/ Fantasi / Miliknya Di Antara Dua Dunia / BAB 2 — RITUAL MALAM KE-13

공유

BAB 2 — RITUAL MALAM KE-13

작가: Ayla
last update 최신 업데이트: 2025-06-10 00:50:50

Ada malam yang biasa.

Ada malam yang sakral.

Dan ada malam ke-13.

Di mana waktu tak sekadar berdetak, tapi berdarah.

Seraphine bangun di tempat tidur yang terbuat dari kelopak mawar hitam. Hangatnya bukan berasal dari api, tapi dari kehadiran ribuan roh yang tak terlihat, berkeliaran di sekelilingnya seperti angin yang berbisik dosa.

Ia mengenakan gaun yang tak pernah disentuh tangan manusia—anyaman benang malam dan cahaya bulan mati. Di balik jendela lengkung kamarnya, dunia tak berwarna. Hanya gradasi kelabu, ungu tua, dan merah darah yang menyisa.

Dan di tengah semuanya—berdiri Kaelith Nocturne.

Raja Malam. Penguasa dunia bawah.

Dan sekarang, pemilik nasib Seraphine.

“Bangunlah. Waktunya dimulai,” katanya. Suaranya berat, tidak sekadar suara pria, tapi gema dari zaman sebelum penciptaan.

Seraphine tidak bertanya. Tidak mengeluh. Tidak takut.

Ia tahu malam ke-13 bukan waktu untuk manusia biasa. Tapi ia tak pernah merasa jadi manusia sejak awal.

Kaelith menuntunnya ke aula tengah istana Varethar. Pilar-pilarnya terbuat dari tulang-tulang raksasa yang mati saat para dewa masih muda. Langit-langitnya dipenuhi lukisan pertempuran antara makhluk berkepala dua dan ratu bersayap gagak.

Di tengah aula, ada lingkaran.

Dan di tengah lingkaran itu: cermin hitam.

“Ini bukan ritual untuk menjadikanmu bagian dari kami,” Kaelith menjelaskan.

“Ini untuk memaksa dunia mengaku bahwa kau milik malam.”

Seraphine melangkah masuk. Setiap langkahnya menciptakan gema—bukan dari suara, tapi dari memori yang terbangun. Cahaya dari cermin hitam mulai menyala, mencerminkan sesuatu yang bukan dirinya.

Bukan wajahnya.

Bukan masa lalunya.

Tapi kemungkinan-kemungkinan yang ia tolak untuk percayai.

Dalam pantulan cermin, Seraphine melihat:

Dirinya berdiri di atas tumpukan jenazah para bangsawan.

Darah mengalir dari mahkota yang ia kenakan.

Bibirnya berbisik mantera yang membelah bumi.

“Ini bukan ramalan,” kata Kaelith. “Ini tawaran.”

Tapi cermin juga menampilkan sisi lain.

Dirinya memeluk seorang gadis kecil yang menangis.

Di belakangnya, langit terbuka oleh cahaya.

Ia menangis—untuk pertama kalinya—sebagai manusia.

“Dan ini ancaman,” Kaelith melanjutkan, suaranya serak namun dalam.

“Pilihannya bukan antara baik dan jahat. Tapi antara siapa yang kau relakan mati terlebih dahulu: dunia atau dirimu sendiri.”

Seraphine berdiri di antara keduanya.

Antara mahkota berduri dan cahaya yang melukai.

Dan ia tahu: tidak ada jalan kembali.


Saat ritual mencapai puncaknya, langit di atas Varethar terbelah. Petir ungu mengoyak udara, dan salju merah turun perlahan.

Cermin retak.

Lingkaran menyala.

Dan dari retakan itu, keluar tiga sosok berjubah kelam.

Mereka adalah Penatua Malam, pemegang hukum kuno yang lebih tua dari Kaelith sendiri. Tak ada wajah di balik tudung mereka. Hanya suara.

“Kenapa kau bawa anak ini ke Varethar, Kaelith?”

“Ia belum memilih sisi.”

“Ia belum menyerahkan hatinya.”

Kaelith tidak bergeming.

Tatapannya dingin. Tapi tangannya menggenggam tangan Seraphine dengan perlahan, lalu memutarnya menghadap para penatua.

“Karena dunia sudah memilihnya lebih dulu,” katanya.

“Dan aku hanya mempercepat prosesnya.”

Penatua pertama mengangkat tangannya. Darah menetes dari ujung jari.

“Kalau begitu, biarkan ia memilih… dengan darahnya sendiri.”


Seraphine ditarik masuk ke dalam cermin retak.

Di sana, ia sendirian. Tak ada Kaelith. Tak ada Penatua.

Hanya suara-suara dari masa lalu yang tak pernah ia ucapkan dengan lantang:

“Kenapa Ibu harus mati?”

“Kenapa aku harus hidup?”

“Apa artinya lahir jika hanya untuk dibenci?”

Dalam ruangan itu, Seraphine berhadapan dengan dirinya sendiri—versi lain yang mengenakan gaun putih, berwajah damai, bermata terang.

“Kau bisa memilih menjadi cahaya,” kata sang bayangan lembut.

“Menjadi pengampun.”

“Tapi aku bukan pengampun,” balas Seraphine.

“Aku pembakar.”

Ia mencabut belati dari rambutnya—yang entah sejak kapan ada di sana—dan menghujamkannya ke dada versi dirinya yang bersinar.

Cermin pecah.

Dunia terbalik.

Dan Seraphine keluar dari ritual bukan sebagai manusia, tapi sebagai anak malam yang diakui dunia bawah.


Ketika ia membuka mata lagi, ia sudah duduk di singgasana kedua di samping Kaelith. Mahkota tipis dari duri malam menghiasi rambutnya. Darah masih mengalir dari telapak tangannya, tapi sekarang menguap menjadi bunga hitam yang tumbuh dari lantai istana.

Kaelith menoleh kepadanya.

Untuk pertama kalinya, ia bicara dengan suara yang lebih lembut.

“Bagaimana rasanya menjadi milik malam?”

Seraphine tersenyum—dingin, namun megah.

“Lebih baik daripada menjadi milik dunia yang ingin membunuhku.”

Dan malam pun bersorak.

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   BAB 100 — NAFAS YANG TIDAK BOLEH PADAM

    Kosong itu hidup.Rynor tahu ia tidak boleh menyebutnya “udara,” karena tidak ada yang bisa ia hirup. Tidak boleh disebut “suara,” sebab tidak ada getaran yang bisa ditangkap telinganya. Namun, entah bagaimana, kosong itu berdenyut. Ia bisa merasakannya, seperti jantung raksasa yang tak terlihat, memompa ritme yang bukan darah, bukan energi, melainkan ketiadaan murni.Dan di hadapan mereka, bayangan yang bernafas itu mulai menarik napas pertamanya.Napas yang bukan sekadar hisapan. Ia menyedot lapisan-lapisan realitas, mencabik sisa-sisa dunia, menelan bintang, ingatan, doa, dan bahkan kemungkinan masa depan.Kael berdiri goyah di sebelahnya. Tubuhnya setengah transparan, seperti kaca yang diukir retakan. Namun matanya—mata merah yang selama ini dipenuhi amarah—masih bersinar. “Dia menarik segalanya masuk,” bisiknya, suaranya pecah. “Kalau dihembuskan lagi… tidak ada yang akan tersisa.”Rynor menatap bilah cahayanya yang retak. Retakan itu seperti saraf terbuka, setiap denyutnya menus

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   BAB 99 — JANTUNG KEKOSONGAN

    Retakan di pupil itu melebar. Dari dalamnya, bukan sekadar wajah yang tak pernah lahir—tetapi sesuatu yang berdenyut. Sebuah jantung. Bukan jantung seperti daging makhluk fana, melainkan segumpal ketiadaan yang memompa kehampaan. Setiap denyutnya membuat semesta di sekitar mereka hancur sepotong demi sepotong, seperti kaca yang retak karena palu tak kasatmata. Rynor terhuyung. Darahnya sendiri berubah jadi cahaya patah, tercerai berai setiap kali jantung itu berdenyut. Kael menggertakkan gigi, menancapkan kakinya yang hampir transparan ke tanah hampa. “Itu… pusatnya. Jantung yang memompa ketidak-ada-an.” Jantung itu berdetak lagi. DUM. Gelombang kehampaan menghantam, membuat tubuh Rynor bergetar hebat hingga bilahnya hampir pecah. Ingatan terakhirnya tentang dirinya sebagai manusia—tangan ayah yang dulu menggandengnya—hancur jadi serpih tak berwujud. Ia terengah, matanya berkaca. “Aku… aku tidak ingat wajahnya lagi…” Kael menoleh cepat, suaranya pecah tapi penuh amarah. “Lupa

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   BAB 98 — TUSUKAN KE PUSAT KEKOSONGAN

    Mata itu menatap.Bukan sekadar memandang mereka, melainkan melucuti lapisan demi lapisan keberadaan mereka.Rynor merasakan cahaya di tubuhnya gemetar, bukan karena kelelahan, melainkan karena ditolak oleh realitas itu sendiri. Cahaya—esensi keberadaannya—ditolak.Kael tidak lebih baik. Energi merah di tangannya berdenyut, lalu pecah menjadi percikan sebelum ia paksa padatkan lagi. “Dia ingin membuat kita percaya bahwa kita tidak pernah ada.” Suaranya serak, seperti keluar dari tenggorokan yang diperas.Rynor mengangkat bilah cahayanya yang sudah retak. “Kalau begitu kita jawab… dengan luka yang membuktikan keberadaan kita.”Kael menyeringai meski darah menetes dari sudut bibirnya. “Ya. Luka adalah bukti paling jujur bahwa sesuatu pernah ada.”---Mereka melompat.Seperti dua garis yang menyalib, cahaya putih keperakan dan merah pekat menyatu, menjadi bilah darah-cahaya sekali lagi. Setiap ayunan memotong ratusan makhluk bayangan yang mencoba menghadang. Suara jeritan tak terdengar m

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   Bab 97 — Dua Jiwa, Satu Luka

    Tangan raksasa itu turun. Bukan sekadar menghantam—ia meremukkan hampa, melumat ruang, dan mengubah keheningan menjadi badai jeritan. Setiap retakan yang lahir memuntahkan cahaya ungu, seperti isi dunia lain yang bocor ke dalam ketiadaan. Namun sebelum gelap itu menelan mereka, Rynor dan Kael sudah bergerak. Cahaya putih keperakan dan merah pekat berpacu, saling menyilang, membentuk pola yang tak pernah mereka latih namun lahir begitu saja—seperti tubuh mereka mengenali ritme musuh lama yang kini jadi sekutu. Sabit cahaya Rynor melesat menebas sisi tangan bayangan, sementara tombak energi Kael menancap lurus ke pusatnya. Ledakan. Tangan itu pecah, tapi bukan hancur—malah berubah jadi ribuan serpihan kecil yang beterbangan, masing-masing membawa wajah yang menjerit tanpa suara. --- Bayangan-cermin mereka muncul lagi. Sosok setengah putih, setengah merah, kini lebih solid. Ia melangkah ringan di atas retakan hampa, seolah gravitasi tunduk kepadanya. Dengan senyum yang memuakkan

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   Bab 96 — Bayangan yang Terbebas

    Hampa.Bukan hanya ketiadaan ruang, tapi ketiadaan makna. Tidak ada atas, tidak ada bawah. Tidak ada waktu yang bisa diukur, tidak ada arah untuk ditempuh. Hanya kekosongan absolut—dingin, luas, dan tak berujung.Namun di tengah hampa itu, dua cahaya kecil masih menyala.Rynor.Kael.Keduanya berdiri, meski tubuh mereka sudah tidak sepenuhnya milik mereka lagi. Rynor, dengan sisa cahaya yang retak-retak, wajahnya pucat dan matanya setengah kosong. Kael, dengan tubuh berurat merah yang terus mengelupas, kulitnya seperti cangkang yang sudah tidak sanggup menahan isi di dalamnya.Mereka saling menatap, sama-sama tercengang.Sama-sama sadar: spiral yang runtuh seharusnya menjadi akhir. Tapi di sini, mereka belum mati.Lalu terdengar suara.---Bukan gema. Bukan desiran.Suara itu seperti seribu bisikan dari lubang hitam yang bernafas: “Akhir hanyalah awal. Dan kalian… telah membukanya untukku.”Dari kegelapan, sesuatu bergerak.Tidak berbentuk, tidak bernama, tidak bisa dijelaskan. Bayang

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   Bab 95 — Api yang Menggerus Jiwa

    Spiral kini tidak lagi sekadar ruang. Ia telah berubah menjadi luka terbuka—menganga, berdenyut, dan bergetar di antara dua kekuatan yang beradu tanpa kompromi. Batu bercahaya runtuh ke jurang, berputar seperti serpihan bintang yang mati.Rynor terhuyung, darah dan cahaya bercampur menetes dari tubuhnya. Setiap tarikan napas seperti pisau yang mengiris paru-parunya. Namun dalam tatapannya, api tekad belum padam. Ia tahu tubuhnya sedang hancur perlahan, tetapi hatinya menolak tunduk.Kael, di seberang, tidak tampak lebih baik. Pusaran orbit merah yang mengelilinginya telah menyusut—bukan karena melemah, melainkan karena energi yang terlalu padat, terlalu padam, seakan setiap butirnya menelan cahaya lain. Retakan di kulitnya semakin dalam, memperlihatkan kilasan gelap seolah tubuhnya sedang menjadi wadah yang tak layak bagi kekuatan itu.Mereka berdua, dalam diam, tahu: yang mereka hadapi bukan hanya lawan. Mereka menghadapi batas tubuh, batas jiwa, bahkan batas arti menjadi manusia.--

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status