Miskin itu Memalukan 19Gara-gara MamaDua hari setelah pernikahan aku dan Ruly menghitung uang sumbangan. Isinya beragam dari 50 ribu sampai satu jutaan. Kalau yang nyumbang lebih, mereka transfer. Jangan salah, uang sumbangan ini kelak juga akan dibalas. Artinya aku juga harus mengembalikan sejumlah yang aku terima. “Sudah dicatat semua, Fi?”“Sudah,” jawabku. Aku mencatat manual nama dan jumlah uang dari teman-temanku dan Ruly untuk mengingat. Dari semua amplop yang kubaca, tak satupun tertulis nama orang-orang dari kampung mama. Padahal jelas-jelas para tetangga mama datang dan menikmati makanan. Teringat uang sumbangan yang ditilep mama, akupun mengambil ponsel. Sedianya akan kutelepon mama untuk menanyakan tapi, berhubung ada ruly di kamar aku merasa sungkan. Lebih aman lewat WA saja. [ma, apa orang kampung kemarin pada nggak nyumbang?] tulisku dan segera terkirim ke mama. Langsung centang biru, berarti mama membacanya. [nyumbang, kok] balas mama.[mana, kok nggak ada namany
Miskin itu Memalukan 20Perempuan di rumah mamaPerhelatan akbar ngunduh mantu keluarga Pak Wondo sudah digelar. Aku telah resmi menjadi menantu perempuan di rumah ini. Seiring dengan itu akupun pindah dan tinggal di rumah megah orang tua Ruly. Semua saudara sudah pada pulang sekarang hanya ada aku, Ruly, mama dan papa saja.Barang-barang dari kost yang tidak seberapa aku bawa ke mari. Semuanya disimpan di dalam gudang. Beberapa baju, tas dan sepatu aku kirimkan ke mama biar dipakai. Lumayan kan bajuku mahal-mahal bahkan ada yang branded. Aku menghuni kamar Ruly berdua di lantai atas. Kamar dengan tempat tidur besar dan spring bed tebal merek import tersedia di sana. Ada kamar mandi di dalam dengan shower, bathtub dan water heater. Wardrobe berisi pakaian Ruly tertata rapi di dalamnya. Sambil berjalan tanganku menyentuh wardrobe berwarna terrakota ini, memanjang sepanjang tembok kamar sisi timur. Bagus sekali. Nanti aku juga akan memasukkan koleksi pakaianku di sini. “Ufi, sini.” R
Miskin itu memalukan 21Bertanya pada SivaMelihatku yang tak dapat mengendalikan emosi membuat suamiku khawatir. Dengan segera Ruly berpamitan pada mama dan sedikit memaksaku pulang.“Pulang dulu, Ma,” kata Ruly. Aku pun berpamitan dan segera keluar dari rumah mama. Rasa kesal masih menggumpal si hatiku. Wajahku merengut sepanjang jalan gang. “Mbak Ufiii!” Seorang anak kecil berseragam atasan kotak-kotak merah dan rok panjang berwarna merah berlari dari mulut gang dan dengan cepat memeluk pinggangku. “Siva, hati-hati, sekarang perut mbak ada adiknya,” kataku tersenyum. Siva tertawa senang. Aku membetulkan kerudung di kepalanya yang sedikit melenceng, membuat poni rambut adikku kelihatan. “Baru pulang?” Tanya Ruly melihat Siva. Gadis bermata bulat itu mengangguk. Aku membuka tas dan mengambil uang seratus ribu untuk kuberikan pada Siva. Bocah itu tersenyum lebar melihat uang. Persis seperti mama, girang banget kalau lihat uang merah. “Ini buat ditabung, ya?” Menunjukkan uang di
Miskin itu Memalukan 22Doa mama tak pernah putus Sebenarnya aku ingin berterus terang kalau akan membawa mama dan adikku tinggal bersama tapi, lidahku tak sampai. Bagaimana mungkin, mamaku dan adikku jadi satu dengan Mertuaku? Dikata keluargaku benalu nanti. Situasinya tidak mengizinkan aku untuk membahas, lebih baik aku diam. Melirik suamiku yang kicep, aku jadi kasihan. Tidak seharusnya aku mendorongnya dalam situasi yang sulit seperti ini. “Tidak apa kalau tidak boleh, Ma … Ruly akan tinggal di sini, selamanya menjaga mama dan papa,” ucap Ruly akhirnya. Mama dan Papa mengangguk. Aku baru berani mengangkat wajah untuk melihat. Syukur deh, Ruly tidak menyinggung tentang permintaanku membawa Mama dan Siva tinggal bersamaku. Malu-maluin, ide bo-doh ternyata. “Coba bayangkan, kalau tiba-tiba kamu dan Ufi keluar dari rumah ini. Apa kata para tetangga dan saudara? Disangka mama tidak bisa atau jahat sama menantu. Apa mama ini mertua jahat, Ufi?” Tanya mama dengan suara pelan. “Nggak,
Miskin itu Memalukan 23Malaikat kecilku pergi Tidak terdengar tangis bayi saat dokter mengangkat orok dari rahimku. Aku berusaha melihat walau dengan sedikit puyeng. Bayiku berwarna kuning atau mataku yang berkunang-kunang, ya? Atau mungkin kalau operasi cesar begitu, bayinya nggak nangis. Aku tidak tahu. Terlihat dokter melakukan suatu tindakan pada anakku tapi, tak terdengar tangis juga. Seorang perawat membawanya ke ruangan lain sedangkan dokter dan perawat yang lain dengan cepat menangani aku. Mereka mengeluarkan plasenta dan menjahit luka di perutku mungkin, karena aku sendiri juga tidak dapat melihatnya. Sampai pagi aku tidak dapat melihat anakku. Ruly, mama, papa dan beberapa saudara yang menunggu nampak sibuk. Keadaanku belum memungkinkan untuk bergerak leluasa. Lukanya belum kering dan juga aku merasa takut kalau banyak bergerak nanti jahitannya lepas dan perutku sobek. “Mas, apa anak kita baik-baik saja?” Tanyaku pada Ruly yang berdiridi samping tempat tidur. “Sedang d
Miskin itu memalukan 24Mamaku Pelakor?“Mana mungkin, tante, mamaku tidak seperti itu. Emang tante tahu apa?” Tanyaku setengah berbisik, takut disangka ngajak ribut dan mengundang perhatian orang rumah. Biarpun aku suka jengkel dengan mama, aku terhina juga jika mamaku yang udah miskin masih dituduh pelakor. “Saya membaca chat dari ponsel papamu, mamamu sering berbalas chat dengannya.” “Aduh, tante, begitu saja sudah curiga. Dibaca baik-baik dong chatnya, apakah ada yang menjurus ke perselingkuhan? Jangan asal nuduh lho,” kataku. Mama Nina, atau aku panggil tante saja lah, terdiam dengan wajah menahan kesal. “Tante jadi ke kamar mandi, nggak?” Tanyaku ketus, setelah melihatnya hanya mematung. “OK, Ufi, kalau kamu tidak percaya, tante akan cari lagi buktinya. Mamamu itu kegatalan sama suamiku!”Wajahku panas mendengar omongan tante Nina yang semakin menghina mama gatal. Dia ini kan lebih muda sari mama ngapain cemburu buta?“Betul tante, nuduh itu harus disertai bukti. Silakan tan
Miskin itu Memalukan 25Penampilan baru MamaKalau lagi sendiri begini aku suka sedih teringat malaikat kecilku yang telah pergi. Seharusnya aku sudah menggendong bayi saat ini … tapi, sudahlah aku tak mungkin dapat melawan kehendakNya. Semua yang dititahkan Tuhan adalah yang terbaik. Mungkin aku sebagai manusia tidak dapat melihat apa maksud di balik ini semua tapi, entah lah mungkin nanti ada hikmah tersendiri yang akan aku tuai. Pakaian dan perlengkapan bayi yang sudah aku beli urung digunakan. Aku memberikan semuanya untuk beberapa saudara dan tetangga yang kebetulan memiliki bayi agar bermanfaat. Aku tidak menyimpan satu pun yang hanya akan menggugah kepiluan hatiku. “Ayo.” Ruly yang sudah rapi mengajakku turun. Karena bukan orang kantoran suamiku memakai baju casual saja. Seringnya ya celana jeans sama kaos kadang kemeja lengan pendek. Kalau aku lebih suka memakai kaos dan bawahan rok panjang model mekar atau susun renda. Tidak seperti dulu yang harus formal mengenakan seragam
Miskin itu Memalukan 26Imitasi Tin!Mas Budi menyalakan klakson mobil. Aku melihat ke luar, ternyata sudah sampai di depan toko. Menyudahi omongan akupun mengajak mama turun. “Ke sini dulu, ya, Ma, nanti pulang bareng aku. Dijemput Ruly jam 4.” Bersama mama aku masuk ke toko yang dipenuhi barang dagangan. Mama mengikutiku dari belakang dengan kepala berputar melihat isi toko. “Aku pesankan gofood aja buat makan siang ya, mama mau makan apa?” Tanyaku sambil menaruh tas di meja. “Mama lapar, nasi padang boleh, deh.”“OK, aku pesenin.”Mbak Wuri menghampiri dan menunjukkan nota pembelian yang dia buat selama aku nggak ada tadi.“Makasih, ya, mbak. Oh ya, kenalin ini mama aku,” kataku sambil menunjuk mama yang berdiri tak jauh dariku. “Pas itu sudah lihat, waktu mantenan,” kata mbak Wuri menyalami mama. “Wah, saya yang lupa.” Mama menyambut uluran tangan mbak wuri sambil mengulas senyum. “Tokomu besar juga, ya, Fi,” kata mama setelah mbak Ufi pergi. “Iya, alhamdulillah, Ma,”“Mam