Share

Bab 3

Angkot yang aku naiki melaju kencang pagi ini. Memang agak sepi jalanan, agak beda dari hari biasanya. Sampai persimpangan Kebonjati - Pasirkaliki dari rumahku yang di jalan Rajawali Barat, hanya butuh 15 menit. Padahal biasanya macet di dekat Pasar Andir.  

Mungkin gara-gara waktu subuh hujan, jadi orang-orang agak malas keluar rumah. Udara yang dingin ditambah jalanan yang tergenang benar-benar bukan situasi ideal untuk keluar rumah. Lebih nyaman kalau bergelung di balik selimut. Sayang kemewahan seperti itu tidak ada di hari kerja. Deru kendaraan yang membelah jalanan terdengar seperti musik di telinga aku. Belum lagi petrikor, aroma tanah yang menguar sehabis hujan, terasa menenangkan hati. 

Aku turun di persimpangan. Menyeberang, lalu menunggu angkot berikutnya untuk ke Cipaganti. Lima menit kemudian, angkot yang aku tunggu datang juga. Angkotnya agak penuh. Tinggal kursi di depan di sebelah supir yang kosong. Buru-buru aku membuka pintu dan duduk di situ. Kursi langsung melesak begitu diduduki. 

Euleuh-euleuh, Neng Geulis,” kata supir itu. Artinya kurang lebih, “Wah, wah, Nona Cantik.”

Seharusnya itu pujian, sayangnya nadanya terdengar agak sedikit menyindir. Setidaknya itu yang tertangkap telingaku. Entah, mungkin juga aku masih agak sensitif pagi ini gara-gara kejadian mengecewakan di Jakarta tadi malam.

Sesudah dua puluh menit melaju, sampailah angkot itu di pertengahan jalan Cipaganti. Aku segera turun sesudah membayar. Dari sana aku menyeberang, lalu berjalan lima menit lagi menuju kantor di Cihampelas. 

Kantor tempatku bekerja dari luar seperti bangunan rumah biasa yang besar. Begitu masuk ke dalam, baru terlihat bangunan kantornya. Kantor kami itu mengurusi pabrik tekstil yang ada di Cimahi. Sehari-hari aku di situ, kecuali akhir tahun. Di akhir tahun biasanya ada stock opname, menghitung dan memeriksa persediaan, di gudang yang ada di Cimahi. 

“Met pagi, Ester,” sapa Sisil yang berpapasan denganku di pintu gerbang. “Gimana hasilnya kemaren? Juara?”

Aku buru-buru menarik tangan Sisil, menuntunnya untuk mengikutiku ke kantin di belakang. Sesampainya di sana, kantin masih sepi. Hanya ada kami berdua di sana. 

“Sisil, huhuhuhu. Boro-boro juara, nama gua malah nggak ada di daftar finalis. Udah habis 350 ribu buat pergi ke Jakarta. Buang-buang uang aja.”

“Lho, kok bisa gitu, sih, Es? Gimana ceritanya tuh?”

Aku mulai cerita sampai selesai. Tanpa terasa tanggul di mataku kembali bobol. Sambil bercerita, aku berulang kali menyusut mata dengan tisu. Beberapa karyawan mulai datang ke kantin. Aku menarik napas panjang, berusaha mengendalikan diri supaya berhenti menangis. 

“Mestinya lu marah-marah ke panitianya, Es! Kok nggak profesional amat!” maki Sisil sambil menggebrak meja. 

Beberapa karyawan yang baru datang itu jadi menoleh ke arah kami. Mungkin kaget, mungkin juga penasaran ingin tahu. 

“Ssssh, jangan keras-keras! Malu kalau kedengaran yang lain,” bisikku. 

“Kenapa harus malu? Mana ada udah diumumin finalis, terus bisa-bisanya nama lu ga ada di daftar? Kalau mau, lu bisa menuntut!” 

Menuntut?  

Tak lama, Sisil menggoyang-goyang bahuku. “Es, Ester! Kok malah ngelamun?” 

“Soalnya lu malah saranin nuntut panitianya. Nggak mungkin bangetlah! Lagian nggak bakal mengubah apa-apa juga.” Aku menghela napas panjang. “Eh, tinggal setengah jam lagi masuk, nih. Mau sarapan apa?”

“Gua mau bubur ayam. Lu mau apa?”

Aku menggeleng. “Nggak mau apa-apa. Gua nggak lapar, Sil.”

“Jangan gitu. Biar bete, makan harus jalan terus!”

“Tapi gua memang lagi nggak nafsu makan,” sahutku lesu, lagi-lagi sambil menyusut air mata yang sudah terlanjur menitik. 

“Gua traktir bubur ayam, ya? Seudah makan, lu pasti ngerasa lebih baik.”

Akhirnya aku menyerah. Membiarkan Sisil membelikanku bubur ayam. Sesudah bubur pesanan datang, kami makan dengan cepat. 

Ternyata benar! Perut kenyang dan hati yang agak lega sesudah bercerita ke Sisil, membuatku merasa lebih baik. Makanan enak dan curhat itu obat terbaik yang setiap perempuan butuhkan. Mungkin laki-laki juga?

Sisil itu selain teman kerja, juga sahabatku yang paling baik. Dia benar-benar mengerti aku. Kenal dia dari masih SMA. Makanya aku girang bukan main bisa kerja di tempat yang sama dengan dia. 

“Ayo masuk. Jangan sampai telat! Nanti ditegur Bu Dwi lagi, lho.” Bu Dwi itu bagian Personalia di kantor kami. 

“Iya, makasih, ya, Sil. Lu memang temen gua yang paling baik!” Aku peluk dia erat-erat.

“Jelas! Sisil gitu, lho!” ujarnya, sambil mengedipkan sebelah matanya, lalu tertawa pongah.  

Tawa Sisil menular. Aku ikut tertawa juga. Kami masuk ke kantor dengan bergandengan tangan. Sisil lebih dulu ke tempat absensi, lalu melambaikan tangannya. “Gua duluan, ya? Harus ngejar laporan bulan lalu, nih!”

Aku mengangguk, lalu melambai ke arahnya. Sesudah memasukkan kartu kehadiran ke mesin ceklok (alat pencatat kehadiran, yang kami beri nama begitu semata karena bunyi 'klok' yang dikeluarkannya setiap kali kartu kehadiran dimasukkan ke dalamnya), kumasukkan kartu itu kembali ke tas.  

***

Selama beberapa hari, tidak ada kejadian yang luar biasa. Satu hari, aku agak kesiangan masuk kantor. Gara-gara angkot yang kunaiki ngetem, alias menepi di pinggir jalan untuk menunggu penumpang, terlalu lama. 

Sampai kantor, waktu bergegas ke mesin ceklok, wangi parfum yang segar menyapa rongga hidungku. Belum sempat berbalik untuk melihat si pemakainya, suara seorang laki-laki, yang terdengar percaya diri dan tegas, menyapaku, “Selamat pagi! 

Sambil berbalik, aku balas menyapa, “Selamat pagi!” Selanjutnya, terpakulah aku di tempat. 

Seorang laki-laki, yang tingginya sekepala lebih tinggi dariku, sedang tersenyum. Senyumnya hangat, mungkin bisa melumerkan mentega. Dia mirip seorang pria foto model Indonesia terkenal. Putih, tinggi, dengan alis tebal. Juga dilengkapi senyum yang memikat.  

Anehnya ekspresinya terlihat agak kaget waktu melihatku. Tanpa sadar aku mengusap pipi. Ada noda di wajahku? Refleks selanjutnya aku mengusap tangan ke baju. Jangan-jangan ada yang salah dengan pakaianku?

Gerakanku terhenti gara-gara si ganteng menyapaku lagi. “Maaf, sudah selesai?”

Aku terlongong. “Uhm?”

“Pakai mesin kehadirannya maksudku.”

“Eh, i-iya. Maaf jadi ngehalangin. Silakan.” Gelagapan aku menjawab. Segera bergeser untuk memberinya ruang. 

Baru berjalan dua, tiga langkah dari mesin ceklok, tiba-tiba si ganteng memanggilku. “Maaf, bisa tolong aku?”

Aku berbalik, lalu berjalan kembali ke arah mesin ceklok. “I-iya? Gimana?” Aduh! Kenapa aku jadi terbata-bata begini? 

“Aku belum pernah pakai yang seperti ini. Bisa bantu aku untuk daftar kehadiran? Oh ya, nama aku Edward. Kamu?” Dia mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

“Es-Ester.” 

Ternyata, ini atasan baru kami! Aku yakin kantor kami pasti bakal ramai dengan adanya bos baru muda dan ganteng ini. Atasan baru kami itu anaknya Pak Susilo, bos besar kami.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status