Share

Penyusup

"Siapa yang menyuruhmu?"

Suara dingin Ezra mendominasi ruangan gelap juga mencekam di markas, pria dengan pakaian lengkap serba hitam, juga penutup wajah yang telah disingkap itu hanya menunduk seperti tak ingin bersitatap dengan Ezra.

"Siapa yang mengutusmu untuk mencelakai saya?"

Hening!

Pria itu memilih bungkam, sekali pun kaki dan tangannya telah diikat pada kursi, juga sudut bibir, hidung yang berdarah, rupanya ia belum mau buka suara selain rintihan kesakitan.

"Hey, apa kau tak mendengar pertanyaannya?" Kini William angkat suara, ia muak dengan penjahat di hadapannya, matanya sudah menatap tajam pria pecundang yang masih menundukkan kepala di hadapan mereka.

Hingga satu tendangan berhasil membuat penjahat tadi terjengkang. William tak bisa menahan amarahnya, Ezra juga tak mencegah perbuatan Willy, sebenarnya ia pun sama geramnya, tapi masih bisa mengontrol diri untuk tidak mengotori tangannya sendiri.

Pria tadi terbatuk darah, tak ada yang peduli. Ezra setengah berjongkok di dekat pria yang belum mereka ketahui namanya.

"Kau masih bermain-main, ya? Saya heran, mengapa orang itu mengutus pecundang seperti kamu. Sekali pun kau tangguh dalam pertarungan, tak ada gunanya jika kau menundukkan pandangan di hadapan musuh. Sebaiknya kembali ke rumah dan bersembunyi di balik rok wanita."

Kalimat keras dari Ezra mampu memantik amarah pria itu, ia kini berani menatap Ezra lekat.

"Kau tersinggung? Kau memang pengecut."

Ezra mengulang ucapannya dengan tawa sinis.

"Siapa yang menyuruhmu melakukan ini? Pertanyaan terakhir sebelum aku memberimu kesempatan untuk menghirup udara untuk yang terakhir kalinya."

Suasana kembali diam.

"JANGAN MEMBUANG WAKTUKU!!"

Satu tembakan berhasil mengenai lengan kirinya. Ezra tak sabar lagi. Ia menarik kerah pria itu dan membuatnya kembali duduk.

"KATAKAN ATAU AKU AKAN MELENYAPKANMU SEKARANG!"

"Tuan Darren."

Cengkeraman di kerah baju pria itu terlepas. Ezra sedikit menjauh, dan memunggungi suruhan Darren. Pria itu hilang entah ke mana sampai di hari kematian Nathan waktu itu, dan sekarang ia mengerti, Darren juga ingin menyingkirkannya, itu nyatanya Darren masih ada di sekitar sini, sekitar Italia.

Sudut bibir Ezra terangkat.

"Urus dia! Saya akan ke rumah sendiri."

"Baik, Tuan."

Ezra melangkahkan kakinya keluar dari markas, ia mendengar suara pukulan demi pukulan di belakangnya, sampai pintu markas itu tertutup. Kendaraan roda empat miliknya sudah menunggu sedari tadi, Ezra mengemudi seorang diri menuju rumah, ia tahu berjalan tanpa keamanan terkesan berbahaya, tapi ia tak peduli.

Rumah mewah di hadapan menyambutnya pertama kali. Sepanjang jalan masuk tak ia temukan Alana, wanita itu mungkin belum pulang dan ia tak tahu ke mana, tak mungkin juga berada di kantor.

"Tuan, ada surat dari nona Audrey."

Salah satu pelayan menyerahkan sepucuk surat yang diterima Ezra tanpa kata. Ia menatap kertas itu dan membukanya perlahan, tak perlu khawatir ada yang mengintip, siapa pun tak akan berani mendekati Ezra.

[Tolong jangan ke kafe! Ini jebakan.]

Ezra terdiam lagi, apa maksudnya ini. Isi surat juga isi pesan dari Audrey berbeda, semakin memperkuat dugaannya jika memang ada yang tidak beres saat ini.

Ezra berlalu ke kamar, tujuannya adalah benda pipih lebar yang ia simpan dengan rapat. Ya, selain menunggu kabar dari anak buahnya yang ia utus ke rumah Audrey, ia juga perlu melacak kebenarannya sendiri.

Ezra berselancar di sana, menatap serius, tapi alisnya bertaut heran. Suasana rumah Audrey baik-baik saja dan normal, tak ada yang aneh sama sekali, lalu apa maksud perbedaan pesan Audrey ini.

Ponselnya berdering, nama Lucas terpampang.

[Ada kabar baik?] tanya Ezra langsung tanpa basa-basi.

[Tidak ada aktivitas apa pun di dalam. Kediaman nona Audrey kosong.]

Cukup jelas, sekarang ia tahu ini jebakan. Sepertinya memang Darren ingin menabuh genderang perang dengannya. Ia kembali meninggalkan kamar, tujuannya adalah salah satu markas yang tak bisa dideteksi musuh, tempat khusus ciptaan Nathan yang paling terahasia.

Tapi, di depan pintu langkahnya terhenti di depan Alana, wanita itu menatap Ezra kemudian kembali membuang pandangannya.

"Bersikaplah seperti orang miskin! Kau terlalu bertingkah padahal baru mendapatkan posisi ini," bisik Alana tanpa menatap Ezra, ia tetap mempertahankan citranya sebagai ibu terbaik di hadapan semua orang, termasuk di depan pelayannya.

Ezra meraih punggung tangan Alana, di kondisi seperti ini, wanita itu tak mungkin menepis tangan Ezra. Ia masih mempertahankan senyum palsunya.

"Saya kasihan, entah sampai kapan ibu bertahan dalam kepura-puraan."

Ucapan Ezra justru mampu membuatnya kesal lagi, akhirnya tubuh kokoh tegap itu berlalu dan menghilang bersamaan dengan deru mobil yang semakin menjauh.

Sepanjang jalan, Ezra sebenarnya ingin sekali menangis, bahkan ia tak mampu mengambil kasih sayang ibunya sendiri, merasa diasingkan dan dimusuhi. Ia hanya butuh sosok Alana, tapi bukan di versi serakah.

Memang Ezra sudah bisa menggenggam harta juga kedudukan Nathan untuknya, tapi kasih sayang Alana, satu inci pun ia tak mampu meraihnya.

"Ibu, aku janji akan mengembalikan semua keadaan, dan menjadi satu-satunya putra yang bisa mendapatkan cinta kasihmu," lirihnya bermonolog sendiri.

Lagi, ia mengingat di mana ia dibesarkan, di lingkungan pedesaan dengan kekerasan. Wanita yang ia pikir ibunya, ternyata tak lebih hanya seorang pelayan wanita yang menculiknya dari rumah sejak bayi, karena mendengar ancaman Alana dan Darren yang ingin melenyapkannya.

Sekali pun ia ditempa dengan kekerasan oleh wanita itu, nyatanya berkat mantan pelayan di keluarganya tersebut, ia masih hidup sampai kini.

Kalimat terakhir yang membawanya ke kota, masih teringat jelas.

"Ya. Aku bukan ibu kandungmu. Aku hanya pelayan yang menculikmu. Sekarang, pergilah ke kota, keluargamu adalah orang yang paling berpengaruh di Italia. Tak banyak yang bisa kuceritakan, mereka adalah golongan berbahaya yang sangat ditakuti sampai sekarang. Aku harap setelah ini, kau tak menyeretku lebih jauh, tugasku merawatmu sudah selesai. Pergi dan cari jati dirimu sendiri, kau akan menemukan mereka."

"Siapa nama orang tuaku?"

"Aku tak berani menyebut nama mereka, pergi dan cari sendiri. Jangan pernah kembali ke sini karena itu hanya akan membahayakan posisiku juga putraku!"

Tak terasa ia sudah sampai di depan markas, mobilnya ia arahkan masuk ke garasi. Sepatu hitam mahal menyentuh lantai, pelan tapi pasti pintu markas terbuka lebar. Satu-satunya bangunan sepetak yang akan lebih terlihat seperti toko tak terpakai yang cukup jauh dari keramaian.

Di dalam memang hanya ada ruangan kosong. Tapi, ketika tangan Ezra ditempel pada dinding, pintu rahasia terbuka, membuat Ezra masuk ke dalam.

Beberapa barang bukti kejahatan Alexander, Darren, Alana, dan musuh-musuh tersembunyi Nathan masih tersimpan rapi pada tempatnya masing-masing. Papan tempat foto-foto musuh Nathan berjejer rapi di sana, ada beberapa yang telah dicoret merah, tapi masih banyak yang aman dari coret merah, itu tandanya Ezra harus meneruskan misi Nathan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status