“Tak semua api membakar. Ada yang menyanyi—dan nyanyiannya bisa membuat jiwamu terbakar dari dalam.”
Varethar tak pernah diam. Bahkan saat seluruh dunia tidur, ibukota kekaisaran kegelapan itu terus berdetak—seperti jantung kuno yang menolak mati.
Malam itu, nyanyian terdengar dari bawah tanah. Bukan lagu biasa. Tapi lantunan kuno, bahasa api, dinyanyikan oleh para penjaga Flamma Vitae—penjaga jiwa-jiwa lampau yang tertanam di dalam akar kota.
Seraphine berdiri di depan lingkaran api itu. Tubuhnya diterangi cahaya merah yang memantul dari dinding batu dan logam. Di hadapannya, berdiri seorang wanita tua berjubah hitam dengan mata tertutup kain—Aetheria, penjaga lagu-lagu terlarang.
“Nyanyian ini bukan untuk didengar oleh mereka yang ragu,” ucap Aetheria tanpa membuka matanya.
“Sekali masuk, jiwamu akan diukur, bukan oleh para Dewa, tapi oleh suara dirimu sendiri.”
“Aku siap,” jawab Seraphine mantap.
“Aku ingin tahu... siapa aku sebenarnya.”
Aetheria tertawa kecil. Bukan ejekan, tapi kesedihan.
“Kebenaran bukan hadiah, anakku. Ia luka. Dan ia meneteskan darah.”
Kemudian nyanyian dimulai.
Di tempat lain, di salah satu menara batu yang menghadap ke taman bawah tanah, Rovan tak bisa tidur.
Tatapan Seraphine, suara dan kata-katanya, menggema seperti mantra yang tak bisa ia lawan. Di antara semua iblis yang pernah ia buru, mengapa kini... hatinya sendiri yang terasa paling asing?
“Jangan pikirkan dia,” bisik Maldrek dari balik bayangan.
“Itu yang dia inginkan. Dia membalikkan Cahaya seperti membalikkan tangan.”
“Aku tahu,” sahut Rovan.
“Tapi... kenapa terasa seperti aku sedang melihat sesuatu yang harus kulihat sejak lama?”
“Karena kau lelah. Dan iblis menyukai mereka yang lelah.”
Diam.
Rovan tahu ada kebenaran dalam kata-kata Maldrek. Tapi ia juga tahu... ada sesuatu dalam diri Seraphine yang bahkan iblis pun tak bisa tiru:
Kejujuran dalam luka.
Di ruang api, Seraphine mulai kehilangan kesadaran akan waktu. Nyanyian itu bukan hanya suara. Ia adalah cermin—membuka bagian-bagian dirinya yang terkubur, menyayat dan menampilkannya seperti potongan kaca tajam.
Ia melihat ibunya—Ratu Alvara, pemilik kegelapan yang menari di medan perang.
Ia melihat ayahnya—pangeran Cahaya yang dibunuh oleh terang sendiri karena menikahi kegelapan.
Ia melihat dirinya... lahir dari pertentangan, tumbuh di dalam keterasingan, dan dipuja sebagai simbol. Tapi tak pernah dikenali sebagai manusia.
Seraphine. Anak gelap dan terang. Tak diterima oleh langit, ditakuti oleh bumi.
Nyanyian itu terus berputar. Namun sesuatu berubah.
Api mulai menyatu dengan tubuh Seraphine. Tapi bukannya membakar, api itu... bernyanyi dalam dirinya. Ia tak lagi hanya mendengar. Ia ikut menyanyikannya.
Aetheria terkejut.
“Dia... menyatu?” bisiknya.
“Bahkan darah penyihir kuno pun hanya bertahan di tepi lagu. Tapi dia—”
Seraphine membuka matanya. Dan matanya... bukan merah, bukan biru. Tapi cahaya gelap yang mengalun.
“Aku bukan produk dua dunia,” ucapnya.
“Aku adalah dunia yang ketiga.”
Dan di saat itu, Varethar bergetar.
Di markas Lux Hunter jauh di utara, para petinggi terbangun serentak. Satu cahaya hitam menyala di antara peta dunia: tanda bahwa api purba telah bangkit.
“Kita terlambat,” desis pemimpin tertinggi mereka.
“Seraphine telah membangunkan suaranya.”
Sementara itu, di kamar batu miliknya, Rovan terduduk dari tidurnya yang penuh mimpi aneh. Tapi bukan mimpi. Itu panggilan.
Ia mendengar nyanyian itu.
Dan entah kenapa, untuk pertama kalinya, api itu... terasa hangat.
Bukan ancaman. Tapi panggilan pulang.
Kosong itu hidup.Rynor tahu ia tidak boleh menyebutnya “udara,” karena tidak ada yang bisa ia hirup. Tidak boleh disebut “suara,” sebab tidak ada getaran yang bisa ditangkap telinganya. Namun, entah bagaimana, kosong itu berdenyut. Ia bisa merasakannya, seperti jantung raksasa yang tak terlihat, memompa ritme yang bukan darah, bukan energi, melainkan ketiadaan murni.Dan di hadapan mereka, bayangan yang bernafas itu mulai menarik napas pertamanya.Napas yang bukan sekadar hisapan. Ia menyedot lapisan-lapisan realitas, mencabik sisa-sisa dunia, menelan bintang, ingatan, doa, dan bahkan kemungkinan masa depan.Kael berdiri goyah di sebelahnya. Tubuhnya setengah transparan, seperti kaca yang diukir retakan. Namun matanya—mata merah yang selama ini dipenuhi amarah—masih bersinar. “Dia menarik segalanya masuk,” bisiknya, suaranya pecah. “Kalau dihembuskan lagi… tidak ada yang akan tersisa.”Rynor menatap bilah cahayanya yang retak. Retakan itu seperti saraf terbuka, setiap denyutnya menus
Retakan di pupil itu melebar. Dari dalamnya, bukan sekadar wajah yang tak pernah lahir—tetapi sesuatu yang berdenyut. Sebuah jantung. Bukan jantung seperti daging makhluk fana, melainkan segumpal ketiadaan yang memompa kehampaan. Setiap denyutnya membuat semesta di sekitar mereka hancur sepotong demi sepotong, seperti kaca yang retak karena palu tak kasatmata. Rynor terhuyung. Darahnya sendiri berubah jadi cahaya patah, tercerai berai setiap kali jantung itu berdenyut. Kael menggertakkan gigi, menancapkan kakinya yang hampir transparan ke tanah hampa. “Itu… pusatnya. Jantung yang memompa ketidak-ada-an.” Jantung itu berdetak lagi. DUM. Gelombang kehampaan menghantam, membuat tubuh Rynor bergetar hebat hingga bilahnya hampir pecah. Ingatan terakhirnya tentang dirinya sebagai manusia—tangan ayah yang dulu menggandengnya—hancur jadi serpih tak berwujud. Ia terengah, matanya berkaca. “Aku… aku tidak ingat wajahnya lagi…” Kael menoleh cepat, suaranya pecah tapi penuh amarah. “Lupa
Mata itu menatap.Bukan sekadar memandang mereka, melainkan melucuti lapisan demi lapisan keberadaan mereka.Rynor merasakan cahaya di tubuhnya gemetar, bukan karena kelelahan, melainkan karena ditolak oleh realitas itu sendiri. Cahaya—esensi keberadaannya—ditolak.Kael tidak lebih baik. Energi merah di tangannya berdenyut, lalu pecah menjadi percikan sebelum ia paksa padatkan lagi. “Dia ingin membuat kita percaya bahwa kita tidak pernah ada.” Suaranya serak, seperti keluar dari tenggorokan yang diperas.Rynor mengangkat bilah cahayanya yang sudah retak. “Kalau begitu kita jawab… dengan luka yang membuktikan keberadaan kita.”Kael menyeringai meski darah menetes dari sudut bibirnya. “Ya. Luka adalah bukti paling jujur bahwa sesuatu pernah ada.”---Mereka melompat.Seperti dua garis yang menyalib, cahaya putih keperakan dan merah pekat menyatu, menjadi bilah darah-cahaya sekali lagi. Setiap ayunan memotong ratusan makhluk bayangan yang mencoba menghadang. Suara jeritan tak terdengar m
Tangan raksasa itu turun. Bukan sekadar menghantam—ia meremukkan hampa, melumat ruang, dan mengubah keheningan menjadi badai jeritan. Setiap retakan yang lahir memuntahkan cahaya ungu, seperti isi dunia lain yang bocor ke dalam ketiadaan. Namun sebelum gelap itu menelan mereka, Rynor dan Kael sudah bergerak. Cahaya putih keperakan dan merah pekat berpacu, saling menyilang, membentuk pola yang tak pernah mereka latih namun lahir begitu saja—seperti tubuh mereka mengenali ritme musuh lama yang kini jadi sekutu. Sabit cahaya Rynor melesat menebas sisi tangan bayangan, sementara tombak energi Kael menancap lurus ke pusatnya. Ledakan. Tangan itu pecah, tapi bukan hancur—malah berubah jadi ribuan serpihan kecil yang beterbangan, masing-masing membawa wajah yang menjerit tanpa suara. --- Bayangan-cermin mereka muncul lagi. Sosok setengah putih, setengah merah, kini lebih solid. Ia melangkah ringan di atas retakan hampa, seolah gravitasi tunduk kepadanya. Dengan senyum yang memuakkan
Hampa.Bukan hanya ketiadaan ruang, tapi ketiadaan makna. Tidak ada atas, tidak ada bawah. Tidak ada waktu yang bisa diukur, tidak ada arah untuk ditempuh. Hanya kekosongan absolut—dingin, luas, dan tak berujung.Namun di tengah hampa itu, dua cahaya kecil masih menyala.Rynor.Kael.Keduanya berdiri, meski tubuh mereka sudah tidak sepenuhnya milik mereka lagi. Rynor, dengan sisa cahaya yang retak-retak, wajahnya pucat dan matanya setengah kosong. Kael, dengan tubuh berurat merah yang terus mengelupas, kulitnya seperti cangkang yang sudah tidak sanggup menahan isi di dalamnya.Mereka saling menatap, sama-sama tercengang.Sama-sama sadar: spiral yang runtuh seharusnya menjadi akhir. Tapi di sini, mereka belum mati.Lalu terdengar suara.---Bukan gema. Bukan desiran.Suara itu seperti seribu bisikan dari lubang hitam yang bernafas: “Akhir hanyalah awal. Dan kalian… telah membukanya untukku.”Dari kegelapan, sesuatu bergerak.Tidak berbentuk, tidak bernama, tidak bisa dijelaskan. Bayang
Spiral kini tidak lagi sekadar ruang. Ia telah berubah menjadi luka terbuka—menganga, berdenyut, dan bergetar di antara dua kekuatan yang beradu tanpa kompromi. Batu bercahaya runtuh ke jurang, berputar seperti serpihan bintang yang mati.Rynor terhuyung, darah dan cahaya bercampur menetes dari tubuhnya. Setiap tarikan napas seperti pisau yang mengiris paru-parunya. Namun dalam tatapannya, api tekad belum padam. Ia tahu tubuhnya sedang hancur perlahan, tetapi hatinya menolak tunduk.Kael, di seberang, tidak tampak lebih baik. Pusaran orbit merah yang mengelilinginya telah menyusut—bukan karena melemah, melainkan karena energi yang terlalu padat, terlalu padam, seakan setiap butirnya menelan cahaya lain. Retakan di kulitnya semakin dalam, memperlihatkan kilasan gelap seolah tubuhnya sedang menjadi wadah yang tak layak bagi kekuatan itu.Mereka berdua, dalam diam, tahu: yang mereka hadapi bukan hanya lawan. Mereka menghadapi batas tubuh, batas jiwa, bahkan batas arti menjadi manusia.--