Author’s POV
Setelah gadis itu mencuci semua piringnya, ia berbalik untuk kembali ke kamarnya. Begitu ia berbalik, ia melihat sang ayah yang sudah berdiri di depannya, menanyakan hasil yang ia dapatkan dari email tersebut. Gadis itu menurunkan pandangannya dan menggeleng pelan. Sang ayah yang mengerti akan kesedihan gadis itu, bergerak maju dan menepuk-nepuk pundak gadis itu, berharap jika tepukan lembut tersebut meredakan kesedihan gadis itu.
“Sudah… mungkin belum rejekinya,” ujar Benny yang diangguki pelan oleh gadis itu. Dengan lesu, gadis itu berjalan melewatkan sang ayah yang mengkhawatirkan dirinya yang sedang sedih seperti itu,
Benny menghela nafas,
Mungkin gadis itu butuh waktu untuk sendiri dulu.
Naomi menutup pintunya dan mengambil tempat untuknya duduk di ranjangnya. Ia masih berpikir positif, mungkin ia harus menunggu beberapa jam hingga hari esok tiba. Gadis itu kemudian berjalan ke meja kerjanya untuk mengambil ponselnya yang masih mengisi daya. Ia terus meng-refresh kotak masuknya dan ia belum ada yang masuk ke dalam kotak masuknya,
Ia menutup matanya, mencoba untuk mengalihkan pandangannya ke laptopnya yang sudah menunggunya untuk melanjutkan pekerjaannya. Dengan berat, gadis itu membuka laptopnya dan kembali mengerjakan pekerjaannya.
*Sebelumnya*
Alex tengah melihat sebuah CV seorang yang terpilih oleh Adrian dan Seira. Ia tengah memeriksa karya orang tersebut dan ia setelah melihat semuanya, tidak heran baginya jika ia terpilih untuk menjadi pengganti Adrian.
“Apa kau kecewa?” tanya Darius yang sedari tadi tengah berdiri di depan pria itu.
“Tentu saja…” ujarnya dengan pelan, sembari menyenderkan tubuhnya di kursi kebesarannya. Ia sangat kecewa karena Naomi tidak terpilih menjadi pengganti Adrian. Padahal ia sudah berharap lebih akan itu.
“Padahal aku sangat penasaran siapa gadis itu,” ujar Darius, mendapat tatapan sengit oleh Alex,
“Woaw, kau tidak perlu menatapku seakan ingin membunuhku seperti itu,” ujarnya sembari mengangkat kedua tangannya pertanda ia menyerah dengan tatapan maut dari Alex.
“Percayalah, aku tidak mungkin mengkhianati Diana,” ujarnya lagi,
Alex melepaskan pandangan mautnya dan kembali menatap komputernya yang berisikan bukan CV dari Naomi,
“Jadi apa kau sudah punya rencana lain untuk mengejarnya?” ujar Darius yang digelengkan oleh pria itu,
“Aku belum bisa bergerak karena pekerjaanku sangat banyak,” ujar pria itu dengan lesu. Pria itu menutup matanya, memikirkan bagaimana caranya untuk menjangkau gadis itu. Hingga pada akhirnya pikirannya berkutat akan satu hal,
“Apa aku perlu meneleponnya?” ujar pria itu, dengan mata yang masih tertutup.
“Tapi bagaimana jika dia block nomorku?” gumamnya lagi,“Kau tinggal menyiapkan ponsel khusus untuk menghubunginya. Jika nanti dia memblokir nomormu, kau bisa gunakan nomor lainnya. Begitu seterusnya hingga dia muak memblokirmu,”
Pria itu menjentikkan tangannya dengan kuat,”Bingo! Kau benar juga!” ujarnya dengan semangat,
“Kau bisa membawanya untuk jalan-jalan selepas kau pulang kerja,”
Alex menegakkan duduknya dan menggelengkan kepalanya kepada Darius,”Tidak akan semudah itu ia mau,”
Darius mengernyitkan dahinya dengan heran,”Kenapa begitu?” tanyanya, membuat pria itu menghela nafas berat,
“Aku pernah menyakitinya di masa lalu. Dia tidak akan semudah itu untuk menerimaku,” ujarnya dengan lirih. Pria itu benar-benar menyesali semuanya hingga detik ini. Ia menyesal telah menolak nalurinya untuk tidak memberikan foto-foto tersebut kepada teman-temannya. Ia sangatlah egois, keinginan untuk diakui hebat adalah hal yang ia utamakan ketika ia masih muda dulu,
Seandainya ia tidak telat menyadari perasaannya, kemungkinan besar hingga saat ini gadis itu berada di sampingnya.
“Apakah sangat parah kau menyakitinya?”
“Sangat parah,”
“Bisa kau ceritakan?” ujarnya, membuat pria itu sempat enggan memberitahunya. Ia menatap kembali Darius yang masih dengan ekspresi penasarannya. Ia menghela nafas pelan, karena ia juga menginginkan saran dan masukan dari Darius, akhirnya ia menceritakan segalanya kepada Darius. Dimulai dari bagaimana semuanya bermula, hingga apa yang menjadi akhir dari hubungan mereka berdua,
“Kau gila?!” pekiknya yang sudah tidak diherankan lagi,
“Parah, bukan?”
“Sangat parah!” pekik pria itu dengan tidak percaya
“Aku tahu, sangat tidak tahu diri jika aku kembali hadir dalam hidupnya. Tapi, aku tidak bisa melepasnya…”
Darius menghela nafasnya, melihat kesungguhan pria itu dan rasa pedih yang tercetak jelas di wajahnya. Ia sempat menundukkan kepalanya dan kembali mengangkat’nya untuk menatap sang sahabat yang sedang terluka akibat perbuatannya sendiri,
“Cobalah… kalau kau segitu inginnya ia bersama denganmu, maka cobalah untuk mengejarnya kembali,”
“Setiap orang berhak mendapat second chance,” tambahnya lagi,“Menurutmu darimana aku bisa memulainya?” ujar pria itu dengan pelan,
“Kau bisa mengirimnya pesan, meneleponnya hingga membawanya untuk berkencan,”
Pria itu mengangguk-angguk mengerti,”Baiklah…”
****
Keesokan harinya,
Gadis itu mengerang lelah, setelah seharian ia membantu sang ayah, akhirnya ia mendapatkan waktu untuk berehat sejenak sebelum dia melanjutkan pekerjaannya. Ia menatap langit-langit kamarnya dan menelentangkan tangannya,
Hari ini adalah hari Sabtu, dimana banyak sekali anak muda yang bepergian dan bahkan berkencan di weekend ini, namun gadis itu memilih untuk diam di rumah dan beristirahat.
Seharian ini, ia berusaha untuk tampak selalu ramah dan baik terhadap pembeli. Ia harus menekan kesedihannya karena baginya profesionalitas adalah segalanya dalam bekerja. Tapi, dia tidak terlalu memasalahkan hal itu karena itu lebih baik daripada ia terus menerus tenggelam ke dalam kesedihan.
Sepertinya memang inilah takdirnya.
Malam adalah waktu yang tepat untuk mengeluarkan semua yang tidak mengenakkan setelah seharian beraktivitas. Air matanya mengumpul di pelupuk matanya, dan sebentar lagi akan turun air matanya. Ia tidak menahan dirinya kali ini, ia membiarkan dirinya untuk mengeluarkan semuanya agar ia bisa plong.
Ia sesekali menyeka air matanya dan menghela nafas beberapa kali.
Di situasi yang menyedihkan seperti ini, ada sebuah panggilan yang masuk ke ponselnya. Ia mengambil ponselnya dan melihat jika nomor yang tidak dikenal tengah bercokol di layarnya. Walaupun bulu kuduknya kembali merinding, namun rasa penasarannya lebih mendominasi dirinya,
Dengan getar, ia mengangkat panggilan tersebut dan menempelkan ponselnya di telinga kanannya. Tidak ada suara apapun seperti sebelumnya, dan dengan segala keberanian yang ia kumpulkan ia mulai membuka mulutnya untuk berkata ‘halo’,
“Naomi…”
Gadis itu terdiam mendengar suara tersebut. Suara tersebut adalah suara yang tidak ia ingin ia dengar dalam hidupnya. Ia membenci suara ini sekaligus ia merasa takut terhadap suara ini, karena suara ini adalah suara yang dapat membawa ingatannya kembali ke masa lampau.
“Sudah kuduga kau tidak mengganti nomormu…”
Gadis itu bergetar hebat, ia tidak dapat menahan dirinya untuk terus mengerjapkan matanya dengan nafasnya pendek,
“S-siapa?” ujarnya, berpura-pura untuk tidak mengetahui pemilik suara ini,
“Kau melupakanku? Sayang sekali… aku tidak percaya kau bisa melupakanku,”
Gadis itu mengepalkan tangannya dan mengetatkan rahangnya, berusaha untuk mengumpulkan keberanian dalam dirinya,
“S-siapapun kamu, aku tidak mengenalmu!”
“Oh benarkah? Haruskah aku mencarimu dan memunculkan diriku dihadapanmu?”
“Berhentilah berkata hal-hal yang tidak masuk akal!” pekik gadis itu dengan getar,
“Hey… kau memang senang sekali melawan ya… kau memang tidak pernah berubah,” ujar pria itu sembari menyenderkan dirinya di tembok putih polos yang menahan tubuhnya,
“Nantikanlah aku dalam beberapa bulan kedepan. Aku akan mencarimu dan-“
TIT!
Gadis itu menutup panggilan tersebut. Ia memegang dadanya yang sudah berdetak sangat cepat bahkan sempat memberinya sensasi yang sangat tidak nyaman. Pria bajingan itu akan segera kembali beberapa bulan kedepan setelah ia lepas dari penjara dan gadis itu harus mempersiapkan hal itu.
Naomi mengatur nafasnya untuk merileksasikan tubuhnya. Ia menjauhkan ponselnya dari dirinya karena shock yang ia rasakan.
“Tenanglah, Naomi. Tenangkan dirimu,” ujarnya yang terus merapalkan perkataan itu kepada dirinya.
Author’s POV Beberapa tahun berlalu. Kini Alex dan Naomi sudah terang-terangan menunjukkan hubungan mereka ke rekan kerja mereka. Mereka melakukannya perlahan-lahan, dimulai dari berjalan bersama dan akhirnya Naomi pun mengaku kepada rekan-rekannya mengenai hubungannya bersama dengan Alex. Ia melakukannya bukan karena ia ingin pamer, ia merasa jika hal seperti ini tidak bisa disimpan dan disembunyikan untuk selamanya. Sudah 2 tahun berlalu dan keduanya masih berpacaran dengan begitu harmonis. Tentu saja di dalam sebuah hubungan akan selalu ada cek cok dan juga pertikaian. Namun itu tidak membuat hubungan mereka putus di tengah jalan karena mereka sadar, bagaimana pun mereka menjauh, pada akhirnya kembali lagi bersama. Hubungan mereka tentu saja sudah disetujui oleh keluarga Naomi dan keluarga Alex. Salah satu plot twist yang mereka dapatkan adalah ternyata Benny adalah teman lama Charles. Mereka berteman sejak mereka masih bersama-sama mengel
Author’s POV Alex menarik napasnya dan mencoba untuk menenangkan dirinya. Ia merasa ia harus bicara tatap muka dengan kedua orang tuanya mengenai pertunangannya dengan Giselle. Kalau perlu ia akan mendatangi Kevin---ayah Giselle untuk membatalkan pertunangan mereka, Pria itu mulai keluar dari mobilnya dan mulai masuk ke dalam rumah kedua orang tuanya. Karena kedatangan pria itu mendadak, Adelia dan Charles juga terkejut dengan keberadaan anaknya yang tidak mengabari mereka jika ia datang kepada mereka. Dengan mantap, pria itu duduk di sofa bersama dengan kedua orang tuanya. Ia menatap serius kedua orang tuanya sebelum dia membuka suaranya, “Papa, mama... Alex ingin membatalkan pertunangan ini. Bisakah Alex mendapatkan kontak pak Kevin supaya Alex bisa berbicara kepadanya empat mata?” tanya Alex dengan serius. Charles beserta istrinya saling bertatap-tatapan sebelum mereka pun tersenyum, “Tidak perlu...” ujar Charles kepadanya.
Author’s POVGiselle masih menatap Naomi yang terlihat canggung bersamanya. Saat ini mereka berada di sebuah café langganan Giselle yang mana mereka memesan ruang vip entah untuk apa alasannya bagi Naomi. Namun berbeda dengan Naomi, Giselle hanya ingin pembicaraannya dengan Naomi tidak bocor ke luar dan tidak mengundang banyak orang untuk mendengarkannya,Sembari menunggu makanan mereka tiba, Giselle dengan tegas duduk dengan tangan yang terlibat dan ia menyenderkan tubuhnya di kursi. Sementara Naomi, ia berusaha untuk menghindari tatap muka terhadap gadis itu,“Sejak kapan kau mengenal Alex?” tanya Giselle, membuka percakapannya bersama dengan Naomi setelah sekian lama mereka hanya diam dan tidak berkutik apapun.“Sejak kami SMA…” jawab gadis itu dengan jujur. Kali ini ia juga meluruskan pandangannya kepada Giselle. Jika Giselle sekali lagi ingin mengklaim Alex sebagai miliknya, ia juga tidak a
Author’s POVKali ini Naomi tidak lembur. Ia sudah siap mengerjakan pekerjaannya dan sekarang adalah saatnya untuk pulang bersama dengan Alex. Gadis itu masih berjalan dengan pria itu yang sedang menunggunya di dalam mobil. Dan ketika gadis itu sudah sampai di basement, seseorang menarik tangannya yang membawanya menjauh dari mobil Alex.Bingung dengan siapa yang menariknya, gadis itu menoleh dan mendapatkan Giselle yang sedang menarik tangannya.“M-mau kemana?” tanya gadis itu yang sama sekali menarik dirinya dari Giselle, seakan ia pasrah jika Giselle menariknya seperti itu,“Temenin aku shopping,” ujarnya dengan singkat. Gadis itu masih diam, ia tidak banyak bertanya dan hanya ikut dengan apa yang gadis itu lakukan kepadanya.Ia mendengar banyak mengenai Giselle dari Alex. Giselle adalah anak yang paling kecil diantara saudaranya yang lain. Biasanya anak yang paling terakhir akan mendapatkan kasih s
Author’s POV Alunan musik klasik dari bar ternama ini dapat membius pelanggannya untuk merasa rileks. Bar tersebut terlihat sepi, meskipun terlihat sepi namun ada begitu banyak pria hidung belang yang lalu lalang untuk menggoda sosok cantik seperti Giselle yang sedang meminum vodka sendirian. Ia masih berpakaian kerjanya, dengan blouse peach dan rok span yang mencetak lekuk tubuhnya dengan sempurna. Ditambah lagi dengan high heels dan lipstick merah maroon yang membuatnya terlihat berkelas. Saat ini ia memikirkan perjodohannya bersama dengan Alex. Alex terlihat serius ketika ia berkata ia tidak ingin berjodoh dengan dirinya. Tidak hanya itu, ia juga tidak bisa membenci sosok Naomi yang sudah pernah menyelamatkannya dan juga gadis itu bukanlah tipikal gadis yang munafik. Awalnya ia mengira jika cinta pria itu hanyalah cinta semu seperti dia bersama dengan wanita-wanita lainnya. Ia sama sekali tidak menyangka jika pria itu memang benar-benar me
Author’s POV“Sebenarnya Alex adalah calon tunanganku,” Perkataan tersebut terus terbayang-bayang dibenak Naomi. Ia mendapat pesan dari Alex yang menanyakan keadaannya tadi dan gadis itu mengabaikan pesan itu dan memilih untuk mengerjakan pekerjaannya. Ia terus bekerja hingga ia sendiri menyerah akan dirinya dan ia meletakkan kepalanya di meja. Ia menghela napas, mengapa semuanya menjadi serumit ini?Hubungannya bersama dengan Alex sudah membaik dan sekarang mereka harus berhadapan dengan perjodohan Alex. Gadis itu sedikit kecewa karena pria itu tidak berkata apapun kepadanya dan pada akhirnya berakhir pada gadis itu yang mengetahuinya dari orang lain.Tapi ia juga tidak terlalu menyalahkan Alex karena jika dirinya berada di posisi Alex, mungkin ia juga akan melakukan hal yang sama. Lagi dan lagi gadis itu menghela napasnya. Ia berusaha untuk bangkit dan juga kembali mengerjakan pekerjaannya.Tidak lama