siapa dalam rumah ini? Siapa yang berani mengatakan hal itu?" ucapnya mengagetkan Nindia yang langsung menoleh ke arahnya.

Tanpa memberikan kesempatan pada Nindia untuk menyapanya, perempuan setengah baya itu melanjutkan ucapannya dengan semangat yang berapi-api.

"Non Nindia itu spesial buat bapak dan ibu. Jadi, wajar saja jika mereka memberikan yang terbaik," ucapnya.

Nindia kembali menatap wajah perempuan itu dengan tatapan aneh dan tidak mengerti. Sepertinya, perempuan itu menyadari kesalahannya dan mulai memperkenalkan dirinya.

"Aduh, maaf. Bibi terus bicara tanpa memperkenalkan diri sebelumnya.  Perkenalkan saya Ratri istrinya Pak Manto yang jemput non Nindia tadi," ucapnya malu.

Nindia langsung beranjak menyalami bu Ratri, sembari memasang senyum manis kepada perempuan tersebut,

Persis seperti yang dikatakan Pak Manto. Istrinya ini memang punya gaya humor yang tinggi. Nindia langsung menjawab perkenalannya,

“Iya bu Ratri. Pak Manto sudah cerita soal ibu waktu perjalanan kemari, salam kenal ya bu."

Merasa masih satu suku, istri Pak Manto ini pun terus menceritakan semua hal tentang kehidupannya selama bekerja di rumah kediaman majikannya itu. Bagaimana perlakuan baik mereka pada ia dan suaminya.

Salah satunya cerita bu Ratri mengenai Kevin anak laki-laki pak Edward yang sukses membangun bisnis ayahnya yang akhirnya digandrungi banyak perempuan.

 “Non Nindia tau apa itu majalah namanya? Aduh … Ratri lupa Korbres apa ya non. Halah susah banget itu nama yak," bu Ratri seolah berpikir mengingat nama majalah tersebut.

Kemudian Nindia menimpali, “Forbes kah bu?”

Spontan Bu Ratri membenarkan, “Iya itu non! halah susah sekali namanya non,  pokoknya itulah."

Dengan semangat Bu Ratri bercerita kalo kevin jadi pengusaha sukses di bawah usia tiga puluh dan masuk kedalam majalah tersebut. Ratri kemudian melanjutkan dengan kehidupan pribadi Kevin. 

“Tapi sayang non, dia ndak mau menikah. Dulu sempat punya pacar hanya saja pacarnya lebih memilih menikah dengan teman mas Kevin, yah akhirnya dia ndak mau menjalin hubungan pernikahan."

Beberapa kali Kevin memang dekat dengan perempuan. Namun, jika di minta mamanya untuk menikah dia selalu mengelak, dengan jawaban yang sama.

 Dia belum siap untuk sebuah hubungan. Membangun komitmen bagi dia sungguh berat terlebih dia tidak ingin terikat.  

Meskipun Tania selalu berkata kepada Kevin setiap kali membawa perempuan ke apartemennya, Tania minta untuk lekas menikahi salah satu dari perempuan tersebut.

Tapi Kevin menolak permintaan mamanya tersebut. Bagi Kevin hubungan yang mereka jalani berdasar suka sama suka, tidak ada tuntutan komitmen diantara mereka. Jadi, tak perlu diributkan karena  semua tidak ada masalah.

Bu Ratri akhirnya mengeluh sendiri, “ saya sudah tidak paham tentang pemikiran orang-orang jaman sekarang non, mereka memiliki hubungan layaknya suami istri tapi tidak menginginkan pernikahan, lha ya apa tidak pengen gendong anak ya non?” Bu Ratri sedikit komplain.

“Ya kita tidak bisa memaksakan satu pemikiran kepada orang lain bu, kecuali memang dia berubah pikiran” Nindia berkata perlahan kepada Bu Ratri.

“Ya kalo di desa saya, wis sudah di arak satu kampung itu non, langsung di panggilkan penghulu, di nikahkan di tempat wis tidak perlu banyak cing cong."

Menyadari penutup kalimat terakhir Bu Ratri membuat mereka tertawa bersama Tanpa mereka sadari diambang pintu ada seseorang yang memperhatikan mereka berdua, seorang laki-laki.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status