“Tampannya.” Chloe Ansell dengan hati-hati menggendong bayi laki-laki. Dia tersenyum senang. “Halo, ini Oma, sayang.” Dia berbicara lembut pada bayi yang tidur nyaman dalam gendongannya.
Bella menatap Chloe dengan senyum lemahnya. Dia sudah masuk ruang rawat inap. Herman dan Chloe memaksa Bella untuk dirawat hingga benar-benar pulih agar dapat pulang dengan baik.
“Bella, kamu mau dibawakan apa? Lena akan ke sini.” Chloe bertanya. Namun, dengan mata menatap bayi dalam gendongannya takjub. “Sudah lama sekali aku tidak menggendong bayi. Terakhir gendong saat Lena bayi.” Kemudian dia tertawa mengenang masa itu.
“Tidak perlu, Nyonya.” Bella menjawab pelan.
Chloe menoleh. Alisnya terangkat. “Tidak mau apa pun? Sungguh? Kalau begitu susu saja ya? Akan kusuruh Lena membeli susu ibu menyusui. Ya?”
Bella tersenyum sungkan. “Saya tidak ingin merepotkan.”
“Tidak.&r
“Saya tidak pernah mengatakan pada Nyonya bagaimana anak ini bisa saya kandung.” Bella berkata lirih. Dia sebenarnya malu tetapi dia harus mengatakannya. Terlebih lagi setelah majikannya berkata bahwa dia adalah bagian dari keluarga. Sembilan bulan dia bekerja di rumah besar itu, tidak sekalipun mereka bersikap jahat padanya. Mereka sangat baik pada Bella.Chloe tersenyum pada ucapan Bella. Wanita itu dengan sabar menunggui Bella mengatakan hal selanjutnya.“Ma,” ucap Lena menyela pembicaraan. “Aku keluar sebentar. Ingin beli kue bolen di seberang jalan rumah sakit ini.”Chloe mengangguk. Lena tanpa menunggu ucapan Bella, segera keluar dari ruangan itu. Dia merasa tahu diri untuk tidak menguping pembicaraan Ibunya dan Bella yang sudah dia anggap sebagai saudara sendiri. ‘Pastilah Bella malu jika aku mengetahui masa lalunya. Lebih baik aku keluar saja membeli makanan.’ Begitulah yang dipikirkan oleh Lena. Gadis itu berjalan santai menuju keluar dari rumah sakit tersebut.“Jika belum si
“Kamu yakin pada keputusanmu, Bella?” Herman menanyakan berulang kali pada Bella yang duduk di hadapannya sementara Samudera tidur di kereta bayi di sampingnya seraya digerakkannya maju mundur secara berulang. “Saya yakin, Tuan,” jawab Bella serius. Herman menoleh pada Chloe. Dia bertanya pada istrinya melalui tatapan mata. “Bella,” Chloe akhirnya bertanya setelah terdiam beberapa saat. “Kami menganggapmu seperti anak kami sendiri maka dari itu kami lebih memilih mencari asisten rumah tangga baru agar pekerjaanmu lebih ringan. Bukannya mengusirmu. Sungguh.” Bella tersenyum sopan. “Saya tidak berpikir seperti itu, Nyonya, Tuan,” jawabnya. “Ini memang keinginan saya sejak memiliki Samudera.” Keputusannya sudah bulat dan sudah dia pikirkan sejak jauh-jauh hari. Dia pun sudah mengumpulkan uang selama tinggal di rumah besar itu. Sudah lebih dari satu tahun semenjak dia pertama kali menginjakkan kaki ke rumah besar itu. Dan selama itu, dia tidak menghabiskan banyak uang untuk membeli apa
“Apa?” Bella berusaha menegaskan apa yang didengarnya. “Maksudmu?”Komunikasi antara Darrel dan Bella tidaklah begitu intens dan intim. Dia berkomunikasi dengan Darrel seperti biasanya. Memberi kabar jika ingin menitipkan uang pada Timo atau sekedar menanyakan keadaan pria itu.“Ya,” jawab Darrel. Pria itu mengangguk. “Aku ingin kita menikah. Aku melamarmu menjadi istriku.”Mata Bella berkedip beberapa kali. Dia begitu terkejut dengan apa yang diutarakan oleh Darrel barusan. Pria itu datang jauh-jauh dari Semarang untuk melamarnya. Bella menutup mata dan menghela napas pelan. Dia harus berpikir baik-baik mengenai ini.“Sejak lama aku memang menaruh hati padamu, Bella.” Darrel berkata lagi. “Aku ingin menikahimu agar kamu tidak hidup kesusahan lagi. Aku janji akan membahagiakanmu, Bella. Terlepas dari masa lalumu, aku tidak akan mengungkitnya.”Bella membuka matanya lalu duduk di kursi terdekat. Dia memang memberikan kabar apa pun pada Darrel selama tinggal di Jakarta. Itu dia lakukan
“Samudera, sebentar ya. Mama rapikan satu buket bunga lagi.” Bella melirik putranya yang berada dalam boks bayi berukuran besar. “Kalau sudah selesai, kita main.” Kemudian Bella tertawa melihat putranya tersebut menguap lebar.Dihampirinya Samudera dan dengan lembut direbahkannya anak itu. “Tiduran sebentar, ya, nanti Mama temani,” ucapnya. Diberikannya empeng agar tidak rewel.Tidak berapa lama, ponsel yang dia letakkan di atas meja kerjanya berbunyi. Tanpa melihat siapa peneleponnya, dia menjawab, “halo?”Bella sedang sibuk di toko bunga. Bulan Februari. Bulannya penuh cinta. Pesanan di toko bunganya mulai membludak. Orang-orang berdatangan untuk memesan buket bunga padanya sebab dia menjual bunga premium.“Halo?” Bella mengulangi lagi sapaannya. Alisnya berkerut melihat nama pemanggilnya.‘Ada apa sih dengan Darrel?’ batinnya. Antara sebal karena sudah menganggunya bekerja dan khawatir terjadi apa-apa dengan pria itu.“Darrel?” panggil Bella lagi ketika pria itu tidak kunjung menja
“Mama bilang kamu selalu pulang larut malam, Nona?”Lena mendongak menatap Bella. Gadis itu sedang bermain dengan Samudera di toko bunga.“Yah, aku suntuk di rumah.” Lena mengangkat bahu. Kembali dia mengajak Samudera bayi bermain di boks bayinya.“Kenapa bisa suntuk?” Bella bertanya dengan tangan sibuk merangkai bunga. Alunan musik dari pianis ternama dunia mengalun lembut dari pengeras suara yang sengaja dia pasang di sudut toko bunga tersebut. “Nona memiliki segalanya.”Lena cemberut mendengar itu. Diputar matanya dengan tangan masih memegang mainan Samudera yang berbunyi lonceng. “Kamu tidak ada di rumah. Itulah yang membuatku suntuk. Tidak ada temanku,” ujarnya.“Mama khawatir padamu, Bella.” Bella berkata. Diletakkan bunga matahari yang dipegangnya di meja kerjanya lalu duduk di kursi tidak jauh dari Lena dan Samudera bermain.“Tapi, Bella,” ucap Lena dengan nada yang sedikit defensif. “Aku sudah 16 tahun. Sudah besar. Aku punya alat-alat pertahanan diri di dalam tasku.”Bella m
“Bella, apa kamu baik-baik saja?” Lena melambaikan tangannya pada Bella yang terdiam cukup lama. ‘Apakah pertanyaanku memberatkannya?’ pikir Lena bingung. Dia memerhatikan Bella yang masih terdiam. ‘Aku sepertinya salah bertanya.’ Lena berdehem. “Tidak perlu dipikirkan. Maaf, Bella.” Akhirnya dia berusaha untuk mengalah.Bella mengedipkan matanya. Dia menghela napas pelan. Diselipkan anak rambutnya ke belakang telinga demi menghilangkan rasa tidak nyaman dalam dirinya ketika mengingat Evan. “Aku baik-baik saja, Lena,” jawab Bella lembut. Dia menoleh pada bunga-bunga yang belum selesai dikerjakan. “Aku hanya berpikir tentang banyaknya pesanan bunga yang harus diproses,” pungkasnya.“Maaf.” Lena berkata lagi. Dia tidak enak hati melihat Bella yang sepertinya enggan mengatakan bagaimana ciri-ciri ayahnya Samudera.Bella mencoba tersenyum. Dia mengerti dengan apa yang ditanyakan Lena. Dia tidak akan menyalahkan Lena. Gadis itu menurutnya mesti tahu. “Tidak apa-apa,” tukas Bella. “Aku dan
“Tidak ada kabar ke mana Isabella pergi. Saya sudah bertanya pada tetangga sekitarnya juga, Tuan.”Penuturan informan itu membuat Evan menarik napas pelan dan menghembuskannya perlahan. “Jadi benar begitu, Dave?” bisik Evan. Berharap suaranya tidak terdengar di telinga Jacob yang duduk di sebelahnya.“Benar, Tuan,” jawab Dave. “Bella sudah tidak ada di Semarang. Tidak ada yang tahu.”“Sudah tanya orang tuanya?” Evan masih bertanya dengan setengah mendesak. Ada sedikit harapan dalam nada suaranya.“Sudah.” Dave menjawab mantap. “Bapaknya bahkan tidak peduli jika anaknya itu mati.”Evan memejamkan mata mendengar kata mati disebutkan oleh Dave dengan mudahnya. Walau begitu, dia tidak akan amrah pada sang informan yang sudah susah payah mencari informasi untuknya.“Baiklah,” tukas Evan pelan. Dia tidak tahu harus mencari gadis Isabella itu di mana.“Apakah Tuan ingin saya mencari ke tempat lain? Jawa Barat?”Evan berdehem. Tawaran itu tampak menggiurkan untuk diterima. Tawaran yang begitu
“Halo, Ma?”“Bella!” Chloe menyapa dengan riang. “Apa kabarmu, Nak? Mana Samudera?”Bella tertawa pelan. “Kabarku baik, Ma.” Dia tersenyum pada Lena yang menatapnya penasaran. “Samudera sedang berada di rumah temannya, Ma. Tetangga sebelah rumah.” Dia berusaha berkata dengan mudah.“Kenapa tidak kamu bawa ke rumah saja, Bella?”Bella menghela napas pelan. ‘Pastilah Mama akan mengatakan itu padaku. Seperti Lena.’ Batinnya.“Jangan sungkan untuk menitipkan Samudera di rumah, Bella, jika kamu sibuk sekali.” Chloe berbicara panjang lebar. “Mama atau Papa dengan senang hati bermain bersama Samudera, sudah sangat lama sekali rasanya tidak bertemu anak lucu itu.”Bella tertawa. “Tidak lama juga, Ma,” ucapnya. “Seminggu lalu baru saja mampir.” Diakhirinya dengan terkekeh.“Itu sudah lama, Nak.” Chloe berdecak. “Kamu benar tidak bisa datang?”“Maaf, Ma.” Bella benar-benar meminta maaf sungguh-sungguh. Jika pesanan bunga hanya satu atau dua buket hari ini, dia pastilah akan datang. Dia ingin ta