Share

Sahabatan Yuk!

Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa kini Adyatma Mahavir Alanka Bagaskara q sudah duduk di bangku kelas enam SD. Ia tumbuh menjadi pria cerdas yang pendiam, sangat mewarisi wajah Bagaskara yang tampan dan rupawan. Hanya saja sifatnya malah bertolak belakang. Pendiam dan sangat hemat kata, tak suka keramaian, apa lagi menjalin pertemanan. Hidupnya kaku dan berjalan monoton tanpa warna.

Sepasang langkahnya berjalan perlahan keluar gerbang. Ia tak sabar menunjukan nilai hasil ulangannya kepada  Marisa. Dengan sedikit berlari kecil, ia menuju pak Harry  yang tengah menunggu di depan sekolah, namun terdengar seorang perempuan memanggilnya dari belakang.

“Dy, tunggu!” teriak Audrey.

Ady menoleh perlahan. Sebenarnya ia malas meladeni gadis ini, dari suara cemprengnya saja ia sudah mengenalinya. Seorang anak perempuan seangkatannya. Anak perempuan yang hingga saat ini selalu berusaha mencari perhatian Adyatma. Dari dulu hingga sekarang, sifat Audrey tak pernah berubah. Ia cengeng, tukang mengadu, cerewet, tetapi ada satu yang Adyatma suka darinya, ia periang.

“Kenapa?” tanya Ady ketus.

 “Ya, udah, kalau enggak ngomong, gue tinggal.”

“Buru-buru amat, sih, Dy?” sambung Audrey yang tampak sedang mengatur nafas.

“Dy tega!”

“Apaan, sih? Enggak jelas.”

“Tungguin, Dy!”

“Adyatma, bukan Dy!”

“Terserah deh.”

“Sebenarnya, ada apa, sih?”

“Nilai ulanganmu berapa?” tanya Riri membuat Ady merasa dongkol.

“Ya, ampun! Ngejar-ngejar dari tadi cuma mau tanya nilai ulangan? Enggak penting , deh!

“Duh, pelit!”

“Bodo amat!”

“Pokoknya Dy sombong,” ketus Riri seraya melipat kedua tangannya di dada.

 “Adyatma, bukan Dy. Ngaco, deh!” tegas Ady sedikit sebal karena sapaan Riri. Bahkan panggilan aneh itu sudah ia dengar sejak pertama kali menginjakkan kaki di sekolah dasar favorit ini. Kupingnya panas, bahkan ia jengah

“Itu kan panggilan kesayangan,” kilah Riri.

Ady tampak makin kesal dan mengabaikan Riri yang masih terengah-engah. Tiba-tiba gadis itu mencoba memegang pergelangan tangannya, membuat Ady refleks menepisnya tak suka. Apa-apaan gadis ini. Seenaknya saja menyentuh tanpa persetujuan.

“Ehh ….”

“Iya, maaf.”

“Kenapa, sih?” tanyanya mulai jengah. Jika hanya bertanya tentang nilai, untuk apa repot-repot mengejar. Ia pikir gadis ini terlalu agresif dan aneh. Lihat saja bagaimana tingkahnya setiap melihat Ady. Hanya membuat risih, ia akui paras Riri memang cantik, tapi jika terlalu agresif juga ia tak minat untuk mendekati.

Audrey menyodorkan jari kelingkingnya pada Ady. Membuat keterkejutannya bertambah. Tingkah Riri seolah semakin membuatnya pusing.

“Iya, aku tahu itu jari,” ujarnya dingin. Riri berdecak kesal tapi tak juga melepaskan kelingkingnya.

“Maksudnya bukan itu, Dy.”

“Terus, apa?”

“Mau jadi sahabatku?”

Mendengar perkataan terakhir Riri  membuatnya tampak berpikir sejenak. Bagaimana mungkin orang sedingin dia mempunyai sahabat perempuan? Tetapi, sebenarnya hanya Riri satu-satunya perempuan yang masih bersedia mendekati Ady di sekolah meskipun baginya, gadis ini adalah orang sangat mengganggu karena selalu membuat  keributan di kelas.

“Dy, kok bengong?” tegur Riri yang melihat Adyatma melamun.

“Ah, iya, aku duluan, ya!” pamitnya sambil berlari meninggalkan Riri. Seolah menghindari pertanyaan konyol yang mustahil untuk dilakukan.

“Loh, pertanyaanku belum dijawab?” lontar Riri kecewa.

“Maaf,  aku enggak bisa!”

Ady berlalu meninggalkan Riri yang masih berdiri dengan raut wajah bingung. Padahal ia sudah berharap banyak agar Adyatma mau menerimanya menjadi sahabat, meski kenyataannya ia melakukan ini atas dasar suka dan rasa yang tak dapa diterka.

“Harus berapa tahun lagi aku nungguin kamu, Dy,” gumam Riri tak sadar jika air matanya sudah menggenangi pelupuk mata. Dengan gontai ia berjalan menuju mobil sang sopir, dan terus menatap Ady lewat kaca.

***

Sejak melihat ekspresi Riri yang menggemaskan tadi, seakan membuat sisi dingin Ady mencair. Ia sama sekali tak menyadari bahwa telah ada benih cinta yang perlahan tumbuh di hatinya untuk seorang gadis periang seperti Riri.  Detik berganti detik, menit berganti menit, tak disangka ternyata Adyatma telah mematung melamun tentang Riri hingga sebuah tepukan di pundak mengejutkannya.

“Hayo, melamun siapa?” tanya Marisa menggoda. Ia ikut duduk di samping cucunya sambil meletakkan nampan dengan dua gelas jus jeruk  segar serta sepiring camilan. Siang terik membuat tenggorokan mereka mudah merasa kering.

“Ehh, Oma. Duduk sini!” sahut Ady penuh malu. Marisa tersenyum hangat dan mulai menyeruput jus jeruk itu. Namun pandangannya masih tertuju pada Ady  dengan tatapan tajam, kemudian mengangguk perlahan seperti tengah mengetahui sesuatu.

“Ohh, oma tahu sekarang.”

“Hah? Apa yang oma tahu?” balas remaja tampan itu setengah  panik. Ia takut jika Marisa mengetahui tentang alasan mengapa ia tersenyum sendirian dari tadi.

“Oma tahu kenapa cucu oma yang tampan ini tersenyum!”

Raut wajah Ady berubah menegang. Ia heran, dari mana neneknya bisa tahu apa yang ia pikirkan. Apa jangan-jangan Marisa memang ahli dalam membaca pikiran orang. Dalam hati ia berdoa memohon dan menjerit, semoga rahasia hatinya tertutup dengan rapat kali ini. Hilang sudah kewibawaan yang selama ini dipertahankan.

“Pasti nilai ulanganmu bagus lagi, kan!”

Ady bernapas lega. Diberikannya hasil ulangan tadi kepada Marisa. Wanita tua yangasih cantik di usia nya tersebut, tersenyum bahagia melihat nilai hasil ujian Adyatma yang bagus. Ia mengecup keningnya sembari memberikan ucapan selamat. Namun tiba-tiba Marisa batuk-batuk dan memegangi dadanya. Ady panik karena melihat neneknya tampak sesak napas, kemudian ia segera memanggil  Harry untuk mengantarkan Marisa ke rumah sakit.

Di sepanjang jalan, tak henti-hentinya Ady berdoa untuk neneknya itu. Marisa mencoba meyakinkan Ady bahwa ia baik-baik saja. Tetapi lama kelamaan batuk Marisa bercampur darah. Ady berteriak pada  Harry untuk melajukan mobil dengan sedikit cepat. Suasana panik tampak sangat terlihat jelas. Ia tak ingin kesehatan Marisa terganggu.

Saat  tiba di rumah sakit. Ady berusaha memapah tubuh Marisa. Namun, tiba-tiba Marisa ambruk. Beberapa perawat mulai mendekati dan memberikan pertolongan pertama mereka. Marisa segera di bawah ke ruangan ICU untuk ditangani lebih lanjut.

Pak Harry mencoba menenangkan cucu majikannya, namun tak dihiraukan. Janji Ady untuk tidak menangis lagi kini ia ingkari. Ia tak bisa menahan air matanya. Waktu sudah berjalan sekitar tiga jam, namun belum ada satu perawat yang keluar memberitahu kondisi Marisa padanya hingga terdengar azan asar. Dengan penuh harapan, Ady melangkahkan kakinya beranjak menuju Musala rumah sakit untuk salat dan mendoakan kondisi neneknya.

Bahkan ini harapan terakhirnya sekarang. Ia tak dapat membayangkan jika orang terdekatnya malah dipanggil untuk yang ke sekian kali. Dengan tangis serta kedua tangan yang menengadah. Ia berharap akan dikabulkan setiap permintaannya.

“Ya Allah, sembuhkanlah oma. Ady tidak mau oma kenapa-kenapa. Ady mohon. Lagi pula hamba belum sempat membahagiakannya. Hamba mohon sekali ini saja!”

Belum usai ia dengan doanya, terdengar suara  Harry memanggil dari luar Musala. Ady menyudahi doanya dan buru-buru menemui  Harry. Raut gembira terpancar, membuat Ady yakin bahwa doanya sudah terijabah.

“Den, nyonya besar memanggil,” ujar pak Harry.

Harry membuntuti Ady yang tiba-tiba berlari menuju ruang ICU. Marisa yang terbaring lemah memberikan isyarat kepada cucunya untuk mendekat dan memberi pesan kepadanya.

“Belajar yang rajin ya, biar jadi pengusaha sukses seperti papamu. Ada perusahaan yang harus kau kelola di Bandung, Nak. Oma sudah memberitahukan kepada tangan kanannya untuk menyerahkan perusahaan itu padamu ketika kau telah lulus SMA.

Perusahaan yang berada di sini juga sudah ada orang kepercayaan yang menangani. Kau boleh mengambil dan mengurusnya kapan pun kau mau. Oma tidak kuat lagi. Kelak, jika kau memilih istri, pilih wanita yang setulus dan sesederhana ibumu, Clarissa,” paparnya dengan suara parau seolah tengah menahan kesakitan. Ady menggeleng cepat, ia tak mau ini menjadi kali terakhirnya bersama Marisa.

“Oma, Ady mohon jangan berkata seperti itu lagi!” pecah sudah tangisnya sekarang.

“Satu lagi, anggap pak Harry seperti kakekmu sendiri ya, Nak. Dia yang akan menjagamu setelah ini. Oma juga sudah menelepon bibi Inah untuk datang besok agar ia bisa mengurusi keperluanmu.”

“Oma, ku mohon hentikan! Apa maksud, oma? Oma tidak akan meninggalkanku, bukan?” pekiknya membuat Harry tak bisa menahan tangis.

“Maafkan, Oma. ”

Marisa menyerahkan sebuah liontin  bermata putih kepada Ady. Meletakkan itu di telapak tangannya dengan tangan yang sedikit gemetar.

“Ini kalung warisan turun-temurun. Serahkanlah pada istrimu kelak. Sampaikan salam oma padanya.”

“Oma, jangan seperti ini. Ady tak mau kehilangan lagi.”

Tak lama kemudian Marisa mengalami sesak napas kembali.  Tiga orang suster dan seorang dokter memasuki ruangan. Memeriksa keadaan Marisa yang terlihat mulai kritis. Ady dan Harry diinstruksikan untuk keluar ruangan. Waktu terasa berjalan begitu cepat, dan keadaan Marisa kian memburuk hingga tidak sadarkan diri.

Tidak berlangsung lama, hal yang ditakutkannya pun terulang. Ditinggal pergi orang yang ia sayangi. Ady menjerit seakan tidak terima ketika dokter keluar dari ruang ICU, dan hanya meninggalkan salah satu perawat yang menutupi tubuh Marisa dengan kain. Ady memberontak dan menangis sejadi-jadinya. Pak Harry berusaha menenangkan Ady, dan syukurlah, perlahan ia  mulai bisa mengendalikan diri.

Setelah mengurus biaya dan dokumen rumah sakit, Harry mengajak Ady pulang, karena jenazah neneknya akan diantarkan dengan ambulan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status