Share

Bab 4

Menurut kabar sebelumnya yang aku dengar, Edward lulusan Boston. Dari bulan lalu sudah santer berita kedatangannya. Maklumlah, kantor kami ini mayoritas perempuan. Apalagi kurang lebih 50%-nya masih lajang. Dari yang pernah melihat fotonya di meja Pak Susilo, Edward itu ganteng! Ada lagi tambahan beritanya, dia belum punya pacar! Katanya, entah kabar itu benar atau tidak.

Melihat sendiri sosok Edward, rasanya ganteng saja tidak cukup. Maskulin, menawan, percaya diri, ramah, tidak sombong. Ah! Mirip jargon untuk pria ideal. Informasi yang satunya lagi agak meragukan kebenarannya. Edward mestinya mudah saja cari pacar. Bahkan kalau mau ganti pacar setiap hari, pasti banyak yang bersedia mengisi posisi itu.

Tiga bulan lalu, Pak Susilo terkena stroke. Rencana awal Pak Susilo yang diberitahukan pada kami dulu, masih lima tahun lagi Edward baru akan ditarik kembali ke Bandung. Selama ini, Edward mengatur kantor perusahaan di New York. 

Suara dehaman kecil memutus lamunanku barusan. Segera aku kembali ke realita. Buru-buru aku menarik tangan yang terlalu lama menggenggam tangannya. 

Dia tersenyum lagi. Lesung pipinya muncul, seakan Tuhan belum puas mendandani makhluk menawan yang satu ini.  

Segera aku masukkan kartu kehadirannya ke mesin ceklok. Sedetik, lalu aku tarik. “Nah, selesai. Tinggal begitu aja, kok.”

“Ah, I see! [1] Terima kasih ya, Ester.” 

“Sama-sama. Aku duluan, Pak.”

“Panggil Edward saja. Tidak usah formalitas, apalagi sepertinya kamu seumur denganku.” Senyum patennya keluar lagi. 

Aku tersenyum balik. Hampir saja tersandung gara-gara terlalu salah tingkah. Setengah berlari aku masuk ke ruangan. Begitu duduk aku baru sadar, Edward ternyata mengekor masuk ke ruangan ku!

“Nanti siang, bisa temani aku makan siang, Ester? Ada beberapa hal yang aku mau tanyakan. Aku perlu guide di kantor ini.”

“Bi-bisa. Na-nanti aku temani,” sahutku, lagi-lagi tergagap. Rasa-rasanya jantungku seperti kena gempa bumi. 

“Terima kasih banyak, ya.” Lagi-lagi dia melempar senyumnya, yang lebih legit dari cheesecake favoritku.

Sesudah Edward keluar, aku segera dikerubuti Sisil, Anna, dan Jenny. Di kantor, selain dengan Sisil, aku lumayan dekat dengan Anna dan Jenny. Awal kedekatan kami karena dua alasan. Pertama, karena kami bekerja di bagian yang sama. Kedua, karena sering makan siang sama-sama. Ternyata kami cocok bergaul. Sampai sekarang sudah 3-4 tahun kami berteman, mengingat Anna dan Jenny masuk ke kantor ini sesudah aku dan Sisil.

“Itu Edward?” tanya Sisil sambil bersiul nyaring. 

Mataku menerawang ke arah pintu. “Iya, itu Edward. Ganteng, ya?” 

“Itu sih bukan cuma ganteng, tapi ganteng buangettttttt!” timpal Jenny. “Kok dia bisa nempel gitu sama lu sih, Ester? Apa rahasianya?”

Aku mengangkat bahu. “Nggak ada rahasia apa-apa. Ketemu di mesin ceklok aja. Tahu-tahu dia malah minta bantuan. Katanya nggak pernah pakai yang kayak gitu.”

Jenny menepuk bahuku. “Udah ganteng, wangi lagi. Hebat, Es! Kalau lu bisa gaet bos baru kita, gue traktir all you can eat. Gimana?”

Sisil ikut menimpali, “Iya, Es, gua traktir lu di steak house. Lu kan paling hobi steak. Gimana?”

“Tadi itu cuma kebetulan. Nggak ada apa-apa sama sekali.” Aku pura-pura cemberut. Sengaja untuk menyembunyikan debar jantung yang menggila. “Kenal juga enggak. Kok udah kejauhan gitu mikirnya sampai mau traktir kalau bisa jadian sama dia? Ada-ada aja!”

“Lha, apa salahnya, Ester? Dia kan kabarnya single. Kamu juga, kan? Jadi tunggu apa lagi?” Anna malah mengompori aku. 

“Bener tuh kata Anna. Masa yang high quality gitu di depan mata nggak mau dikejar, Es?” Jenny mengedipkan sebelah matanya. 

Obrolan kami terputus karena Edward masuk lagi ke ruangan kami. “Ester, bisa ikut sebentar ke ruanganku?” Lagi-lagi senyum mautnya diarahkan ke aku. 

Aduh, senyum di wajah seganteng itu rasanya seperti kejahatan. Soalnya bisa membuat hampir semua perempuan lupa daratan dan mau lakukan apa saja hanya karena disenyumi. 

“I-iya. Aku datang.”

Kerumunan kami langsung bubar. Masih bisa aku dengar bisik-bisik di belakang aku. “Mantap Ester, bisa deket bos baru kita.” Suara Anna kedengaran sayup-sayup.

“Ester memang manis, kok. Nggak heranlah kalau si bos suka.” Ini suara Jenny.

“Doi juga pinter. Temen gua gitu, lho!” Nah kalau ini, suara Sisil. 

Duh, kalau aku masih bisa dengar suara mereka, mestinya Edward juga. Pipiku menghangat. Aku tidak sempat melamun berlama-lama, karena sudah masuk ke ruangan Edward. 

Ruangannya luas. Meja dan lemari besar dari kayu jati dominan menghiasi ruangan itu. Ada beberapa potret di atas mejanya, juga komputer. Ada rak pajangan dari kaca di samping, masih dalam keadaan kosong. 

Aku segera duduk di kursi yang ada di mejanya. Edward sudah duduk lebih dulu. “Ehem, maaf yang tadi, Pak. Teman-temanku cuma asal ngomong aja,” ujarku pelan sambil menunduk. Pipiku masih terasa panas dari tadi. 

Di luar dugaan, Edward malah tergelak. Aku mengangkat kepala untuk menatapnya. Matanya terlihat berbinar. 

“Kalau betulan juga tidak masalah. Aku pikir omongan mereka memang ada benarnya. Banyak benarnya!”

Aku tertegun. Sepertinya aku salah dengar omongannya. “Eh? Maksud Bapak?”

Edward tidak menjawab. Lagi-lagi dia tersenyum. “Coba ya, jangan panggil aku 'Bapak'. Aku belum jadi Bapak-bapak.” 

“Maaf, Pak. Eh, maksud aku, maaf, Edward.”

“Nah, begitu lebih baik. Boleh aku tahu, kamu bagian apa, Ester?” Ditatapnya aku dengan tatapan tak putus-putus. 

“A-aku bagian Akuntansi, Pak, eh-eh, maksud aku, Edward.” Dalam hati aku memaki diri sendiri yang tergagap lagi.

“Begini, aku butuh sekretaris. Apa kamu bisa bantu aku sementara? Selagi menunggu sekretaris baru. Kamu bantu aku, ya?”

Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. “Eh, tapi..., tapi..., aku belum pernah jadi sekretaris.”

“Tidak masalah, setidaknya kamu sudah agak lama di sini, kan?”

“A-aku sudah 5 tahun kerja di sini, sih.”

Perfect! Jadi kamu bisa membantuku menjelaskan hal-hal yang aku belum tahu.” 

“Uhm....” Aku bergerak-gerak gelisah di kursi aku. “Kenapa aku?”

“Seorang sekretaris akan selalu berada di dekatku. Aku merasa kamu cocok untuk membantu menjalankan kewajiban baruku di sini. Tolong, ya? Please?” Matanya tampak memohon. 

Kamu tahu? Kalau seorang laki-laki ganteng memohon begitu, rasanya hati ini langsung lumer. Jadi aku cuma bisa mengangguk. 

Excellent! Hari ini kamu langsung mulai, ya? Aku sudah minta OB untuk siapkan meja dan kursi buat kamu di ruanganku. Jadi aku tidak usah repot-repot kalau mau cari kamu.” Dia menekan beberapa nomor di teleponnya. “Pak Ruslan, bisa bawa masuk sekarang, Pak. Terima kasih!”

Tak lama, beberapa OB mengetuk pintu. Mereka membawa masuk meja dan kursi ke dalam. Sesudah meminta arahan Edward tentang posisi meja dan kursi itu, mereka mengaturnya, lalu pamit.

Aku memperhatikan itu dengan tanpa sadar berdecak. Sepertinya dia yakin sekali kalau aku pasti setuju dengan permintaannya. 

“Kenapa, sepertinya kamu tidak puas?” tanyanya.

Aku tertawa kecil, setengah dipaksakan. “Kok Bapak sepertinya yakin banget aku bakal jawab 'iya'?”

Feeling. Aku cukup yakin kita akan bekerja sama dengan baik. Satu lagi, aku ulang untuk ketiga kalinya. Jangan panggil aku 'Pak',” katanya sambil terkekeh.

Aku berdeham. Salah tingkah. “Baik, Pak, eh, Edward. Memang kenapa? Kok aku tidak boleh panggil begitu?”

“Aku tidak mau jadi lebih tua dengan dipanggil 'Pak'. Jadi get use to it, okay?sahutnya lagi memintaku untuk terbiasa dengan permintaannya untuk tidak dipanggil "Pak".

Aku mengangkat bahu dengan pasrah. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status