Share

Mamaku yang …

Miskin itu Memalukan 4

Mamaku yang ….

“Ma, mau ke sini jam berapa?” Tanyaku via telepon pada mama. Ini adalah hari di mana acara lamaran sekaligus pertunangan aku digelar.

“Sebentar lagi berangkat, Fi,” sahut mama.

“Naik apa?”

“Naik motor diantar Om Arif,” jawab mama dari seberang.

Diantar Om Arif? Dih! Jangan-jangan lelaki itu ikut mama datang ke acaraku? Padahal aku kan tidak mengundangnya? Aku hanya mengundang mama doang. Keluarga dari Budhe Lies sudah cukup menjadi wakil keluarga, ngapain Om Arif ngikut. Aku harus mencegahnya.

“Om Arif nggak usah datang, Ma … nanti aja kalau hari H. Ini cuma acara keluarga aja jadi terbatas,” kataku sedikit kesal.

“Nggak kok, Fi, Om Arif cuma ngantar aja,” bantah mama cepat.

“Anu aja, mama ke sini naik grab, biar aku pesankan sekarang. Nggak usah diantar Om Arif.”

Segera aku menutup telepon dan membuka aplikasi taksi online. Lebih baik bayarin mama naik grab dari pada suaminya hadir di acaraku!

[sudah aku pesankan grab. Mama tunggu depan gang, mobilnya udah jalan] kukirim pesan WA untuk mama.

“Mbak Ufi, dandan sekarang, ya?” Ujar Putri MUA yang aku pesan. Aku mengangguk. Ternyata private room yang dibooking Ruly ini cukup luas dan lengkap. Ada kamar make up, ruang istirahat pengantin dan sebuah mini hall yang cukup untuk menampung sekitar 50 orang.

Sudah jam sebelas siang, Mbak Putri masih sibuk merias wajahku. Aku mendapatkan no kontak Mbak Putri ini dari teman kerjaku. Dulu dia waktu menikah memakai jasa Mbak Putri ini. Bagus katanya. Harganya memang di atas rata-rata MUA yang lainnya. Gapapa, yang penting hasilnya memuaskan. Masalah uang aku tidak begitu peduli, ada Ruly.

“Sebelah sini, Bu,”

Aku melihat dari cermin. Seseorang membuka pintu ruang rias ini, ternyata mama yang datang. Mama tersenyum padaku. Dia memakai baju dan tas baru yang aku belikan. Kerudungnya mama jelek banget, segiempat rawis polos. Huh! Tahu gitu kemarin aku belikan gamis yang set kerudung. Wajah mama juga cuma bedakan tipis dan bibirnya disapu lipstik berwarna agak oren.

“Mama nggak punya kerudung yang lain?” Tanyaku sambil melirik. Mbak Putri tertangkap melihat mamaku dari cermin. Pasti Mbak Putri juga lagi membatin, jeleknya kerudung mama. Ah! Malu maluin mama ini.

“Ada sih, Fi, tapi, yang warnanya sesuai dengan baju ya cuma ini,” sahut mama masih dengan tersenyum. Aku memutar bola mata, mbok iya beli gitu … baju sudah aku beliin, cuma beli kerudung yang agak bagusan masak nggak punya uang? Apa mama ini tidak ingin menaikkan harga diriku di hadapan orang-orang?

“Sudah selesai Mbak Ufi,” Mbak Putri menyodorkan cermin seukuran telapak tangan padaku. “Coba dilihat kurang apa?” Tanyanya.

Aku melihat dengan seksama gradasi warna hasil polesan tangan terampil Mbak Putri yang terlukis di wajahku. Sempurna! Wajahku terlihat lebih tirus, riasan mata yang apik membuat wajahku terlihat segar dan bercahaya. Kalau kata orang Jawa ‘manglingi’. Tatanan rambut yang dikerjakan oleh asisten Mbak Putri juga tidak mengecewakan. Penampilanku terlihat semakin anggun dengan balutan kebaya berwarna biru muda warna favorit aku.

“Sini, Bu, saya bedakin sedikit.”

Tiba-tiba Mbak Putri mendekati mama dengan alat make up nya.

“Nggak usah, Mbak,” geleng mama.

“Gapapa, Ma, dandan aja, ntar aku tang bayar,” ucapku dengan menatap mama. Mama balas menatap degan sedikit takut. Takut dikasih tagihan mungkin.

“Mbak Putri, dandanin mamaku, nanti masukkan tagihannya aja,” ujarku sambil berdiri.

“Nggak usah, Fi, ini free,” sahut Mbak Putri tersenyum manis.

“Jangan lah, kan make up mu berkurang?” Selorohku.

“Bonus ini,” Mvak Putri menjawab santai dan mulai membedaki wajah mama.

“Ya sudah, aku keluar dulu.”

Aku pun berjalan keluar. Ternyata di hall sudah temanku Weni, suami dan anaknya yang masih balita. Mereka ditemani Ruly mengobrol.

“Heii!” Aku berteriak menyambut. Weni bergegas berdiri dan mencium pipiku.

“Cantik banget!” Serunya dengan pandangan kagum.

“Iya dong, calon istrinya siapa dulu, Boss Ruly,” candaku sembari mengerling pada Ruly yang tersenyum simpul.

Menoleh ke sudut ruangan ada kesibukan petugas catering yang sedang menata hidangan. Aku melihat jam, sudah jam satu lebih. Mengambil ponsel, akupun menelepon Budhe Lies.

“Budhe sampai mana?” Tanyaku.

“Baru keluar tol, Fi, macet nih soalnya weekend, hujan deras lagi,” katanya.

Aku melihat ke luar, sampai nggak tahu kalau turun hujan.

“Ya udah, hati-hati, Budhe.” Telepon aku matikan.

“Budhe sudah keluar tol,” kataku pada Ruly.

“Sebentar lagi paling. Mama sama papa juga sudah otewe dari tadi kok,” jawab Ruly. Kemudian aku dan Ruly mengobrol bersama Weni dan Hanif, suaminya. Sesekali kami tertawa lepas soalnya anaknya Weni ini lucu banget … celotehnya macam-macam, bikin gemes.

Suara langkah kaki mendekat. Itu mama aku yang datang. Mama sudah cantik sekarang, terlihat bulu mata palsu yang lentik bertengger di buku matanya, menjadikan matanya terlihat indah. Kerudung mama juga sudah bergantu dengan kerudung bagus, berpayet dan tampak mewah. Rupanya Mbak Putri meminjamkan propertinya untuk mama. Ya lah, siapapun pasti kasihan melihat penampilan mamaku tadi. Datang ke acara lamaran anaknya memakai kerudung rawis model anak sekolahan. Mama ini memang sengaja menjatuhkan martabat aku!

“Duduk sini, Ma.”

Ruly langsung mengambilkan kursi untuk mama. Weni dan suaminya bersalaman dengan mamaku. Mereka baru pertama kali ini melihat mamaku.

“Mirip banget sama Ufi, tante, cantik.” Puji Weni pada mamaku. Aku tersenyum tipis. Aslinya mamaku ini cantik, hidungnya aja mancung dan bibirnya tipis. Berhubung tidak keurus dan tidak ada uang buat perawatan jadinya buluk. Wajah mama terlihat lebih tua karena flek dan kerutan.

Suara ramai terdengar dari pintu masuk. Rupanya rombongan Pakdhe dan Budhe sudah datang. Aku segera berdiri dan menyambut dengan antusias.

“Alhamdulillah, sampai juga,ucap Budhe Lies dengan wajah lega. Budhe menyalami satu persatu tang ada di sini.

“Eh, ada Hana!” Aku memekik senang, sepupuku datang rupanya. Hana mendekat dan mencium pipiku.

“Toni, mana?”

“Nggak bisa datang, masih berlayar. Nanti mau VC katanya.” Jelas Hana.

Aku dan Ruly menyalami semua tamu dari rombongan Budhe. Ada Pakdhe, Om Anwar, Budhe Sri, MbahYanto, Bulik Menur dan lainnya. Senang sekali melihat mereka, perasaanku lega.

“Fi, ini Budhe bawa oleh-oleh buat calon besan, taruh mana?” Tunjuk Budhe pada beberapa bingkisan yang dibawa rombongan.

“Sana aja, Budhe.” Aku menunjuk meja panjang di belakang kursi yang tertata berjajar.

Belum sempat mengobrol, tiba-tiba rombongan dari keluarga Ruly datang. Wah! Ramai sekali, bakal meriah acaranya. Bu Rosita dan Pak Wondo berjalan di depan. Diikuti oleh keluarga yang lain yang masing-masing membawa buah tangan dibungkus parcel menarik. Itu pasti oleh-oleh untuk ditukar. Untung Budhe bawa juga.

Setelah bersalam salaman, saling berkenalan dan berbasa basi, acara pun di mulai. Kursi ditata berhadapan agar terpisah antara keluarga aku dan keluarga Ruly. Kulihat tadi Ruly menaruh kotak perhiasan berisi cincin yang diberikan Bu Rosita padanya dan menaruhnya di meja kecil depan dekorasi mini yang ada dua buah kursi mantennya. Itu untuk acara tukar cincin.

Aku duduk di deretan depan bersama Pakdhe sus dan Budhe Lies. Ada juga Mbah Yanto, sosok yang dituakan dalam keluarga Budhe. Di depan duduk Pak Wondo dan Bu Rosita beserta adik dan sosok yang dituakan juga, Mbah Pujo namanya. Dia seorang pemuka agama dan masih bersaudara dengan papanya Ruly.

Eh, di mana mama? Ya salamm, aku baru sadar kalau mamaku nggak ada di sebelahku. Ke mana dia? Aku tengak tengok mencari.

“Budhe, lihat mama?” Tanyaku berbisik di telinga Budhe.

Budhe menggeleng, “nggak, tuh …”

Ya Allah, ke mana lagi tuh orang? Bikin susah aja mama ini!

Bersambung

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status