Share

Suasana Baru

~ Luka baru semakin perih, seperti disiram paksa oleh air keras, membuat luka yang telah tersayat semakin melepuh dan menggila. Tak ada pemandangan yang lebih pilu dari ini, ketika harus melihat kebahagiaan mereka di saat aku tak lagi memiliki sesiapa. ~

Angin menggoyangkan daun yang seolah tengah melambai, satu-persatu daunnya berguguran, menghiasi jalan dengan warna daunnya yang terlihat lebih mencolok dari biasanya, suara kicauan burung juga mampu didengar meski kini dipadu dengan suara kendaraan yang masih melaju dengan stabil. Anak lelaki itu hanya diam, wajahnya terus terpaku ke luar jendela, seolah menikmati pemandangan meski kenyataannya hampa.

Bahkan ia tak tahu seperti apa rasanya sekolah, ia berharap semoga saja teman sekolahnya tak terlalu berisik hingga membuat gendang telinganya pecah nanti. Tak membutuhkan waktu lama, mobil yang mereka tumpangi telah berhenti di depan gerbang yang tak terlalu menjulang, beberapa ruang kelas bertingkat terpampang jelas dan indah. Marisa tersenyum lega dan segera turun dari mobil. Tapi, pemandangan ini jelas tak bisa ia baca. Ady sedari tadi tak bergerak dan terus saja mengamati dari balik kaca. Satu hal yang membuat batinnya meronta, sesuatu yang dilihat Ady pasti menjadi satu hal yang paling menyakitkan sekarang.

“Turun, yuk! Nanti telat loh masuk kelas barunya,” tukas Marisa pada Ady kecil. Tapi, ia masih terpaku, bagaimana mungkin ia harus melihat pemandangan ini, hampir semua siswa seusianya tengah bersenda gurau, bahkan melakukan drama kecil yang manja bersama ibu dan ayah, ada yang menjerit tak ingin ditinggal, ada yang tertawa terpingkal-pingkal ketika digoda ayahnya, ada juga yang sibuk memasukkan kotak bekal yang semula dikeluarkan dari dalam tas.

Pemandangan indah tapi terasa sakit bagi Ady, ia merasa tak adil sekarang. Marisa mengembuskan napas berat dan mulai membujuk Ady sekali lagi. Beruntung kali ini ia menurut, memegang erat jemari Marisa seolah enggan lepas, bahkan mungkin juga ingin menunjukkan bahwa ia juga diantar orang yang paling mencintainya sekarang.

“Angkat kepalamu, Jagoan! Ady jagoan papa.”

Tiba-tiba Ady mendongak semangat ketika mendengar suara Pravat, bahkan tak jauh dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat Pravat dan Clarissa yang kini memakai pakaian serba putih, tengah melambai ke arahnya seolah memberi semangat. Anak lelaki itu tersenyum senang dan ikut melambai ke arah ilusi yang dibuatnya sendiri.

“Oma pulang dulu ya. Nanti kakek Harry bakal jemput lagi ke sini. Belajar yang rajin ya cucu oma!” ucap Marisa seraya mengecup kening Ady lembut. Anak lelaki itu mengangguk antusias ketika melihat kelas barunya yang rapi dan bersih, banyak sekali hiasan di dinding yang akan membuat ia nyaman.

Tapi sayangnya, sekolah tak seperti yang ia bayangkan. Seolah berada di tengah hutan, kebisingan di mana-mana dan semakin tak terkendali. Banyaknya siswa tak menjamin ia tenang, bahkan tak ada siswa pendiam yang ia temui di sini. Ady mendengkus kesal sambil menutup rapat kedua telinganya karena merasa terganggu.

Suara tangisan dari seorang gadis kecil berkepang dua itu seolah menguasai setiap sudut ruangan, bahkan jika Ady perhatikan, tak ada satu pun yang mengusik ketenangan gadis cengeng itu. Ia terus saja menangis dan mengencangkan volumenya membuat gendang telinga Ady hampir pecah. Tapi, sepertinya menutup telinga saja tak cukup. Ia harus menutup mata karena banyaknya siswa yang berlarian ke sana ke mari, derit meja dan kursi membuat giginya sedikit ngilu.

“Argh berisik!” sungutnya. Tapi, siapa yang akan mendengarkan? Semua sibuk dengan urusannya saat ini. Hingga dewi penyelamat itu datang, menangani kekacauan dan membuat suasana mendadak tenang dan senyap. Ady bisa bernapas lega sekarang, tapi suara sesenggukan dari gadis cantik berkepang dua itu masih terdengar berisik meski hanya perlahan, tak lagi menggila seperti tadi.

"Assalamualaikum, anak-anak!" sapa guru cantik bernama Janne pada murid kelas satu sekolah dasar itu ramah. Ia mengamati wajah lucu dan imut setiap anak didiknya dan kini terpaku pada gadis cantik berkepang dua yang matanya sembap.

"Waalaikumsalam, Bu guru!" para murid menjawab serempak.

"Loh, kok malah ada yang menangis? Namamu siapa, Sayang?"

"Aurora, Bu guru. Tapi bisa dipanggil Rara,” balasnya masih dengan Isak tangis yang terdengar pilu.

"Rara, kenapa menangis? Kan seru bisa dapat teman yang banyak di sini!"

"Mama ninggalin Rara di sini." Ibu guru hanya tersenyum, lalu mengusap kepala gadis kepang dua itu perlahan.

"Nanti, mama datang lagi kalau jam belajarnya selesai. Lihat yang lainnya! Mereka semua akan jadi teman Rara.”

Rara mengangguk paham. Ia kini sudah mulai tenang dan duduk di kursinya tepat di sebelah Ady. Sekilas ia menoleh ke arah anak lelaki itu dan melambaikan tangannya. Ady terlihat tak acuh dan melempar pandangan ke arah lain dan membuat gadis kecil itu berdecak sebal.

"Baik anak-anak, kita mulai sesi perkenalan dulu ya. Tetapi sebelum itu, ibu guru mau tanya sama kalian semua dan jawabannya tidak boleh sama, ya!"

"Iya, Bu guru."

"Apa yang akan kalian lakukan jika ada yang merebut hak milik kalian?"

Siswa berbadan gempal mengancungkan telunjuknya.

"Siapa namamu, Nak?"

"Vero, Bu!"

"Apa jawabanmu, Vero?"

"Vero akan mencubitnya, karena berani merebut mainan Vero."

Semua yang berada di kelas tertawa, kecuali Ady.

"Wah, kejam sekali. Selanjutnya!"

Aurora mengancungkan jemarinya.

"Apa jawabanmu, Rara?"

"Rara, akan menggelitiki dia karena berani berantakin istana pasir Rara."

"Wah, nanti dia geli dong."

"Biarin, Bu. Siapa suruh, nakal."

Pertanyaan terus berlanjut. Banyak murid-murid yang mengancungkan telunjuknya, kecuali Ady. Janne memperhatikan anak didiknya yang hanya diam sedari tadi.

"Nak, siapa namamu?"

"Ady, Bu guru."

"Apa jawabanmu?"

"Jawaban apa bu guru?"

"Apa yang akan Ady lakukan, jika ada yang merebut hak milik Ady?"

Seketika bayangan pembunuhan orang tuanya melintas begitu saja. Percikan darah, erangan, jeritan, dan bunyi tembakan berdengung ditelinganya. Anak lelaki itu menggeleng tegas seakan ingin menepis kenangan pedih itu.

"Ady,” panggil Janne sembari menunggu jawaban Ady dan membuat anak lelaki itu sedikit terperanjat.

"Bu guru. Ady mau ke kamar mandi!" pintanya memaksa.

Bu Janne hanya tersenyum dan mengentarkan Ady kepada salah satu guru yang kebetulan lewat, menyuruhnya untuk menemani Ady ke kamar kecil. Anak lelaki itu mulai berjalan tergesa dan mengunci pintu toilet rapat-rapat, menyalakan keran air agar suaranya tak terdengar hingga ke luar. Wajahnya menatap ke arah kaca dan menumpahkan tangisnya di sana. Yang ia ingat hanya luka dan dendam yang terus saja membekas, patah hati terbesarnya yang terjadi ketika ia masih membutuhkan mereka semua.

Ia ingat jelas bagaimana Pravat selalu menyebutnya jagoan, tak ingin membiarkan anak lelakinya menangis begitu saja.

"Ayo, Sayang. Kamu pasti bisa,” ujar  Pravat memberi semangat kepada Ady.

Karena asik melihat Pravat yang heboh sendiri, Ady yang  baru belajar mengayuh sepeda barunya oleng dan terjatuh. Buru-buru Pravat berlari menghampiri anaknya yang sedang memegangi lututnya yang lecet dan berdarah.

“Sakit, Papa!” Adyatma merengek sambil menunjukkan lutut kirinya yang lecet.

“Ady enggak mau main sepeda lagi. Ady enggak mau jatuh lagi!" sungutnya meluapkan penyesalan. Melihat itu membuat Pravat tersenyum tipis dan menjawil pipi Ady dengan gemas.

"Masa jagoannya papa nangis. Yuk semangat lagi! Jagoan ngga boleh cengeng!”

"Ady, Jagoan Papa!" lanjut Ady menirukan perkataan ayahnya. Kini ia menyeka air mata yang tadi sempat tumpah ruah, mencuci wajahnya hingga segar kembali. Berusaha menguatkan dirinya sendiri bahwa anak lelaki tak boleh cengeng.

Seperti yang telah Marisa janjikan, Harry kini telah menunggu cucu majikannya di depan gerbang, Ady melangkah cepat dan masuk ke dalam mobil. Padahal yang Harry lihat, teman sebaya Ady terlihat berusaha untuk berinteraksi dengannya.

Harry hanya menggeleng pelan. Mungkin karena cucu majikannya terlampau tampan, itu sebabnya gadis kecil berkepang dua selalu saja berusaha untuk mencari perhatiannya. Mobil tiba di rumah dengan cepat, dengan tergesa Ady keluar, memeluk erat Marisa dan meluapkam kerinduannya, lalu membiarkan Marisa melepas seragam barunya.

“Bagaimana teman-temannya di sekolah, pasti menyenangkan ya?” tutur Marisa sembari memakaikan Ady baju ganti. Lalu membawa perlengkapan sekolahnya menuju kamar sang cucu, langkahnya diikuti Ady karena anak lelaki itu terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu.

“Ady seperti di hutan. Mereka berisik, cengeng, ngga bisa diam dan Ady ngga suka,” sungut Ady langsung tidur di pangkuan Marisa. Wanita tua itu mengusap lembut kepalanya.

“Pokoknya Ady ngga mau sekolah lagi,” lanjutnya membuat Marisa tertawa kecil.

“Kalau Ady ngga sekolah, gimana bisa jadi orang sukses?”

“Tapi mereka berisik,” keluhnya lagi.

“Mereka itu anak baik seperti Ady. Makannya kenalan dulu biar bisa akrab! Lama kelamaan juga mereka bosan membuat kegaduhan, dan cucu oma akan terbiasa dengan setiap suasana. Ya udah kita ke bawah yuk makan siang dulu! Pasti Ady lapar kan?”

“Iya, Oma.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status