Share

3. Rangga calling

Seharian tadi aku hanya berada di apartemen, sesekali mengetik kisah yang sedang kutulis di sebuah aplikasi berbayar. Zaman digital dewasa ini memang memudahkan orang untuk melakukan banyak hal hanya dengan ponsel pintar. Bahkan buku fisik sudah tidak begitu banyak diminati. Walau pun masih ada beberapa orang yang lebih menyukai buku fisik, bahkan aroma buku lama jauh lebih menggugah selera bagiku ketimbang semangkuk bakso. Beberapa novel milikku sudah ada yang mendapat tempat di berbagai rak toko buku, itu adalah beberapa karya lama yang sudah melalui tahap editing besar-besaran. Kini aku lebih memilih menulis di beberapa aplikasi menulis daring. Lebih mudah melakukannya, dan tawaran yang mereka berikan cukup masuk akal dan masuk kantung. Setidaknya aku bisa bertahan hidup hanya dengan menulis selama ini. 

Gawaiku berdering. Menampilkan sebuah pesan dengan nomor asing. 

[Ros?]

Aku tidak langsung menjawab, mencoba memeriksa foto profil yang ia pakai, sambil mengingat wajah yang ada di sana. 

[Rangga?]

[Iya, gue.]

[Tau nomorku dari mana?]

[Indi. Sibuk nggak? Gue mau minta tolong. Urgent banget!]

[Minta tolong apa?]

[Bisa ke rumah gue? Sekarang. Gue jemput deh. Atau naik ojek aja, nanti duitnya gue ganti. Buruan ya, Ros.]

[Heh? Mau ngapain? Ada apa sih?]

[Tolong cek Nin gue. Dia kenapa ini? Kesurupan atau apa? Gue video call, ya.]

Belum sempat aku menjawab, dia sudah menelponku. Tanpa ragu aku segera menggeser layar ke atas. Wajah Rangga terlihat jelas di sana. Tersenyum, sambil sesekali memperhatikan sekitarnya. 

"Hehe. Maaf, ya. Ganggu. Coba kamu cek deh."

Layar ponsel berganti. Menampilkan keadaan sekitar rumahnya. Ia berjalan mendekati sebuah kamar dengan beberapa orang di dalamnya. Aku hanya diam, sambil terus memperhatikan kondisi ruangan itu, juga nenek Rangga yang sedang meracau tidak jelas menggunakan bahasa sunda, yang tidak kupahami sama sekali. 

"Gimana?" tanya Rangga, berbisik. Ia lantas mundur dan mengganti layar ponsel dengan dirinya. Rangga terus berjalan dan berakhir dengan menutup pintu kamar. 

"Hm. Aku belum lihat hal aneh sih tadi. Memangnya nenek kamu kenapa awalnya tadi?"

"Tiba-tiba aja gitu. Ngomel-ngomel nggak jelas, terus seolah ada temennya gitu. Kan serem. Atau cuma khayalan dia aja, ya? Biasa orang tua."

"Bisa jadi sih. Susah tapi kalau lihat di handphone."

"Jadi gimana? Kamu ke rumah?"

"Hm, iya. Ya udah kirim alamat kamu, nanti aku ke sana."

"Oke. Makasih, ya." Wajah Rangga berbinar, panggilan telepon tadi dimatikan, dan pesan Rangga tak lama masuk. 

Aku segera mengganti pakaian ala kadarnya, dan memesan ojek melalui aplikasi daring. 

Pukul 19.00 tepat, aku keluar dari pintu apartemen. Berjalan agak cepat melewati koridor yang selalu sepi. Ini bukan hal baru bagiku. Apalagi ini adalah weekend. Biasanya banyak penghuni apartemen yang berlibur ke luar kota, atau bahkan pulang ke kampung halamannya. Hanya aku yang selalu di sini setiap hari. Jarang berpergian dan hanya betah sendirian di dalam apartemen. Karena aku tidak punya rumah atau seseorang untuk dituju.

Lift terbuka. Ada dua orang yang berada di dalam lift, sepertinya penghuni lantai atas. Gedung ini memiliki 20 lantai. Aku berada di lantai 11. 

"Lantai berapa, Mba?" tanya seorang pemuda yang berada tepat di depan pintu masuk. 

"Basemen, Mas. Terima kasih." 

Dia salah satu penghuni apartemen yang paling sering ku jumpai. Kamu kerap bertemu beberapa kali sejak aku tinggal di gedung ini.

"Mau ke mana malam-malam gini, Mba? Sepertinya mau hujan," katanya sambil berdiri menghadap ku. 

"Mau ke rumah teman. Ada urusan mendadak. Iya, kah? Aku nggak lihat jendela tadi, mau hujan, ya?" tanyaku memastikan kembali. 

"Iya. Kalau saya mau ke minimarket, sebelum hujan biasa lah, stok makanan dan minuman dulu. Kalau udah malam, malas keluar lagi."

"Iya, betul, Mas. Sama. Aku juga." Aku memperhatikan wanita paruh baya yang berdiri di sudut. Bajunya basah, hingga menggenang di lantai lift. 

"Sudah hujan, ya, Bu? Ibu dari mana? Wah, repot juga kalau hujan pas berangkat nih," kataku sedikit cemas. Pemuda di samping ku menatap ibu itu dan aku bergantian. Tapi dia diam saja tak menganggap perkataanku, bahkan ibu tersebut pun sama. 

Hingga saat pintu lift terbuka di basement, aku segera keluar sambil memeriksa pesanan ojek online di ponsel. 

"Mba... Bareng aja. Sekalian," kata pemuda itu tergesa-gesa. Aku pun mengiyakan perkataannya dan berjalan berdampingan bersamanya, keluar. "Aku ada mobil, biar aku antar aja, ya?" katanya lagi, sambil menoleh ke belakang. Gelagatnya aneh dan mencurigakan. 

"Eh, nggak usah, saya sudah pesan ojek online kok. Nggak enak kalau dibatalkan." 

Saat pintu lift kembali menutup, dia menarik tanganku dan membuatku sedikit berontak. 

"Kenapa sih, Mas?!" tanyaku sedikit ketus. 

"Sebentar, Mba. Maaf sebelumnya. Saya nggak bermaksud kurang ajar. Cuma ... Tadi mba nanya ke siapa? Pas di lift."

"Hah? Nanya apa?"

"Yang ibu-ibu kehujanan?"

"Oh itu." Aku pun kembali menatap lift yang sudah menutup. 

"Tadi ada ibu-ibu bajunya basah kuyup gitu. Jadi aku pikir memang sudah hujan, ya, di luar?" 

Pemuda itu terdiam, menarik nafas dalam sambil tengak-tengok sedikit frustrasi. 

"Mba, dari tadi aku masuk lift, nggak ada orang lain loh. Cuma kita berdua." 

"Mas? Jangan becanda deh." 

"Beneran. Serius. Lagi pula, kan lift tadi datang dari lantai atas, bukan lantai bawah. Jadi mana mungkin ada orang basah kuyup dari lantai atas. Kecuali ...." Dia kembali tengak-tengok makin ketakutan. Perasaanku mulai tidak enak melihat gelagatnya. 

"Kecuali apa?"

"Gini deh. Mba ... Siapa namanya? Maaf kita belum kenalan. Padahal sering ketemu, ya." 

"Oh iya, Aku Rosi." Aku mengulurkan tangan begitupun dia.

"Pram. Iya, Mba Rosi, ngomong-ngomong kemarin dengar kabar dari penghuni lantai atas nggak?"

"Kabar? Kabar apa?"

"Serius nggak tau apa-apa?"

"Iya, ada apa sih, Mas?"

"Gini, tiga hari lalu, ada mayat ditemukan di tangki air yang ada di rooftop. Kabarnya itu perempuan sudah semingguan di sana. Keluarganya udah nyari berhari-hari. Terus akhirnya kamera cctv diperiksa." 

"...."

"Ibu itu terekam kamera cctv naik ke lantai atas, terus sampai ke atap. Tapi karena di sana nggak ada kamera cctv, kita semua nggak tau kenapa dia sampai ada di tangki air. Mayatnya udah bengkak, ih serem." Pram bergidik ngeri sambil memegangi tengkuknya. 

"Serius?"

"Beneran. Ini berita heboh, masa kamu nggak tau?"

"Aku beneran nggak tau."

"Nah, makanya aku takut pas tadi kamu bilang seperti itu di lift. Jangan ... Jangan ... Tadi." Pram menunjuk ke lift dengan wajah ketakutan. Rasa takut Pram rupanya menjalar pada diriku. Karena aku sekarang juga ketakutan. 

Suara lift terbuka membuat kami segera menoleh bersamaan. Menunggu siapa yang keluar dari sana dengan penuh rasa cemas. Jika memang apa yang diceritakan Pram benar adanya, maka wanita yang bersama kami di dalam lift tadi bukanlah manusia. Aku pun baru menyadari keanehannya setelah Pram menceritakan hal ini. Apalagi setelah kami berdua keluar, aku tidak merasakan wanita itu ikut keluar bersama kami. Itu artinya dia masih berada di dalam sana. 

"Ros ... Itu apa?" tanya Pram mulai mundur perlahan. Sebuah tangan keluar dari lift, menahan pintu lift yang hendak menutup. Perlahan tapi pasti, sesuatu dengan warna hitam keluar dari dalam sana. Menempel pada pintu dan bergerak perlahan. Itu kepala. Kepala seseorang sedang tengak-tengok mencari sesuatu. Tiba-tiba dia menoleh pada kami berdua, menyeringai dan tertawa melengking. Gerakannya yang pelan tadi kini berubah lebih cepat. Dia merangkak cepat seolah tengah mengejar kami. Pram menarik tanganku dan berlari menjauh. Kami pun seperti orang gila yang menjerit sambil keluar basemen. 

"Gila! Sumpah asli! Gila banget. Pertama kalinya aku lihat setan! Astaga. Kagak bakal berani pulang malam ini deh. Kamu gimana, Ros?"

"Sama. Aku juga takut walau ini bukan pertama kalinya. Astaga. Kenapa dia di lift terus sih? Terus gimana nanti aku balik ke atas. Ya ampun." 

"Harus minta antar, Ros. Biar aman. Soalnya kalau ramai-ramai dia sepertinya nggak banyak tingkah. Dan rasanya dia nggak akan keluar dari lift deh. Nggak akan jauh-jauh dari lift."

"Kok gitu?"

"Kabarnya, dulu anaknya juga pernah meninggal terjepit lift. Masih bayi. Astaga. Mungkin nggak sih, dia stres dan bunuh diri? Spekulasi penghuni apartemen gitu soalnya."

"Itu kejadian kapan?" 

"Tiga tahun lalu. Kayaknya kamu belum tinggal di sini deh."

"Oh iya bener. Aku baru satu tahun di sini."

Ide Pram masuk akal juga. Akhirnya kami berpisah jalan ketika ojek online pesanan ku datang. Pram yang hendak naik mobil awalnya, terpaksa ikut memesan ojek online dan pergi ke rumah sanak keluarganya, karena takut kalau harus pulang ke apartemennya. Tapi aku? Harus ke mana nanti.

Pikiranku masih berkecamuk seputar sosok ibu apartemen. Aku yakin tidak akan bisa tidur nyenyak malam ini, apalagi setelah teror lift tadi. Tanpa terasa, aku sudah sampai di sebuah rumah dengan nomor yang sesuai dengan alamat yang Rangga kirim. 

"Terima kasih, Pak." 

Pintu rumah di depanku segera dibuka, padahal aku baru saja mengeluarkan ponsel. 

"Eh ada tamu. Mari masuk. Maaf sudah lama menunggu, ya? Pasti macet," sindir Rangga sambil membuka pintu gerbang rumahnya. 

"Iya, ada si komo lewat." 

"Oh ya? Wah, imajinasi penulis memang jempolan deh. Yuk, masuk."

Aku mengikuti Rangga masuk ke dalam rumahnya. Halamannya cukup asri karena ada beberapa tanaman serta pohon di depan rumah. Ada juga pohon kelapa bak gapura pengganti patung selamat datang yang menjuntai hingga atas pintu gerbang besi yang sudah berkarat. Suara gerbang itu berderit nyaring jika digerakkan, menandakan umur yang tak muda lagi rupanya. Mungkin hampir sama dengan umur Rangga sekarang, atau bahkan lebih dari itu. Cukup rindang hingga ada beberapa bagian gelap di halaman rumah, dan saat hendak masuk ke dalam tadi, aku melihat sekelebat pria di lantai atas. Bukan genderuwo atau semacamnya, tapi hanya sosok pria saja. 

"Ma ... Ada tamu nih." Dia terus berjalan ke dalam, melewati ruang tamu dengan kursi kayu yang dihiasi bantal tipis untuk duduk serta penyangga punggung. "Ayok, masuk aja. Semua orang di dalam. Tadi gue udah cerita ke Mama kok kamu mau datang." Rangga menoleh dengan tetap berjalan pelan ke bagian dalam rumah ini. Aku pun hanya mengikutinya sambil memperhatikan tiap ruangan yang kami lewati tadi. 

"Di atas. Kamar semua di atas," tunjuk Rangga sambil berpegangan pada pagar tangga yang akan membawa kami ke lantai atas. 

"Berapa orang yang tinggal di sini?"

"Banyak. Tiga generasi deh. Gue, orang tua gue, sama kakek nenek."

"Kamu punya saudara laki-laki?" tanyaku terus memperhatikan bagian rumah ini lebih dalam lagi.

"Enggak, gue anak tunggal. Kenapa?" 

"Oh. Eum, nggak apa-apa." 

Kami sampai di lantai atas, suara riuh berada di salah satu kamar dengan pintu yang terbuka. "Itu di sana. Ini kamar gue, itu kamar orang tua, nah di sana kamar kakek nenek gue. Coba cek gih." 

"Kamu pikir aku dukun apa?"

"Lah bukan, ya? Kirain selain sebagai penulis, profesi kamu dukun juga," guraunya. Makin lama kami makin mendekati kamar kakek neneknya. Seorang pria yang kutebak Ayah Rangga berdiri di depan pintu, menoleh dan menaikkan kedua alis ke atas pada putranya. "Teman Rangga, Pa. Mau nengok Nin." 

"Oh, silakan masuk," kata Papa Rangga, ramah. Bahkan menggeser tubuhnya untuk memberikan ruang bagiku. 

"Permisi, Om." Aku sedikit membungkukkan badan, melewatinya. Berusaha bersikap sopan dengan adat ketimuran. Kami berdua masuk ke kamar Nenek Rangga. Di sana ada Mamanya Rangga sedang membacakan ayat suci Al Quran. Kakek Rangga duduk di kursi santai dekat jendela, hanya memandangi sang istri yang terkadang memarahinya sambil menunjuk dengan sangat kesal. 

"Ma, ini teman Rangga. Pengen lihat kondisi Nin," kata Rangga memberikan ku ruang agar aku mendekat. Ibu Rangga hanya menoleh lalu tersenyum dan mengangguk. Mulutnya tidak berhenti mengumandangkan doa-doa dengan masih memakai peralatan salat. 

Aku masih berdiri di tempatku, memperhatikan sekeliling dengan seksama. Sejauh yang aku lihat tidak ada hal aneh yang menonjol. Memang ada sosok-sosok yang kulihat saat masuk ke rumah ini. Hanya saja tidak ada yang mengganggu Nenek. 

"Gimana?" 

"Hm." Aku bergumam masih berusaha mencari celah untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Jika ini memang bukan karena hal tak kasat mata, mungkin karena penyakit tua yang diderita sang Nenek. Itu spekulasi terakhir yang akan aku ucapkan. Tapi sampai detik ini aku belum berani memberikan komentar apa pun. 

"Apa mungkin karena udah tua, ya? Kan biasanya banyak orang tua yang suka gitu?" bisik Rangga yang berdiri di samping ku. 

"Mungkin juga. Tapi ... Ada yang aneh memang. Cuma aku belum tau apa." Kini aku mendekat duduk di dekat Ibu Rangga. 

"Maaf, ya, merepotkan." Ibu Rangga menghentikan doa yang ia panjatkan. 

"Enggak apa-apa, tante. Eum nenek sering seperti ini?" 

"Kadang-kadang. Nin itu sering punya imajinasi sendiri. Kadang bilang dia punya teman, atau dia mau berangkat sekolah. Bahkan manggil saya saja Mama. Padahal kan saya menantunya. Lucu, kan? Mungkin sudah tua," jelas Ibu Rangga dengan senyum tipis yang menyejukkan hati. 

"Kemungkinan sih begitu, tante," sahutku. Pandanganku beralih ke Nenek. Dia tiba-tiba menatapku tanpa sepatah kata pun. 

"Kamu jangan nakal, ya, sama Fifi. Dia temanku. Awas, ya!" Nenek terlihat marah padaku. Padahal aku tidak tau siapa Fifi. 

"Oh enggak kok, Nin. Saya nggak nakal sama Fifi. Memangnya Nin teman Fifi, ya?" tanyaku mencoba ikut larut dalam permainan Nenek.

"Iya. Fifi itu temanku. Cuma dia yang nggak pernah pergi. Dia yang selalu menemani aku. Jadi jangan kamu bawa Fifi pergi," katanya lagi sambil menarik tanganku sedikit kasar.

Aku tersenyum, mencoba menggenggam tangan Nenek. "Iya. Rosi nggak akan ganggu Fifi. Tapi ... Fifi mana, Nin? Kok Rosi nggak lihat, ya?" tanyaku sambil tengak-tengok. 

Nenek ikut mencari keberadaan teman khayalannya itu. Tiba-tiba tatapannya berhenti ke pintu kamar yang terbuka, di mana Ayah Rangga berdiri di sana. Nenek mendekat padaku dan berbisik.

"Fifi takut sama itu," tunjuknya ke arah pintu. 

"Itu? Itu kan, anak Nin?" tanyaku. Ayah Rangga sedikit salah tingkah, namun berusaha tetap tenang. 

"Mana? Aku belum punya anak! Bukan orang itu, tapi yang itu!" kembali Nenek berbisik dan menunjuk dengan takut. Aku diam dan memperhatikan arah yang beliau tunjuk. Saat aku menyipitkan mata, ada sepasang mata merah yang sedang mengintip di celah engsel pintu. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status