Share

2.Ramon

Peti mati sudah siap di tengah rumah duka. Jenazah Lili sudah didandani dengan apik, hingga ia tidak terlihat seperti orang yang sudah meninggal. Lili juga mengenakan gaun putih yang hampir mirip seperti pakaian terakhir yang ia kenakan, saat mayatnya ditemukan. Mataku sembab, sekaligus menahan kantuk yang teramat sangat. Semalam bukan malam terbaik bagiku, setidaknya bukan malam terburuk juga, karena aku sering mengalaminya. Hanya saja sudah agak lama sejak kejadian terakhir kali aku diganggu oleh 'mereka'.

Hanya duduk di barisan kursi panjang bagian belakang, memperhatikan lalu lalang keluarga dan kenalan Lili datang melayat. Aku mulai muak melihat tingkah Ramon. Dia menangis dengan hebat, seperti orang yang sangat berduka. Bagi semua orang pastilah wajar melihat sikap Ramon sekarang. Dua minggu lagi mereka akan menikah, namun mempelai wanita justru berada di peti mati sekarang. Tapi itu tidak berlaku bagiku.

"Yang tabah, ya. Tuhan lebih sayang Lili." Begitulah kalimat yang kudengar saat orang terakhir dari keluarga Lili menyalami Ramon. Menyampaikan perasaan berduka akibat kepergian wanita mungil tersebut. Sementara itu, di sisi peti mati, ruh Lili berdiri di sana. Masih memakai gaun pernikahan robek, basah, serta wajah yang tidak secerah mayat di depannya. Lili terus menatap tajam Ramon, penuh kebencian dan dendam.

"Yah, aku tau perasaanmu, Li. Entah apa aku harus bahagia atau sedih dengan keadaanmu sekarang. Yang jelas, Tuhan memang lebih sayang kamu," gumamku sambil menunduk, memperhatikan flat shoes hitam senada dengan warna pakaian yang kukenakan.

Gerakan kaki yang kubuat sama, memutar searah jarum jam, mendadak kuhentikan. Ketika sepasang kaki berdiri di depanku. Sepasang kaki yang sama bentuknya, seperti yang kulihat di toko buku kemarin. Sudah jelas siapa pemiliknya. Hanya saja kali ini, tubuhku tidak membeku. Dengan perlahan aku mendongak, agar dapat melihat wajah Lili dari dekat. Lili menatapku nanar, bibirnya bergetar menahan tangis.

Kamu harus beritahu orang tuaku, Ros, seperti apa kelakuan Ramon sebenarnya.

Aku tengak tengok saat kalimat itu terdengar nyaring. Padahal bibir Lili, yang kupikir adalah pemilik suara ini, terus menutup. Aku menatap Lili sambil sesekali memperhatikan sekitar. Berusaha meyakinkan diriku sendiri kalau suara yang kudengar memang berasal dari sosok di depanku sekarang.

Ros, bantu aku. Kamu nggak boleh diam saja!

Aku menarik nafas panjang. Bergumam untuk menanggapi perkataannya. "Li, ini bukan urusanku. Lagi pula, kalian nggak akan menikah, jadi Ramon nggak akan mendapatkan apa yang dia mau!" bisikan suaraku, sengaja ku tekankan tiap kata. Agar sosok Lili mendengar dengan jelas.

Semalaman dia terus muncul. Baik saat aku memejamkan mata, maupun membuka mata. Semua gambaran kejadian sebelum Lili terbunuh ditunjukan padaku. Ramon memang brengsek. Dia tidak mencintai Lili dengan setulus hati. Semua hanya karena kekuasaan, harta, dan tentu jabatan. Tentu ini bukan urusanku. Aku tidak ingin ikut campur masalah orang lain, lagi.

Jadi kamu mau aku terus datang? Kamu sahabatku, kan, Ros? Kamu tau bagaimana perasaanku. Aku nggak akan tenang, Ros, kalau Ramon tidak dihentikan.

"Dihentikan? Memangnya apa yang bakal dia lakuin sih? Dia udah nggak bisa sakitin kamu dan keluarga kamu lagi, kan?"

"Rosi!" bahuku ditepuk hingga aku menjerit.

"Astaga! Mey! Ngagetin aja!" pekikku. Wanita itu segera mendaratkan bokong nya di samping ku, sementara Lili langsung pergi. Aku tengak tengok mencari keberadaannya, karena sangat yakin kalau Lili tidak akan pergi jauh dari tempat ini.

"Heh! Cari siapa sih? Malah bengong!" Mey kembali membuat perhatianku buyar.

"Ssst! Diam dulu!"

"Apaan?!"

"Lili!"

"Hah? Lili di sini?" tanyanya ikut heboh dan bertingkah sama sepertiku. Tengak tengok mencari hal yang tidak bisa ia lihat.

"Gaya lu! Kayak bisa lihat aja!" ujarku memukul kepalanya pelan.

"Lah iya, ya? Kan gue nggak bisa lihat. Ngapa ikut heboh gue! Eh tapi, Lili ada pesan terakhir gitu, Ros? Atau dia ada bilang apa ke elu? Pasti dia gentayangin elu, ya?"

Aku menghentikan pencarianku, dan menatap Mey serius. "Bingung gue, Mey. Gue harus gimana?" Akhirnya aku menceritakan semua yang kulihat dan alami kemarin. Mey hanya geleng-geleng kepala sambil mengepalkan tangan, menatap benci ke Ramon.

"Dasar laki bajingan! Licik! Gila sih, nggak nyangka gue kalau Ramon brengsek juga!"

"Sama. Gue bingung harus gimana, kalau gue cerita hal ini ke keluarga Lili, apa mereka percaya? Yang ada gue disangka gila!"

"Iya juga sih, Ros. Terus gimana rencana lu?"

Aku mengangkat kedua bahu lalu menarik nafas kasar. Sejurus dengan hal itu, sosok wanita yang kulihat dalam penglihatan semalam justru muncul. Berjalan dengan santai di antara pelayat yang hadir. Bahkan dia dan Ramon saling bersalaman seolah tidak mengenal satu sama lain. Mama Lili memeluk wanita muda itu sambil berderai air mata.

"Mey, itu cewek siapa? Kok gue baru lihat, dan kayaknya akrab sama tante Dahlia."

"Itu? Hm, gue juga baru lihat, siapa ya? Memangnya kenapa?"

Belum sempat kami membahas hal ini, ada sepasang orang tua sebaya dengan tante Dahlia dan Om Roy berjalan di belakang wanita tadi. Melihat gelagatnya, aku yakin mereka adalah orang tua wanita itu, dan sepertinya sangat dekat dengan keluarga Lili.

"Mey, lu tau nggak, kalau itu cewek yang gue lihat semalam."

"Cewek yang mana?"

"Astaga, Mey! Cewek yang di tunjukin Lili di mimpi gue!" jelas ku sedikit kesal.

"Cewek yang di tunjukin Lili? Maksud elu ... Cewek yang selingkuh sama Ramon! Gitu, kah?" Kedua mata Mey membulat sempurna, semangatnya berkobar saat menyadari hal tersebut. Aku hanya mengangguk, dan kini rasanya aku tidak ingin hanya berpangku tangan saja melihat salah satu temanku meninggal dengan cara tragis. Aku beranjak, membuat Mey terus memanggilku. Bahkan kini dia menarik tanganku.

"Mau ngapain sih?"

"Lihat aja."

"Ros! Rosi! Jangan gila lu!" jerit Mey dengan berbisik.

Langkahku mulai mendekat ke keluarga Lili, Ramon dan wanita jalang tadi. Sosok Lili yang kini berdiri di sudut ruangan, hanya menatapku sambil tersenyum getir. Aku mengangguk padanya, seolah memberitahukan padanya kalau keinginan Lili akan kupenuhi.

"Tante?" sapa ku pada mama Lili. Tante Dahlia terisak menatapku, lalu menarik tubuhku agar berada dalam pelukannya. Aku menyambut tante Dahlia dengan ikut terbawa suasana. Sejak datang tadi, aku memang belum menyapa orang tua Lili. Karena melihat pelayat yang terus berdatangan, membuat mereka sibuk.

"Maafkan Lili, ya, Rosi. Kalau dia pernah berbuat salah ke kamu. Lili ... Astaga, kenapa ini terjadi sekarang. Padahal sebentar lagi dia akan menikah."

"Iya, tante. Rosi maafkan, lagipula Lili itu orang baik, jarang menyakiti orang. Tuhan memang lebih sayang Lili, tante. Setidaknya dia nggak sampai jatuh ke tangan laki-laki bajingan ini!" kataku datar, sambil menatap Ramon yang berdiri di samping tante Dahlia.

Semua orang terkejut mendengar perkataanku, Ramon bahkan sampai melotot.

"Maksud kamu apa, sayang?" tanya tante Dahlia yang memang tidak mengerti maksud dari perkataanku.

"Eh, Ros! Jangan sembarang lu kalau ngomong!" tukas Ramon, kesal.

"Sembarang lu bilang? Yakin? Oh iya, sembarangan karena nggak ada orang yang tau busuknya elu, kan, maksudnya?" tanyaku yang kini sudah berdiri di hadapan Ramon.

"Ros? Ada apa ini?" tanya Om Roy.

"Om, tante. Asal Om sama Tante tau, ya, kalau dia!" tunjukku pada pria brengsek di depan, "sudah mengkhianati Lili selama ini!"

"Maksud kamu?" tante Dahlia mulai tertarik pada perkataanku.

"Ros, jangan mengacau! Ini pemakaman Lili! Jangan ngomong yang macam-macam. Gue tau, kita semua berduka karena kepergian Lili, tapi elu harus tetap waras, Ros!" Ramon berusaha menarik tanganku. Namun aku tepis kasar.

"Om, tante, saya nggak gila atau mengacau. Saya sayang Lili, makanya saya mau kasih tau yang sebenarnya."

"Apa yang sebenarnya mau kamu katakan?" Om Roy terlihat kebingungan di tengah wajah sedih dan terpukul yang tampak jelas itu.

"Ramon selingkuh dari Lili, Om. Ramon selingkuh sama perempuan itu!" kataku dengan menunjuk wanita yang berdiri tak jauh dari kami. Dia terkejut, sama seperti Ramon. Begitu juga semua orang.

"Eh jangan asal nuduh sembarang elu, ya! Apa buktinya! Elu itu cuma memperkeruh keadaan, Ros! Keterlaluan lu, kurang baik apa Lili selama ini sama elu, hah! Dia yang selalu belain elu, dia yang selalu support elu, bahkan saat semua orang hina elu aja, dia yang belain elu. Kok bisa-bisanya elu malah mempermalukan dia di hari pemakamannya? Elu ngomong gitu nggak mikir? Apa kata orang di sini? Elu sama aja mempermalukan Lili! Punya otak nggak sih lu?" Ramon emosi bahkan menunjuk keningku dengan jari telunjuknya, mendorongku agar kasar walau tidak sampai jatuh. Mey mendekat, menahan beban tubuhku yang hendak roboh.

"Emang dasar, bajingan lu, Ram. Harusnya Rosi yang ngomong gitu. Kurang baik apa Lili ke elu? Hah? Apa aja dia lakuin buat elu!"

"Eh, Mey, jangan ikut campur juga lu! Minggir! Itu janda emang suka banget cari sensasi. Dia itu emang pembawa sial, lihat aja, kan? Tiap orang yang dekat sama dia bakal celaka. Jadi lebih baik elu hati-hati Mey!"

"Heh! Jaga mulut lu, ya! Sembarangan lu kalau ngomong!" Mey makin emosi.

Dunia terasa hening perlahan. Membuatku ingin segera pergi dari kerumunan orang di sekitar. Entah mengapa kalimat Ramon sangat menusuk hatiku sekarang. Perdebatan Mey dan Ramon terus berlanjut, membuat kerumunan makin banyak dan banyak. Aku justru perlahan mundur dan pergi dari sana.

Gedung yang dingin sejuk tadi berganti suasana panas dan riuh suara kendaraan lalu lalang. Aku menoleh sesaat sebelum berjalan makin jauh dari rumah duka. Beberapa tetes air jatuh dari pelupuk mata, dan langsung kusapu cepat. Aku mempercepat langkah, berjalan di sepanjang trotoar sambil mencari penjual minuman dingin. Yah, aku kehausan.

"Pak, es teh satu, ya," pintaku pada sebuah pedagang kaki lima dengan tenda yang cukup besar.

"Baik, Mba. Silakan duduk dulu."

Aku menempatkan diri duduk di kursi panjang yang paling sepi. Ternyata kedai ini juga menjual makanan. Lebih tepatnya warteg, dan cukup ramai. Melihat aneka lauk di etalase kaca, membuat cacing di perutku bergerilya. Bahkan bunyinya cukup nyaring kudengar.

"Udah, sana. Pesen makan. Kasian itu binatang peliharaannya belum di kasih makan," kata seseorang yang duduk di samping ku. Aku yang awalnya duduk dengan posisi membelakanginya, kemudian menoleh. "Loh, elu!"

"Iya gue," sahutnya masih fokus pada makanan di hadapannya. Cumi cabai hijau dengan gorengan ditambah es teh manis terlihat menggiurkan.

"Siapa, ya? Namanya. Lupa," tukasku sambil melebarkan bibir.

"Dasar. Masih muda, udah pikun. Kenalin lagi, gue Rangga. Tanpa Cinta, ya." Dia mengulurkan tangan kanan sebagai simbol perkenalan, yang tidak dilakukan sebelumnya. Mungkin ini adalah perkenalan resmi kami. Aku menyambutnya dan menyebutkan namaku serta. "Udah tau." Rangga kembali fokus pada makan siangnya.

"Lagi ngapain di sini?" tanyaku heran.

"Ya makanlah. Masa joging?"

Aku memperhatikan penampilannya, dia terlihat rapi dengan kemeja serta celana hitam berbahan kain, dilengkapi sepatu pantovel hitam.

"Situ sendiri ngapain di sini? Siapa yang mati?" tanyanya, dan lagi-lagi mengagetkanku.

"Kok tau? Aku lagi takziah?"

"Ya iyalah, kan baru aja elu keluar dari situ. Pakai baju item-item lagi. Ya kali mau dugem." Kalimatnya sering terdengar menyebalkan, tapi entah mengapa aku justru ingin tertawa saat mendengar dia berbicara.

"Iya, temenku meninggal. Elu lagi kerja? Kerja di mana sih? Kok bisa makan di sini?" aku menunjuk pakaiannya yang formal, tidak seperti kemarin yang hanya mengenakan kaus, celana jeans belel, ditutup jaket. Sederhana.

"Di sana. Pabrik itu tuh. Cuma gue di bagian office, jadi nggak pakai seragam."

Aku mengangguk paham. Masih memperhatikan dia makan.

"Makan? Laper, kan? Habis nangis pasti laper, udah buang energi banyak. Gih, pesen. Tapi bayar sendiri. Gue cuma nyuruh."

"Cih, dasar." Aku pun beranjak dan memesan makanan juga yang sama sepertinya.

"Ye, samaan. Dasar tukang fotokopi." dia menyeruput es teh manis dengan suara berisik.

"Biarin. Bebas." Makanan serta minum ku sudah tersaji. Aku segera makan, tanpa ada obrolan lagi dengan Rangga.

"Kata Nita, elu bisa lihat setan, ya?" Itu adalah kalimat pertama setelah beberapa menit berlalu, tentu setelah makan siang Rangga tandas.

"Ah, gosip." Aku masih mengunyah makanan di dalam mulut. Nafsu makan ku sedang baik sekali sepertinya, padahal baru saja aku mengalami hari yang buruk. Tapi setelah melihat Rangga makan dengan lahap, entah mengapa aku menjadi sangat ingin makan.

"Terus itu novel-novel situ, dapat inspirasi dari mana?"

"Emangnya udah baca?"

"Belum sih? Wahahaha."

"Huuu!"

Rangga mengeluarkan rokok dari saku kemeja. Menyulutnya dan tak lama asap keluar dari hidung dan mulut. Tatapannya lurus ke rumah duka, tempat peristirahatan terakhir Lili. Entah apa yang dia pikirkan, karena dia banyak diam setelahnya.

"Alhamdulillah. Kenyang juga. Tumben banget aku ngerasain lapar. Biasanya jarang banget bisa makan yang enak gini, apalagi habis ribut kayak tadi," gumamku.

"Elu manusia apa setan? Nggak ngerasain lapar? Kebanyakan nulis setan sih, jadi ketularan," timpalnya.

"Ih, asapnya, Rangga!" Tangan kukibas di depan wajah, sekaligus menutupi hidung dengan jari telunjuk dan ibu jari.

"Eh, maaf maaf." Ia menjentikkan jari dan puntung rokok yang masih setengah pun terlempar jauh.

Akhirnya makanan ku pun habis. Tapi tiba-tiba petir menyambar, langit berubah gelap, dan perlahan rintik hujan turun.

"Yah, hujan." Kami mengucapkan kalimat itu bersamaan, dan berakhir dengan saling pandang kemudian tertawa kecil.

"Kayaknya kita sehati deh," ujarnya.

"Halah. Apaan!"

"Becanda."

Hening.

Rintik hujan perlahan mulai deras. Bahkan kini disertai angin kencang. Membuat kami berdua terpaku dan hanya menatap fenomena alam yang memang sering terjadi belakangan ini.

"Kamu masuk kerja jam berapa, Ngga? Telat dong, hujan gini?"

"Iya. Telat. Harusnya sekarang udah masuk nih. Udah habis jam istirahat ku. Tapi nanti deh, paling juga banyak yang telat."

Aku mengangguk menanggapinya, menatap wajahnya sekilas dari jarak dekat.

"Kamu sendiri nggak balik ke situ? Bukannya acaranya belum selesai?"

"Hm. Malas ah. Urusanku sudah selesai. Sebentar lagi mereka mau ke inti acara. Udah beda keyakinan sama aku. Yang penting udah datang, kan?"

"Iya sih. Eh, kok ada mobil polisi?" Kami berdua sama-sama terkejut saat dua mobil polisi masuk ke halaman gedung di depan kami.

"Mungkin mau takziah juga."

"Oh gitu. Takziah kok mirip orang mau nangkap penjahat. Pakai ada sirine segala," gumam Rangga.

Benar juga

Belum selesai kami membahas hal ini, ada jeritan yang cukup kencang dari gedung tersebut. Beberapa orang heboh berlarian keluar gedung, tak peduli hujan yang deras. Aku menyipitkan mata, dan memperhatikan apa yang sebenarnya terjadi.

"Itu orang kenapa? Sedih? Apa kesurupan?" tanya Rangga menunjuk seorang pria yang menjerit tadi. Dia terlihat ketakutan dan membuat orang- orang di sekitarnya cemas. Aku beranjak dengan ekspresi tak percaya. Bukan karena penasaran dengan apa yang terjadi di sana, melainkan pada sosok yang sedang berada di punggung pria itu. Yah, Ramon. Dan di punggungnya ada Lili.

"Astaga! Lili! Ngapain!"

"Lili? Bukannya yang meninggal namanya Lili?" tanya Rangga menunjuk buket bunga besar dengan nama panjang Lili di depan gerbang.

"Iya." Saat hendak melangkah keluar warung makan ini, tangan ku di tahan Rangga. Aku pun menoleh, dan menatapnya heran. "Kenapa?"

"Hujan ih! Mau ngapain?"

"Tolongin Ramon. Bahaya banget itu. Lili marah!"

"Hah? Maksud kamu, Lili ... Setannya? Di sana ada dia gitu?"

"Iya, di punggung Ramon." Aku berusaha melepaskan tangan Rangga. Namun dia justru makin mempererat genggamannya.

"Tunggu! Bentar. Pinjem payung dulu." Rangga beranjak mendekati pemilik warung lalu kembali dengan sebuah payung. "Yuk, gue temenin."

Panggilan kami kadang berubah-ubah. Dari elu gue, atau kamu aku. Aneh sekali memang.

Rangga menuntunku menyeberang, beberapa kali ia juga melambaikan tangan pada mobil yang hendak menerobos. Hingga akhirnya kami berhasil sampai ke seberang.

Ramon berteriak di bawah hujan lebat. Tidak ada yang berani mendekatinya. Ramon terus menoleh ke belakang, dan menjerit histeris. Ia terus meminta maaf dan mengakui semua yang sudah dia lakukan pada Lili.

"Ros, gue telepon polisi." Mey mendekat pada kami, melirik Rangga namun tidak memperdulikan keberadaannya.

"Hah? Ngapain?"

"Ternyata bener kata elu, Ramon yang nabrak Lili sampai masuk jurang. Ada saksi. Jadi laporan gue langsung ditindak lanjuti."

"Serius?"

Mey mengangguk semangat. "Ini siapa?"

"Rangga." Baik aku dan Rangga hanya memperhatikan Ramon yang seperti orang kesetanan.

"Jadi dia yang bunuh cewek ini? Gila sih," ujar Rangga tetap memegang payung, berdiri di samping ku.

"Iya, dan yang dia bunuh sekarang nggak akan lepasin dia," kataku sambil menatap tajam Lili, di atas bahu Ramon.

K

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status