Share

6. Seleksi Santri Baru

~Dia adalah target pertamaku untuk mendapatkan barokahnya~

                                   ♤♤♤

Embun menyambut kedatangan pagi dengan semerbak semangat senyum para santri. Seleksi santri baru kelas khodam alfiyah dilaksanakan di halaman masjid atau lebih tepatnya di depan rumah Romo Kiyai. Romo Kiyao beserta dzurriyah-nya duduk berjajar di teras rumah. Menyaksikan para santrinya yang ingin mendapatkan ilmu barokah dari beliau.

Dzurriyah Romo Kiyai terdiri dari sembilan. Urutan putri beliau sesuai kelahiran. Sembilan putri Romo Kiyai bisa dijuluki Waliyyah Songo diantaranya; Ning Dijah, Ning Imah, Ning Ais, Ning Maryam, Ning Royya, Ning Minah, Ning Ika, Ning Bilqis, Ning Shita, dan Ning Fiyyah. 

Keseluruhan telah melepas lajangnya kecuali Ning Fiyyah. Bu Nyai wafat ketika Ning Fiyyah masih duduk dikelas 5 MI. Mereka belum memikirkan pengganti sang Ibu. Mungkin saja tidak ada pemikiran seperti itu.

Penyeleksian santri baru tidak seruang dengan santri putra sebab penyeleksian mereka berbeda. Santri Putra yang ingin manjadin khodam dzurriyah harus bisa beladiri. Pelaksanaan mereka bertepatan disamping masjid. Sekitar 70% mereka bertanding dengan Robet, Rasya dan Saga.

Siapapun yang jatuh lengah akan perlawanan mereka, sudah dipastikan tidak masuk khodam.dzurriyah. Begitu juga sebaliknya. Jikalau mereka kuat akan perlawanan tiga utama prajurit pesantren tadi, pasti masuk khodam dzurriyah.

Pak Lubis selaku ketua pesantren putra membunyikan peluit. Pertandingan dimulai. Robet, Rasya dan Saga memainkan kuda-kuda untuk mempersiapkan mental melawan mereka. Fokus pandangan mereka adalah lurus kedepan. Saatnya siap menghadapi lawan.

Dari arah kiri melayangkan pukulan lurus ke depan. Robet menangkis menaruh tangan tepat diatas kepala. Lalu ia tendang perutnya dan terjatuh. Dari arah belakang, melayangkan tendangan ke punggung kaki. Rasya terjatuh telungkup. Ia segera menduduki punggungnya. Rasya menarik tangan kirinya ke belakang yang hendak menghentakkan dahinya ke permukaan tanah. Ia jatuh tergulung dari punggungnya. Rasya mengayunkan kepalan tangannya ke hidung. Ia mengangkat badan. 

Dari arah kanan melayangkan pukulan ke arah pinggang. Saga menangkis ke arah lehernya dan mendorongnya jatuh ke permukaan tanah. Tubuhnya terlentang. Saga segera menduduki perutnya. Ia melayangkan pukulan ke arah lehernya namun ditangkis dengan tangannya. Lalu ia putar tangannya. Si peserta menjerit kesakitan. Sesuai perjanjian seleksi bela diri tiak boleh ada luka saat penyerangan. Saga yang mulai emosi, dihentikan oleh Robet. Ia mengayunkan tangan menenangkan.

Penyerangan berujung klimaks. Namun disertai taat peraturan. Pukulan lawan kebanyakan bisa ditangkis. 

Kelebihannya tendangan lawan yang datang mengagetkan petarung. Ini nilai plus mereka yang membuat petarung belum siap melawan.

Sudah dilihat santri putra bertarung, santri putri bertarung memasak kali ini di depan dzurriyah ndalem. Deg-degan sudah wajar bagi peserta. Ning Fiyyah yang melihat Imaz ikut seleksi santri baru kelas khodam dengan kode memasak, mengepalkan tangan ke udara dengan senyuman merekah. Balasan senyuman tersemat dibibir. Jempol lurus ke depan ia tunjukkan.

"Menjadi khodam putri, "Salwa sebagai pembawa acara, "selain bisa mencuci pakaian, menyeterika, yang paling terpenting harus bisa memasak. Di pagi hari pukul tujuh dengan durasi dua jam, waktu harus cepat dan rasa yang tepat. Dan juri yang akan menilai seberapa kuat rasa masakan kalian adalah staff pondok putri."

Staff pondok putri sebagai juri duduk di sisi kanan peserta. Salwa berdiri di tengah acara.

"Setelah nanti kalian terpilih, kalian boleh memilih salah satu dzurriyah Romo Kiyai."

Imaz dan Ning Fiyyah saling menatap. Raut muka Imaz terbaca oleh Ning Fiyyah bahwa pertemuan pertama kali mereka di laut, membawa kedekatan diantara mereka. Ya. Imaz berharap menjadi khodamnya.

"Baik, kita mulai. Satu...dua...tiga..." Salwa memberi aba-aba. Bunyi gong dinyaringkan.

Peserta berlarian mengambil bahan masakan digaleri belakang mereka. Imaz mengambil empat bawang merah, dua bawang putih, lima buah cabai keriting, kunyit, lengkuas, jahe, ketumbar, madu, kecap manis, air jeruk nipis, air asam jawa, merica, kaldu jamur secukupnya. Selesai mengambil bahan mereka mulai fokus cara pembuatan.

"Hai kau anak baru ya?" suara gadis disebelah Imaz. Ia hanya menjawab deheman. Lantaran tangan menumis bumbu hingga harum.

"Aku Irma. Namamu Imazkan?" Irma yang barusan mengenalkan dirinya rupanya sudah tau namanya. Imaz hanya berdehem.

"senang berkenalan denganmu. Semangat..." Irma tampak begitu santai. Tak ada beban pula kelelahan. Ia mahir memotong bawang merah secepat itu. Meskipun kemampuan Imaz tak sebanding dengannya, cara manual perlahan-lahan jadi spesial. Ia cicipi rasanya. Manis asinnya sudah pas. Bumbu disisihkan. Api dimatikan. Jika bumbu sudah dingin bisa digunakan untuk merendam, Imaz mengambil delapan bawang merah, empat bawang putih, sepuluh buah cabai keriting, dan cabai rawit, tomat besar, terasi bakar, gula jawa, kaldu jamur, petai, jeruk limau secukupnya.

Api dinyalakan ke kompor sebelahnya. Bawang merah, bawang putih, cabai keriting, cabai rawit, tomat direbus hingga agak layu lalu diangkat. Tambah dengan terasi, gula jawa, kaldu jamur, dan uleg kasar. Tak perlu halus-halus langsung tumis sambal dengan sedikit minyak, petai dimasukkan. Masak hingga petai matang dan sambal meresap. Untuk mempermanis harum, diberi perasan jeruk limau.

Waktu 60 menit berjalan. Kurang satu jam lagi waktu memasak usai. Harum semerbak masakan para peserta menggoda iman dan merusak konsenterasi peserta putra yang dituntaskan lawan. Dia adalah Saga. Sedikit memar dibagian pipi dan tangan. Emosi yang menggerogoti akal dan fisik mudah dijatuhkan lawan. Rasya sudah hampir terkuras tenaganya. Hanya Robet yang bertahan untuk mengetahui seberapa besar ambisi mereka mengejar cita-cita. Perlawanan keras bertubi-tubi terhadap Robet.

Waktu kurang 15 menit. Para peserta lebih tangkas memainkan trik memasak sampai-sampai ada satu peserta yang berani menggoreng tanpa spatula tapi digoyangkan diatas kompor api. Juga ada yang lebih cerdas menghias plating sampai-sampai satu tulang ikan dibuat perhiasan untuk mempermanis hidangan.

"sepuluh...sembilan...delapan...tujuh...enam...lima...empat....tiga...dua....satu....STOOOPPP !!!"

Para peserta mengangkat kedua tangan. Dua jam yang lalu telah usai. Pahit manis setiap langkah yang mereka jalani berbuah hasil hidangan dengan hiasan karya masing-masing. Tak ada pernyataan komentar dih adapan peserta. Penilaian dilakukan secara tertutup dan hasil mufakat staff pondok putri.

Hari itu, Imaz menghidangkan hasil masakan dengan menu cumi dan udang bakar madu. Masakan yang pernah diajarkan Ibunya sewaktu masih di Desa.

                                       *** 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status