Share

Talita tidak bisa dihubungi

Miskin Setelah Bercerai

Part 5

Pov Robi

Hari ini aku kembali berbohong pada Talita, aku bilang jika akan ke rumah Ibu untuk menjenguk beliau yang sedang sakit. Tapi nyatanya aku akan menikah lagi dengan Nia wanita pilihan Ibu. Nia wanita yang cantik, walaupun Talita lebih cantik tapi aku tak pernah bosan melihat pesona Nia. Aku tidak bertujuan untuk menyakiti hati Talita, aku hanya ingin memiliki keturunan. Kata Ibu mungkin Talita lah yang bermasalah, makanya sampai pernikahan ke-tiga tahun kami belum punya anak.

Semua persiapan pernikahan Ibulah yang mengurus, dimulai dari tempat resepsi, makanan termasuk biayanya. Untuk sementara biarlah dulu Ibu yang bayar, nanti setelah resepsi akan ku kembalikan semua uang Ibu yang habis. Karena untuk saat ini tidak mungkin aku mengambil uang tabunganku dan Talita, dia akan curiga karena semua keuangan dia yang pegang.

"Kamu udah siap Rob, lebih baik malam ini kita tidur di hotel saja. Karena Ibu takut kita terkena macet besok dijalan," ucap Ibu saat aku sedang istirahat dikamar.

"Terserah Ibu saja, tapi Ibu yang bayar ya. Soalnya Robi ga ada uang cash, kalau pakek ATM takutnya ketauan Talita karena ada pemberitahuan banking," jawabku tanpa menoleh dari ponsel yang sedang kumainkan. Sebenarnya aku tidak terlalu ingin menikah lagi, tapi karena dorongan dari Ibu yang katanya aku harus memiliki keturunan makanya aku menerima tawaran Ibu menikah lagi.

"Kamu ini jadi suami kok bod*h banget, masak keuangan dipegang sama istri semua. Harusnya kamu yang pegang keuangan, istri kamu itu kamu kasih uang bulanan aja. Gitu aja kok harus dikasih tau," sewot Ibu penuh emosi.

"Bukan begitu Bu, aku kan ga tau kedepannya bakalan kayak gini. Lagian walaupun uangnya Talita semua yang pegang, dia tidak pernah absen mengirimkan Ibu uang kan? Bukan cuma untuk Ibu, tapi juga buat kuliahnya Rina," jelasku. Aku tidak suka jika Ibu menilaiku tidak tegas, lagipula semua kebutuhan Ibu sudah kupenuhi hanya cucu yang belum kuberi.

"Iya Ibu tau, tapi setelah kamu nikah nanti gimana caranya kamu ngasih nafkah ke Nia jika uang aja ga ada," sindir Ibu sambil keluar dari kamarku. Betul kata Ibu, tidak mungkin aku menafkahi Nia nanti jika semua keuangan dipegang Talita. Ah aku akan mengurusnya nanti saja, sekarang lebih baik aku bersiap-siap untuk ke hotel dimana aku akan menikah besok.

***

Pernikahan ini begitu mewah, Nia pun begitu cantik dan anggun dengan balutan baju pengantin bernuansa putih. Ini persis pernikahan impian Talita, tapi sayang sekarang yang disampingku bukan dia yang menemaniku dari nol. Setelah melakukan ijab kabul, rasanya ada perasaan bersalah dengan Talita. Tapi ya sudah lah ini juga untuk kebaikan kami semua, mau dikemanakan harta itu nanti jika aku tidak memiliki keturunan.

Saat sedang menerima tamu-tamu tiba-tiba Talita datang dan mengucapkan selamat kepadaku, jantungku seakan berhenti berdetak. Anehnya dia tidak marah-marah, dia malah selalu tersenyum. Apakah dia sudah tau dari awal tentang pernikahan ini, aku dilanda kebingungan. Apa yang harus aku jelaskan nanti pada Talita, apalagi dia mengingatkan aku dengan perjanjian pra nikah kami dulu. Sungguh aku dilema saat ini, pikiranku kacau. Dari mana dia tau pernikahan ini, padahal semuanya kututup dengan sangat rapi. Tunggu, Rama ternyata sengaja mengajak Talita kesini. Br*ngsek Rama, berani-beraninya dia berkhianat. Seharusnya dia berada dipihakku yang notabene sahabat bukannya malah membela Talita.

**

Malam setelah resepsi aku langsung mengajak Talita bertemu, sengaja aku mengajak Nia agar mereka bisa bertemu.

Karena aku pikir jika mereka saling mengenal maka mereka akan menerima satu sama lainnya, terutama Talita. Tapi perkiraanku salah, bukannya menerima Nia sebagai madunya Talita malah menakuti Nia resiko menjadi istri siri. Belum sehari punya istri dua kepalaku makin bertambah pusing tujuh keliling.

Talita benar-benar marah dan minta cerai, jika aku dan Talita bercerai bisa miskin beneran aku. Gara-gara perjanjian bodoh itu kini aku memakan buah simalakama, jadi lebih baik aku terima saja tawaran dia untuk sementara. Walaupun Nia keberatan, tapi aku memberikan dia pengertian agar dia mau mengerti keadaanku saat ini. Belum sehari aku menikah lagi, aku sudah tidak bisa membayar makanan di restoran malam ini.

Betul kata Ibu, aku terlalu bodoh mempercayakan keuangan sama Talita. 

Terpaksa malam ini aku harus menginap dirumah Ibu, aku tidak punya uang untuk sekedar tidar di hotel. Semua uangku dan Ibu sudah habis untuk resepsi pernikahan kemarin.

"Nia, malam ini kita nginap dirumah Ibu dulu ya," aku harap Nia bisa mengerti keadaanku saat ini.

"Iya Mas, ga papa. Tapi aku ga mau ya Mas tinggal satu rumah sama istri kamu itu apalagi dijadikan babu," tegas Nia saat kami sudah didalam mobil.

"Iya sayang, tidak mungkin Mas membiarkan itu terjadi. Nanti setelah kita sudah masuk kerumah, Mas akan bersikap lebih tegas sama Talita," jelasku. Aku harus bersabar agar Talita mau pulang, setelah aku berhasil masuk kerumah persetan dengan surat perjanjian itu. Aku memang harus lebih tegas lagi dengan dia, selama ini bukan cuma dia yang bekerja aku juga ikut andil dalam mencari uang.

Tok tok tok

"Assalamualaikum Bu," aku memberi salam saat sudah sampai kerumah Ibu. Mungkin Ibu sudah tidur, pasti Ibu tidak menyangka jika kami akan tidur disini.

" Waalaikumsalam, eh Robi Nia kenapa kalian kesini udah tengah malam," Ibu bertanya kemudian menyuruh kami untuk masuk.

"Malam ini kami menginap disini dulu ya Bu, soalnya Talita ga ada dirumah," jawabku ragu-ragu, Ibu pasti akan memarahiku jika tau aku tidak bisa masuk kerumahku sendiri.

"Ya bagus dong Robi, kalau dia ga ada dirumah itu artinya kamu sama Nia bisa bebas berduan dirumah," sahut kak Mira tiba-tiba, dia menyuguhi kami air.

"Gimana mau bebas kak, wong Mas Robi aja ga bisa masuk kerumahnya. Semua kunci pintu dirumah udah di ganti sama si Talita itu," jawab Nia kesal.

"Benar yang dikatakan Nia Robi," tanya Ibu mendelik kearahku. Bisa mati aku kali ini. Padahal tadi sudah kuperingatkan pada Nia agar dia tidak memberitahu Ibu.

"I-iya Bu, Talita marah karena aku menikah lagi. Jadi dia minta cerai," jawabku membela diri.

"Yaudah kalau gitu kamu ceraikan saja wanita mandul itu, kamu sudah ada Nia sekarang," Ibu tampak sangat senang ketika mendengar Talita minta cerai.

"Masalahnya sekarang jika aku langsung menceraikan dia, aku tidak akan mendapatkan apa-apa Bu. Ibu kan tau masalah perjanjian pranikah kami," jawabku lesu, aku tidak mengira akan begini jadinya.

"Kamu yang salah, jadi suami lembek banget. Udah, kamu balik aja dulu kerumah. Setelah itu kamu usir aja dia, biar kamu bisa geledah kamar untuk mencari surat perjanjian itu," jelas ibu penuh emosi. Mungkin Ibu kecewa karena aku sebagai anak lelaki satu-satunya tidak bisa diandalkan.

"Iya Bu, rencananya gitu juga. Tapi sekarang aku tidur disini dulu ya," pintaku hati-hati. Rumah ini besar dan kamarnya juga banyak, tetapi aku kurang nyaman karena Kak Mira dan suami sama anak-anaknya juga tinggal disini. Rumah ini dibeli oleh Talita untuk Ibu, karena dia kasihan dengan Ibu dan Rina yang tinggal dikontrakkan.

"Baiklah, sekalian Ibu mau jumpa sama istrimu itu. Rina tadi telpon minta dikirimi uang SPP kuliahnya." Ibu terus mengomel sambil masuk kedalam kamar.

**

Aku terkejut ketika suara ponsel diatas nakas berdering, ternyata Mang Asep. Dia adalah satpam dirumah, entah kenapa dia telpon pagi-pagi.

"Halo Mang ada apa," tanyaku.

"Ini Pak, Ibu pingsan," jawab Mang Asep khawatir.

"Talita?" tanyaku memastikan.

"Bukan Pak, tapi Ibunya Bapak," jawaban Mang Asep membuatku khawatir sekaligus kaget, ngapain Ibu kesana.

"Halo Pak, saya kirim alamat rumah sakitnya ya," sambung Mang Asep.

Aku yang panik tidak sempat membangunkan Nia yang masih tertidur pulas, aku langsung mandi dan memakai baju.

"Mau kemana kamu Robi," tanya Kak Mira saat aku mau mengambil mobil.

"Ibu katanya pingsan dirumah aku, tadi Mang Asep nelpon. Tapi ini udah dirumah sakit, jadi aku mau kesana," jelasku.

"Kakak ikut." Kak Mira langsung masuk ke mobil dan kami segera kerumah sakit tempat Ibu dirawat.

Setelah sampai kerumah sakit, kami tergesa-gesa menuju ke ruangannya Ibu. Alhamdulillah Ibu sudah siuman, aku menyuruh Mang Asep langsung pulang kerumah. Ternyata Ibu kesana untuk bertemu dengan Talita, Ibu pasti jantungan karena ucapan Talita. Kurang ajar kamu Talita, cukup sudah aku bersabar. Aku akan membuatmu menyesal karena melakukan ini pada Ibu.

**

Sorenya aku langsung menemui Talita di lobi hotel, aku menyuruhnya untuk pulang kerumah. Entah darimana saja dia, dari penampilannya dia sedikit berbeda dari biasanya. Kali ini dia kelihatan lebih cantik dari biasanya, apakah dia habis bertemu dengan laki-laki lain. Setelah sedikit berdebat, akhirnya dia mau juga pulang kerumah. Aku pun pulang kerumah Ibu untuk menjemput Nia dan membantu dia berkemas.

"Udah semua," tanyaku memastikan tidak ada yang tertinggal.

"Kayaknya udah Mas,"

"Yaudah yuk, udah malam juga." Aku menarik koper untuk memasukkannya ke bagasi mobil. Ah aku rindu sekali tidur dirumah, aku tidak nyaman berlama-lama disini.

"Mas, nanti aku tidurnya dikamar mana," tanya Nia saat kami sudah dimobil.

"Ya dikamar tamu dulu sayang, kamu tenang aja. Kamar tamu yang satu itu ada AC nya juga," jawabku sambil mencium mesra tangannya. Nia memang wanita yang lembut, dulu Talita juga wanita yang lembut. Tapi akhir-akhir ini dia sudah berubah, dia juga sudah menjadi istri pembangkangan.

"Tapi aku ga mau ya Mas jadi babunya istri kamu yang mandul itu, kita kan lagi program hamil. Jadi aku ga boleh capek-capek," rengek Nia manja. Dia memang sungguh menggoda, aku sudah tidak sabar sampai dirumah dan ingin menghabiskan malam dengannya lagi.

"Iya sayang, kamu tenang aja." Aku tidak boleh membiarkan Nia dijadikan pembantu oleh Talita, bisa-bisa Nia susah hamil jika terlalu capek.

Setelah satu jam perjalanan akhirnya aku sampai dirumah, setelah memarkirkan mobil akupun menurunkan koper. Ternyata Talita belum sampai, baru sebentar menunggu akhirnya dia pulang juga.

Dia melewatiku dan Nia tanpa bicara sepatah katapun, seakan-akan kami tidak terlihat. Aku tidak terlalu ambil pusing dan segera menyuruh Nia istirahat dikamar sebelah kamarnya Talita.

Saat sedang memasukkan pakaian kedalam lemari tiba-tiba Talita datang dan langsung menarik koper Nia dan dilempar keluar. Kami pun berdebat sampai aku menamparnya sekali, sebenarnya aku sangat menyesal telah menamparnya. Tapi aku harus membuat dia marah, agar dia pergi dulu sebentar dari rumah. Jadi aku dengan leluasa akan mengambil surat perjanjian itu dan beberapa perhiasanku didalam lemari.

Ternyata rencanaku berhasil, Talita pergi dari rumah.

"Sayang, dia kan udah pergi. Gimana kalau kita tidurnya dikamar utama aja, kamarnya lebih nyaman, sekalian kita cari surat itu," ajak Nia dengan menarik tanganku.

Aku pun mengiyakan ajakan Nia, setelah menggeledah semua isi lemari aku tidak menemukan apapun. Sial, pasti surat itu sudah diamankan oleh Talita. Aku yang capek langsung istirahat, besok akan aku pikirkan lagi caranya.

**

"Pagi sayang, kamu masak apa wangi banget," sapaku pada Nia yang sedang masak didapur.

"Nasi goreng sama telur balado Mas," jawab Nia sambil mengambilkan piring untuk aku makan.

Tok tok tok

Siapa tamu pagi-pagi begini, apa Talita sudah balik lagi.

"Bentar sayang, biar Mas aja yang buka." Aku pun beranjak membukakan pintu.

"Selamat pagi Pak, saya dari pihak properti Jaya Mandiri ingin memberitahukan jika hari ini rumah ini harus dikosongkan karena akan ditempati oleh pemilik yang baru." Jelas lelaki yang didepanku.

"Maaf Mas, mungkin anda salah rumah," ucapku. 

"Benar Pak, Ibu Talita sendiri yang sudah menjual rumah ini kepada kami," jawabannya mampu membuatku panik. Bagaimana mungkin Talita tega menjual rumah ini tanpa meminta izin padaku.

"Sebentar Mas, saya telpon istri saya dulu." Beberapa kali menelpon tapi nomornya tidak aktif.

"Mohon maaf Pak, saya permisi dulu." Pamit laki-laki tadi.

Aaaghr...teriakku frustasi. Bagaimana mungkin rumah yang aku beli dengan jerih payahku sendiri dijual oleh Talita.

"Kenapa Mas, ada apa," tanya Nia khawatir melihat keadaanku.

Baru akan menjawab teleponku berdering, ternyata Ibu.

"Halo ada apa Bu," tanyaku

"Robi, tolong kamu kesini sekarang juga. Ada laki-laki datang kerumah katanya rumah ini udah dijual sama Talita. Dan Ibu di usir, tolong Robi Ibu ga mau miskin lagi." Raung Ibu penuh iba. Otakku langsung mendidih mendengar berita mengejutkan ini. Berkali-kali aku menelpon Talita tapi nomernya sudah tidak bisa dihubungi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status