Share

Sesal

Miskin Setelah Bercerai

Part 6

Pov Robi

Setelah menerima telpon dari Ibu aku langsung bersiap-siap kesana, tidak kupedulikan lagi Nia yang terus bertanya kenapa. Dalam pikiran ku saat ini adalah Ibu, bagaimana jika Ibu sampai terkena serangan jantung. Saat dalam perjalanan tiba-tiba mobil mogok, ternyata ketika aku cek bensin mobil habis. Aku lupa mengisinya kemarin, darimana aku akan mendapatkan uang untuk mengisi bensin.

Tiba-tiba aku melihat Rama sedang keluar dari cafe bersama teman-temannya, sepertinya kali ini aku harus menahan malu. Aku akan meminta bantuan Rama, dan sekalian menanyakan kenapa dia sampai menghianati aku sahabatnya.

"Rama, aku ingin ngomong bisa," tanyaku ketika dia akan menaiki mobilnya.

"Ada apa ya," tanyanya ketus.

"Jangan disini, sebaiknya kita bicara didalam mobil kamu aja," saranku. Aku tidak ingin dilihat orang jika nanti seandainya kami bertengkar.

"Oke, masuklah." Lalu aku pun masuk kedalam mobilnya.

"Apa yang ingin kamu tanyakan," tanya Rama lagi.

"Kenapa kamu memberitahu Talita jika aku selingkuh, kamu malah ke acara resepsi dengan mengajak dia," tanyaku kesal.

"Kamu beneran pengen tau," bukannya menjawab pertanyaanku Rama malah bertanya balik. Tapi aku harus sabar jika ingin mendapatkan jawabannya, siapa tau aku bisa memperbaiki semuanya.

"Iya, kamu tau kan kalau aku menikah lagi karena ingin punya keturunan," jawabku lesu.

"Kamu ingat wanita yang pernah kuceritakan dulu?" tanya Rama lagi, dia berbelit sekali.

"Yang mana, aku lupa," jawabku acuh.

"Wanita yang pernah pergi meninggalkan aku ketika akan melakukan ijab kabul," jawab Rama. Iya aku ingat, dulu Rama pernah bercerita kalau dia akan menikah dengan wanita yang dia cintai. Dia juga mengundangku dan Talita, hanya saja kami tidak bisa hadir karena harus ke Singapura untuk merawat Ibunya Talita yang sakit. Pulang dari sana aku baru mengetahui jika Rama gagal menikah karena mempelai wanitanya lari dengan suami orang, sampai Ibunya Rama meninggal karena stres memikirkan pernikahan Rama yang gagal.

"Iya aku ingat, jadi apa hubungannya dengan aku menikah lagi," jawabku kesal.

"Wanita itu adalah istri kamu yang sekarang," jawabnya. Apalagi ini, kenapa masalah datang bertubi-tubi. Tidak mungkin Nia istriku adalah wanita penghianat itu.

"Kamu sedang tidak bercanda kan Rama," tanyaku gagap. Bibir ini kelu, badanku pun kaku seperti tidak bisa digerakkan lagi. Bagaimana mungkin wanita yang kunikahi dengan harapan akan memberikan keturunan ternyata simpanan om-om.

"Kalau kamu ga percaya yasudah, tapi kamu bisa lihat bagaimana ekspresi dia ketika bertemu denganku di acara resepsi kalian," jawab Rama santai. Aku tidak terlalu memperhatikan Nia ketika kejadian itu terjadi, karena aku sibuk dengan Talita juga Ibu yang sedang berdebat.

"Aku tidak percaya Rama, Nia itu wanita baik-baik. Dia juga wanita lembut dan sopan, tidak ada celah yang membuktikan bahwa dia adalah simpanan om-om," kilahku pada Rama. Meskipun dalam hati meyakini ucapan Rama, karena aku kenal dia, dia tidak pernah berbohong.

Saat sedang berdebat dengan Rama, telponku kembali berdering. Kak Mira….

"Halo Kak ada apa,"

"Kamu dimana sih dari tadi ga sampe-sampe, Ibu udah berkali-kali pingsan manggilin kamu terus." Ya ampun aku sampai lupa jika tadi aku ingin kerumah Ibu.

"Rama, bisa aku minta tolong antarkan aku kerumah Ibu. Mobilku kehabisan bensin, dan… aku tidak memegang uang cash," jelasku.

Rama mencebik mulutnya tanda dia keberatan, tapi mungkin karena tidak enak dia memberikanku uang satu juta untuk pegangan katanya. Setelah aku mengisi bensin mobil, aku pun langsung menuju kerumah Ibu. Berkali-kali Nia menelpon tapi tak aku hiraukan, biarkan saja dulu saat ini aku harus fokus ke Ibu.

"Dimana Ibu," tanyaku pada Kak Mira yang sedang menangis didepan rumah. Mungkin Kak Mira tidak menyangka jika ini terjadi begitu cepat, aku juga tidak mengira jika Talita begitu tega pada kami.

"Di kamar," jawab Kak Mira.

Aku langsung ke kemar Ibu, aku melihat Ibu menangis di tempat tidur. Bahunya bergetar hebat, tanda dia menahan sesak di dada.

"Ibu ga papa?" tanyaku sambil menarik kursi untuk duduk disebelah tempat tidur.

"Ga papa gimana, kamu jadi anak sama sekali tidak bisa diandalkan. Cuma kamu anak laki-laki Ibu satu-satunya, seharusnya kamu bisa membahagiakan Ibu," tangis Ibu pecah, dia terus menyalahkan aku karena terlalu lembek jadi suami.

"Maafkan Robi Buk, aku juga tidak menyangka jika Talita semarah itu," jawabku menunduk menyesali semua yang sudah terjadi.

"Dimana hati Talita, tega dia menjual rumah Ibu. Ini rumah Ibu, dia tidak berhak menjualnya. Kemana Ibu harus pergi sekarang," racau Ibu.

"Lebih baik kita berkemas aja Bu, kita pindah saja kerumah Robi. Rumahnya kan besar, kamarnya juga banyak," usul Kak Mira tiba-tiba. Bagaimana ini, bagaimana jika Ibu tau kalau rumahku pun sudah dijual sama Talita. Brengs*k kamu Talita, aku harus menemukan kamu untuk memberikan pelajaran.

"Yaudah kalau gitu kamu siap-siap Mira, kamu bawa semua barang kita yang berharga. Guci antik kesayangan Ibu jangan lupa kamu ambil," jawab Ibu lesu.

Aku takut mengatakan yang sebenarnya, bagaimana jika Ibu jantungan.

"Robi, kamu jangan diam aja. Cepat bantuin mbak mu," ketus Ibu.

"I-iya Bu," aku pun segera berkemas, tidak lupa guci antik kesayangan Ibu. Mungkin aku bisa mengambil sebagian untuk dijual, karena harga dari guci-guci ini sangat mahal. Saat sedang memasuki guci kedalam kardus besar, seseorang memegang tanganku.

"Mohon maaf Pak, semua barang dirumah ini tidak boleh di ambil lagi. Karena Ibu Talita menjual rumah ini beserta isinya. Jadi tolong ambil pakaian kalian saja." Apa-apaan ini, bagaimana bisa Talita begitu kejam terhadap kami. Bagaimanapun aku masih suaminya dan Ibu masih mertuanya.

"Mana surat bukti bahwa rumah ini sudah dijual beserta isinya," tanyaku marah saat apapun yang aku dan Kak Mira ambil tidak diperbolehkan oleh mereka.

"Ini silahkan Bapak baca dengan baik, rumah beserta isinya sudah dijual oleh Ibu Talita kepada perusahaan kami," terang lelaki itu. Benar memang, disurat itu tertulis jika semua sudah dijual dan yang membuat aku syok adalah angka yang tertera di atas kertas. Benar-benar rakus kamu Talita, ternyata salah besar aku sudah menjadikan kamu istri.

Ibu histeris saat meninggalkan rumahnya, apalagi guci-guci itu tidak bisa dibawa pergi. Kasihan sekali ibu, punya menantu yang tidak tau diri. Tidak bisakah dia sedikit saja menyayangi kami, memang wanita jahat kamu Talita, rutukku.

"Ibu sudah tidur," tanyaku pada Kak Mira saat didalam mobil.

"Sudah, mungkin Ibu kelelahan karena kebanyakan menangis. Wanita itu benar-benar jahan*am Robi, sudah ma*dul jahat lagi," maki Kak Mira.

"Sebenarnya rumah yang kami tempati juga udah dijual Kak," jawabku lesu.

"Apa kamu bilang, dijual juga sama dia. Terus kita mau tinggal dimana sekarang," tanya Kak Mira emosi.

"Kakak jangan memperkeruh suasana, bantu aku menjelaskannya pada Ibu. Kalau nanti kita nyewa rumah lagi mbak bantu setengah ya dananya. Lagian anak-anak sama suami mbak tinggal juga disitu,"ketusku.

"Kok jadi mbak yang bayar setengah sih, harusnya kamu dong sebagai anak laki-laki yang bertanggung jawab," cebik Kak Mira.

"Jadi suami mbak gunanya apa? Sekarang aja dia entah dimana saat kita butuh. Untung anak-anak kesekolah, kalau tidak ga muat ini mobil." Malas sekali aku berdebat, sudah punya suami tapi masih aja menyusahkan.

***

Saat tiba dirumah Nia sudah menunggu diluar, dari raut mukanya sepertinya dia tengah memikirkan sesuatu.

"Mas, kenapa susah sekali ditelpon. Tadi ada orang nyariin kamu, terus kasih ini." Nia memberiku satu amplop coklat, lebih baik aku membukanya didalam saja.

"Yaudah kita masuk dulu ya, nanti didalam kita buka sama-sama," ajakku. Kami pun masuk kedalam rumah dan duduk diruang tamu. Ibu sudah agak tenang, dia menyandarkan punggungnya di sofa.

"Kok Ibu kesini bawa-bawa koper," tanya Nia, namun Ibu dan Kak Mira bergeming tidak menjawab.

"Rumah Ibu sudah dijual sama Talita, jadi Ibu pindah kesini," jawabku sambil membuka amplop tadi.

"Tapi tadi ada orang yang datang kemari saat mas ga ada, pas aku tanya ada perlu apa mereka malah bilang ini rumah mereka yang dibeli sama perusahaan properti," cerita Nia. Ibu yang mendengar itu langsung berdiri dengan memegang dada, aku rasa jantung ibu kumat.

"I-bu, lebih baik Ibu istirahat dikamar ya. Biar urusan ini Robi yang selesaikan," terangku menenangkan Ibu.

"Kamu ga usah sok bijak Robi, kamu lihat kan sekarang. Istri kamu itu sudah menguasai semuanya, dia bahkan berani menjual semua harta kita," teriak Ibu histeris.

"Sekarang juga kamu hubungi istri kamu itu biar Ibu yang ngomong," titah Ibu dengan emosi yang sudah di ubun-ubun.

"Nomor Talita tidak bisa dihubungi lagi Bu, sepertinya Talita udah ganti nomor. Aku telpon ke Bapak dan Ibunya juga ga bisa, kayaknya nomorku udah diblokir," jelasku lesu. Baru kali ini pikiranku buntu, aku bahkan tidak tau harus mencari Talita kemana. Apa dia pulang kerumah orangtuanya ya, tidak mungkin aku menyusul karena aku tidak memiliki uang lagi.

"Dasar anak bod*h, makanya dari dulu Ibu ga ngerestuin kamu dengan dia," maki Ibu kesal. Aku memang salah menikahi kamu Ta, aku benar-benar tidak mengenal kamu lagi sekarang.

"Mas, kata orang tadi besok rumah ini sudah harus kosong. Jadi kita akan tinggal dimana sekarang," tanya Nia, aku sama sekali tidak bisa menjawab pertanyaan dia.

"Kamu kan ada uang simpanan Nia, kenapa ga kamu aja yang cari rumah kontrakan biar kita ada tempat tinggal," tanya Kak Mira. Betul, Nia pasti ada uang tabungan. Secara sebulan sebelum menikah aku rutin memberikan dia uang dalam jumlah banyak.

"Ada sih mbak, tapi ga mungkin aku menghabiskan uang tabunganku untuk kalian. Belum seminggu nikah udah susah begini," cebik Nia. Aku terkejut melihat sikap Nia, dia yang biasanya lemah lembut sekarang sudah berani melawan Kak Mira.

"Apa kamu bilang, kamu kok perhitungan sekali sama kita. Kita ini keluarga kami sekarang, jadi uang kamu uang kami juga," sahut Ibu kesal.

"Buk, aku bukan Talita ya yang bisa Ibu porotin uangnya. Dulu aku memenuhi hidupku dengan uangku sendiri, sekarang aku harus menghidupi kalian," jawab Nia dengan suara lantang. Berani sekali dia menjawab Ibu begitu, belum genap seminggu dia menjadi istri tapi sudah berani membentak Ibuku.

"Berani sekali kamu Nia membentak Ibuku, bagaimanapun dia juga Ibu mertua kamu," bentakku pada Nia.

"Mikir dong Mas, aku nikah sama kamu pengen hidup bahagia. Ada yang nafkahin, bukannya malah nafkahin balik," sela Nia marah-marah. Aku benar-benar tidak menyangka sifat asli Nia seperti ini. Aku baru teringat ucapan Rama tadi, sepertinya dia memang tidak berbohong, aku memang sudah salah pilih istri. Talita, kemana kamu, aku rindu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status