Pipiku terasa menghangat dan aku terjaga karenanya. Sinar matahari yang menerobos masuk terasa menyilaukan dan membuat mata ini refleks mengerjap. Ternyata hari sudah pagi dan aku jadi bingung karena melihat kamar yang berbeda dengan yang kudapatkan kemarin sore.
Cepat-cepat aku bangun dan baru sadar jika di balik selimut tebal ini badanku polos tanpa sehelai benang pun.
Ealah! Kok bisa begini? Apa yang terjadi padaku?
Pertanyaanku dengan segera terjawab saat detik berikutnya bagian bawah tubuhku terasa nyeri. Rasa curiga membuatku menyingkap selimut dan bercak merah yang tercetak di sprei membuat mulutku menganga.
Duh Gusti ... bagaimana ini?
Yang kukhawatirkan telah terjadi. Sesuatu yang selalu kujaga semenjak kecil telah hilang. Siapa yang telah merenggutnya? Apakah pemilik kamar ini? Kenapa aku bisa berada di sini? Apa aku salah masuk kamar? Ini kamar siapa?
Mengabaikan ribuan tanya di hati, kukumpulkan baju yang terserak di lantai lalu berjalan tertatih ke kamar mandi. Rasa nyeri terpaksa kutahan karena ingin membersihkan tubuh. Aku telah ternoda. Bahkan, mandi ribuan kali pun tak akan mampu untuk menghilangkan noda itu.
Guyuran air dari shower membuat badan ini menggigil. Cepat-cepat kusudahi acara mandi karena tak ingin pemilik kamar memergoki. Tanpa menghiraukan rasa nyeri, segera kukenakan gaun semalam.
Kutinggalkan kamar setelah mengambil tas kecil yang tergeletak di nakas. Sampai di luar baru kusadari jika semalam salah masuk kamar. Harusnya kamar nomor 9 tetapi ini nomor 6.
Pantas saja dalamnya berbeda. Ternyata aku salah masuk kamar.
Akhirnya kutemukan kamar yang bernomor 9. Fasilitas yang kuterima karena perusahaan tempat ku bekerja mengadakan acara ulang tahun di luar kota. Semua karyawan office mendapatkan satu buah kamar di hotel ini untuk menginap.
Segera kukunci kamar begitu memasukinya. Tubuhku pun meluruh ke lantai begitu terbayang kejadian semalam. Pesta, dansa, dan ... mabuk? Kenapa aku bisa mabuk?
Aku ingat, semalam sudah turun ke lantai dansa tetapi tak mempunyai pasangan. Aura dan Ririn, dua orang sahabatku itu terlihat berdansa dengan pasangan mereka. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali duduk di tempat semula.
Melihat semua orang berdansa kecuali diriku, hati ini teriris. Betapa ngenesnya hidupku karena menjadi jomlo seumur-umur. Laki-laki mana yang mau denganku, si Upik Abu yang tidak cantik dan berpenampilan biasa-biasa saja.
Kuseruput jus yang tinggal setengah. Rasanya agak aneh dan tak seperti sebelumnya. Mungkin hanya perasaanku saja. Ini jus yang sama yang kutinggalkan ke lantai dansa tadi.
Beberapa detik kemudian kepala terasa berat. Kuputuskan untuk beristirahat ke kamar. Langkahku terhuyung dan pandangan mulai mengabur.
Samar-samar kulihat angka 9 di pintu kamar. Aku mengernyit heran karena ternyata kamar itu tak terkunci. Mungkin saja aku tadi terburu-buru karena mendengar panggilan dari Aura dan Ririn.
Kuempaskan tubuh di ranjang karena sudah tidak kuat lagi. Entah mengapa seperti ada gairah yang meletup-letup di dalam sana. Namun, gairah itu padam seiring hilangnya kesadaranku.
Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Seperti mimpi, kurasakan sentuhan dari seseorang yang kembali membangkitkan gairah. Ada denyar yang terasa setiap kali sentuhan itu mengenai titik-titik tertentu di tubuhku. Otak ini ingin menolak tetapi entah kenapa tubuhku menuntut lebih. Aku bahkan membalas perlakuannya.
Dalam hitungan menit, aku terhanyut bersamanya dalam gelombang yang menggulung dan mengempas dahsyat, lalu terdampar dalam dimensi yang melenakan dan terjaga di pagi ini. Mahkotaku pun terenggut tanpa menyadarinya.
***
Kuputuskan untuk mengemas barang-barang dan meninggalkan hotel ini. Biarlah aku tak mengikuti acara selanjutnya karena merasa tak punya muka lagi untuk berhadapan dengan karyawan lainnya.
Bagaimana kalau salah satu dari mereka ternyata yang bersamaku semalam? Aku tak bisa membayangkan apa yang akan dia katakan saat melihatku.
Sambil menyerahkan kunci kamar, rasa penasaran menuntunku untuk menanyakan siapa penghuni kamar nomor 6. Jawaban dari resepsionis membuatku membelalakkan mata?
Apa? Pak Mahendra? Putranya Pak Danuarsa yang big bos itu? Mati aku!
Duh Gusti ... ini musibah atau anugerah?
Tadinya kupikir dengan mengetahui siapa orangnya, aku bisa meminta pertanggungjawabannya jika terjadi sesuatu karena kejadian semalam. Namun, kalau ternyata dia itu adalah Pak Mahendra ... aku bisa apa?
Mungkin dia akan berkelit karena punya kekuasaan. Lalu menuduhku menjebaknya karena sengaja masuk ke kamarnya. Biasanya orang kaya akan menganggap orang miskin sepertiku hanya mengincar harta mereka. Dia tak akan percaya jika kukatakan kalau aku dalam keadaan mabuk dan melakukan semua itu tanpa sadar.
Duh Gusti ... apes amat nasibku. Mirip pepatah, udah jatuh tertimpa tangga. Udah mahkota terenggut, masih dituduh menjebak lagi.
Lebih baik aku diam saja dan menganggap semua itu tak terjadi. Mungkin suatu saat ada jalan yang akan membawaku pada keadilan tanpa harus memaksakan.
***
Telepon dari pengemudi mobil yang kupesan menyadarkanku dari lamunan. Dia sudah menunggu didepan lobi. Cepat-cepat aku keluar dari hotel dan menghampirinya. Mobil pun bergerak meninggalkan hotel tak lama kemudian.
Dalam perjalanan menuju agen travel, aku hanya bisa meneteskan air mata. Menangisi nasibku yang malang. Yatim piatu karena Bapak dan ibuku sudah meninggal. Hanya punya Ibu Sambung yang kejam berikut anaknya.
Aku merantau ke kota untuk bekerja tetapi ini hasilnya. Harapan untuk bisa melanjutkan pendidikan pun musnah. Jika karena kejadian semalam aku hamil, lalu bagaimana nasibku ke depannya?
Mungkin aku terpaksa pulang ke kampung dan tinggal lagi bersama Ibu sambungku lagi. Ah, tidak ... jangan! Jangan sampai dia punya alasan untuk kembali menghinaku.
Selama ini dia selalu mencaci maki diriku dengan sebutan anak pembawa sial. Gara-gara sewaktu melahirkanku Ibu meninggal. Lalu Bapak menyusul Ibu dua tahun yang lalu karena sakit. Kembali aku yang disalahkan dan dianggap lalai menjaganya. Padahal Bapak meninggal karena serangan jantung sewaktu kutinggalkan untuk memanggil suster.
***
Agen travel yang kutuju telah di depan mata. Setelah membayar ongkos grab car, kupesan tiket untuk menuju kota dimana aku merantau. Langsung saja aku naik ke mobil travel karena kebetulan akan segera berangkat. Terpaksa uang tabungan melayang karena ongkosnya lumayan mahal.
Tak apalah aku berhemat dalam bulan ini daripada tersiksa karena berada di acara itu. Dalam hati bertanya-tanya apa Pak Mahendra sadar dengan siapa dia tidur semalam? Lalu ke mana dia pagi ini? Kenapa waktu ku terbangun dia sudah tidak ada?
Wajah ini memanas ketika membayangkan kejadian semalam. Semula kukira hanya mimpi, tetapu ternyata benar-benar terjadi. Berarti semalam aku setengah sadar waktu melakukannya. Mungkin ada seseorang yang menaruh sesuatu di minuman yang kuteguk dan menghilangkan kesadaran diri.
Cahaya yang remang-remang membuatku tak mengenali Pak Mahendra. Masih terasa kecupannya di bibir dan sentuhannya di tubuhku.
Oh, tidaak! Kenapa malah aku membayangkannya? Sepertinya aku sudah gila. Enyah kau pikiran kotor dari otakku!
Mungkin Pak Mahendra semalam juga mabuk dan mengira aku ini kekasihnya. Kalau tidak mabuk, mana mau dia tidur dengan perempuan sepertiku. Bukan kelasnya.
Pak Mahendra memang mempunyai segalanya. Wajah yang tampan, berkulit bersih, badan tinggi tegap, karir yang cemerlang, dan dompet yang tebal. Tak heran jika beredar rumor kalau dia suka gonta-ganti pacar.
Aku pernah melihat salah satunya. Namanya Lidya. Kedatangan pacar bos itu ke kantor membuat heboh karyawan perempuan di office karena penampilan yang cantik, tinggi, langsing, dan tentu saja seksi. Persis peragawati.
Apalagi semua yang melekat di tubuhnya adalah barang-barang branded keluaran terbaru. Mereka langsung kasak-kusuk bergosip ria. Merasa iri karena nasibnya tak seberuntung gadis itu. Bahkan ada yang terang-terangan mengatakan jika dia patah hati.
Jika selera Pak Mahendra adalah sekelas itu, lalu aku akan dianggap apa olehnya?
Mobil travel yang kutumpangi terus melaju meninggalkan kota Bandung, tempat dimana mahkotaku terenggut. Meninggalkan pesta perayaan hari jadi perusahaan yang kelima di sebuah kawasan wisata di sana. Rencana bersenang-senang tinggal dalam angan karena kejadian nahas itu.Aku tak bisa menyalahkan Pak Mahendra. Semua ini terjadi karena keteledoranku. Jika saja aku tak salah melihat nomor kamar mungkin ceritanya akan berbeda.Aku mendesah lirih. Dalam hati mengutuk orang yang telah membubuhkan sesuatu ke dalam minuman itu. Sebenarnya obat apa yang telah dicampurkan ke dalam minuman itu hingga gairah dalam tubuhku terasa meletup-letup tak tertahankan. Itulah sebabnya aku tak menolak waktu disentuh oleh Pak Mahendra.Sial! Kenapa aku mengingatnya lagi?Sudut mataku kembali menghangat, air mata pun telah siap meluncur. Cepat-cepat kususut dengan tissue di tangan, karena tak ingin para penumpang berpikiran aneh tentangku.
"Nara! Kenapa lari-lari?"Teguran dari arah belakang yang tiba-tiba sangat mengejutkanku. Itu suara Pak Seno. Untung saja jantungku tidak copot. Baru dalam suasana tegang-tegangnya malah ada yang tiba-tiba memanggil. Aku berbalik dan mendapati laki-laki separuh baya yang berpenampilan klimis itu sedang berjalan mendekat.Aku harus ngomong apa ya? Masa harus bilang kalau barusan ketemu hantu eh, maksudnya, barusan aku grogi karena dilihatin sama Pak Mahendra?"Em-enggak apa-apa, kok, Pak," jawabku gugup. Kami berjalan bersisian sekarang."Nggak apa-apa tapi muka udah kaya dikejar setan aja," gerutunya."Nggak, kok, Pak. Nggak ada setan. Ini kan pagi," timpalku.Pak Seno malah terbahak mendengar jawabanku. "Mukamu pucet terus lari-lari gitu, emang siapa yang ngejar kamu, sih? Makanya bapak kira dikejar setan.""Nggak, Pak. Nara cuma takut kesiangan aja. Banyak berkas yang belum
Terpaksa kuhentikan langkah. Ingin kabur tetapi takut jika dia terus keluar dan mengejarku. Bisa-bisa aku dipecat dari pekerjaan kalau tertangkap."Bapak manggil saya?" tanyaku sambil memegangi dada yang berdetak lima puluh kali lebih cepat dari biasanya.Aku menengok ke kanan kiri, tak ada siapa pun. Di seberang lorong banyak orang tetapi tak ada yang berdiri atau berjalan. Masing-masing sibuk di kubikelnya."Tolong tutup pintunya!" titahnya tanpa menjawab pertanyaanku.Ealah ... jadi dia manggil aku tuh cuma mau disuruh nutupin pintu doang? Alamak! Aku udah kegeeran tadi. Kirain dia inget sama aku. Huh! Dasar Bos Ganteng!Pelan-pelan kututup pintu kayu bercat cokelat tua tersebut. Sebelum pintu menutup sempurna, kusempatkan melirik ke arahnya. Pak Mahendra duduk dan menulis sesuatu di buku yang ada di mejanya. Wajahnya terlihat semakin tampan dengan ekspresi datar dan serius seperti itu.Duh Gusti ...
Tak terasa sebulan telah berlalu dari kejadian terkutuk itu. Kutatap cemas kalender yang tergantung di dinding kontrakan. Kalender yang bergambar aktor-aktor tampan Korea dan tulisan toko baju tempat kerjaku dulu.Bukan ... aku bukan lagi mencemaskan Lee Min Ho atau aktor bermata sipit yang lainnya. Aku lagi deg-deg ser sambil memelototi angka-angka yang ada di sana.Biasanya tanggal segini tamu bulananku sudah datang. Kenapa sekarang belum, ya? Jangan-jangan ....Oh, tidaaak! Jangan sampai itu terjadi!Membayangkan perutku akan semakin membesar dan semua orang akan menatap sinis membuatku bergidik ngeri. Mau ditaruh di mana mukaku?Apa iya aku harus pakai topeng ke mana-mana? Gimana kalau aku dikira tukang ondel-ondel yang suka mengamen dari pintu ke pintu? Terus nanti anak-anak kecil pada ngikutin dan nyorakin aku?Haish! Benar-benar merepotkan!Pelan-pelan kuusap perut yang
Paginya aku bangun kesiangan. Gara-gara semalam bermimpi tentang Pak Mahendra. Setelah terbangun jadi susah untuk kembali tidur padahal baru jam dua malam. Entah jam berapa aku tertidur lagi, rasanya baru saja terpejam tetapi hari sudah beranjak pagi.Aku berangkat dengan tergesa-gesa. Hanya mampir di tukang dagang depan pabrik untuk membeli sarapan dan langsung kubawa masuk ke kantor. Biarlah nanti makannya di dalam saja.Ketika melewati ruangan Pak Mahendra, aku tak tahan untuk tak menolehkan kepala. Kebetulan tirai di jendelanya terbuka. Jadi aku bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi di dalam. Apa yang terlihat disana membuat mata ini terbelalak.Krak!Ada yang patah di dalam sini. Hatiku. Organ tubuhku yang satu itu terpotek-potek, hancur berkeping-keping. Rasanya terlalu mustahil untuk disatukan lagi.Di depan mata, Lidya sedang bergelayut manja di bahu Pak Mahendra. Sementara laki-laki tampan itu tersenyum ceria.
Hari itu aku bangun lebih pagi dari biasanya. Semalam aku bisa tidur dengan lelap setelah melihat hasil yang ditampilkan oleh benda pipih yang kubeli di apotek kemarin.Gara-gara benda itu aku memekik kegirangan mirip orang menang lotre. Ah, bukan, lebih mirip kejatuhan bulan sepertinya.Tekadku sudah bulat seperti bola bekel putrinya ibu kontrakan. Mulai hari ini aku akan melupakan Pak Mahendra. Tak ada gunanya lagi berharap padanya setelah melihat kenyataan yang terjadi di depan mata. Dia tak bisa lepas dari Lidya! Mereka sudah mirip kucing garong dan buntutnya, tak bisa dipisahkan.Apalah aku yang hanya seorang Upik Abu bagi dirinya. Kami jauh berbeda bagaikan bumi dan langit. Atau bulan dan matahari. Sangat jauh dan tak mungkin bisa bertemu ataupun disatukan. Mungkin hanya bisa disatukan jika memakai aplikasi. Fotonya maksudku.Kucoba menata hati yang telah porak-poranda diobrak-abrik oleh pesonanya. Sepertinya me
Sontak kubuka mata dan menoleh ke asal suara di belakangku. Mata ini langsung melotot waktu melihat siapa yang ada di sana. Pak Mahendra!Dia duduk di atas meja Pak Seno sambil melipat tangan di dada. Matanya menyorot tajam ke arahku, mirip sinar laser yang mampu menembus ke dalam jantung.Ealah! Kukira dia udah masuk ke kandangnya eh ruangannya, nggak tahunya malah ada di sini. Sejak kapan dia nongkrong di meja itu? Ish ... nggak sopan banget, duduk kok di meja!Kok aku nggak nyadar dia ada di belakang, ya? Berarti, dia lihat, dong, waktu aku ngupil tadi. Duh Gusti ... mau ditaruh di mana mukaku?"Hmm!" Dia berdehem waktu melihatku menatapnya."Maaf, Pak," lirihku, setengah takut dan ragu.Jantungku seakan berhenti berdetak waktu melihatnya bangkit dan berjalan ke arahku.Aduh ... dia mau apa, ya? Apa dia mau menghukumku? Tolong Baim eh Nara, ya Allah!"Kamu tahu in
Mau tak mau kuturuti perintah Pak Mahendra. Tangan ini mendadak pegal karenanya. Dalam hati merutuk kesal karena merasa dipermainkan. Sengaja kupasang wajah cemberut waktu menulis. Biar dia tahu jika aku sedang kesal.Jika dia menganggapku sebagai karyawan bar-bar, masa bodoh. Aku tak peduli. Kalau begini caranya, aku tak takut lagi untuk dipecat. Daripada setiap hari makan hati.Mending kalau hati ayam, memang enak itu. Apalagi kalau dimasak barengan goreng kentang dan ditambah petai. Mantap. Auto bayangin makanan, nih. Mendadak lapar jadinya.Laki-laki usil itu berdiri lalu berjalan mondar-mandir mirip setrikaan. Mengawasiku, mungkin takut kabur sebelum tugas selesai. Atau takut aku minta tolong orang lain untuk menulisnya.Aku terkejut waktu mendengarnya mengunci pintu. Kenapa harus dikunci? Dia mau apa?"Kamu capek? tanyanya waktu melihatku menggeleng-gelengkan kepala dan juga mengibas-ngibaskan tanga