Miskin itu memalukan 3
Belanja mahar fantastis“Halo, Ma, paketnya sudah datang?”Tanyaku pada mama lewat sambungan telepon.“Sudah, Fi, makasih, ya,” terdengar sahutan mama dari seberang. Aku membelikan baju gamis dan tas baru untuk mama via online. Aku tahu mama pasti tidak memiliki uang untuk membeli gamis baru, makanya aku membelikannya. Alasannya biar pantas nanti kalau datang di acara lamaran sekaligus pertunangan aku. Agar aku tidak malu dan mama juga tidak minder.Meskipun acaranya nanti hanya dihadiri oleh keluarga dekat saja, Ruly telah membooking private room di sebuah restoran untuk acara lamaran ini. Aku juga memakai jasa MUA untuk merias wajahku. Meskipun hanya lamaran aku ingin tampil perfect dan jangan sampai mengecewakan keluarga Ruly. Saudara-saudara Ruly harus mendapat kesan bahwa calon istrinya Ruly adalah seorang pegawai Bank yang cantik dan elegan. Mini dekorasi dan makanan juga sudah dipesan sekalian. Kudengar Ruly merogoh kocek sekitar dua puluh juta lebih untuk acara sederhana ini.“Nanti dipakai pas acara lamaran aku, ya, Ma.”“Iya, Fi ….”“Bagus, nggak?”“Bagus banget.”“Kok mama nggak bilang suka?”“Suka banget, kok, Fi, nanti mama pakai ke acaramu ….”“Ya sudah, sampai ketemu hari Sabtu jam dua siang, Ma. Jangan telat lho ya!”“Iya, Fi, inshaAllah.”Menutup sambungan telepon aku menghela nafas sejenak. Bukan sekali ini saja aku membelikan baju buat mama. Dulu aku memberinya uang agar mama bisa pilih sendiri sesuai seleranya tetapi, ternyata mama tidak membeli baju baru. Aku menegurnya saat melihat baju gamis yang mama pakai hanya itu-itu saja sampai buluk. Sambil menunduk mama menjelaskan kalau uang yang aku kasih buat beli gamis dipakai untuk membeli kebutuhan lain yang lebih penting. Kebutuhan apa? Tanyaku kala itu. Buat beli kebutuhan dapur katanya. Aku hanya bisa geleng kepala … entah lah apa suaminya itu tidak memberinya nafkah?Rasanya aku ingin marah pada mama tetapi tidak bisa. Hatiku rasanya gemas. Aku pernah berjanji bahkan bersumpah untuk membahagiakan mama di hari tuanya. Selangkah lagi aku akan mengentaskan mama dari beban hidupnya sebagai single parent tapi, mama memilih jalan lain. Kenapa harus menikah lagi, sedangkan aku sudah selesai sekolah dan degan cepat mendapatkan pekerjaan bagus. Mama tinggal bersabar saja untuk meraih kebahagiaan di hari tua bersamaku. Aku tidak melarangnya menikah lagi tapi, setidaknya kalau mau menikah lagi ya pakai otak. Cari yang sudah berumur, yang pensiunan begitu. Bukan sama lelaki muda dan malah menambah anak. Geregetan.Drrrt drrttGetar dari ponsel membuyarkan lamunanku. Telepon dari Ruly.“Fi, udah siap?”“Udah nih, tinggal pakai sepatu aja,” sahutku.“OK, aku ke situ sama mama.”“OK!”Hari ini aku janjian keluar sama Ruly dan Bu Rosita mamanya. Aku memanggilnya Tante Rosita. Mamanya Ruly bilang mau mengajakku mengambil cincin tunangan. Sebulan yang lalu aku dan Ruly memesan dan memilih design-nya sendiri,sekarang Bu Boss yang mau membayar.Tak sampai sepuluh menit, mobil Ruly sudah memasuki halaman rumah kost. Aku yang sudah siap dari tadi berlari kecil menghampiri. Membuka pintu mobil bagian depan lalu aku masuk dan duduk di sebelah Ruly.“Tante …” sapaku mengangguk. Mamanya Ruly tersenyum dan menganggukkan kepalanya juga. Tante Rosita memandang keluar pada rumah kost megah dua lantai yang aku tempati. Ini kos kosan mewah dan mahal. Kamar mandi di dalam dan ber-AC. Ruly yang membayar setiap bulannya.“Kamu kost di sini, Ufi?” Tanya tante Rosita kemudian. “Iya, Tan,” jawabku.Mobil berjalan keluar area kosan dan melaju ke jalan raya.“Sudah lama kost di situ, Fi?” Tanya tante Rosita lagi.“Emm … hampir dua tahun.” Jawabku. Tadinya aku nggak kost di situ tapi, di tempat kost sederhana yang agak masuk gang. Semenjak berpacaran dengan Ruly dia yang menyuruh aku pindah kost dengan alasan mencari yang lebih aman dan enak parkirnya. Aku sih iya-iya aja, pindah kost baru, orang dibayarin.“Memangnya rumah kamu di mana kok harus kost segala?”“Anu, Tan, rumah Ufi jauh, makanya kost aja,” jawabku asal. Padahal rumahku hanya tiga puluh menit saja jaraknya bila naik mobil pribadi. Ngapain sih, tante Rosita nanya-nanya terus, bikin bete.Melirik ke kanan aku melihat Ruly yang nampak santai mengenakan kaos dan celana jeans saja. Kekasihku ini udah ganteng, kaya, baik, nggak sombong dan nggak banyak omong. Beruntung aku bisa menaklukkan hatinya. Aku mengenalnya karena Pak Wondo, papanya Ruly adalah nasabah premium di bank tempat aku bekerja. Karena Ruly sering mengantar Papanya, akhirnya kita berkenalan dan berlanjut menjalin hubungan serius.Aku ini tipe cewek yang tidak gampang jatuh cinta. Maksudnya tidak dengan sembarang orang aku mau berpacaran. Aku punya kriteria tersendiri untuk calon suami. Pokoknya kalau nggak kaya ya harus pintar. Alhamdulillah aku dapat dua duanya. Ruly kaya sekaligus pintar hahaha. Belajar dari hidup mama, aku tidak mau bersuamikan lelaki kere. Makan cinta itu nggak kenyang. Lihat mamaku, dari muda sampai tua hidupnya sengsara terus. Tiap hari mikir gimana beli beras. Miris.“Ini, Nyonya, cincinnya,” kata Mbak pramuniaga sambil menyerahkan kotak perhiasan yang terbuka. Sepasang cincin dengan paduan berlian tertata apik di sana. Aku duduk mendekati tante Rosita.“Bagus, kan, Tan?” Tanyaku dengan senyum mengembang.“He’em,” jawab mamanya Ruly mengangguk. Cincin itu memang eksklusif dan mahal. Limited edition pokoknya. Tante Rosita menyuruh si Mbak untuk mengemas cantik cincin itu.“Sekalian kamu pilih set perhiasan aja, Fi, biar nggak bolak- balik. Keburu repot mama kalau besok-besok.”Apa? Disuruh milih set perhiasan sekalian? Aihh! Mau dong ….Dengan bersemangat aku menyuruh si Mbak untuk menunjukkan kotak-kotak berisi set perhiasan terindah yang dimiliki butik perhiasan ini. Set gelang, kalung dan anting.“Rul, yang mana dong?” Tanyaku kebingungan. Ruly mendekat lalu melihat tiga kotak berisi set perhiasan yang sudah kupilih.“Bagus semua, kamu pilih saja,” katanya. Duh! Mana ya? Harganya jangan ditanya, ini hampir delapan puluh juta! Wow banget, kan?Akhirnya aku memutuskan memilih perhiasan dengan nuansa kupu-kupu. Gelang emas polos berhiaskan sayap kupu-kupu berlian, kalung dengan kupu-kupu berlian juga serta sepasang anting mungil dengan sorot berlian. Huh! Sampai keringetan milihnya, berasa orang kaya.“Makan siang di mana, Ma?” Tanya Ruly saat sudah di mobil. Matahari tepat di atas kepala, sudah siang rupanya.“Antar mama ke kantor papa aja, mau makan bareng papa aja,” sahut mama sembari mengenakan kacamata hitamnya. Cantik, nggak bisa dibandingkan dengan mama.“Ciee, mama … mau berduaan hihi,” godaku dengan tawa. Mama menyambut dengan senyum manis. Ruly menoleh saja. Pacarku itu juga sudah mengenakan kacamata hitam. Jadi tambah ganteng ….Tante Rosita turun di depan pintu masuk kantor suaminya. Aku dan Ruly tidak mampir.“Mau ke mana kita?” Ruly menoleh padaku.“Makan di warung Bu Sri, yuk?” Ajakku. Warung Bu Sri ini sangat terkenal di kotaku. Warung dengan masakan khas Jawa yang sangat ramai pengunjung. Biarpun namanya warung tapi, jangan salah, ini warung kelas atas bukan ecek-ecek yang bikin keringetan.Pikiranku masih tertuju pada perhiasan emas berlian yang dibeli tante Rosita tadi. Semuanya adalah mahar untukku. Seratus juta lebih, fantastis!! Aku hanya bisa menelan ludah, merasa sangat dihargai. Ini baru perhiasan, belum lain-lainnya. Tadi tante Rosita berpesan untuk seserahan aku disuruh belanja dan milih sendiri yang aku suka bersama Ruly.Ngomong-ngomong, mamaku ngasih uang berapa ya nanti buat pesta pernikahan aku?BersambungDi KBM app sudah bab 4 dengan judul yang sama. Bantu subscribe ya, terima kasih.Miskin itu Memalukan 62EndBahagia abadi untuk mama“Selamat, ya, Rul …”“Makasih, makasih.”Wajah suamiku semringah menerima ucapan selamat dari sahabat dan kerabat yang datang menjenguk ataupun menelepon. Aku kembali melahirkan seorang bayi laki-laki. Alhamdulillah kali ini sehat wal afiat tak kurang satu apapun. Aku dan Ruly menjadi pasangan yang sangat berbahagia saat ini.Sayangnya tidak ada mama yang hadir menunggui proses persalinanku kemaren. Tapi tak apa, ada mama dan papa mertua yang selalu menunggu sampai cucunya lahir, mereka juga orang tuaku. “Nanti fotonya tunjukkan ke mama, ya, mas,” ucapku pada Ruly. Di Lapas mama tidak boleh menggunakan ponsel tapi, aku boleh mengirim foto anakku ke petugas Lapas yang baik hati untuk menunjukkan foto anakku pada mama. Tentu saja aku masih menyuruh Ruly untuk datang menemui mama juga. Setelah melahirkan dan selama masa nifas aku tidak mengunjungi mama. Bukan apa-apa, mama mertua punya kepercayaan kalau wanita setelah melahirkan dan
Miskin itu Memalukan 61Aku bangga dengan mamakuBerita pem bu nuhan yang dilakukan mama dengan cepat tersebar dan menggegerkan kota. Semua orang membicarakannya. Sampai-sampai aku tidak berani ke toko. Kerjaku hanya melamun, diam, bahkan aku tidak merasa lapar sama sekali selama berhari-hari semenjak kejadian. Ruly dengan sabar menemani dan menyuapi aku makan. “Kamu harus makan, Ufi,” ucap Ruly berkali-kali. “Aku tidak lapar “ sahutku sambil menatap jauh ke luar jendela. “Nanti kamu sakit,” ujar Ruly lagi. Aku tidak menjawab, masih juga menatap hijaunya dedaunan yang terpampang di luar jendela. Terdengar Ruly menghela nafas. Dia menghampiri dan duduk di sampingku. “Aku kerja dulu,” ucapnya sambil memegang tanganku sebentar. Aku mengangguk samar. Ruly pun berjalan ke luar kamar dan meninggalkan aku seorang diri. Ruly tetap harus bekerja. Bagaimanapun dia harus mengurus ke lima toko miliknya. Tetapi, Ruly tidak full bekerja, dia hanya ngecek-ngecek saja dan pulang setengah hari
Miskin itu Memalukan 60Kejadian malam itu(Seperti yang diceritakan mama padaku)Om Arif datang ke toko mama dalam keadaan mabok berat malam itu sekitar pukul dua belas an. Mama bercerita, dia memang sudah jarang tidur nyenyak minggu-minggu terakhir itu karena stres. Mama merasa begitu ketakutan hingga badannya sering gemetaran sendiri seperti menggigil. Semua itu gara-gara Om Arif yang menerornya. “Fatma! Fatma!” Dengan sempoyongan dan berantakan Om Arif membuka pintu kamar dan berteriak memanggil manggil mama. Meski takut setengah mati, mama berusaha tenang. Mama hanya melirik dan berpura-pura sibuk dengan ponselnya. “Fatma!”Sekonyong-konyong Om Arif merebut ponsel mama dan membantingnya kuat hingga hancur berkeping-keping. Mamaku kaget dong, dia langsung bereaksi dengan mendorong kuat tubuh Om Arif menjauh darinya. Mama segera berjongkok dan mengambil kepingan ponselnya yang berserakan di lantai. Mama sangat marah, karena itu adalah ponsel baru. Aku tahu, karena mama bercerita
Miskin itu Memalukan 59Pengorbanan seorang ibuMembuka mata aku merasa berada di tempat yang asing. Mataku mengedar di setiap sudut. Ada meja dengan komputer di atasnya, tembok bercat putih dihiasi bingkai foto orang berseragam polisi tergantung. Tubuhku tergeletak di sofa berwarna biru gelap, baru aku menyadari, ini masih di kantor polisi. Uuh … aku melenguh dan menggerakkan anggota badan, berusaha untuk bangkit. “Ufi ….”Aah … mataku sayu menatap. Ruly mendekat dengan segelas air di tangannya. “Minum dulu,” ucapnya dengan menopang separuh tubuhku. Aku mengangguk dan menyedu gelas yang disodorkan Ruly. “Aku mau duduk,” pintaku. Suamiku degan sabar membantu menyandarkan tubuh lemahku dan menata kedua kakiku ke bawah. Derit kursi roda datang mendekat, aku melempar pandangan. Pak Artha dengan kursi rodanya yang didorong supir, menuju kemari. “Sudah sadar, Ufi?” Tanyanya. Aku mengangguk.Ruly duduk di sampingku pada sofa panjang ini. Lelah hayati rasanya, aku menyandarkan kepala y
Miskin itu Memalukan 58MamaMelangkah lunglai aku menaiki tangga ke atas menuju kamarku. Pelan aku membuka dan menutup kembali pintu kamar. Aduh! Kaget aku ternyata Ruly tidak tidur. Suamiku itu duduk dan bersandar di tempat tidur dengan kaki selonjor. Dia menatapku. “Dari mana, sih, lama banget?” Tanyanya cemberut. Ruly ini jarang kesal sama aku, hanya saja kalau sakit dia lebih manja dan minta ditungguin. “Nemenin Siva belajar,” jawabku.“Aku mau minum,” katanya menunjuk botol minuman berwarna hijau di meja. Eh, ternyata habis, aku lupa mengisinya. Ruly aku suruh minum banyak-banyak tadi soalnya diare. “Bentar aku isi dulu.” Aku lalu keluar kamar lagi setelah mengambil ponselku di meja. Menuruni tangga ke lantai bawah untuk mengisi botol dengan air putih. Sebenarnya aku ingin mengajak Ruly untuk menjemput mama di toko sekarang juga sebab aku khawatir. Mama pasti belum tahu kalau sebenarnya Om Arif tidak meninggal dan sekarang menjadi buron. Sayangnya aku tidak tega memaksa Ru
Miskin itu Memalukan 57Kabar Buruk“Sudah baikan?” Tanyaku pada Ruly saat dia kelua dari kamar mandi untuk ke sekian kali. Suamiku menggeleng dan langsung tengkurap di tempat tidur. Ruly sakit perut dari tadi sore. Aku sudah membawanya ke dokter dan diberikan obat. Meski belum sembuh benar tapi, setidaknya Ruly sudah tidak kesakitan lagi. Mungkin salah makan atau apa, karena tadi siang dia tidak makan siang denganku. Ruly makan siang bersama rekan kerja. Suamiku ini tidak terbiasa makanan pedas soalnya. “Minum obatnya lagi,” kataku sambil menyodorkan beberapa butir obat kepada suamiku. Ruly menghela nafas kemudian melahap semua obat dengan bantuan air putih. “Istirahat, ya.” Aku mengusap dahi Ruly yang sedikit berkeringat. Suamiku mengangguk dengan mata terpejam. Aku berjalan ke kamar Siva untuk mengajaknya makan malam bersama. Tampak Siva sedang memeluk boneka besar Teddy Bear warna coklat miliknya. Aku membelikan boneka itu supaya Siva berani tidur di kamar sendiri. Aku bilang