Share

Di mana Andin

Hari demi hari, bulan, dan tahun pun cepat berlalu. Bayangan Marisa masih membekas di benak Ady. Sulit sekali untuk dilupakan. Namun, ia juga harus mengingat pesan Marisa untuk menjadi pengusaha sukses seperti ayahnya, Pravath.

Usianya kini telah menginjak 17 tahun, dan sebentar lagi ia akan segera lulus SMA. Tinggal menghitung jam, kabar kelulusan akan segera diumumkan lewat radio.

Sore itu, Ady duduk di tepi kolam, ditemani sebuah radio dan secangkir teh hangat buatan Bik Inah. Pandangannya menerawang jauh ke depan, kemudian beranjak menuju kolam ikan milik Marisa yang saat ini ia rawat sendiri. Dulu, biasanya Marisa yang menaburkan makanan ikan dan Ady hanya mengangkat daun kering yang masuk ke dalam kolam. Momen itu membuatnya rindu pada Marisa. Suara dan gaya bicara Marisa seperti masih bisa Ady dengar dengan jelas. Ia mengeluarkan kalung pemberian Marisa yang ia kenakan dari balik baju, hingga saat ini, kalung itu selalu ia pakai.  

“Di mana kau, Rara? Sudah enam tahun lamanya sejak hari itu, kau tiba-tiba menghilang.” Ady menarik napas sejenak, lalu menghembuskannya perlahan ketika bayangan Rara pun muncul dalam benaknya.

Ady tertunduk kala mengingat setiap senyum Rara, dan hal konyol yang dilakukan Rara ketika Ady sama sekali tak menggubrisnya. Timbul sedikit perasaan menyesal di diri Ady. Kenapa ia bersikap berlainan dengan perasaannya terhadap Rara, dan malah selalu memasang wajah datar ketika bersamanya. Dulu, tiba-tiba Rara pindah sekolah dengan sebab yang Ady tidak ketahui. Ingin rasanya ia mencari keberadaannya saat ini. Tapi, ia tak tahu keberadaan Rara sekarang. Gadis itu di mana, apa ia sehat, dan apa kesibukannya selain sekolah. Ady tak tahu. Andai saja ia mengiyakan ajakan Rara untuk menjadi sahabatnya, mungkin saat itu mereka sudah bertukar nomor ponsel.

“Rara, di mana kau?” jerit Ady dalam hati.

Namun, seketika itu juga lamunannya buyar ketika mendengar namanya disebut dalam daftar yang lulus ujian di radio. Ia tersenyum puas ketika mengetahui bahwa namanya berada di urutan pertama seperti biasanya. Otak cerdas ayahnya memang sepenuhnya menurun kepada Ady. Ia berteriak girang dan berlarian di dalam rumah. Membuat bik Inah serta Harry masuk dan tergopoh-gopoh, karena  penasaran dengan teriakan Adyatma.

“Kenapa, Den?” tanya bik Inah penasaran.

“Bik, Ady juara pertama lagi,” jelas Ady.

“Apa, Den?”  sambung pak Harry antusias.

“Ady juara pertama lagi!” tukas Ady menjelaskan.

“Alhamdulillah,”  sahut bik Inah dan Harry secara bersamaan.

“Wah, kakek bangga padamu, Den.” imbuh  Harry menegaskan.

“Bibi juga ikut senang, Den. Andai nyonya di sini, pasti beliau juga bahagia ya, Den!” lanjut  bik Inah.

“Terima kasih, Bik, Kek. Iya, oma juga pasti tahu kalau Ady berada di urutan pertama lagi,” pungkas Ady.

Hari itu, Adyatma sangat susah mengungkapkan suasana hatinya. Rasa bahagia tampak terpancar jelas dari raut wajah tampannya. Ia sudah membayangkan bagaimana penampilannya nanti ketika memakai jas ala kantoran, apa ia akan seperti ayahnya? Ah, mengingat hal itu hanya membuatnya tersenyum geli.

Inah dan Harry terlihat antusias dengan keberhasilan Adyatma. Untuk merayakannya, mereka memutuskan untuk membuat pesta kecil-kecilan yang hanya dihadiri teman sekolah Ady, tentunya kali ini Inah tak ingin memesan makanan jadi. Ia mau memasak sendiri dengan menu yang tidak sedikit.

Entah kenapa, ia mulai menganggap Ady layaknya anak kandung. Rasa iba dan sayang itu muncul ketika dua anak majikannya meninggal dunia. Adyatma sendiri memang pendiam dan tak banyak bicara. Tapi, itu tak berlaku jika di rumah. Tanpa sungkan atau risih, Ady juga menganggap Ina dan Harry adalah orang tuanya.

Bukankah selama ini hanya mereka berdua yang mengurusi Ady setelah Marisa tiada. Mendadak ia kembali dibuat terkejut ketika melihat Rara berdiri di pinggir kolam ikan, tersenyum manis, dan melambai ke arahnya.

“Rara?”

Baru saja hendak beranjak, bayangan Rara menghilang dari pandangan. Sekarang ia tahu, baru saja dirinya mengalami halusinasi karena rindu yang tak tahu diri. Dirinya tersipu, menggenggam erat kalung pemberian Marisa, yang akan ia berikan pada Rara ketika takdir mempertemukan mereka.

“Semoga kau baik-baik saja di sana, Ra!” batinnya memohon. Sepasang langkahnya masuk ke dalam, matanya juga berbinar senang ketika mengetahui Inah dan Harry akan merayakan kelulusannya. Tanpa lelah, Inah memasak, meski ditawari untuk membantu, Inah malah menolak dan menyuruh Ady untuk diam dan beristirahat saja.

“Terima kasih. Setelah ini, aku janji tak akan menyusahkan mu, Bik,” ujarnya lirih. Inah terdiam dan menghentikan aktivitasnya sejenak, lantas menoleh pada majikan mudanya.

“Loh, kenapa? Den Ady mau pecat bibi?” tanyanya parau. Ady menggeleng pelan dan menyunggingkan senyumnya.

“Enggak, Bik. Ady mau cari istri biar bisa bantuin bibi. Masa Ady pecat bik Inah,” balasnya meyakinkan.

“Eh, memangnya sudah punya target, Den? Kan selama ini bibi perhatikan, den Ady malah ngga pernah teleponan sama pacar.”

“Belum ketemu, Bik. Nanti ya kalau ketemu, Ady ajak ke rumah.”

“Cantik ya, Den?”

“Bibi godain Ady terus ih. Terus bibi sama pak Harry kapan nikah?”

Sekakmat!

Mendadak Inah bungkam dan menahan senyum malu. Akhirnya Ady bebas dari pertanyaan menjebak yang diberikan Inah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status