"Kau sudah melihat bagaimana ayahku tadi bersikap, bukan? Tak perlu diambil hati ya, Sayang, ia memang pria tua yang bodoh dan mudah dimanipulasi. Entah ia memang benar-benar tak tahu, atau ia sengaja tak peduli dan hanya memikirkan dirinya saja, aku pun sesungguhnya tak mengerti. Yang jelas pasti, ia adalah pria yang tak memiliki pendirian karena dari awal saja ia tak tahu harus berpihak dan melindungi siapa.""Yah, walau jawaban itu sudah jelas tak usah dipertanyakan lagi, kita sama-sama tahu bukan, apa jawabannya. Memiliki satu anak dibandingkan dengan tiga lainnya dari wanita berbeda, sudah jelas ia berada di pihak siapa, benar begitu? Bahkan dalam kehidupan pernikahannya pun ia masih saja mampu berkhianat dari istri pertamanya. Andai saja dari dulu aku sudah dapat lepas dari mereka dan hidup dengan kemauanku sendiri, mungkin sekarang kau tak akan ikut menderita dan terhina seperti sekarang, Sayang. Maafkan aku."Lyla mengangguk dan bersandar pada dada Damian ketika malam itu mere
Tiga hari kemudian ....Pagi itu, semuanya telah berkumpul di kantor utama di dalam pabrik milik mendiang ibu Damian untuk rapat bersama dalam agenda menerima hasil kinerja Allen dan mengumumkan beberapa pemberitahuan baru, termasuk diangkatnya Allen untuk menjalankan pabrik tersebut.Raut beberapa orang terlihat masam setelah mereka menerima hasil dari target yang telah ditentukan untuk pabrik itu dalam masa tenggat yang telah disepakati sebelumnya. Karena pabrik ternyata menghasilkan keuntungan yang mampu menutup semua kekurangan sebelumnya, maka rencana seseorang untuk memilikinya pun pupus sudah.Ya, itulah yang dirasakan oleh Felicia. Selama rapat dewan direksi, ia sudah berwajah masam. Terlebih saat melihat Lyla yang turut mendampingi Damian, membuatnya semakin merasa panas."Baiklah, kurasa sudah cukup. Sekian pertemuan kita hari ini." Damian mengakhiri rapat mereka setelah menjabarkan segala hal penting yang menjadi agenda pertemuan hari itu.Ketika para anggota rapat dan Dami
"Lalu, sekarang apa tanggapanmu tentang ini, Damian? Mengapa kau menyerahkan kekuasaan pada wanita yang telah mengalami kecacatan mental itu?" tanya Madison dengan raut menantang. Ia semakin bersemangat saat ucapannya sudah pasti akan didengar oleh seluruh dewan direksi perusahaan.Bisik-bisik semakin riuh terdengar karena para anggota pertemuan saling mengungkapkan pemikirannya masing-masing satu sama lain. Tak hanya itu, dalam tangkapan layar pun para anggota rapat online lainnya juga tampak saling berbisik."Ayo! Katakan apa penjelasanmu! Jangan membuat kami terlalu lama menunggu!" tantang Edric sambil berseru arogan di tengah-tengah ruangan yang riuh itu.Damian yang tampak tak terganggu, hanya tersenyum kecil. Ia masih tenang dalam menghadapi keriuhan itu. "Kalian ingin mendengar apa penjelasanku?" ucapnya. "Kecacatan mental katamu?" lanjut Damian sambil tertawa kecil. "Katakan, siapa di sini yang tak satu pun mengalami kecacatan mental? Aku ingin tahu. Karena yang kutahu, kita
Beberapa saat kemudian, segerombolan orang mengetuk pintu ruangan rapat dan masuk setelah Nathan mengangguk dan mempersilakan mereka.Mereka yang terdiri dari empat orang, segera mendekati Nathan sambil menyerahkan sebuah kardus berukuran sedang yang berisikan map-map dan berkas di dalamnya. Mereka lalu meletakkan kardus tersebut di atas meja di hadapan Nathan."Sungguh tepat waktu," gumam Damian puas.Nathan yang sigap, kemudian berdiri setelah mendapat anggukan isyarat dari Damian. "Saudara-saudara sekalian, seperti yang telah Tuan Damian sampaikan, kardus ini berisi semua catatan tentang kejahatan dan kecurangan yang dimiliki oleh mereka," ucap Nathan.Sontak Gilbert, Madison, dan Edric menegakkan tubuhnya. "Apa-apaan itu?! Tak mungkin! Kalian licik dan hanya akan membuat kebohongan, bukan!" seru Edric panik.Edric yang tampak telah tersulut emosinya, hendak maju dan menghambur ke arah Nathan saat kemudian ia ditahan oleh Ben dan Joe yang sigap yang tengah berjaga di dalam ruangan
Damian yang masih terdiam semenjak mereka kembali dari pabrik hingga ke kediaman mereka lagi, membuat Lyla sedikit khawatir. Ia kemudian beringsut mendekati Damian yang tengah duduk bersandar di atas ranjang sambil membawa secangkir minuman hangat untuknya."Sayang, minumlah," ucap Lyla sambil menyerahkan cangkir tersebut. "Ini sudah menjelang sore, dan kau belum makan apa pun sejak siang tadi."Damian menghela napas dengan berat sebelum akhirnya menoleh. Ia menerima minuman hangat itu dan menyesapnya sejenak. Ia memberikan lagi cangkirnya pada Lyla yang kemudian diletakkannya di meja di samping ranjang."Apakah mereka telah pergi?" tanya Damian kemudian.Mengerti yang dimaksud suaminya, Lyla mengangguk. "Ya, mereka telah memeriksa apa yang mereka perlukan. Dan para petugas itu ... telah membawa Ester," jelasnya."Mereka menemukan ponsel rahasia yang ia gunakan untuk memata-matai semua pergerakanmu pada Madison. Mereka juga menemukan banyak lotre undian yang ia beli beberapa waktu lal
Damian dan Lyla masih sama-sama mengenakan jubah mandi mereka setelah mereka menyantap hidangan makan malam yang diantarkan ke dalam kamar mereka malam itu.Mereka sebelumnya telah mandi bersama setelah selesai melakukan pergumulan panas untuk menghilangkan gundah di hati Damian tepat ketika ia terbangun dari tidurnya. Dan kini, mereka kembali berbaring berdampingan."Apa kau lelah, Sayang?" tanya Damian.Lyla tersenyum kecil. "Mengapa kau bertanya? Kau tahu benar apa yang membuatku lelah, bukan? Yang pasti, saat ini aku sedang kekenyangan.""Oh ya? Tapi katakan kau tidak selelah itu, please, karena aku masih membutuhkan dirimu untuk 'menenangkanku' lagi, Sayang," balas Damian sambil membelai wajah istrinya dan menatapnya penuh arti.Lyla sejenak tertawa. "Oh, ya ampun, kau bocah yang sulit 'ditenangkan' ha? Staminamu masih cukup besar rupanya," jawab Lyla sambil memutar kedua bola matanya dengan geli.Damian tergelak karena mengerti maksud Lyla. "Kau tahu benar diriku, Sayang. Aku ta
"Lyla! Kemarilah, cepat!" Jake menarik tangannya dan membawa gadis itu untuk mengikutinya masuk ke dalam pantri. "Ada apa?" Bola mata kecoklatan gadis itu menatapnya serius. "Setelah jam kerja berakhir, jangan pulang dulu. Ada sesuatu yang harus aku bicarakan padamu, dan ini penting," tegasnya pada Lyla. "T ... tentang apa, Jake?" tanyanya was-was. Jantungnya sedikit berdebar menatap pria tampan yang ada di hadapannya itu. Jake adalah salah satu rekan kerjanya yang sangat ramah dan banyak disukai karyawan wanita di kantor ini, begitu juga oleh para atasan. Selain wajahnya, mereka juga terkesan dengan kecakapannya dalam menyelesaikan pekerjaan. "Apa ada masalah dengan laporan yang kukerjakan?" "Bukan, mm... sebenarnya ada sesuatu yang harus kau lakukan." "Apa itu?" "Kau harus ikut denganku ke suatu tempat dan melakukan sebuah pekerjaan yang rahasia," jelas Jake tanpa berbasa-basi. Lyla mengerutkan alisnya. "Apa aku bisa menolak itu?" Jake menggeleng. "Well ... aku rasa kau tid
Lyla membeku di tempatnya, tak dapat memalingkan wajah dari pria beraura gelap yang berada di hadapannya itu. Damian Green Foster, pria yang memakai kacamata hitam dan menggenggam tongkat itu duduk dengan tenang dan tampak berwibawa dengan setelan kemeja biru dan celana panjang navy miliknya. Lyla tadi begitu panik dan sedikit gemetar saat Jake membawanya memasuki rumah besar dengan halaman luas yang penuh dengan pohon rindang di sekelilingnya. Ditambah saat ia memasuki sebuah ruangan, dua pria berjas hitam yang berdiri di ambang pintu menjadi pemandangan mengerikan tersendiri baginya dan semakin menambah kepanikannya. Lyla menelan ludahnya berkali-kali demi meredakan kegugupannya. Ia sesekali melirik Jake yang tampak santai dan tenang menghadapi Damian. "Perkenalkan dirimu, Lyla." Jake membuyarkan kebisuan dalam ruangan yang sekilas mirip dengan ruangan baca itu karena di sekeliling mereka banyak berbagai macam buku-buku yang tersusun rapi pada rak yang memenuhi dinding ruangan.