Ada harga untuk setiap mahkota.
Setelah malam ke-13, istana Varethar tampak lebih sunyi dari sebelumnya. Tak ada perayaan, tak ada pujian. Hanya gema sunyi dari dinding batu dan bisikan roh yang menyentuh daun telinga seperti nyanyian kematian.
Mahkota duri malam itu masih melingkar di rambut Seraphine. Tak terlihat berat, tapi ia tahu, beban sesungguhnya tak terletak pada logam, tapi pada kenangan yang mengikutinya.
Kaelith membawanya ke menara timur—tempat yang tak pernah disentuh cahaya. Tangga spiral menurun ke kedalaman tanah, menuju ruangan yang dipenuhi pusaka, tulang, dan kenangan yang dipenjara.
“Apa yang akan kau tunjukkan padaku?” tanya Seraphine, suaranya serak, sisa dari jeritan yang ia tahan semalam.
Kaelith menatapnya, diam sejenak, lalu menjawab pelan, “Warisan darah.”
Di tengah ruangan itu, ada kolam tak berair, hanya genangan darah tua yang tak pernah mengering. Di sekitarnya berdiri patung-patung batu: para perempuan muda, bermata kosong, berjubah hitam, tangan mereka terulur ke arah sesuatu yang tak terlihat.
“Mereka?” Seraphine berbisik.
“Para pewaris sebelumnya. Yang gagal. Yang hancur. Yang menyerah,” jawab Kaelith tanpa emosi.
“Dan sekarang, kau—yang selamat—berhak tahu: mengapa darahmu begitu diincar oleh dunia atas dan dunia bawah.”
Seraphine melangkah ke tepi kolam. Di sana, bayangannya muncul—tapi tak lagi berbentuk manusia.
Ia melihat sosoknya sendiri, bersayap gelap, bermata dua warna—emas dan hitam. Di belakangnya, ribuan sosok bersujud. Di depannya, dunia terbakar.
“Apa ini penglihatan?” tanyanya.
“Tidak,” Kaelith menjawab. “Itu adalah takdirmu. Atau kutukanmu. Tergantung siapa yang memegang kendalinya.”
Dalam keheningan itu, Seraphine menggigit bibirnya. Darahnya menetes ke kolam. Seketika, permukaan cairan itu mendidih dan memperlihatkan fragmen masa lalu:
Ibunya, dibakar hidup-hidup oleh para pendeta Cahaya karena “melahirkan dosa”.
Ayahnya, tak dikenal, hanya bayangan bersayap yang melintas malam hari dan meninggalkan kutukan di dalam rahim manusia.
Seraphine kecil, digiring ke dalam hutan, dipaksa tidur di sarang makhluk malam.
Air mata Seraphine jatuh, bukan karena kelemahan, tapi karena kebenaran yang akhirnya bicara padanya.
“Kau adalah anak dari malam… dan matahari,” Kaelith berbisik, hampir seperti luka yang baru dibuka.
“Separuh darahmu adalah cahaya. Separuh lagi, kehancuran.”
Seraphine menoleh cepat. “Jadi aku… tidak sepenuhnya milikmu?”
Kaelith menatapnya dalam—untuk pertama kalinya, wajah itu tampak retak.
“Tidak, Seraphine. Kau milik dua dunia. Dan karena itulah… tak ada dunia yang benar-benar bisa memilikimu.”
Dan itu menyakitkan, lebih dari luka mana pun.
Malamnya, Seraphine berdiri di balkon istana. Salju merah turun perlahan, menari di udara yang pekat. Di tangannya, mahkota duri itu.
Ia melihat ke bawah. Rakyat malam berdiri diam. Mereka semua menatapnya. Mengharapkan sesuatu darinya.
Tapi ia tidak tahu—ia ratu atau boneka? Pemimpin atau umpan perang?
Di belakangnya, Kaelith muncul. Hening. Dekat. Hangat dan dingin di saat bersamaan.
“Kau bisa lari,” katanya pelan.
“Tapi darahmu akan tetap mencarimu.”
Seraphine mengangkat mahkota itu perlahan. Memelototinya.
“Aku tidak akan lari. Aku akan bertahan.
Bukan demi mereka. Bukan demi dunia bawah.
Tapi demi diriku sendiri.”
Kaelith tersenyum kecil—nyaris seperti kekaguman. Atau ketakutan.
Dan malam pun kembali tenang, sejenak saja.
Sebelum perang dimulai.
---------
Ada cahaya yang tak menyelamatkan.
Dan Seraphine tahu, ia harus berjalan di antara keduanya.
Malam keempat setelah penobatannya, Seraphine menghilang dari menara obsidian.
Tanpa iring-iringan. Tanpa perintah.
Dengan jubah bayangan milik Sang Lupa dan sayap tipis yang ditumbuhkan dari darahnya sendiri, ia menembus batas Varethar—masuk ke tanah yang tak boleh diinjak oleh makhluk malam: Eriandel, tanah manusia, di mana cahaya adalah hukum, dan api adalah dewa.
Ia tidak ingin menjajah.
Pasar cahaya di Eriandel tampak seperti lukisan yang hidup. Lentera bergantung di udara, bunga api beterbangan, dan manusia menari di atas ubin kaca yang memantulkan sinar bintang.
Semua terlalu terang. Terlalu palsu.
Seraphine mengenakan topeng tembus pandang—mantra lama dari buku darah. Ia tampak seperti manusia, tapi matanya tetap tak bisa menipu siapa pun yang benar-benar melihat.
"Langkahmu tak seperti manusia," kata seorang perempuan tua di pojok pasar.
Seraphine berbalik. Wanita itu mengenakan syal emas, duduk di depan kedai lilin yang tak pernah padam.
"Siapa kau?" tanya Seraphine, berbisik.
"Aku? Penari yang tak bisa menari lagi. Tapi dulu, aku pernah berdansa dengan makhluk malam. Termasuk ibumu."
Perempuan itu tersenyum. "Aurenya serupa denganmu. Luka yang bersinar. Cinta yang dibakar."
Jantung Seraphine menegang. Ibunya—sosok yang hanya ia tahu lewat kilatan darah dan cerita Kaelith.
"Dia mati dibakar," kata Seraphine perlahan.
"Tidak," bisik perempuan itu. "Dia menjelma abu untuk menutupi anaknya. Kau adalah rahasia terindahnya."
Dan Seraphine… merasa runtuh untuk pertama kali.
Namun belum sempat ia bertanya lebih jauh, perempuan itu membuka lembaran perjanjian tua.
“Ini milik ibumu. Perjanjian yang ia buat dengan Dewa Cahaya—untuk menyelamatkanmu dari Kaelith.”
Seraphine menegang. Dunia berputar pelan.
“Kaelith... menyelamatkanku.”
“Tidak, Sayang. Kaelith... memilikimu.”
Dan dalam satu detik, semua yang ia ketahui hancur.
Kaelith bukan penolong. Ia penjaga kandang.
Ketika Seraphine kembali ke Varethar, malam sudah murka.
Kaelith berdiri di gerbang, mata seperti belati. Darah segar menetes dari jubahnya.
“Kau pergi tanpa izin,” katanya dingin.
“Karena aku bukan milikmu,” Seraphine membalas, suara tajam.
Ia mengangkat lembaran perjanjian.
“Ibu membuat kesepakatan dengan cahaya untuk menyelamatkanku darimu. Apa artinya itu, Kaelith?”
Diam. Sunyi. Lalu, senyum getir dari bibir yang tak pernah belajar menyesal.
“Artinya… aku gagal menjauhkanmu dari kebenaran.”
“Dan kebenarannya?” desak Seraphine.
Kaelith menatapnya lama.
“Bahwa dunia ini tidak membutuhkan penyelamat. Ia membutuhkan ratu yang bisa menghancurkan segalanya.”
Seraphine terdiam.
Suara pilihan.
Suara miliknya sendiri.
"Setelah gemuruh terakhir lenyap, yang tersisa bukan keheningan. Tapi luka yang berbicara dalam bisu."Dunia tidak hancur. Tapi ia juga tak sepenuhnya utuh.Ia bernapas, seperti tubuh yang baru bangkit dari koma panjang—terengah, limbung, dengan mata yang masih mencari makna dari cahaya.Langit telah berubah warna.Biru... tapi bukan biru yang biasa. Ada semburat perak, seperti bekas luka mengambang yang belum sepenuhnya mengering.Di tepi runtuhan kota Siderra—yang dulu berdiri di antara dua leyline utama, kini hanya ladang abu dan reruntuhan kuarsa retak—Taran duduk. Ia menatap horizon dengan mata kosong, tombaknya tertanam di tanah, bukan sebagai senjata, tapi sebagai penanda kubur bagi waktu yang tak bisa dikubur.“Dia berhasil, kan?”Suara Meliora pelan, nyaris seperti angin. Ia berjalan perlahan, gaunnya berkibar tertatih, robek oleh perang, tapi masih mengusung sisa keanggunan.Taran tidak menjawab. Hanya mengangguk sekali.Tapi dalam anggukan itu ada pengakuan yang pahit: Sera
"Bukan yang terkuat yang menang, tapi yang paling pantas menguasai kehancuran."Arena Pertarungan: Dimensi Inti VaultLangit leyline retak sepenuhnya.Waktu dan ruang berlipat, menciptakan Void Nexus — ruang tak bernama tempat realitas lumat.Di sinilah Sovereign Seraphine berdiri berhadapan dengan Deity Zevalhar.Seraphine: berselimut sayap darah leyline, 9 plasma lingkaran aktif.Zevalhar: tubuh darah semi-dewa, mata pusaran hitam pekat.Suara Mahkota bergetar mengisi kehampaan:“Kau tak akan pernah mampu melawan hakikat asalku, Seraphine.”“Aku bukan melawan hakikatmu…”“...aku menolak takdirmu.”Awal DuelLedakan pertama dimulai.Zevalhar memuntahkan:"Void Pulse Crush" — gelombang anti-materi leyline."Dominion Grasp" — cakar darah yang menjerat dimensi.Seraphine membalas dengan:"Crimson Cascade Spiral" — rotasi leyline darah murni."Absolute Purity Breaker" — ledakan plasma yang memurnikan ruang.Setiap benturan teknik memecahkan dimensi Vault.Efek Samping BencanaSementara p
"Kekuasaan sejati tak perlu tuan. Ia hanya butuh wadah."Situasi: Mahkota Mulai BangkitDalam ruang kontrol leyline yang hancur sebagian, aura darah hitam mulai membentuk pusaran spiral.Fragmen Zevalhar — yang tadinya terpisah — kini menyatu.Pelan tapi pasti, ia membentuk bentuk semi-fisik:Mahkota Zevalhar Purba.Tiga puncaknya berdenyut, seolah bernafas.Nadi-nadi darah mengalir melingkar di antara ukiran purbanya.Suara purba mulai mengisi udara:“Akhirnya… aku bebas…”Semua orang di ruangan — Seraphine, Altheon, Varion, Meliora — terdiam, tubuh mereka bergetar di hadapan entitas purba ini.Vault MengintervensiVault darah yang ada dalam tubuh Seraphine tiba-tiba beresonansi liar, mencoba melawan kehadiran Mahkota.Namun tekanan Mahkota terlalu besar.Vault Seraphine mulai retak lebih dalam."Grrh… tidak... aku belum selesai!"— Seraphine menahan rasa sakit yang mencabik seluruh jiwanya.Nyssa mencoba menopang tubuhnya, tapi energi Mahkota mendorong semua mundur.Altheon: Proposa
"Bila kau terlalu lama menatap kekuasaan, kekuasaan mulai menatap balik."Lokasi: Kuil Central Vault — Ordo LuminarisTiga fragmen Mahkota Zevalhar kini disatukan dalam ruangan isolasi leyline.Dikelilingi oleh lingkaran segel plasma, mantra pengunci dimensi, dan penjaga darah terbaik Ordo.Namun bahkan perlindungan tertinggi itu tak cukup untuk menahan bisikan Mahkota.Fragmen mulai beresonansi:DUM-DUM-DUM.Nadinya berdenyut seperti jantung para dewa yang dibangkitkan.Pertemuan StrategisSeraphine, Altheon, Varion, dan High Seer Meliora berkumpul.“Mahkota mulai hidup kembali,” ujar Meliora, wajahnya pucat.Varion menambahkan:“Leyline global mulai bergeser. Vault mulai bergetar. Jika kita tak segera menyegel ulang, dunia bisa runtuh.”Altheon menatap semua dengan dingin:“Atau… kita bisa memanfaatkannya.”“Berhenti, Altheon!” seru Seraphine.“Kita mengumpulkan fragmen untuk mengamankan dunia, bukan menguasainya!”Altheon menyipitkan mata.Untuk pertama kalinya, retakan ideologi me
"Kadang, untuk menyelamatkan dunia, kau harus hancurkan bagian dari dirimu."Lokasi: Makam Hitam DrelthornTidak ada tempat yang lebih terkutuk selain Drelthorn.Situs ini adalah:Makam ribuan Penyihir Darah Purba.Lokasi penyegelan ritual pengkhianatan pertama Mahkota Zevalhar.Altheon, pemimpin misi ketiga, berdiri di hadapan gerbang batu obsidian yang berlumuran nadi darah beku.Bersamanya:High Seer Meliora: penjaga kitab gelap.Cassian: pengurai mantra dimensi.Taran: assassin darah Ordo.Altheon Bicara“Tempat ini tak mengenal batas hidup atau mati.”“Dan jangan percaya apapun yang kalian lihat di sini,” tambah Meliora, matanya dingin.Memasuki DrelthornBegitu memasuki lorong spiral Drelthorn, mereka langsung disambut oleh ilusi waktu.Setiap anggota tim mulai melihat diri mereka di masa lalu:Cassian melihat adiknya yang ia korbankan.Meliora melihat dirinya membakar kuil lamanya.Taran melihat pembantaian pertama yang ia lakukan.Altheon — sang Master Strategist — tetap tegak
"Bahkan kegelapan pun takut menjejakkan diri di tanah ini."Lokasi: Celah Darah Rhez’UlmarLetaknya di perbatasan Dimensi Purba.Rhez’Ulmar adalah jurang abadi yang dikenal sebagai:Perut Darah DuniaKuburan Raja-Raja DarahLegenda berkata:“Tak ada yang kembali dari Rhez’Ulmar tanpa kehilangan sesuatu.”Tim VarionDipimpin oleh Varion, tim kedua Aliansi Darah memasuki gerbang berduri Rhez’Ulmar.Bersamanya:Ezira: ahli sihir darah ilusi.Kaleb: penjaga berpedang rantai plasma.Lyssa: penyihir pengurai leyline.Mereka membawa satu mantra perlindungan yang diciptakan Altheon sendiri:“Vault Harbinger - Seal of Anchor”Mantra ini menjaga kesadaran mereka tetap utuh di dalam pusaran darah Rhez’Ulmar.“Sekali kita masuk, tak ada jalan mundur cepat,” ujar Varion, suaranya dingin.“Kami siap mati, Lord Varion,” jawab Kaleb.Memasuki Rhez’UlmarBegitu mereka melangkah, udara seolah berubah kental.Kabut darah menari seperti roh lapar.Langit memudar jadi merah kehitaman.Jeritan samar terden