Share

Mistake in Love (Bahasa Indonesia)
Mistake in Love (Bahasa Indonesia)
Penulis: ayu nuri

Chapter 1 : The Coffee Shop

 

Stop smiling, you know you are so annoying

Your cheeks, your lips, your hips are little tempting

If she really finds out I'll be dead man walkin

Ardhito Pramono

(Here We Go Again)

***

Gayatri mengerjapkan matanya perlahan ketika menyadari bahwa hari sudah terang-benderang. Sekejap kemudian, dia sudah melompat dari tempat tidurnya. Gayatri bergegas ke dapur dan saat itu juga dia mendapati anak tirinya tengah menyeduh teh. 

"Dita! Mesodan!*" teriak Gayatri mengecek rutinitas yang harus dilakukan keluarganya tiap pagi.

"Sudah!" Dita balas berteriak.

"Sarapan?" tanya Gayatri, tangannya membuka tudung saji yang berada di atas permukaan meja makan.

"Sudah juga."

"Ayahmu?" Gayatri kembali bertanya.

"Sudah. Lagi di depan." jawab Dita secara casual.

Tak lama kemudian, dari luar rumah, keduanya dapat mendengar dengan jelas deru mesin kendaraan diikuti klakson motor yang memekakan telinga.

Dita menarik sudut bibirnya, jelas mengetahui siapa sosok yang menunggunya di halaman. "Wah, udah sampai." Dia berkata sembari mengerling ke arah jam di dinding.

"Hari ini aku ada Yoga Class ya." Tanpa banyak bicara, Dita menyambar tas ranselnya lalu berlari ke bagian depan rumah.

"Pulang kapan?!" teriak Gayatri.

"Mungkin langsung pulang tapi gak tahu! Oh ya dah ada ayam di kulkas tinggal goreng buat siang kalau ayah laper!" teriak Dita yang sejak awal memang sudah merencanakan untuk membuat sesuatu yang dia bisa.

Mendengar ucapan Dita, Gayatri merasa lega. Tentu saja karena dirinya tidak perlu susah-susah memotong dan membuat bumbu untuk makan siang nantinya.

"Siang, Yah!" sapa Dita kepada Pak Nyoman, ayahnya, yang sedang menyiram tanaman. Dia melangkah mendekat, mencium punggung tangan Pak Nyoman penuh kesopanan.

Tak lama kemudian Dita muncul dan mencium telapak tangan ayahnya.

"Mengapa tidak kamu memanggil Gayatri Mama? Dika saja sudah panggil bapak Ayah," Pak Nyoman bertanya.

Dika tersenyum lebar mendengar sindiran Pak Nyoman kepada Dita.

"Aku dan Gayatri cuma beda 10 tahun. Lagi pula Gayatri juga nggak mau dipanggil mama, 'kan," ujar Dita mencoba membela diri.

"Hmph.. Ya udah tapi kalo kalian nanti punya anak. Jangan sampai bapak denger anak kalian manggil kalian berdua pakai nama doang. Kaya bule-bule itu," tukas Pak Nyoman kesal.

Sayangnya kekesalan Pak Nyoman hanya dihadiahi sebuah tawa oleh Dika.

"Ya gak mungkin, lah, Yah. Udah aku pergi dulu ya. Ada Class." Dita pamit, lalu bergegas menaiki jok belakang motor Dika.

"Pergi dulu, Yah," ujar Dika setelah memastikan Dita sudah berada di posisinya yang nyaman dan aman.

"Yak hati-hati," kata Pak Nyoman, membiarkan kedua muda-mudi itu berlalu kemudian menghilang dari pandangannya karena motor milik Dika sudah terlalu jauh untuk diperhatikan.

Kampung Dita tempat dilahirkan memang terkenal bersih dan indah. Penduduknya gemar memelihara tanaman dan merawatnya dengan baik. Ayah Dita dan Pecalang setempat secara berkala membersihkan selokan dan saluran air. Sehingga air di dalamnya menjadi sangat jernih dan ikan pun nyaman di dalamnya.

Semalas apapun pagi hari saat berangkat kerja dan selelah apapun malam saat Dita pulang kerja. Kampungnya ini selalu bisa membuat mood-nya bangkit kembali.

Hembusan udara sejuk mulai menerpa wajah Dita, menerbangkan sebagian rambutnya yang tertutup helm.

Motor yang melaju dalam kecepatan sedang itu mulai menuruni lembah secara perlahan. Tempat Class Yoga yang akan Dita datangi sekarang memang berada di pantai.

Hamparan hijau di sepanjang jalan membuat Dita merasa nyaman hingga membuat pikirannya tampak kosong. Dia melingkarkan tangannya di perut laki-laki itu sementara netranya terus saja memperhatikan suasana sekitar.

Kecepatan motor yang mereka tumpangi mendadak menurun dan secara tiba-tiba, motor itu justru berhenti secara mendadak. Dada Dita bertumbukan dengan punggung Dika. Lalu tak lama kemudian Dita bisa mendengar laki-laki itu tertawa.

"Ihhh apaan sih! " Dengan perasaan kaget dan malu, Dita melayangkan satu pukulan ke bahu Dika.

"Jangan nakal!" Wajah wanita itu mulai merona kemerahan tanpa bisa dicegah, tangannya justru mencubit perut samping Dika.

"Aww! Hahaha ... Nakal-nakal tapi suka, 'kaaan," goda Dika tanpa coba menghentikan tawanya.

Dita memutar bola matanya jengah karena tingkah laki-laki itu. "Dik, tapi kok menepi di sini? Ada apa?" Dita mengalihkan perhatian ketika menyadari jika motor Dika tidak melaju lagi.

"Ohh ... ada gift spesial," jawab Dika, menarik sudut bibirnya hingga wajahnya tersenyum lebar penuh teka teki.

"Apa?" Dita jelas ingin tahu.

"Turun dulu ya."

Dita mengangguk kemudian tanpa banyak bicara, dia bergegas turun dari motor. Dika juga sama, namun anehnya dia justru mengambil sebuah amplop dari jok motor. Membukanya dan memperlihatkannya isinya pada Dita.

"Gimana? Lucu nggak?" Dika bertanya sementara tangannya masih saja merentangkan amplop yang dibawanya.

Dita terbelak hingga mata bundarnya tampak melebar ketika melihat apa yang baru saja Dika tunjukkan.

Kartu undangan yang berwarna putih gading itu jelas digambar dengan cat air. Dita bisa melihat gambar sebuah rumah di depannya dengan halaman pepohonan rimbun di kanan dan kiri juga bunga-bunga. Melengkapi gambar itu, ada sepasang pengantin yang tengah berdiri sembari memandang rumah tersebut.

Di balik kartunya, terdapat nama Dika dan Dita yang ditulis dengan begitu indah dan dilingkupi gambar bunga anggrek dan lily putih.

Tidak sampai di sana, Di bawahnya terdapat tulisan nama kedua orang tua mereka yang ditulis sama indahnya. Lalu di akhiri dengan alamat dan tanggal pernikahan di sebelahnya.

"Ih, kok nangis," ledek Dika dengan raut kebingungan di wajahnya.

"Enggak kok," jawab Dita, mencoba menutupi perasaannya.

"Itu apa tuh, di pinggir mata. Becekan?" canda Dika namun laki-laki itu tidak dapat menyembunyikan senyumnya lebih lama lagi.

"Iya, becekan." Dita mengusap ujung matanya dengan perlahan lalu mengerjapkan matanya berkali-kali agar pandangannya tidak mengabur lagi.

Melihat itu, Dika justru tertawa. "Ucul nggak?"

"Ucul. Siapa yang buat?" tanya Dita, netranya terus saja memandang undangan putih gading itu karena dia amat menyukainya.

"Ya aku lah, buat apa kuliah desain grafis 4 tahun kalau ginian aja nggak bisa." Dika kembali tertawa hingga matanya tampak menyipit karena garis senyum terpasang di wajahnya secara otomatis.

Dita sangat menyukai Dika. Apa lagi ketika pemuda itu tertawa hingga matanya tampak berbentuk bulan sabit. Sangat manis. Sangat hangat. Tulus.

Selama ini, Dika memang selalu mengutarakan isi hatinya secara jujur. Namun anehnya, tidak ada kata-kata yang membuat Dita sakit hati karenanya. Wanita itu justru menganggap Dika begitu lucu.

Dika memandang wanita itu sesaat. Matanya tampak berwarna coklat terang yang terasa hangat.

"Ba! Kok bengong!" Dika menggerakan tangannya di wajah Dita, mencoba menyadarkan Dita yang tengah termenung.

"Eh iya ayo. Berangkat." Dita berdeham salam tingkah, tangannya segera menutup jok lalu dia menaiki motor Dika kembali.

"Kartunya." Dika meminta kartu undangan cantik itu kembali.

"Enggak. Kamu pasti punya cadangannya, lah." Dita mendekap erat kartu undangan yang membuatnya menangis tadi.

"Hoke." Dika membalik tubuhnya, kembali menarik sudut bibirnya hingga senyum lebar muncul di wajahnya.

Di atas motor yang melaju dalam kecepatan sedang, Dita memeluk Dika begitu erat. Sedikit percakapan tidak akan membuat Dita terlambat, bukan?

***

Di atas pantai yang beralaskan matras, Dita melakukan postur kursi diikuti oleh muridnya yang lain. Cuaca cerah dengan angin pantai membuat tubuh nyaman walau berkeringat. 

"Lima.. Enam Tujuh Delapan.. " Dita menghitung fase gerakan dengan teratur.

Lina, murid Yoga Class-nya, tampak tersenyum lega karena postur sulit tersebut akan segera berakhir

"Satu, dua." Namun bukannya berhenti, Dita justru melanjutkan menghitung dari awal dengan postur tubuh yang sama.

"Eh... Eh..." Lina yang terkejut karena hitungan Dita mendadak kehilangan keseimbangan dan tanpa bisa ditahan, tubuhnya terjatuh ke belakang bersamaan dengan suara gedebuk keras. "Kak Dita! Jangan susah-susah napa?!" keluh Lina sembari bangkit dengan meringis kesakitan.

"Yang gampang itu rebahan di rumah!" saut Ismi, wanita berhijab yang mampu mempertahankan posisinya sejak tadi. "Heon aja bisa kok. Padahal doi baru dua kali ikut." Ismi memutar bola matanya sebal ketika mendengar keluhan Lina.

"Doi 'kan orang Korea," gerutu Lina, seakan tidak mau kalah dengan Ismi.

"Semua manusia sama di mata Tuhan. Betul, Ismi?" Heon menjawab dengan logat Indonesia yang hampir sempurna.

"Tull." Ismi membenarkan

"Hei. Simpan nafasnya ya. Jangan bicara. Nanti Yoga Class kalian percuma. Gak maksimal nanti," tegur Dita tegas.

"Iya Kak Dit!" Para muridnya serempak menjawab.

Tidak lama kemudian, setelah kelas Yoga dibubarkan, Lina memanggil Dita sembari melambaikan tangannya untuk menarik perhatian wanita itu. "Kak Dit! Kak Dit! Sini!"

"Ada apa?" Dita menghampiri mereka.

"Meredith sama Heon mau ajak ke kafe baru, Kak. Lagi happening. Mau ikut nggak?" Lina berkata dengan begitu semangat .

"Iya kak. Tempatnya cozy. Camilannya enak. Campuran West sama East. Camilannya Indonesianya juga enak. Padahal yang punya orang Korea loh!"

Ismi juga terlihat bersemangat mempromosikan kafe baru yang ingin segera mereka datangi.

"Oppa-nya ganteng!!" Lina tiba-tiba berkata dengan sorot berapi-api. "Oppa yang punya kafe ganteng!!" Antusiasme Lina semakin meninggi hingga Meredith dan Heon tertawa.

"Kafenya gak jauh, 'kan?" tanya Dita.

"Five minutes from here. You won't be dissappointed," jawab Meredith dengan aksen Australia-nya.

"Okay you all make me curious. But I want to phone someone first." Dita sengaja menggunakan Inggris agar Meredith dapat mengerti perkataanya.

"Yess! Tapi .. Psst Lin, dibolehin nggak ya doi sama yayangnya?" bisik Ismi.

"Pasti boleh. Kak Dika baik, " jawab Lina penuh keyakinan.

Dita yang sejak tadi menunggu nada tunggu telepon itu tanpa sengaja tersenyum ketika sambungan tesambung dan saat itu juga, Dita bisa merdengar suara Dika dengan jelas.

"Kenapa yaaaaaangg?!" teriak Dika setelah sambungan tersambung.

Dita segera menjauhkan smartphone karena gedang telinganya terasa berdenyut karena lengkingan Dika. "Jangan keras-keras!" Dita balas berteriak.

Para muridnya justru tertawa melihat interaksi Dita dan Dika melalui telepon.

"Mmm ... Aku mau pergi ke kafe bareng students," ujar Dita yang sangat berharap Dika membolehkannya pergi.

"Eh, Lina-nya mana? Lina!" Dika tiba-tiba mengubah subjek pembicaraan hingga Dita mengerjap bingung.

"Iya, Kak." Lina menjawab cepat, sontak hal itu membuat murid Dita yang lain tertawa terbahak.

"Masih jomblo yaaa?" ledek Dika.

Tawa Ismi, Meredith dan Heon pecah seketika. Dita bahkan tak bisa menahan senyumnya lebih lama lagi sementara muka Lina justru tertekuk sebal.

"Kak Dika, aku mau ajak Kak Dita jalan!" ujar Lina penuh semangat.

"Cari cowok ya? Gak boleh! Kecuali yang manis kayak aku," ujar Dika yang narsis.

Dita hanya menggelengkan kepalanya, tersenyum lebar hingga matanya tampak menyipit sementara muridnya yang lain kembali tertawa.

"Iya! Yang kayak Kak Dika, ucul manis baik. Pokoknya semuanya deh!" Jawaban yang Lina berikan semakin membuat Dika besar kepala setelahnya.

"Ok boleh." Dika menyetujui dengan begitu mudah hingga Lina bersorak kegirangan.

"Yes!"

"Tapi, bawain something buat diriku ya," pinta Dika seakan minta sesajen karena berhasil mengabulkan permintaan mereka.

"Iya, siap!" Dita menjawab, mengambil alih pembicaraan dengan cepat. Walaupun Dika tidak melihat, wanita itu mengangkat tangannya hingga membentuk gerakan salute.

***

Alunan lagu Ardhito "Here we go again" terdengar tepat ketika mereka membuka pintu, membiarkan kakinya melangkahkan menuju bagian dalam kafe yang tampak begitu ramai. 

Dita memindai seisi ruangan dengan senyuman lebar di wajahnya. Kafe baru yang Lina sebutkan ini memang tampak menarik perhatian.

Interior ruangannya dibuat begitu asri dan indah. Dapat dibuktikan dengan banyaknya tanaman yang tak bersekat dengan eksteriornya. Segalanya tampak begitu menyatu dengan furniture bergaya rustic dan natural. 

Dita juga bisa melihat nama-nama menu tercantum di bagian pemesanan. Segala hal di tempat ini begitu sederhana namun tertata.

Tanpa menunggu waktu lama, mata bundar Dita langsung mencari kursi kosong untuk mereka duduki sekarang.  Sementara itu, Lina justru langsung berusaha mencari sang Oppa tampan pujaan hati. 

"Kak, itu oppa-nya. Aiih gantengnyei." Lina menopang wajahnya penuh kekaguman ketika netranya terus saja memandang oppa yang dia maksud sebelumnya.

"Oh. Tapi Lin, kita kayaknya kehabisan tempat deh." Dita kembali memperhatikan keadaan kafe yang tampak penuh sesak oleh pengunjung dari berbagai negara.

Dita bisa melihat kelompok turis Perancis di dekat pintu masuk. Selain itu, banyak sekali turis Korea dan sejumlah turis lokal di sana. 

"Oh, ikut aku." Heon mengajak rombongan ke serving area, mendekati sang pemilik kafe yang berada di sana. 

"Annyeonghaseyo. Ajig jangsoga issseubnikka? (Selamat siang. Apakah masih ada tempat kosong?)" Heon bertanya kepada sang pemilik kafe dengan sopan.

"Gadeug chan geos gatseubnida (sepertinya sudah penuh)," jawab Sang pemilik kafe lalu tanpa alasan yang jelas, dia justru menatap Dita lalu memandangnya. Cukup lama. 

"Geuleona ... nal ttalawa. (Akan tetapi..tunggu sebentar)." Tiba-tiba sang pemilik kafe berubah pikiran. Dia tampaknya berpikir sesuatu sebelum akhirnya berjalan ke tempat bertuliskan "Reserved", lalu dia mengangkat tulisan itu dengan tenang.

"Yeogi anj-eul su issseubnida (Kalian bisa duduk disini)," ujar sang pemilik kafe mempersilahkan mereka untuk duduk dengan nyaman di sana. 

"Oppa what is your name?" Lina langsung menyambarnya dengan pertanyaan yang sudah dinantinya sejak tadi. Lina berharap pertanyaannya menghasilkan sebuah jawaban.  

"Namaku Jihoon." Jihoon menjawab sembari netranya tetap memandang ke arah Dita.

"Hoo." Ismi dan Lina berdecak kagum, saling melirik kegirangan setelahnya. 

"Bisa bahasa Indonesia?" Isma bertanya. 

"Bisa, belajar di Korea sebelum ke sini," jawab Jihoon

"Hoo.." Ismi dan Lina lagi-lagi terpesona oleh jawaban Jihoon yang sebenarnya tidak terdengar istimewa.

"Jihoon-a!" Tiba-tiba, terdengar sebuah suara memanggil. Jihoon segera menengok ke asal suara yang ternyata berasal dari arah pintu. 

"Hyuk! Dochag haessni? (Sudah sampai?!) Saya permisi dulu ya." Jihoon memberikan seulas senyum pada Dita dan murid-muridnya. 

Dia kemudian menghampiri Hyuk yang berada di pintu dengan langkah lebar.

"Wau ... neomu honjabhabnida. (Wah ramai sekali ya)"

(Selanjutnya obrolan berbahasa Korea mereka langsung di terjemahkan ke bahasa Indonesia ya guys)

"Hahaha, ayo kita ke sana." Jihoon membawa Hyuk yang masih menperhatikan sekeliling ke arah Serving Area. 

"Kau tidak menyediakan tempat untukku?" keluh Hyuk yang menyadari jika tidak ada satu kursi kosong pun di tempat ini. 

"Costumer diutamakan." Jihoon membela diri tanpa sedikit pun merasa bersalah.

"Hei, aku juga costumer. By the way, insting bisnismu bagus ya."

Jihoon menarik seulas senyum setelah mendengar pujian Hyuk. "Situasi ramai seperti ini pasti tidak akan lama. Jadi ya ... aku pasti akan terus mengamati perkembangan tren."

"Hmm hmm." Hyuk mengangguk, membenarkan ucapan Jihoon yang terdengar begitu tepat."Oh, bagaimana ibumu? Kerasan dia di sini?"

"Oh, ibu justru banyak teman dari kalangan lokal. Melihat ibu senang, aku tidak khawatir. Yang membuat aku terkejut, justru kau yang mengusulkan pertunangan Bo Hyun untuk dilaksanakan di Bali."

"Bali itu tempat terindah. Lagi pula dia sepupuku. Tentu aku ingin yang terbaik untuknya."

"Hmm benarkah?" Jihoon tampak tidak yakin.

"Iya. Lagi pula pernikahan itu hanya sekali seumur hidup, 'kan?"

"Really?"

"Well, setidaknya selama ayahnya masih hidup." Keduanya tertawa terbahak dengan mata menyipit.

"Aku bisa menemukan alasan kenapa kau menyukai Bali." Hyuk melambaikan tangan ke arah Meredith yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri saat ini. "Hey girls! "

"Menyadari jika Hyuk menyapa mereka, murid-murid Dita di kelas Yoga itu sontak berkata, "Hey!"

"Kutunggu kau di Villa Sanur. Kyung So dan Bo Hyun akan ada di sana juga." Hyuk berbicara kepada Jihoon dengan serius. 

"Kalau tidak?" Namun nyatanya, Jihoon justru merasa setengah hati dengan ajakan Hyuk. 

Hyuk tidak berniat menjawab pertanyaan Jihoon karena dirinya memilih mendatangi meja Meredith dan yang lainnya.

"This is my type," bisik Meredith sembari menyikut Dita yang berada di sisinya sejak tadi.

"Thin beard? " Dita berkomentar setelah mengamati sosok laki-laki yang berbicara dengan Jihoon.

"Sexy." Meredith tidak dapat melepaskan tatapannya dari sosok yang terlihat begitu mempesona di matanya. Dia itu Sang Hyuk.

"Girls. I'm treating you all of the foods and drinks in this coffee shop."

"Really?" Dita dan murid-muridnya itu tersentak dengan mata melebar ketika mendengar penuturan Hyuk. 

"True. I can't stand of beautiful girls." Hyuk mengedipkan mata ke arah Meredith yang sudah tersipu dengan semburat kemerahan di wajahnya yang cantik.

"Kalau kau mau tagihanmu dibayar, datanglah ke villa nanti sore! Kita akan bersenang-senang!" Hyuk berseru ke arah Jihoon dan lagi-lagi, tanpa menunggu jawaban Jihoon, dia beranjak keluar dari Coffee Shop.

Jihoon mendengkus malas, sementara senyum kecut mulai muncul di wajahnya. 

Di lain sisi gadis-gadis itu bersorak sorai mengucapkan terima kasih kepada Hyuk yang terkesan sangat baik hati. Kecuali Dita karena wanita itu memilih diam tanpa banyak bicara.

***

Suara klakson kendaraan roda dua itu terdengar begitu keras di telinga Dita. 

Wanita itu melangkah masuk sembari membawa enam gelas kertas kopi yang dikemas dalam satu pak. Saat ini, dia bisa melihat ayah dan para pegawainya bekerja dengan hati-hati.

Ayahnya terlihat sedang merangkai Lily dan Anggrek, satu pekerja sedang membuat kerangka untuk karangan, sedangkan satu pekerja  lainnya sedang memotong daun-daun pada tangkai bunga. 

"Tadi aku telepon rumah tapi tidak ada yang angkat. Aku telpon Gayatri, ternyata kalian ada di workshop." Dita meletakkan minuman yang dibawanta di atas permukaan meja besar. Tak tertata dengan baik, di sana juga tergeletak sketsa-sketsa dan layout ruangan. 

"Iya, kita ada proyek besar di Sanur. Acara pertunangan. Besok semua bunga harus sudah ada di sana. "

"Mendadak sekali." Dita menghela napas keheranan. 

Gayatri yang baru saja datang sembari membawa sampah dedaunan itu berkata, "Makanya kau besok bantu kami ke sana. Kita kurang orang."

"Aku bisa bantu, Yah." Dika yang datang setelah Gayatri itu membawa bungkusan camilan di tangannya. 

"Eh iya Ayah, Gayatri, ini diminum dulu." Dita menawarkan minuman yang baru saja ia bawa dari Coffee Shop

"Hei, kalian berhenti bekerja! Ini minum dulu!" Pak Nyoman memanggil dua pegawai yang sejak tadi begitu terfokus dengan pekerjaannya.

"Dita, ini kau beli? Nggak mahal?"

"Tadinya, Dita dan murid-muridnya mau ditraktir, Yah. Tapi hanya Dita sendiri yang gak mau." Dika yang sudah mengetahui kronologinya itu justry malah menjawab pertanyaan Pak Nyoman. 

"Sama siapa?"

"Pengunjung, Yah," jawab Dita, mengibaskan tangannya sambil lalu. 

"Kok bodoh sekali? Ditraktir malah nggak mau?" tanya Gayatri, mengangkat sebelah alisnya bingung setelah mendengar perkataan Dita.

"Soalnya Dita anak yang baik," jawab Pak Nyoman. 

Dita menarik sudut bibirnya. Dia jelas tidak bisa menyembunyikan senyum kecilnya. 

"Jam berapa, Yah? Harus stand by di sana?" tanya Dika. 

"Eh, nggak boleh. Kamu harus berangkat kerja," tukas Dita yang tidak senang dengan inisiatif Dika untuk membantu ayahnya. 

"Aku bisa cuti."

"Nggak boleh. Nanti kalau kontrak kamu nggak diperpanjang, kita mau nikah pakai apa?"

"Pakai cinta." Dika menyandarkan kepalanya di bahu Dita. 

"Pakai daoon!" Dita meledek, wajahnya sudah merona kemerahan karena malu. 

"Ini kita punya banyak." Gayatri menjulurkan sampah daun yang dia bawa ke arah Dita hingga mereka semua tertawa cekikikan setelahnya.

***

Jihoon mengendarai motor miliknya sampai ke sebuah pintu bergaya rustic ethnic. Saat dia membuka pintu, dia bisa mendengar suara musik mengalun keras. Villa tempatnya berada saat ini begitu indah dengan kolam renang di tengah dan pohon kelapa pada sisi kiri dan kanannya. Bola-bola dan pelampung warna-warni tampak mengapung di kolam renang. Dia juga bisa melihat Hyuk yang berdiri di depan Gazebo. 

"Sudah kubilang, dia akan datang." Hyuk berseru bersemangar kepaada Kyung Soo dan Bo Hyun yang sedang berbaring di dalam Gazebo sembari memegang sampanye di tangannya. 

"Hey my man!" Bo Hyuk berseru dan tanpa banyak bicara, dia menghampiri Jihoon yang tengah memaksakan sebuah senyuman.

"Apa ini?"

"Bachelor party!" jawab Bo Hyuk sementara tubuhnya bergerak bebas, setengah berdansa. 

"Sepertinya kau terlihat kurang senang." Kyung Soo yang bangkit pun ikut menemui Jihoon. "Apa kabar kawan!" Kemudian menjabatnya erat dengan salam persahabatan. 

"Baik. Bagaimana kau di Princeton?"

"Aku cuti dulu. Setelah ini kita belum tentu bisa bertemu Bo Hyuk lagi."

"Berapa tahun lagi?" tanya Jihoon. 

"Itu tergantung." Kyung Soo hanya tertawa, membiarkan Jihoon mematung dengan kening  berkerut dalam.

"Setelah itu apa?"

"Ayah menawarkan project di kampusnya. Saya sudah berbicara dengan beberapa peneliti dan stakeholder."

"Pemerintah?" 

"Iya, Ayah bilang itu merupakan akses ke Universitas Seoul."

Paman Jo Myun adalah seorang rektor dari Universitas Ulsan. Sejak masih kanak-kanak, Kyung Soo memang sudah dipersiapkan menjadi akademisi. Akhirnya, Ayahnya yang tak mampu menembus tembok Universitas Seoul itu malah menurunkan ambisi kepadanya. 

"Sssmhhh ... Bosan, nih. Dua hari lagi ada cincin melingkar di jariku, Hyuk hyung. Tidak ada ide apa?" keluh Bo Hyun.

"Hmh, selalu ada opsi kedua." Tanpa menjelaskan lebih jauh, Hyuk justru mencengkram pergelangan tangan Jihoon lalu menariknya.

"Hey! Hey!" Saking terkejutnya, Jihoon bahkan tidak melawan saat dirinya ditarik sampai jeep yang terparkir di halaman depan Villa. 

"Masuk!" perintah Hyuk sembari mendorong Jihoon agar segera masuk ke dalam jeep. 

"Woohoo!" Dengan bersemangat, Bo Hyuk ikut masuk ke dalam Jeep, begitu pun dengan Kyung Soo yang masuk dengan santainya lalu membuka smartphone

"Ke mana kita?" tanya Jihoon datar.

"Ke pantai. Masih 2 jam lagi sebelum matahari terbenam."

Jeep berangkat, dengan kecepatan sedang mulai menyusuri jalanan Bali. Daerah Sanur memang tak seramai Kuta, namun jelas dirasa punya ekslusivitas sendiri 

Di sepanjang perjalanan, mereka bisa melihat motor-motor berlalu lalang di jalanan.

"Kyung Soo, kau membosankan," keluh Bo Hyun.

Mendengar itu, Kyung Soo berhenti membaca segala hal yang tertulis smartphone lalu segera memasukkannya ke dalam kantong. Dia melihat bule wanita berbikini tengah menaiki motor tepat di sebelah jeep mereka. 

"Nice titties!" Dia berteriak kepada bule itu. Kemudian jeep segera melesat cepat hingga mereka semua tertawa setelahnya. 

Sesampainya di pantai, mereka bisa melihat para turis sedang ber-water sport ria. 

"Oke sekarang flying fish, banana boat, para sailing, jet ski, wake boarding, atau fly board. Waktu kita terbatas," ujar Hyuk yang sepertinya memang sudah mempunyai planner tersendiri.

"O ... hohoho ... semua!" Dengan bersemangat, Bo Hyun menyatukan kedua tangannya berkali-kali. Bertepuk tangan karena dia jelas sangat menyukai ide Hyuk. 

"Oke. Kyung Soo wake boarding, Jihoon kau flying fish, Bo Hyun kau para sailing, dan aku fly board. Nanti kita bertemu di Banana Boat," putus Hyuk pada akhirnya.

***

Sembari memegang erat tali pelampung raksasa berbentuk ikan yang berada di tubuhnya, Jihoon bisa mendengar jelas aba-aba dari pria di atas jet ski itu.

"Sudah siap?!" 

"Siap!" balas Jihoon tak kalah bersemang. 

Jet ski pun melesat cepat. Flying fish yang tertarik di belakangnya bersama Jihoon mulai bergerak naik turun karena ombak. Jihoon bisa merasakan cipratan air di sekelilingnya dan tak lama kemudian, pelampung mulai melayang naik meninggalkan permukaan air. 

Adrenalin Jihoon naik seketika. "Wooohoo!"

Di tempat lain, Sang Hyuk bergerak naik turun seperti selang air yang lepas. Dia nampak sudah ahli dengan fly boarding karena saat ini Sang Hyuk bergerak salto di udara hingga pancuran air membentuk spiral di bawah kakinya.

Tidak sampai di sana, ia meluncur ke dalam air tanpa meminumnya lalu muncul kembali dari dalam permukaan air. Berdiri seperti kobra.

Di atas papan selancar tanpa kacamata, Kyung Soo memegang erat tali yang ditarik oleh Jet Ski. Dengan keseimbangan penuh saat Jet Ski berbelok, Kyungsoo dapat mempertahankan posisi tubuhnya dengan baik dan ketika menemukan ramp, dia melompat bersemangat. "Woohoo!"

Bo Hyun sudah bersiap di pantai dengan parasut yang dihubungkan ke tubuhnya. Jet Ski yang berada jauh di atas permukaan laut memberi aba-aba. 

Ketika waktunya sudah tepat, dia berlari sembari mencengkram pegangannya kuat-kuat. Bo Hyun mulai terbang dan dia bisa merasakan kakinya semakin lama semakin menjauh dari permukaan pasir. Sampai akhirnya dia terbang melintasi laut. "Ahahaha!" Bo Hyun tidak bisa menyembunyikan tawa bahagianya lebih lama lagi.

Di langit senja yang kemerahan, mereka menaiki banana boat. Sesuai aba-aba mereka melompat ke air. "Wooo Luar Biasa! " Mereka bersorak. Opsi kedua Hyuk berjalan sempurna. 

***

Malam mulai datang melingkupi pantai. Laut tampak menghitam dengan buih-buih putih ombak yang terlihat jelas karena api unggun yang menyala di tepi pantai. Kerlipan lampu warung terlihat begitu kontras dengan riuhnya suara manusia dan musik yang mengalun dari gendang dan gitar. 

Bo Hyun dan Kyung Soo tampak berdansa ditemani dua turis asing cantik yang ditemuinya di pantai. Sementara itu, dengan bertelanjang dada, Sang Hyuk mengamati Jihoon yang terlihat gelisah sambil menelpon seseorang dari jauh.

"Dengan siapa? Putra keluarga Jang dan Han lagi?"

Bibir laki-laki itu terasa kelu. Lagi-lagi Jihoon tidak dapat menjawab pertanyaan ibunya.

"Kau sudah tahu tujuan kita ke sini. Kau ingat pesan ayahmu. Pulanglah!"

"Baik, Ibu."

"Satu jam lagi kau harus sudah sampai rumah  atau ibu tidak akan berbicara denganmu lagi." Tanpa menunggu jawaban Jihoon, wanita itu menutup teleponnya. 

Jihoon mengembuskan napas. Ia bergegas  mendatangi Hyuk yang sejak tadi memang memperhatikannya. "Aku pamit."

"Ibumu? Pergilah. Apa hakku melarang."

Jihoon yang tidak menjawab ucapan Hyuk lebih memilih membalikkan tubuhnya kemudian berlalu pergi tanpa menoleh kembali.

Kyung Soo dan Bo Hyun yang melihat itu segera mendatangi Hyuk yang masih mematung di tempatnya. "Yah, Jihoon pulang ya?"

"Yep." Hyuk kembali diam. Netranya terus saja memandang punggung Jihoon yang semakin lama semakin menghilang dari pandangan sembari menegak Bir Bintang yang ada di tangannya. 

***

Bersambung ke Chapter 2

Mesodan adalah persembahan pagi di puri kecil dalam Agama Hindu



Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status