Home / Fantasi / Miliknya Di Antara Dua Dunia / BAB 3 — MAHKOTA YANG BERDARAH

Share

BAB 3 — MAHKOTA YANG BERDARAH

Author: Ayla
last update Last Updated: 2025-06-10 00:52:39

Ada harga untuk setiap mahkota.

Dan Seraphine baru saja membayarnya dengan sepotong jiwanya.

Setelah malam ke-13, istana Varethar tampak lebih sunyi dari sebelumnya. Tak ada perayaan, tak ada pujian. Hanya gema sunyi dari dinding batu dan bisikan roh yang menyentuh daun telinga seperti nyanyian kematian.

Mahkota duri malam itu masih melingkar di rambut Seraphine. Tak terlihat berat, tapi ia tahu, beban sesungguhnya tak terletak pada logam, tapi pada kenangan yang mengikutinya.

Kaelith membawanya ke menara timur—tempat yang tak pernah disentuh cahaya. Tangga spiral menurun ke kedalaman tanah, menuju ruangan yang dipenuhi pusaka, tulang, dan kenangan yang dipenjara.

“Apa yang akan kau tunjukkan padaku?” tanya Seraphine, suaranya serak, sisa dari jeritan yang ia tahan semalam.

Kaelith menatapnya, diam sejenak, lalu menjawab pelan, “Warisan darah.”

Di tengah ruangan itu, ada kolam tak berair, hanya genangan darah tua yang tak pernah mengering. Di sekitarnya berdiri patung-patung batu: para perempuan muda, bermata kosong, berjubah hitam, tangan mereka terulur ke arah sesuatu yang tak terlihat.

“Mereka?” Seraphine berbisik.

“Para pewaris sebelumnya. Yang gagal. Yang hancur. Yang menyerah,” jawab Kaelith tanpa emosi.

“Dan sekarang, kau—yang selamat—berhak tahu: mengapa darahmu begitu diincar oleh dunia atas dan dunia bawah.”

Seraphine melangkah ke tepi kolam. Di sana, bayangannya muncul—tapi tak lagi berbentuk manusia.

Ia melihat sosoknya sendiri, bersayap gelap, bermata dua warna—emas dan hitam. Di belakangnya, ribuan sosok bersujud. Di depannya, dunia terbakar.

“Apa ini penglihatan?” tanyanya.

“Tidak,” Kaelith menjawab. “Itu adalah takdirmu. Atau kutukanmu. Tergantung siapa yang memegang kendalinya.”

Dalam keheningan itu, Seraphine menggigit bibirnya. Darahnya menetes ke kolam. Seketika, permukaan cairan itu mendidih dan memperlihatkan fragmen masa lalu:

Ibunya, dibakar hidup-hidup oleh para pendeta Cahaya karena “melahirkan dosa”.

Ayahnya, tak dikenal, hanya bayangan bersayap yang melintas malam hari dan meninggalkan kutukan di dalam rahim manusia.

Seraphine kecil, digiring ke dalam hutan, dipaksa tidur di sarang makhluk malam.

Air mata Seraphine jatuh, bukan karena kelemahan, tapi karena kebenaran yang akhirnya bicara padanya.

“Kau adalah anak dari malam… dan matahari,” Kaelith berbisik, hampir seperti luka yang baru dibuka.

“Separuh darahmu adalah cahaya. Separuh lagi, kehancuran.”

Seraphine menoleh cepat. “Jadi aku… tidak sepenuhnya milikmu?”

Kaelith menatapnya dalam—untuk pertama kalinya, wajah itu tampak retak.

“Tidak, Seraphine. Kau milik dua dunia. Dan karena itulah… tak ada dunia yang benar-benar bisa memilikimu.”

Dan itu menyakitkan, lebih dari luka mana pun.


Malamnya, Seraphine berdiri di balkon istana. Salju merah turun perlahan, menari di udara yang pekat. Di tangannya, mahkota duri itu.

Ia melihat ke bawah. Rakyat malam berdiri diam. Mereka semua menatapnya. Mengharapkan sesuatu darinya.

Tapi ia tidak tahu—ia ratu atau boneka? Pemimpin atau umpan perang?

Di belakangnya, Kaelith muncul. Hening. Dekat. Hangat dan dingin di saat bersamaan.

“Kau bisa lari,” katanya pelan.

“Tapi darahmu akan tetap mencarimu.”

Seraphine mengangkat mahkota itu perlahan. Memelototinya.

Lalu… mengenakannya kembali.

“Aku tidak akan lari. Aku akan bertahan.

Bukan demi mereka. Bukan demi dunia bawah.

Tapi demi diriku sendiri.”

Kaelith tersenyum kecil—nyaris seperti kekaguman. Atau ketakutan.

Dan malam pun kembali tenang, sejenak saja.

Sebelum perang dimulai.

---------

Ada cahaya yang tak menyelamatkan.

Ada gelap yang tak selalu memenjarakan.

Dan Seraphine tahu, ia harus berjalan di antara keduanya.


Malam keempat setelah penobatannya, Seraphine menghilang dari menara obsidian.

Tanpa iring-iringan. Tanpa perintah.

Tanpa Kaelith.

Dengan jubah bayangan milik Sang Lupa dan sayap tipis yang ditumbuhkan dari darahnya sendiri, ia menembus batas Varethar—masuk ke tanah yang tak boleh diinjak oleh makhluk malam: Eriandel, tanah manusia, di mana cahaya adalah hukum, dan api adalah dewa.

Ia tidak ingin menjajah.

Ia hanya ingin tahu—siapa dirinya… sebelum dunia memberi nama.


Pasar cahaya di Eriandel tampak seperti lukisan yang hidup. Lentera bergantung di udara, bunga api beterbangan, dan manusia menari di atas ubin kaca yang memantulkan sinar bintang.

Semua terlalu terang. Terlalu palsu.

Seraphine mengenakan topeng tembus pandang—mantra lama dari buku darah. Ia tampak seperti manusia, tapi matanya tetap tak bisa menipu siapa pun yang benar-benar melihat.

"Langkahmu tak seperti manusia," kata seorang perempuan tua di pojok pasar.

Seraphine berbalik. Wanita itu mengenakan syal emas, duduk di depan kedai lilin yang tak pernah padam.

Matanya… buta. Tapi menembus.

"Siapa kau?" tanya Seraphine, berbisik.

"Aku? Penari yang tak bisa menari lagi. Tapi dulu, aku pernah berdansa dengan makhluk malam. Termasuk ibumu."

Perempuan itu tersenyum. "Aurenya serupa denganmu. Luka yang bersinar. Cinta yang dibakar."

Jantung Seraphine menegang. Ibunya—sosok yang hanya ia tahu lewat kilatan darah dan cerita Kaelith.

"Dia mati dibakar," kata Seraphine perlahan.

"Tidak," bisik perempuan itu. "Dia menjelma abu untuk menutupi anaknya. Kau adalah rahasia terindahnya."

Dan Seraphine… merasa runtuh untuk pertama kali.

Namun belum sempat ia bertanya lebih jauh, perempuan itu membuka lembaran perjanjian tua.

Kertas kuno dengan tulisan darah.

“Ini milik ibumu. Perjanjian yang ia buat dengan Dewa Cahaya—untuk menyelamatkanmu dari Kaelith.”

Seraphine menegang. Dunia berputar pelan.

“Kaelith... menyelamatkanku.”

“Tidak, Sayang. Kaelith... memilikimu.”

Dan dalam satu detik, semua yang ia ketahui hancur.

Kaelith bukan penolong. Ia penjaga kandang.

Sang pelindung ternyata hanya penjaga kunci.


Ketika Seraphine kembali ke Varethar, malam sudah murka.

Kaelith berdiri di gerbang, mata seperti belati. Darah segar menetes dari jubahnya.

Ia telah membantai sekelompok penyusup malam—mengira Seraphine diculik.

“Kau pergi tanpa izin,” katanya dingin.

“Karena aku bukan milikmu,” Seraphine membalas, suara tajam.

Ia mengangkat lembaran perjanjian.

“Ibu membuat kesepakatan dengan cahaya untuk menyelamatkanku darimu. Apa artinya itu, Kaelith?”

Diam. Sunyi. Lalu, senyum getir dari bibir yang tak pernah belajar menyesal.

“Artinya… aku gagal menjauhkanmu dari kebenaran.”

“Dan kebenarannya?” desak Seraphine.

Kaelith menatapnya lama.

Lalu berkata pelan, hampir menyakitkan:

“Bahwa dunia ini tidak membutuhkan penyelamat. Ia membutuhkan ratu yang bisa menghancurkan segalanya.”

Seraphine terdiam.

Dan dalam hatinya, untuk pertama kali, ia mendengar suara bisikan yang tak pernah diajarkan oleh darah atau cahaya.

Suara pilihan.
Suara miliknya sendiri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   BAB 107 — PUSARAN TANPA TAKHTA

    Jantung Rapuh SemestaPusaran emas itu berdenyut pelan, seperti jantung yang baru belajar berdetak.Setiap denyut melahirkan percikan cahaya yang terlepas, berubah sebentar jadi bentuk—gunung, sungai, binatang samar—lalu runtuh sebelum sempat bernama.Di tengah pusaran, ada bayangan.Ia bukan lagi paru-paru, bukan wajah, bukan jantung.Ia adalah inti lama yang menyusup ke rahim semesta baru, berusaha merebut pusat.Bentuknya terus berganti: kadang menyerupai mata, kadang menyerupai tangan raksasa, lalu melebur jadi kabut. Tapi satu hal tidak berubah—napasnya.Setiap tarikan napas, semesta baru ini bergetar, hampir pecah.Setiap hembusan, cahaya emas memudar, seperti dipaksa tunduk pada hukum lama.---Rynor dan Tekad yang RetakRynor melangkah maju, pedang retaknya menggigil, cahaya putihnya berkedip seakan menolak padam.“Ini bukan sekadar pertempuran terakhir,” katanya, suaranya rendah, penuh parau. “Kalau kita gagal menahan napasnya sekarang, semua yang tadi muncul—bayangan anak, b

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   BAB 106 — TANAH YANG BELUM PASTI

    Tanah yang Belum PastiLangkah pertama Rynor di tanah baru itu nyaris tidak terasa.Ia menurunkan kakinya, tapi tanah di bawah hanya separuh nyata. Seperti menginjak bayangan yang sedang belajar menjadi batu.Setiap kali ia bergerak, lapisan tipis cahaya emas beriak, meluas, dan perlahan memadat—seakan keberadaannya sendiri sedang menuliskan hukum pertama di tempat ini: jejak berarti nyata.Kael, yang berjalan di sisinya, menatap sekeliling dengan wajah muram. Bara di tubuhnya masih menyala, tapi meredup, rantainya bergulir malas di udara, seakan ikut lelah.“Tempat ini… seperti kanvas kosong yang tidak tahu mau dilukis siapa,” gumamnya.Rynor mengangguk. “Atau lebih buruk: kanvas yang menolak dilukis dengan tinta lama.”---Bayangan yang Menyisakan LukaBayangan-bayangan samar masih berputar di sekitar mereka.Namun berbeda dari sebelumnya, kini mereka semakin pudar.Beberapa wajah hampir lenyap, seolah keberadaan Rynor dan Kael saja tidak cukup untuk menambat mereka.Rynor menatap s

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   BAB 105 — BAYI KOSMOS YANG LAPAR

    Getaran yang Membelah RuangTanah emas rapuh di bawah pijakan mereka bergetar, retak-retak menyebar seperti guratan api di kaca.Cahaya yang tadinya menenangkan kini berubah jadi arus liar, seperti darah yang dipompa paksa oleh jantung yang belum terbentuk.Rynor dan Kael berdiri di tengahnya, dua bayangan yang nyaris habis, namun keras kepala untuk tetap tegak.Dari retakan emas itu, sesuatu merangkak keluar.Bukan makhluk, bukan tubuh—melainkan gumpalan kesadaran mentah, ratusan wajah samar yang menjerit bersamaan, membentuk satu pusaran yang haus.> “Aku butuh paru-paru…”“Aku butuh darah…”“Aku butuh daging untuk bernapas lagi…”Suara-suara itu berlapis, berganti nada, berganti bahasa, tapi bermuara pada hal yang sama: kelaparan.---Tubuh Baru IntiPusaran itu menyedot cahaya, lalu mulai menenun dirinya.Mula-mula hanya lengan—panjang, bersisik cahaya retak.Lalu wajah—setengah Rynor, setengah Kael, seakan inti tidak bisa memutuskan siapa yang lebih pantas jadi wadah.Setiap gera

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   BAB 104 — SETELAH LETUPAN TANPA NAMA

    Keheningan Setelah SegalanyaTidak ada suara.Tidak ada dentuman. Tidak ada jeritan.Setelah letupan itu, semesta seakan menahan napas.Tidak lagi ada denyut, tidak lagi ada pusaran—hanya keheningan yang begitu padat, hingga membuat pikiran seakan terhenti.Namun, keheningan itu bukan kosong.Ia berisi terlalu banyak:serpihan realitas yang belum memilih bentuk,gema ingatan yang belum memutuskan mau jadi sejarah atau ilusi,cahaya yang belum tahu mau jadi bintang atau debu.Rynor perlahan membuka matanya. Atau, mungkin, bukan matanya—karena ia tidak yakin lagi tubuhnya masih sepenuhnya tubuh. Yang ia tahu: ia bisa melihat. Dan yang ia lihat adalah ruang putih keemasan yang terhampar, tanpa atas, tanpa bawah.Di sebelahnya, Kael terhuyung, tubuh baranya masih berdenyut, rantainya melayang di udara seperti ular api yang kehilangan tuannya.Mereka masih ada.Entah bagaimana.---Bayangan yang Tidak Mau HilangRynor mencoba menggerakkan tangannya. Butuh waktu. Gerakannya tersendat, seola

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   BAB 103 — LEDAKAN INTI NAPAS

    Retakan yang Menjadi DentumanRetakan itu merekah.Bukan seperti kaca yang pecah. Bukan pula seperti tanah yang terbelah.Retakan itu terdengar seperti dunia yang menjerit, seperti waktu yang mengerang. Dari satu garis tipis, ia melebar jadi ribuan urat cahaya. Masing-masing urat bukan sekadar cahaya, melainkan sejarah yang dibelah, ingatan yang terurai, masa depan yang runtuh.Dan pada momen itu—inti napas tidak lagi berdenyut. Ia tidak lagi mengembang atau mengempis. Ia membeku… sebelum meledak.Ledakan itu tidak punya suara. Tidak ada dentuman. Yang ada hanyalah tekanan tak bernama yang menyapu habis segalanya. Dinding paru-paru yang berdenyut pecah jadi serpihan nebula hitam. Kabut ungu yang selama ini menelan semesta memercik liar, melarut menjadi sungai-sungai cahaya merah emas.---Rynor dan Kael di Pusat LedakanTubuh Rynor hampir hilang—setengah dari dirinya kini hanya garis samar cahaya yang mengalir. Tangannya, yang masih menggenggam bilah, bergetar, seakan bilah itu lebih

  • Miliknya Di Antara Dua Dunia   BAB 102 — PUSAT YANG BERDETAK TANPA NAMA

    Masuk ke PusaranMereka menembus pusaran itu.Bukan seperti memasuki ruangan baru, bukan seperti menembus kabut—lebih menyerupai melompat ke dalam denyut yang tidak pernah diciptakan untuk dihuni.Rynor merasakan tubuhnya terurai, setiap serpihan jiwanya tertarik ke arah yang berbeda, tapi kemudian disatukan lagi, dipaksa menjadi bentuk. Kael, di sampingnya, hampir hancur, tapi rantai merah-emasnya melilit pinggang Rynor, seakan menolak perpisahan.“Ini…” suara Kael teredam, berlapis gema yang tidak seharusnya ada, “…bukan hanya pusat napas. Ini… pusat segalanya yang pernah ditelan.”Dan memang, di sekitar mereka, pusaran itu berputar seperti lautan ingatan. Wajah-wajah samar, bintang yang mati, doa-doa yang tidak pernah terkabul, dan bahkan sisa-sisa tawa anak-anak yang tidak pernah lahir. Semuanya berputar, dipadatkan jadi arus, ditelan dan dihembuskan ulang tanpa nama.---Dialog dengan PusatLalu suara itu datang.Tidak lagi berupa desis paru-paru. Tidak lagi gema napas.Suara itu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status