"Saya nggak tahu alasan kamu ingin mati. Tapi dengarkan saya dulu!"
Persetan. Sara mengangkat satu kakinya—siap melompat dari ujung beton di atap gedung mall lima lantai. Susah-susah dia menyelinap ke atap, seorang pria asing malah memergoki upayanya mengakhiri hidup. Detik berikutnya, tubuh Sara melayang. Bukan ke depan, melainkan ke belakang. Pria itu menarik tangannya dalam satu hentakan cepat. "Aakh!" Badannya berakhir terhempas di atas tubuh pria itu. Napas mereka beradu di udara. Sial! Sara bangkit duduk dengan hati berang. Amarahnya semakin memuncak setelah menyadari pergelangan tangannya dicengkram erat. "Lepas! Kenapa kamu tarik saya? Mau kamu apa?" Pria itu bangkit duduk perlahan, nafasnya masih tak beraturan. "Nggak akan saya lepas. Saya perlu pastikan kamu nggak akan kembali melompat." Ujarnya dingin. Tatapannya tajam penuh intimidasi. Alis tebalnya menyorot dingin penuh tekanan. Tangannya mengunci erat lengan Sara, seolah tak ada cela. Sara kembali meronta, "Kamu nggak tahu apa-apa! Nggak ada gunanya saya hidup!" Jeritnya dengan tenggorokan tercekat. Namun pria berkemeja rapi itu bergeming, menatapnya lekat dan tajam. "Kamu ...." dia terdiam, matanya menelisik wajah dan penampilan Sara. " ... kamu harus ikut saya." Pria itu berdiri, tanpa melepas tangan Sara. Sara yang tercengang tak mampu berkutik lantaran tangannya dicengkeram. "Tunggu! Lepaskan dulu!" Pria semampai itu menyeret Sara menuruni tangga darurat, lalu masuk ke sebuah butik pakaian mahal di dalam mall. "Saya akan kasih kamu jalan keluar ... selain bunuh diri. Sekarang, ganti dulu pakaianmu." Ucapnya tegas lalu melepas tangan Sara. Kening Sara berkerut. Walau bingung, sesungguhnya dia penasaran dengan maksud pria ini. Dengan bantuan pelayan toko, Sara dipilihkan dress elegan yang cantik. Anehnya, pria asing itu terus-terusan mengecek arloji, seolah dikejar waktu. Di kamar ganti, Sara menunduk menatap seragam SPG yang dia kenakan sekarang. Dibentangkannya gaun putih gading yang dia terima. Matanya menilai, menebak untuk apa dia diminta memakai baju semewah ini. Gadis itu lalu mendengus dengan senyum getir. Apa dia akan dijual ke rumah bordil? Sara menghela napas. Sejujurnya, dia lelah. Berangkat kerja, dia ditindas senior-seniornya, pulang ke rumah, Paman dan Bibinya menyiksa dengan pukulan dan setumpuk pekerjaan rumah. Tubuh dan mentalnya seolah tak diberi jeda untuk istirahat. Jikal ada hal yang membuat Sara ingin bertahan hidup, itu hanyalah Papa. Sara hanya ingin Papanya yang tidak bersalah dibebaskan dari penjara. Dia hanya ingin keadilan untuk Papanya yang dijebak, dan hukuman seumur hidup yang dijatuhkan atas suapan penguasa itu berakhir dihapuskan. Sayangnya, semua itu butuh uang yang sangat banyak. Begitu Sara keluar dari ruang ganti, dia menemukan pria itu sedang balik menatapnya lekat. "Pak ... " "Panggil saya Vincent. Kamu?" "Sara. Kita mau ke mana?" "Nanti kamu akan tahu." Sara semakin terheran ketika dia diajak masuk ke dalam sebuah mobil mewah. Menilai dari penampilan rapi, merek jam tangan dan mobilnya, Vincent sepertinya berasal dari kalangan atas. Sara mengeratkan tangan pada sabuk pengaman, semakin curiga dia akan dijual sebagai pekerja seks. Vincent sendiri tidak membuka suara. Kendaraan yang dikemudikannya melaju sangat kencang, seakan dia takut terlambat menghadiri sesuatu. Tiba-tiba Vincent menyambungkan telepon menggunakan loudspeaker ponsel. "Halo, Tuan Vincent." "Semuanya masih di sana?" "Masih. Semua menunggu Tuan Vincent." "Bagus. Instruksi yang sebelumnya batal. Saya sudah menemukan orang yang tepat." "Baik, Tuan." Panggilan ditutup. Sara semakin mengerutkan kening. "Kita mau melakukan apa?" "Apapun yang saya lakukan, kamu cukup ikuti. Saya janji akan bayar mahal." Sara menatap Vincent ragu. Segenap tanya berkecamuk di kepala. Sebenarnya apa yang akan dia lakukan? Sara bisa saja kabur. Namun, diam-diam dia menaruh harapan, bahwa dia menemukan tempat lain yang lebih baik dari hidupnya yang sekarang, tanpa harus mati. Mobil yang dikendarai Vincent sampai di sebuah mansion mewah, semakin meyakinkan Sara bahwa Vincent bukan orang sembarangan. Sebelum turun, pria itu meminta Sara merapikan riasan secara singkat. Vincent lalu mengajak Sara menuju sebuah ruangan dengan meja makan besar di tengah, tampak beberapa orang sudah duduk bersiap makan. Semua tercengang dengan kehadiran Vincent bersama Sara. "Vincent? Katanya kamu lagi site visit ekspansi Aqua mall? Kamu ... sama siapa?" Seorang wanita paruh baya dengan kalung mutiara bersuara. "Kakek, Deana, Mama, ini Sara ... calon istriku." Wajah-wajah itu terperangah. Bahkan Sara sendiri membuka mulutnya tak menyangka. Ingin rasanya berteriak 'kamu gila?', tetapi Vincent memperingatkannya untuk menurut. "Akhir bulan ini kami akan menikah, secara private." Vincent menggenggam tangan Sara. Di tengah ketidaknyamanan, Sara berusaha menahan diri untuk tidak memberontak. Ini hanya sandiwara sejenak saja kan? "Lagipula, Deana juga menolak untuk rujuk. Kakek, seperti yang kakek minta, saya akan segera memiliki pernikahan yang utuh. Syarat pengalihan kepemilikan perusahaan sebentar lagi bisa saya penuhi." Seorang kakek di ujung meja tertawa pelan. "Bagus. Kakek tunggu cerita kamu tentang Sara. Kalau mempertahankan pernikahan saja kamu gagal, bagaimana bisa kamu menjaga perusahaan besar?" "Hentikan sandiwara konyolmu, Vincent! Kamu menyakiti Deana!" "Nggak apa-apa, Ma. Kami memang nggak berniat rujuk...." Seorang wanita cantik yang duduk di sana beralih menatap Sara tajam. " ... setidaknya untuk sekarang." Sara mendongak menatap Vincent ragu. Tanpa diduga, pria itu membalas tatapan Sara penuh kehangatan. Tangannya berpindah ke pundak Sara, mengusapnya lembut. Senyumnya membius pikiran Sara. Sebuah kecupan selama dua detik mendarat di puncak kepala Sara. Sepasang mata gadis itu membelalak. Sesuatu berdesir dalam dadanya. Untuk sejenak, Sara merasa seperti kembali memiliki 'rumah'. Namun gadis itu lekas tersadar, semua ini hanya kepalsuan semata. *** Setelah melewati makan siang penuh ketegangan dan pandangan sinis, Sara memohon izin menggunakan toilet. Wanita cantik yang sejak tadi dipanggil Deana lalu bangkit, "Biar kuantar." Di tengah langkah menuju toilet, perempuan itu bertanya tajam, "Kamu dipungut Vincent dari mana?" Sara menghela napas berat, memilih tidak menjawab. "Baju, tas dan sepatu kamu jomplang brand-nya. Kuakui kamu cantik. Tapi penampilan kamu kentara tambalan." "Bisa langsung ke intinya?" Sara sudah memegang kenop pintu. Namun berhenti demi menunggu jawaban Deana. "Walau kami sudah cerai, aku yakin Vincent masih mencintaiku. Kamu pasti cuma dibayar untuk sandiwara sesaat. Kuperingatkan. Dia punya masalah kejantanan. Jangan berharap apapun darinya." Sara memutar bola mata, mana dia peduli. Dia toh akan dibuang setelah ini. Langkahnya lalu diayun masuk ke dalam toilet. Dari balik pintu toilet, saat dia sedang berkaca di depan wastafel, samar terdengar suara Deana. "Halo. Aku mau kamu selidiki wanita bernama Sara yang hari ini dibawa pulang Vincent. Cari tahu latar belakangnya, dan apa yang dia inginkan." Sara menyeringai tipis sebelum membuka kran wastafel. Mati. Itu yang dia inginkan. Setelah keluar, Sara tidak lagi menemukan Deana. Justru dilihatnya Vincent sedang bersandar di salah satu dinding. "Sara, ke sini sebentar." Vincent mengajaknya ke sebuah balkon dengan pemandangan kolam renang. "Sara." Pemuda itu berdiri di hadapan Sara. "Satu miliar, dan menikah dengan saya. Atau kamu memilih kembali mengakhiri hidup? Pernikahan ini hanya sebatas status. Kamu nggak perlu penuhi kewajiban sebagai istri. Kamu setuju?" Satu miliar. Sara bisa membayar pengacara mahal, membuka kembali kasus Papa, menyuap saksi yang dibungkam, dan akhirnya menjemput kebebasan Papa. Senyum, tawa, pelukan hangat Papa, semua itu ... bukan lagi mimpi? "Deal. Satu miliar."Sara beranjak bangkit dan mencoba mengejar untuk memeriksa siapa sosok di balik kamera itu. Namun rumah megah ini mendadak sunyi. Tak ada jejak siapa pun di sekitar. Satu hal yang Sara yakini, ada seseorang yang ditugaskan untuk mengawasi Sara di rumah ini. Siapa yang memberi instruksi? Sara mencurigai beberapa pihak. Deana, atau seseorang di keluarga Vincent—Ibu mertuanya atau mungkin Kakek. Jika dipikir, pertemuan terakhir Sara dengan sang Ibu mertua adalah di hari pernikahannya. Hingga saat itu, Sara yakin wanita paruh baya yang kerap dipanggil Nyonya Martha itu masih belum sepenuhnya menerima Sara. Vincent juga tak pernah membahas beliau. Dan, tak ada tanda-tanda Nyonya Martha berencana menemui Sara. Tampaknya ada sesuatu di balik itu. Sara harus menanyakan hal ini pada Vincent. Walau sebenarnya Sara tak ingin mengambil pusing. Karena toh dia hanya sementara di rumah ini. Tetapi, bagaimana jika misinya membutuhkan waktu lebih lama? Jangan-jangan pihak yang tak me
"Kenapa? Karena aku menciummu? Karena aku tidur denganmu?” pekik Sara, lekas membuat Vincent memejamkan mata kuat-kuat. Tangannya mengusap wajah, tampak frustasi.Bi Laila dan seorang pelayan lain yang sedang berada di dapur berjalan keluar ruangan dengan kepala menunduk, berpura-pura tak mendengar ucapan Sara yang barusan lolos tanpa filter.Sementara itu, Eric di ambang pintu bergeser kikuk, memindahkan tubuhnya agar berada di ruangan sebelah.Vincent membuka mulut, tampak akan memprotes ucapan Sara, namun wanita itu lebih dulu memotongnya,“Kenapa kamu baru mengatakannya sekarang?”“Dengar. Aku nggak suka, kamu bertemu banyak orang. Nggak ada yang bisa jamin kamu nggak akan bertemu kembali dengan orang-orang seperti Yuta.” Vincent menatapnya tajam, penuh tekanan. “Paham?”Sara semakin mengernyit, menunjukkan penolakan keras, “Kamu mau mengurungku di rumah?”“Kamu bisa kembali latihan bermain gitar.” ucap Vincent memberi solusi.Iya, mungkin benar. Tetapi Sara kini kehilangan momen
Vincent merebahkan kepalanya yang penat di atas bantal. Matanya dipejamkan kuat-kuat. Tangannya memijit pelan pelipis.‘Kamu boleh tidur di kamarku.’Kalimat yang dia ucapkan tadi itu terus terngiang di kepala. Bagai mimpi buruk yang mencekik kewarasannya. Dia sendiri menyesali kebodohannya yang belakangan ini begitu mudah takluk pada pesona Sara. Segala yang ada pada wanita itu, entah sejak kapan menggoyahkan pertahanannya hingga luluh lantak.Suara yang kadang terdengar manja, tatapan mata yang berbinar indah, bibir yang ranum …Dan sentuhan hangat yang menari lembut di bibirnya ….Semua berkelebat liar di kepala Vincent. Mengacaukan debar jantungnya hingga tanpa sadar tangannya mencengkeram rambutnya kuat. Pria itu menghela napas berat. Sejujurnya, dia menikahi Sara tanpa diiringi niat untuk ‘hadir’ sebagai suaminya. Jangankan menjadi suami, menikah kembali pun dia tak berminat.Namun kini … apa hatinya mulai goyah? Sekarang … apa yang dia inginkan?“Vin ….” Vincent membuka mata
“I-itu ….” Sara membelalak ketika Vincent mengernyit menatap layar ponsel Sara. Buru-buru direbutnya benda pipih itu dari tangan Vincent. Namun, pria itu menahannya.“Itu cuma spam! Bukan pembelian!” Sara berseru panik. Tangannya mencoba merampas ponsel yang dicengkeram erat oleh Vincent. “Lepas! Berikan ponselku!” pekiknya seraya mendelik kesal.“Kalau hanya spam, lantas kenapa kamu sepanik ini?” Vincent menatap Sara lekat, guratan curiga menggantung di wajahnya. Pria itu semakin mendekat, membuat Sara refleks menjauh.“Ada yang kamu sembunyikan?” desaknya dengan suara rendah.Sara meneguk ludah. Ini gawat. Kalau sampai Vincent berhasil mengakses ponsel Sara, bukan hanya pembelian barang-barang mesum itu, tetapi juga pesan rahasianya dengan Deana yang bisa terbongkar.Sara menarik paksa ponselnya dalam satu sentakan cepat. Namun, gerakan itu membuat Vincent yang memegang ponsel ikut tertarik. “Aakkkh!”Bagai dihisap gravitasi, tubuh Sara miring ke belakang, kepalanya nyaris terjere
Penerangan di ruangan itu redup, hanya mengandalkan lampu dinding kecil di dua sudut. Sehingga tidak terlalu jelas apa yang berada di sekitar. Sara menelan ludah, ragu untuk masuk. Namun rasa ingin tahunya menang. Langkahnya diayun perlahan seiring daun pintu berderit. Suasana gelap memaksa Sara meraba dinding, mencari saklar. Ketika cahaya lampu menerangi sekitar, Sara membelalak. Ruangan itu diisi beberapa alat musik. Ada gitar klasik, grand piano, biola, juga ada buku partitur dan lemari kaca besar berisi beragam piala dan piagam. Sara berkeliling. Tangannya menyentuh perlahan pintu kaca yang melapisi beragam piala. Dibacanya sebuah ukiran teks pada salah satu piala yang ukurannya paling besar dan elegan. Juara satu kompetisi piano Internasional. Vincent Suryadinata. Senyum Sara mengembang tipis. Tak disangka Vincent menyukai musik. Sara pun begitu. Hanya saja, impian dan minat itu harus padam sejak Sara meninggalkan rumahnya yang dijual, lalu pindah dan hidup ber
Langit sudah gelap saat Sara berjalan keluar menuju balkon kamar. Udara dingin malam menusuk kulitnya yang terbalut gaun malam berlapis kimono panjang.Terbayang kalimat dokter saat siang tadi dia temui setelah waktu jenguknya habis.“Secara garis besar, perkembangan kondisi pasien cukup baik. Jika progresnya terus sebaik ini, sepertinya paling cepat malam ini sudah bisa pindah ke kamar rawat biasa. Semoga saja.”Bagai bongkahan batu besar dipindahkan dari dada, kelegaan merayapi Sara.Walau demikian, Sara yakin, ini perbuatan Deana. Entah dengan cara apa—mungkin menyuap melalui perpanjangan tangannya di dalam lingkungan internal Lapas, membuat skenario keji, hingga Papa berakhir mengalami kekerasan dari rekan satu sel. Atau mungkin dengan cara keji lainnya?Merasakan udara dingin yang kian membuatnya menggigil, Sara memutuskan kembali ke kamar. Langkahnya diayun pelan seraya menutup pintu balkon. Diliriknya jam digital di atas nakas. Pukul sembilan malam. Sudah selarut ini dan Vince