Ada malam yang biasa.
Seraphine bangun di tempat tidur yang terbuat dari kelopak mawar hitam. Hangatnya bukan berasal dari api, tapi dari kehadiran ribuan roh yang tak terlihat, berkeliaran di sekelilingnya seperti angin yang berbisik dosa.
Ia mengenakan gaun yang tak pernah disentuh tangan manusia—anyaman benang malam dan cahaya bulan mati. Di balik jendela lengkung kamarnya, dunia tak berwarna. Hanya gradasi kelabu, ungu tua, dan merah darah yang menyisa.
Dan di tengah semuanya—berdiri Kaelith Nocturne.
Raja Malam. Penguasa dunia bawah.
“Bangunlah. Waktunya dimulai,” katanya. Suaranya berat, tidak sekadar suara pria, tapi gema dari zaman sebelum penciptaan.
Seraphine tidak bertanya. Tidak mengeluh. Tidak takut.
Kaelith menuntunnya ke aula tengah istana Varethar. Pilar-pilarnya terbuat dari tulang-tulang raksasa yang mati saat para dewa masih muda. Langit-langitnya dipenuhi lukisan pertempuran antara makhluk berkepala dua dan ratu bersayap gagak.
Di tengah aula, ada lingkaran.
Dan di tengah lingkaran itu: cermin hitam.
“Ini bukan ritual untuk menjadikanmu bagian dari kami,” Kaelith menjelaskan.
“Ini untuk memaksa dunia mengaku bahwa kau milik malam.”
Seraphine melangkah masuk. Setiap langkahnya menciptakan gema—bukan dari suara, tapi dari memori yang terbangun. Cahaya dari cermin hitam mulai menyala, mencerminkan sesuatu yang bukan dirinya.
Bukan wajahnya.
Bukan masa lalunya.
Tapi kemungkinan-kemungkinan yang ia tolak untuk percayai.
Dalam pantulan cermin, Seraphine melihat:
Dirinya berdiri di atas tumpukan jenazah para bangsawan.
Darah mengalir dari mahkota yang ia kenakan.
Bibirnya berbisik mantera yang membelah bumi.
“Ini bukan ramalan,” kata Kaelith. “Ini tawaran.”
Tapi cermin juga menampilkan sisi lain.
Dirinya memeluk seorang gadis kecil yang menangis.
Di belakangnya, langit terbuka oleh cahaya.
Ia menangis—untuk pertama kalinya—sebagai manusia.
“Dan ini ancaman,” Kaelith melanjutkan, suaranya serak namun dalam.
“Pilihannya bukan antara baik dan jahat. Tapi antara siapa yang kau relakan mati terlebih dahulu: dunia atau dirimu sendiri.”
Seraphine berdiri di antara keduanya.
Saat ritual mencapai puncaknya, langit di atas Varethar terbelah. Petir ungu mengoyak udara, dan salju merah turun perlahan.
Cermin retak.
Mereka adalah Penatua Malam, pemegang hukum kuno yang lebih tua dari Kaelith sendiri. Tak ada wajah di balik tudung mereka. Hanya suara.
“Kenapa kau bawa anak ini ke Varethar, Kaelith?”
“Ia belum memilih sisi.”
“Ia belum menyerahkan hatinya.”
Kaelith tidak bergeming.
“Karena dunia sudah memilihnya lebih dulu,” katanya.
“Dan aku hanya mempercepat prosesnya.”
Penatua pertama mengangkat tangannya. Darah menetes dari ujung jari.
“Kalau begitu, biarkan ia memilih… dengan darahnya sendiri.”
Seraphine ditarik masuk ke dalam cermin retak.
Di sana, ia sendirian. Tak ada Kaelith. Tak ada Penatua.
“Kenapa Ibu harus mati?”
“Kenapa aku harus hidup?”
“Apa artinya lahir jika hanya untuk dibenci?”
Dalam ruangan itu, Seraphine berhadapan dengan dirinya sendiri—versi lain yang mengenakan gaun putih, berwajah damai, bermata terang.
“Kau bisa memilih menjadi cahaya,” kata sang bayangan lembut.
“Menjadi pengampun.”
“Tapi aku bukan pengampun,” balas Seraphine.
“Aku pembakar.”
Ia mencabut belati dari rambutnya—yang entah sejak kapan ada di sana—dan menghujamkannya ke dada versi dirinya yang bersinar.
Cermin pecah.
Ketika ia membuka mata lagi, ia sudah duduk di singgasana kedua di samping Kaelith. Mahkota tipis dari duri malam menghiasi rambutnya. Darah masih mengalir dari telapak tangannya, tapi sekarang menguap menjadi bunga hitam yang tumbuh dari lantai istana.
Kaelith menoleh kepadanya.
“Bagaimana rasanya menjadi milik malam?”
Seraphine tersenyum—dingin, namun megah.
“Lebih baik daripada menjadi milik dunia yang ingin membunuhku.”
Dan malam pun bersorak.
"Setelah gemuruh terakhir lenyap, yang tersisa bukan keheningan. Tapi luka yang berbicara dalam bisu."Dunia tidak hancur. Tapi ia juga tak sepenuhnya utuh.Ia bernapas, seperti tubuh yang baru bangkit dari koma panjang—terengah, limbung, dengan mata yang masih mencari makna dari cahaya.Langit telah berubah warna.Biru... tapi bukan biru yang biasa. Ada semburat perak, seperti bekas luka mengambang yang belum sepenuhnya mengering.Di tepi runtuhan kota Siderra—yang dulu berdiri di antara dua leyline utama, kini hanya ladang abu dan reruntuhan kuarsa retak—Taran duduk. Ia menatap horizon dengan mata kosong, tombaknya tertanam di tanah, bukan sebagai senjata, tapi sebagai penanda kubur bagi waktu yang tak bisa dikubur.“Dia berhasil, kan?”Suara Meliora pelan, nyaris seperti angin. Ia berjalan perlahan, gaunnya berkibar tertatih, robek oleh perang, tapi masih mengusung sisa keanggunan.Taran tidak menjawab. Hanya mengangguk sekali.Tapi dalam anggukan itu ada pengakuan yang pahit: Sera
"Bukan yang terkuat yang menang, tapi yang paling pantas menguasai kehancuran."Arena Pertarungan: Dimensi Inti VaultLangit leyline retak sepenuhnya.Waktu dan ruang berlipat, menciptakan Void Nexus — ruang tak bernama tempat realitas lumat.Di sinilah Sovereign Seraphine berdiri berhadapan dengan Deity Zevalhar.Seraphine: berselimut sayap darah leyline, 9 plasma lingkaran aktif.Zevalhar: tubuh darah semi-dewa, mata pusaran hitam pekat.Suara Mahkota bergetar mengisi kehampaan:“Kau tak akan pernah mampu melawan hakikat asalku, Seraphine.”“Aku bukan melawan hakikatmu…”“...aku menolak takdirmu.”Awal DuelLedakan pertama dimulai.Zevalhar memuntahkan:"Void Pulse Crush" — gelombang anti-materi leyline."Dominion Grasp" — cakar darah yang menjerat dimensi.Seraphine membalas dengan:"Crimson Cascade Spiral" — rotasi leyline darah murni."Absolute Purity Breaker" — ledakan plasma yang memurnikan ruang.Setiap benturan teknik memecahkan dimensi Vault.Efek Samping BencanaSementara p
"Kekuasaan sejati tak perlu tuan. Ia hanya butuh wadah."Situasi: Mahkota Mulai BangkitDalam ruang kontrol leyline yang hancur sebagian, aura darah hitam mulai membentuk pusaran spiral.Fragmen Zevalhar — yang tadinya terpisah — kini menyatu.Pelan tapi pasti, ia membentuk bentuk semi-fisik:Mahkota Zevalhar Purba.Tiga puncaknya berdenyut, seolah bernafas.Nadi-nadi darah mengalir melingkar di antara ukiran purbanya.Suara purba mulai mengisi udara:“Akhirnya… aku bebas…”Semua orang di ruangan — Seraphine, Altheon, Varion, Meliora — terdiam, tubuh mereka bergetar di hadapan entitas purba ini.Vault MengintervensiVault darah yang ada dalam tubuh Seraphine tiba-tiba beresonansi liar, mencoba melawan kehadiran Mahkota.Namun tekanan Mahkota terlalu besar.Vault Seraphine mulai retak lebih dalam."Grrh… tidak... aku belum selesai!"— Seraphine menahan rasa sakit yang mencabik seluruh jiwanya.Nyssa mencoba menopang tubuhnya, tapi energi Mahkota mendorong semua mundur.Altheon: Proposa
"Bila kau terlalu lama menatap kekuasaan, kekuasaan mulai menatap balik."Lokasi: Kuil Central Vault — Ordo LuminarisTiga fragmen Mahkota Zevalhar kini disatukan dalam ruangan isolasi leyline.Dikelilingi oleh lingkaran segel plasma, mantra pengunci dimensi, dan penjaga darah terbaik Ordo.Namun bahkan perlindungan tertinggi itu tak cukup untuk menahan bisikan Mahkota.Fragmen mulai beresonansi:DUM-DUM-DUM.Nadinya berdenyut seperti jantung para dewa yang dibangkitkan.Pertemuan StrategisSeraphine, Altheon, Varion, dan High Seer Meliora berkumpul.“Mahkota mulai hidup kembali,” ujar Meliora, wajahnya pucat.Varion menambahkan:“Leyline global mulai bergeser. Vault mulai bergetar. Jika kita tak segera menyegel ulang, dunia bisa runtuh.”Altheon menatap semua dengan dingin:“Atau… kita bisa memanfaatkannya.”“Berhenti, Altheon!” seru Seraphine.“Kita mengumpulkan fragmen untuk mengamankan dunia, bukan menguasainya!”Altheon menyipitkan mata.Untuk pertama kalinya, retakan ideologi me
"Kadang, untuk menyelamatkan dunia, kau harus hancurkan bagian dari dirimu."Lokasi: Makam Hitam DrelthornTidak ada tempat yang lebih terkutuk selain Drelthorn.Situs ini adalah:Makam ribuan Penyihir Darah Purba.Lokasi penyegelan ritual pengkhianatan pertama Mahkota Zevalhar.Altheon, pemimpin misi ketiga, berdiri di hadapan gerbang batu obsidian yang berlumuran nadi darah beku.Bersamanya:High Seer Meliora: penjaga kitab gelap.Cassian: pengurai mantra dimensi.Taran: assassin darah Ordo.Altheon Bicara“Tempat ini tak mengenal batas hidup atau mati.”“Dan jangan percaya apapun yang kalian lihat di sini,” tambah Meliora, matanya dingin.Memasuki DrelthornBegitu memasuki lorong spiral Drelthorn, mereka langsung disambut oleh ilusi waktu.Setiap anggota tim mulai melihat diri mereka di masa lalu:Cassian melihat adiknya yang ia korbankan.Meliora melihat dirinya membakar kuil lamanya.Taran melihat pembantaian pertama yang ia lakukan.Altheon — sang Master Strategist — tetap tegak
"Bahkan kegelapan pun takut menjejakkan diri di tanah ini."Lokasi: Celah Darah Rhez’UlmarLetaknya di perbatasan Dimensi Purba.Rhez’Ulmar adalah jurang abadi yang dikenal sebagai:Perut Darah DuniaKuburan Raja-Raja DarahLegenda berkata:“Tak ada yang kembali dari Rhez’Ulmar tanpa kehilangan sesuatu.”Tim VarionDipimpin oleh Varion, tim kedua Aliansi Darah memasuki gerbang berduri Rhez’Ulmar.Bersamanya:Ezira: ahli sihir darah ilusi.Kaleb: penjaga berpedang rantai plasma.Lyssa: penyihir pengurai leyline.Mereka membawa satu mantra perlindungan yang diciptakan Altheon sendiri:“Vault Harbinger - Seal of Anchor”Mantra ini menjaga kesadaran mereka tetap utuh di dalam pusaran darah Rhez’Ulmar.“Sekali kita masuk, tak ada jalan mundur cepat,” ujar Varion, suaranya dingin.“Kami siap mati, Lord Varion,” jawab Kaleb.Memasuki Rhez’UlmarBegitu mereka melangkah, udara seolah berubah kental.Kabut darah menari seperti roh lapar.Langit memudar jadi merah kehitaman.Jeritan samar terden