“Tanda tangan!!”Seruan yang terdengar tegas dan dingin itu terdengar bersamaan dengan sebuah kertas yang melayang di depan Aveline Seraphina Rinaldi, membuat perempuan berambut coklat gelap yang dicepol rapi itu sedikit mengernyit. Sedetik kemudian, wajahnya berubah pias saat membaca tulisan tebal di bagian atas kertas itu.“Kontrak... pernikahan?”Suara Aveline tercekat. Berbanding terbalik dengan isi kepalanya yang riuh, memikirkan berbagai pikiran buruk.Seorang pria yang belum dua hari menjadi suaminya, menyandarkan punggung ke sofa. Tatapan matanya lurus pada Aveline yang terpaku.Pria itu berdecak, setelahnya meletakkan kertas itu ke atas meja dihadapan mereka. "Kontrak pernikahan selama satu tahun. Setelah itu, kita CERAI," kata suami Aveline, Cassian Ardentio Wijaya dengan suara yang tenang, seolah-olah apa yang dikatakannya adalah hal yang biasa.“Hah?”Tunggu..Aveline tiba-tiba saja seperti orang linglung. Kata-kata cerai entah mengapa menyedot semua kemampuannya dalam berp
Anak? Hamil? Hemm...~~~Tiit tiit…Alarm ponsel di atas nakas berbunyi nyaring. Aveline meraba permukaan meja kecil di samping tempat tidurnya untuk mematikannya. Setelahnya, ia perlahan bangkit, meregangkan tubuh yang masih terasa pegal.Ia menguap beberapa kali, lalu menoleh ke sisi tempat tidur yang kosong. Tak ada jejak tubuh suaminya.Lagi-lagi tidur sendiri.. Aveline mencebik. Merasa sedih tapi tidak ingin terlalu berlarut. Karenanya, dia mengambil napas dan bangkit, masuk ke kamar mandi, mencuci muka dan menyiapkan air hangat. Ia kemudian memilih pakaian kerja untuk Cassian dan meletakkannya rapi di atas tempat tidur.Pagi itu seperti pagi-pagi sebelumnya. Ia melangkah ke kamar di sebelah kanan kamar utama, ruang tidur yang kini lebih sering ditempati Cassian.“Kak Ian.. bangun… Udah pagi,” panggilnya sembari mengetuk pintunya dengan lembut, namun cukup keras untuk membangunkan orang dari tidur.Tak lama, pintu terbuka. Di baliknya berdiri sosok lelaki dengan rambut hitam acak
Cassian punya solusi dan Aveline juga punya..~~~“Sudah sejauh mana hubungan kamu dengan Cassian?”Nada suara Papa Vincent begitu tenang… terlalu tenang, sampai-sampai bikin ruangan yang terang itu terasa dingin. Ia duduk tegak di sofa ruang keluarga, jasnya bahkan belum sempat dilepas.Pesta ulang tahun Stella bahkan belum benar-benar bubar. Tapi Aveline sudah diseret pulang, duduk di sofa seolah siap disidang.Aveline diam. Hanya menatap ujung karpet. Pertanyaan itu menghantam tanpa aba-aba.“Maksud Papa apa?”“Udah pernah… melakukan itu belum?” tanya Papa Vincent, sambil membuat tanda kutip di udara. Jelas, ‘itu’ bukan cuma sekadar kata.Wajah Aveline sontak memerah ketika mengerti maksud papanya. Pertanyaan itu terlalu blak-blakan, terlalu pribadi. Ia menggeliat canggung di tempat duduknya. “Ya ampun, Pa…” gumamnya pelan. “Ngapain nanya kayak gitu?”“Karena kamu belum hamil juga sampai sekarang.” Ucap Papa Vincent. “Pernikahan kalian udah delapan bulan, Ave.”Aveline mencengkeram
Hampir satu bulan Cassian menghindari untuk bertatap muka dengan Aveline akibat peristiwa malam itu..~~~Engghh…Aveline terbangun dengan perasaan yang tak nyaman. Kepalanya berdenyut seperti dipukul benda tumpul, dan perutnya… mual. Bukan mual biasa, tapi mual yang merayap pelan dan menghantam keras, membuat tubuhnya lemas tak berdaya.Dengan napas tersengal, ia bangkit dari tempat tidur dan terhuyung ke kamar mandi. Detik berikutnya, suara muntahan menggema di antara dinding porselen, menyisakan rasa asam dan getir di mulutnya.Saat semuanya reda, ia menatap bayangan dirinya di cermin—pucat, lelah, dan kosong.Kembali ke kamar, ia meraih ponsel di sofa. Jemarinya bergerak refleks, membuka layar, berharap ada sesuatu.Satu pesan. Satu panggilan. Apapun.Tapi tidak ada. Hanya jam digital yang terus berlari ke depan, meninggalkannya di belakang. Cassian masih tak memberi kabar.Sejak malam itu, Cassian terus menghindarinya. Ia sengaja melewatkan sarapan dan pulang larut malam untuk me
Aveline akhirnya hamil dan waktunya untuk menjalankan rencana berikutnya..~~~Cassian duduk di sofa tunggal masih di ruangan yang sama tempat Aveline tiba-tiba pingsan. Tubuhnya tegang dan rahangnya mengeras. Matanya kosong, menatap Aveline yang terbaring di sofa panjang, wanita yang secara teknis masih istrinya."Saya nggak bisa pastiin, Pak. Sebaiknya cek langsung ke dokter kandungan," ujar dokter perempuan bernama Riana dengan nada hati-hati. Cassian hanya mengangguk singkat, matanya tetap terfokus pada Aveline yang mulai sadar.Aveline perlahan membuka matanya, kebingungan, lalu memberi senyum tipis kepada dokter."Bagaimana perasaan Ibu sekarang?" tanya dokter Riana lembut.Aveline menjawab dengan suara pelan, "Hanya pusing aja.""Terima kasih, Riana. Bisa kalian tinggalkan saya dan istri saya?" Suara Cassian terdengar datar, seperti biasa.Begitu ruangan sepi, Cassian berjalan mendekat dan duduk di tepi ranjang. Matanya menghindari wajah Aveline, seakan melihatnya terlalu lama b
Cassian : "Kayaknya kamu selalu anggap aku remeh.."~~~"Mana cucuku?"Papa Vincent berseru antusias begitu memasuki rumah, matanya berbinar.Mama Natalia yang menyaksikan kelakuan Papa Vincent hanya bisa menggelengkan kepala. Sepertinya sudah terlalu sering melihatnya bertingkah seperti ini, dan sudah terlalu paham dengan sifatnya.Aveline hanya terkekeh melihat pemandangan itu. Ia dan Cassian sedang berdiri di depan pintu untuk menyambut kedua orang tuanya.Setelah perdebatan semalam dengan Cassian, orang tua mereka mulai menelepon dengan penuh antusias. Berjanji akan datang dan mengunjungi mereka, tanpa menunggu lama.And here they were…Pagi-pagi sekali, kedua orang tua Aveline telah tiba. Sementara ibu mertuanya, Ibu Diana, juga tak kalah antusias. Ibu Diana sedang dalam perjalanan, dijemput oleh salah satu orang suruhan Cassian. Wanita itu tinggal di kota berbeda, menemani Adelia, adik Cassian, yang tengah menempuh pendidikan.“Masih bentuk kecebong kali, Pa.” celetuk Aurora, adi
Aveline ke Rafael : "Cassian itu suami gue.."~~~“Kayaknya kamu selalu anggap aku remeh…” Suara itu datang dari belakang.Aveline menatap pantulan Cassian di cermin tanpa langsung berbalik. Tatapannya tetap tenang, tapi ada ketegangan tipis yang muncul di rahang dan bahunya.“Maksudnya?” tanyanya pelan, pura-pura tidak mengerti.Cassian tertawa singkat—sinis. “Dasar manipulatif. Jangan pura-pura naif. Aku tahu rencana kamu itu.”Pelan-pelan, Aveline berbalik dan menatapnya langsung. “Aku gak ada rencana apa pun.”Cassian terkekeh sinis, lengkap dengan tatapannya yang menajam. “Kamu selalu tau cara buat kendalikan situasi sesuai mau kamu. Sekarang pun, pasti kamu lagi mikirin cara supaya aku tetap tinggal dalam pernikahan ini, kan?”Ucapan itu menghantamnya. Dingin dan tajam seperti pisau.Aveline mengepalkan tangan di samping tubuh, berusaha meredam emosi yang mulai naik ke permukaan. “Kamu salah paham.”Cassian melangkah mendekat, begitu dekat hingga suaranya nyaris berbisik di telin
Aveline berhasil tidur sekamar dengan Cassian. Tapi ...~~~Rafael menatap Aveline dengan mulut terbuka, ekspresi keterkejutan jelas terlihat di wajahnya. “Pak Cassian suami lo?” Suaranya terdengar hampir tak percaya.Aveline hanya mengangguk pelan, matanya memandangi teman lamanya itu, merasa sedikit bingung dengan reaksi yang begitu besar. “Iya… kenapa?”Rafael tampaknya semakin tercengang. “Jadi lo putri pemilik Rinaldi Corp.?” Matanya membelalak, seolah tak percaya dengan informasi yang baru saja didapat.Aveline mengangguk sekali lagi, ragu-ragu. “Ya, tapi kenapa? Emangnya masalah?”“Astaga, Ave. Lo anak sultan ternyata. Padahal pas kuliah dulu kayak miskin banget. Alat gambar aja kadang minjem ke gue.” Rafael tertawa, seakan tak bisa menahan gelaknya, mengenang masa lalu yang penuh kenangan.Aveline hanya bisa tertawa mendengar itu. Dulu, hidupnya memang cukup hemat. Papa Vincent tidak pernah memberi banyak uang untuk keperluannya sendiri, dan Aveline tahu betul bahwa dia harus b
Gue udah nyiapin semuanya… - Anonymous Pesan itu singkat, tapi cukup untuk membuat sudut bibir Nicholas terangkat membentuk seringai licik.Tangan kirinya memutar gelas anggur, tapi sorot matanya tak tertuju pada panggung atau kerumunan.Akhirnya..Lalu, seolah semesta memberinya lampu hijau, dari sudut matanya, Nicholas melihat Aveline mulai meninggalkan panggung.Cassian tetap di tempat, dikelilingi beberapa rekan bisnis dan keluarga yang mulai menghampirinya. Aveline tampak melangkah cepat, memegang perutnya sejenak, mungkin merasa tak nyaman. Mungkin hanya ingin mencari ruang bernapas. Atau mungkin, tanpa sadar, dia sedang menuju perangkapnya sendiri.Bagus.Nicholas bangkit dari duduknya dan menyimpan ponselnya ke dalam saku jasnya. Dasi hitamnya disesuaikan sedikit saat ia mulai mengikuti arah langkah Aveline. Dengan jarak aman, tentu saja. Tak terlalu dekat untuk mencurigakan, tapi cukup untuk menjaga pandangannya tak lepas darinya.Di depan koridor menuju area toilet dan kamar
Musik klasik mengalun lembut, seperti aliran air tenang yang mengisi setiap sudut Ballroom Hotel yang luas dan mewah. Langit-langitnya tinggi, dihiasi lampu kristal menjuntai megah, memantulkan cahaya ke ribuan kepingan kaca dan permata yang tertanam di dekorasi pesta. Cahayanya menari di atas gaun-gaun mahal, setelan jas buatan tangan, dan wajah-wajah berkelas yang berbaur dalam percakapan sopan penuh basa-basi.Para tamu bercakap-cakap dan menikmati suasana malam yang mewah. Sedang sang pemilik acara dan keluarga dekatnya berkumpul di satu meja yang sama, kecuali Aveline dan Cassian yang sudah berada di atas panggung. Ah dan juga Aurora. Entah berada dimana istri Nicholas itu.Di atas panggung, Aveline berdiri berdampingan dengan Cassian. Gaun biru safirnya jatuh sempurna, mengikuti lekuk tubuhnya yang kini membulat manis karena kehamilan. Bukannya merusak penampilannya, perut buncit itu justru menambah aura anggun dan kelembutan dirinya malam itu.Tangannya yang halus berusaha tetap
“Adelia.. dari tadi saya coba calling kenapa gak diangkat, hem?” suara Ryan terdengar dari belakang.Adelia dan ketiga teman perempuannya—minus Letta, sedang duduk bersantai di gazebo belakang fakultas sembari menunggu Staff TU menyelesaikan SK penetapan pembimbingnya. Tiba-tiba saja dia dikejutkan dengan kedatangan Ryan Davis menghampiri mereka.“Eh, handphone saya lagi silent mode, pak.” Adelia meringis pelan. Matanya melirik teman-temannya yang mulai saling berbisik. Jujur, dia tidak nyaman dengan keadaan saat ini.Ryan mengeluarkan ponselnya dari saku. "Saya udah nge-chat kamu dari tadi. Kalau kamu udah selesai, kabari saya.”Adelia mengangguk cepat, merasa wajahnya memanas. "Baik, Pak. Saya akan cek dan langsung kabari."Teman-temannya mulai berbisik-bisik lebih heboh, membuat Adelia semakin tidak nyaman. Ryan tampak menyadari kegelisahan Adelia dan berkata, “Oke, ka
Tangan Aurora yang memang sudah terangkat itu mengepal, merasa gemas sekali dengan kalimat pedas sang suami. Ingin rasanya meremukkan mulut yang sedari tadi membalasnya dengan sinis.“Isshhh.. gemes aku sama kamu.”Nicholas menipiskan bibirnya, mencoba menahan tawa yang hampir saja lolos. Aurora terlihat seperti kucing galak yang sedang mengais dengan kaki depannya.“Yaudah, sini. Gue ada handuk kecil buat bersihin tangan lo.”Aurora menatap Nicholas dengan senyum kecil. "Kamu bawa handuk? Kok perhatian banget sih?" godanya.Nicholas mendengus, menyerahkan handuk kecil yang diambilnya dari tas. “Udah jangan GR. Gue bawa ini buat bersihin muka sendiri, bukan buat lo.”Aurora menerima handuk itu dengan mata berbinar. "Makasih, Hubby." Dia membersihkan tangannya dengan hati-hati, merasakan kehangatan dari handuk yang diberikan oleh suaminya.Yang orang lain tau, Nicholas adalah pria gila dengan obsesi
"Lo lagi ngelindur, ya?" decih Nicholas sambil menatap Aurora dengan mata menyipit.Aurora duduk di tepi tempat tidur dengan posisi menghadap ke arah Nicholas yang duduk bersandar di headboard. Mata wanita yang mengenakan gaun tidur berwarna biru muda itu menatap Nicholas dengan penuh harap. Matanya berkilauan dengan semangat, dan senyum manis terukir di wajahnya.Aurora mendekatkan wajahnya sedikit ke Nicholas, membuat jarak di antara mereka semakin kecil. “Ayo dong, Hubby. Kita cuma duduk-duduk di pantai. Aku yang bakal nyiapin perlengkapannya, kamu nggak perlu khawatir hal lain,” bujuknya dengan suara lembut.“Fix lo emang masih ngantuk.” Nicholas melengos, memutus pandangan matanya pada Aurora. “Mikir gak sih, gue kesananya gimana? Tau sendiri pasir pantai gak cocok buat pengguna crutches kek gue, kursi roda apalagi,” jawabnya sambil menatap ke arah tirai tipis berwarna krem yang sedikit bergoyang tertiup angin dari jendela yang terbuka.Tak habis pikir dengan Aurora. Hari masih p
“Laporan macam apa ini, Ran?”Seorang wanita yang tengah duduk di belakang meja besar di ruang kantor mewah mengangkat kepalanya dari tumpukan berkas yang hampir menutupi seluruh permukaan meja. Wajahnya menunjukkan kelelahan bercampur frustrasi. Di hadapannya, duduk seorang pria yang tengah sibuk mengetik di MacBook-nya.Randy—sekretaris Cassian yang sekarang tengah sibuknya membantu Aveline mempelajari segala hal tentang Rinaldi Corp, menghentikan sejenak aktivitasnya dan menatap Aveline dengan ringisan. “Itu laporan terbaru tentang Rinaldi Corp, Bu. Semua detail keuangan, proyek, dan investasi terbaru ada di dalamnya.”Aveline menghela napas panjang dan menyandarkan punggungnya ke kursi, mencoba meredakan ketegangan yang menjalar di tubuhnya. "Kenapa saya juga harus tau ini? Kan udah ada jajaran Manajer yang bakal handle ini.”“Memang benar, ada tim manajer yang kompeten. Tapi sebagai pewaris utama, anda perlu memahami semua aspek bisnis, termasuk detail laporan ini. Ini penting un
“Dari mana lo?”Aurora melirik orang yang tengah bersantai di ruang TV itu dengan sinis ketika dirinya hendak ke kamarnya untuk beristirahat. Tanpa menghentikan langkahnya, wanita yang memiliki nama lengkap Aurora Sophia Rinaldi mengacuhkan suaminya itu."Lo denger gak gue nanya tadi?" suara Nicholas terdengar lebih tegas dan sedikit marah.Aurora berhenti sejenak, menghela napas panjang sebelum berbalik menghadap Nicholas. "Aku capek. Aku mau istirahat."Tatapan Nicholas tajam, mencoba menahan amarahnya. "Gue cuma nanya, Aurora. Lo abis dari mana?"Aurora mengangkat alisnya, merasa tidak ada kewajiban untuk menjelaskan. "Kenapa? Apa kamu se-khawatir itu aku baru pulang?" tanyanya dengan ketus.“Cih.. gue cuma nanya.” Gantian Nicholas yang menatap dengan sinis ke arah Aurora.“Kepo banget.” Cibir Aurora, lalu melanjutkan langkahnya.Nicholas mendelik mendengar cibiran dari Aurora. Matanya men
“Bisa jelaskan apa maksudnya ini, Hans?”Aurora memperlihatkan sebuah pesan yang masuk ke ponsel Nicholas kemarin yang sempat dipotretnya kepada Hans. Wanita yang mirip dengan istri Cassian itu berdiri di samping sebuah layar besar di ruangan kakak iparnya. Sedang sang empunya tengah duduk di kursi kebesarannya.Hans menelan ludah, jelas merasa tertekan oleh situasi ini. Semua pandangan mata tajam dan menuntut tertuju padanya, termasuk Samuel dan Max yang duduk dihadapannya.“S..saya udah bilang semuanya, Nya. Termasuk orang yang kerja sama Boss Nicho, kan?” suara Hans bergetar, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia telah jujur.“Iya kita tau..” Ujar Aurora. “Tapi ‘dia’ yang disebut dalam pesan ini ditujukan ke siapa sebenarnya?” tanyanya dengan nada menuntut.Hans menelan ludah sekali lagi, matanya berkedip cepat saat dia berusaha menemukan kata-kata yang tepat. Terlihat jelas kala
“Maksudnya, dek?” Kening Aveline berkerut saat mendengar ucapan Aurora yang penuh dengan penekanan.“Iya.. Gue mau buat perhitungan ama bang Ian karena udah bikin suami gue menderita.” Mata Aurora mulai berkaca-kaca. Itu adalah cerminan dari hatinya yang ikut tersiksa melihat Nicholas yang sedang berjuang sembuh. Dan semua itu karena Cassian. “Suami gue berjuang banget buat sembuh. Dia kadang kesakitan pas beraktivitas.” Aurora mulai terisak.Aveline memilih duduk di sebelah Aurora. Tangannya terangkat untuk menenangkan sang adik.Dia paham perasaan Aurora karena dia sendiri pun sudah merasakannya. Melihat orang yang dicintai menderita, juga membuat kita merasa sakit.Aurora menundukkan kepalanya, air mata mulai mengalir di pipinya. Aveline merangkulnya erat, mencoba memberikan dukungan sebisanya.“Abang turut prihatin dengan kamu, Ra. Tapi abang gak bakal minta maaf buat apa yang udah abang lakuin.”