Share

Chapter 6 : The Window

I see a red door and I want it painted black

No colors anymore, I want them to turn black

I see the girls walk by dressed in their summer clothes

I have to turn my head until my darkness goes

I see a line of cars and they're all painted black

With flowers and my love, both never to come back

Rolling Stones

(Painted Black)

***

"Dita, Dita sayang bisa kau ceritakan kepadaku siapa selain Jihoon yang melakukannya?" Ibu Kopral berjongkok di hadapan Dita sementara Dita terus saja memeluk pinggang Dika erat-erat.

Dita tidak menjawab apapun. Pandangannya terus saja fokus ke depan.

"Dita, sayang."

"Sudah, Bu Polisi. Mungkin Dita nggak mau ingat lagi. Nanti saya tanya baik-baik, Bu. Saya juga ingin tahu siapa saja keparat itu. Tapi Ditaβ€”" Dika mendadak tercekat, dia tidak melanjutkan ucapannya. "Sudah dulu, Bu, ya."

"Iya, Nak Dika. Mohon bantu kami, ya," kata Ibu Kopral dengan penuh permohonan agar kasus ini cepat selesai.

"Tentu, Ibu. Pelan-pelan ya."

"Oh ya, satu lagi, Ibu." Pak Nyoman tiba-tiba bertanya dengan sorot sedih. "Bisa tidak kita bawa pulang Dita? Mungkin dia nggak nyaman di sini."

"Ah, iya. Nanti saya bicarakan dengan Dokter. Selain kondisi mentalnya, sepertinya kondisi fisiknya sudah baik."

"Baik, Bu. Baik. Terima kasih, Bu," kata Pak Nyoman sembari menjabat tangan Bu Kopral dengan penuh ucapan terima kasih.

***

Di ruang tunggu, Lina duduk dalam diam sembari menutup wajahnya. Ismi melangkah mendekatinya untuk menyatakan simpati.

"Linβ€”"

"Ah, diam kau. Biarkan aku sendiri." Mata Lina terlihat begitu sembab dan merah. Ia berpindah tempat duduk lalu lebih memilih menutup wajahnya kembali.

Ismi mendekati Lina kembali kemudian ia  menghela napas berat. "Kita nggak bisa terka orang, Lin. Lo nggak salah. Kita nggak tahu orang yang terlihat tampan dan baik ternyataβ€”"

"Bagaimana kalau ternyata dia nggak salah, Is!" seru Lina tiba-tiba sembari memandang Ismi lekat-lekat. Dia terlihat tidak dapat berpikir logis saat ini.

"Lin, please." Ismi mengembuskan napas. Dia tidak habis pikir dengan Lina.

"Bagaimana kalau ternyata Kak Dita yang godain Kak Jihoon?!"

Ismi melayangkan sebuah tamparan yang begitu keras di wajah Lina sampai membuat Meredith dan Heon mendekati keduanya.

"Sebuta ... itu kah ... kau, Lin?" Ismi terlihat geram dengan Lina benar-benar sudah tidak waras.

"Bisa aja, 'kan?! Kita nggak tau hati orang. Nggak mungkin Jihoon begitu. Aku yakin. Nggak mungkin!" teriak Lina yang tetap ngotot dengan pikirannya.

"Apa dasar kamu ngomong begitu, hah?! Karena dia ganteng?" Ismi membelalak geram karena ucapan Lina.

"I also think of that." Tiba-tiba Meredith menyambar cepat. "I am sure he is innocent. He can get any girl that he wants. Why he did that? That doesn't make sense."

"Meredith stop it." Heon tak percaya akan apa yang baru saja dia dengar dari mulut Meredith.

"Why should I?"

"Because you sound like a jerk!" bentak Heon sembari mengacungkan telunjuk di depan wajah Meredith.

"Okay. Okay. Heon lets leave these 'Oppa lovers'. I don't wanna close with any stupidity so you should," kata Ismi pedas sambil menyeret Heon menjauh dari tempat itu.

***

Mereka semua saat ini tengah bergabung bersama di apartemen Hyuk. Sang Hyuk, Bo Hyun, dan Kyung Soo duduk di hadapan laptop yang menyala. Mereka tengah ber-video call dengan Pengacara Kim.

"Jadi Jihoon sudah ditangkap," gumam Kyung Soo.

"Tapi katamu, Jihoon bilang dia tidak akan melaporkan kita," ujar Bo Hyun yang mencoba tetap optimis dengan keadaan saat ini.

"Ini cuma soal waktu," gumam Hyuk diikuti helaan napas berat. "Suatu saat, dia akan bicara dan interpol tau-tau sudah di depan pintu rumah kita semua."

"Aduh, gimana dong?" Mendengar itu, Bo Hyun merasa ingin menangis lagi. Perasaannya begitu tidak karuan saat ini.

"Ada cara supaya kalian aman," ujar Paman Kim sembari mengangguk-anggukan kepala. "Pertama kita bisa menumpahkan semua kesalahan kepada Jihoon."

"Ah, jangan gitu Paman," kata Hyuk dengan kening berkerut dalam. Yang lain juga mengungkapkan ketidaksetujuannya.

"Iya, aku mengerti. Aku tidak akan mungkin melakukan hal itu."

Paman Kim kemudian berpikir sejenak, mencoba mencari jalan lain. "Ada cara lain. Kita harus membuat kedua belah pihak menyatakan bahwa ini terjadi atas dasar suka sama suka."

"Bisakah begitu, Paman?" tanya Kyung Soo yang merasa ragu ketika mendengar penuturan Paman Kim.

"Memang agak rumit karena ada hasil visum dan sebagainya. Tetapi, jika keluarga Dita dan Dita sendiri tidak mau menuntut, jelas itu bisa."

Mereka semua diam, mencoba berpikir keras.

"Em ... apa yang bisa membuat seseorang menjatuhkan idealismenya?" Tiba-tiba Hyuk berkata dengan datar sementara keningnya berkerut dalam.

"Uang?" tanya Bo Hyuk, mengangkat sebelah alisnya bingung.

"Cinta?" Kyung Soo mencoba memberi saran mengikuti Bo Hyuk.

"Pak Nyoman mencintai pekerjaannya bukan?" kata Hyuk dengan sudut bibir terangkat.

***

Di dalam ruang tahanan beralaskan semen, Jihoon duduk bersimpuh di atas permukaan lantai yang terasa dingin. Badannya menyandar pada dinding. Dia memilih memunggungi dua orang bule yang duduk ditahan di sel yang sama dengannya.

"Hei mate!" Salah satu dari mereka menyapa dengan bersemangat. "What case are ya?"

"Deaf maybe." Satunya menebak sembari menggerak-gerakan jarinya.

"Not understand English maybe."

Akhirnya salah satu dari mereka berjongkok di hadapan Jihoon yang masih mematung. "Is it drugs mate? If it is." Kemudian ia berbisik dengan  sudut bibir terangkat. "What is it?"

"You can trust our both."

"Yeah, we have lawyer."

"No, we don't."

Jihoon diam tidak menanggapi dua orang yang sepertinya mabuk itu.

"Jihoon, ibumu ingin bertemu." Polisi membuka pintu sel, memborgolnya, kemudian membawanya ke ruang tengah. Ada sebuah meja dengan dua kursi yang saling berhadapan. Satu telah diisi oleh ibunya sendiri.

Bahkan melihat ibunya saja, Jihoon tidak sanggup. Dia memilih untuk terus menunduk sementara Ibunya terdiam dalam waktu yang lama di hadapannya.

"Waktu Ibu cuma 10 menit." Polisi mengingatkan Ibu Yeo agar bergegas.

"Aku bukan ibumu lagi."

Mendengar itu, air mata Jihoon sontak mulai mengalir tanpa bisa ditahan.

"Aku ingin kamu bertanggung jawab atas apa yang kamu lakukan." Ibu Yeo tersendat, mencoba mengambil napas karena dadanya yang terasa begitu sesak.

"Aku ingin kau berkata sejujurnya denganku, dengan polisi, dengan hakim, dan dengan hadirin di pengadilan nanti." Air mata Ibu Yeo kembali mengalir membasahi wajahnya. "Benarkah Hyuk, Hyun, dan Kyung ikut memperkosa Dita?"

Jihoon terisak kecil, akan tetapi mulutnya tetap bungkam. Dia memilih tidak bicara apapun.

"Oh, ya Tuhan! Mengapa kau melindungi mereka?!" Ibu Yeo begitu geram karena Jihoon nampaknya tidak mau bicara. "Susah payah kita ke negara ini untuk menghindar dari keluarga mereka. Dan kau Jihoon ..." Emosi Ibu Yeo akhirnya tidak bisa ditahan lebih lama lagi.

"Ini yang aku takutkan, Nak! Lalu kamu harus bagaimana? Kalau aku mati nanti, aku harus bilang apa sama ayahmu?" ujar Ibu Yeo terisak kecil.

Mendengar itu, tangis Jihoon pecah dengan begitu kerasnya.

"Sekarang apa mereka di sini? Apa anak keluarga Han dan Jung di sini?! Mereka sudah kembali ke Korea bukan? Ah, anakku betapa bodohnya kamu?" Ibu Yeo mulai memukuli Jihoon secara bertubi-tubi. Perasaannya hancur tanpa bisa ditahan.

"Sudah, Bu, sudah! Waktu kunjungan Ibu sudah habis!" Pak Polisi segera datang melerai. Ia hendak memasukkan Jihoon kembali ke dalam tahanan.

"Jihoon ... ketahuilah luka Dita tidak akan pernah sembuh. Apa yang kalian perbuat padanya akan terus bersamanya selamanya," tutup Ibu Yeo sebelum akhirnya diantarkan keluar oleh seorang polisi yang bertugas.

Jihoon kembali didudukan di lantai sel dan tak lama kemudian, sel kembali dikunci dengan rapat. Sang bule tahanan kini berlari ke arah pintu jeruji.

"Officer tell me what this Asian man has done or two of us gonna sing all the night!"

"Its a rape!" jawab salah satu dari polisi yang mendengar itu.

Kedua bule Aussie itu langsung tertawa terbahak ketika mendengar jawaban polisi yang berada di sana. "So stupid. With a face like that you can get it just with one sentence."

"What's that?"

"Do you wanna fuck with me?"

Mereka berdua tertawa terbahak lagi. "But last time we said it, we were beaten."

"That because we said it to a man."

Lagi-lagi mereka berdua tertawa karena ucapan yang baru saja mereka lontarkan.

Pikiran Jihoon melanglang kembali kepada Dita.

Maafkan aku. Bisakah kau melupakan apa yang kuperbuat, Dita?

***

Duduk di bangku teras, Dita tetap melakukan hal yang sama dilakukan saat berada di rumah sakit. Yaitu memeluk pinggang Dika dengan erat. Sesekali yang Dika lakukan hanya membelai rambut Dita yang panjang.

"Dulu kamu galak banget lho. Waktu di SMA,  aku tahu aku telat bayar uang kas, tapi ya kamu nggak peduli. Kamu sampai kejar aku ke kantin. Akhirnya siang itu aku nggak makan, Dit." Dika tertawa karena ucapannya namun terlihat ada pedih di dalamnya.

"Pas kuliah kamu udah mendingan, udah ramah gitu. Aku udah tau kamu bakal masuk jurusan tari. Tapi yang aku nggak suka itu bedebah-bedebah yang duduk paling depan saat kamu tampil itu lho. Pernah itu ...

"Sengaja aku makan kol sama ubi. Terus nggak ke WC dulu, biar pas psstt." Dika meniru bunyi kentutnya sendiri. "Pada bubar semua." Dika kembali terkekeh lagi sementara Dita hanya mengulas senyum.

Dika segera melepas tangan Dita dari pinggangnya, memegang kedua bahu Dita, dan memandang matanya dalam.

"Dit ... kita itu udah ... Waktu-waktu kita itu udah ... itu bukan waktu yang singkat ... aku mencintaimu sudah ... bertahun-tahun ... dan tidak akan hilang hanya ... karena kejahatan orang lain."

Air mata Dita perlahan turun. Dita sepertinya mengerti yang baru saja Dika katakan.

"Jadi, jangan bersedih dan khawatir lagi. Aku akan terus mencintaimu," ujar Dika.

Mulut kecil Dita mulai bergerak secara perlahan.

"Aku akan terus ... terus ... terus ...mencintaimu selamanya."

"A ... ku ... ju ... ga...."

Dika langsung melumat bibir Dita yang terasa asin karena air matanya dan air mata dirinya sendiri. Rasa sesak, rasa sakit, dan rasa rindu terluapkan dalam ciuman dalam itu.

Dita merasakan perasaan hangat di bibirnya, pipinya, lalu ...

Kau? Hyuk?

Muncul ...

Hyun?

Kelebatan ...

Kyung?

Para pria ...

Jihoon?

Yang menciumnya ...

Dita segera mendorong Dika dengan begitu keras. "Haaah ... haaahh ... haaah." Napasnya terasa begitu sesak dan berat.

"Dita?" Dika mengerjap bingung karena tingkah Dita.

"Kolam ...." Dita mengangguk kecil. "Kolam ...." Lalu ia kembali melangkah masuk ke dalam rumah. Dika yang berniat memapahnya harus menghentikan niatan karena Dita menepis tangannya. Melihat itu, Pak Nyoman bergegas datang lalu memapah Dita sampai masuk ke kamarnya.

Dika segera menghampiri Pak Nyoman yang berada di sana. "Ayah, Dita menyebut kata kolam."

"Apa?" Pak Nyoman jelas masih kebingungan.

"Kata kolam dua kali."

"Maksudmu?"

"Ayah ingat waktu Dita pernah cerita kalau dia diceburkan ke dalam kolam renang? Ayah di sana bukan?" Dika bertanya.

"Ah, iya."

"Ada berapa orang di sana?" Dika kembali bertanya.

"Ada Jihoon." Pak Nyoman berusaha mengingat-ingat keadaan yang terjadi saat itu. "Anak Ibu Jung yang bertunangan, lalu ada keponakannya dia yang mengkontak ayah, dan menyediakan gedung. Lalu ada satu orang lagi ... pakai kacamata ... Ayah hanya tau dia lulusan luar negeri."

"Jadi, empat orang, Ayah."

"Empat orang ...," Pak Nyoman bergumam, dia masih belum sadar apapun.

"Mereka yang memperkosa Dita."

"Oh ...." Pak Nyoman terkesiap kaget, dia menutup mulutnya, dan mulai menangis.

"Ayah, kita harus melaporkannya ke polisi malam ini."

"Sekarang?" tanya Pak Nyoman.

Dika mengangguk tegas.  Dia tidak ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi. "Kita berangkat pakai motorku, Yah."

"Ayah ambil helm dulu," ujarnya lalu bergegas masuk ke dalam rumah.

***

"Tidak bisa hanya itu, Pak,' kata polisi yang tengah mengetikkan laporan dari Dika. "Kolam itu bisa berarti apapun."

"Ya, 'kan, nggak mungkin tunangan saya tahu-tahu nyebut kata itu kalau nggak ada alasannya." Dika kini membela kata-katanya yang terasa benar.

"Tetap saja tidak bisa, Pak."

Ditengah-tengah perdebatan mereka, Pak Nyoman mendadak ditelepon oleh seseorang.

"Halo."

Terdengar suara terisak di ujung sana. "Pak ..."

"Gayatri! Gayatri! Ada apa?!" Pak Nyoman berkata begitu panik.

Dika langsung menoleh, beranjak dari duduknya, kemudian pergi ke hadapan Pak Nyoman yang masih tampak panik.

"Workshop, Pak." Gayatri kembali terisak dengan begitu keras. Mendengar itu, jantung Pak Nyoman kini berdegup kencang. "Workshop terbakar, Pak."

***

"Ibu Yeo Bin! Ibu Yeo Bin, permisi izinkan saya masuk!"

Pengacara Kim berteriak-teriak di depan gerbang rumah Yeo Bin dan putranya Jihoon dengan begitu keras. Lampu rumah yang menyala, meyakinkan Pak Kim kalau memang ada orang di dalam sana.

"Aku akan terus berteriak di sini Bu Yeo, tak peduli tetanggamu terganggu!" Pengacara Kim masih belum menyerah.

Setelah sekian lama, akhirnya Ibu Yeo Bin muncul dan membuka gerbang dengan perlahan. Saat memasuki rumah, Pak Kim terus saja berbicara, melanjutkan apa yang hendak dia sampaikan di WhatsUp yang tidak dibalas, dan telepon yang dialihkan.

"Ibu Yeo, saya mengerti perasaan Ibu. Tapi Ibu, Jihoon adalah putra Ibu satu-satunya, 'kan? Mohon dipertimbangkan lagi."

Lalu mereka berdua akhirnya duduk dengan tenang di sofa.

"Tapi, saya tidak bisa memaafkannya."

"Memang, Ibu. Memang perbuatannya sungguh ... tapi, Ibu ini negeri asing. Kalau lah akhirnya Jihoon di penjara, akan kah dia menjadi lebih baik?" Pak Kim menjeda kalimatnya sesaat.

"Tau kah ibu, apa yang napi Indonesia lakukan pada napi baru apalagi yang tampan seperti anak Ibu?"

Ibu Yeo Bin mulai bimbang mendengar itu.

"Ibu." Pengacara Kim terus saja menatap mata Ibu Yeo Bin lurus-lurus. "Ibu, sadar tidak betapa Jihoon mencintai Dita?"

Ibu Yeo kembali mengingat pandangan mata Jihoon saat menyuapi Dita di Rumah Sakit tempo hari.

"Ibu, berilah kesempatan Jihoon memperbaiki kesalahannya. Tapi, tidak dengan cara begini. Jihoon memang salah. Tapi apa cinta itu salah?"

Ibu Yeo kini membalas tatapan Pengacara Kim.

"Izinkan saya membantu, Bu. Saya mohon." Pengacara Kim menggenggam tangan Ibu Yeo dengan begitu erat.

Ibu Yeo kini kembali menangis.

***

Dua bule penghuni sel sudah tidur sejak tadi, namun tidak dengan Jihoon. Di benaknya ada banyak sekali hal.

Apakah lebih baik dia mati saja sehingga penderitaan Dita akan berakhir. Mata itu. Apakah kejadian itu terus terulang di pikirannya. Apakah sudah berjalan sehari di sel ini? Ibu ....

"Jihoon ...."

Dia merasa mendengar suara Ibu Yeo.

Kemudian dia menengok ke belakang dengan kening berkerut. "Ibu? Paman Kim?"

Ibu Yeo langsung memeluk Jihoon erat. Jihoon juga tidak dapat menahan segala perasaan yang menyiksa benaknya selama ini.

"Ibu tidak rela kamu di sini, Nak. Sungguh ... hari ini kamu makan, mandi, dan tidur dulu."

Jihoon menatap ibunya, bertanya-tanya. Aku sudah dibebaskan?

"Percaya sama ibu, Nak. Semua akan baik-baik saja."

***

Di depan monitor kantor mejanya, Dika memandangi draft iklan yang sudah dia kerjakan selama 2 hari.

Dika benar-benar tidak bisa berpikir untuk itu. Pikirannya sudah penuh dengan kemalangan demi kemalangan yang menimpa Dita dan keluarganya yang juga menyakiti hatinya.

Workshop Pak Nyoman terbakar habis. Setelah diselidiki, kemungkinan berasal dari rokok pekerja yang belum mati sempurna dan kemudian menyambar daun kering. Itu yang dikatakan polisi.

Mereka bingung tentang bagaimana mencari penghasilan lagi ditambah dengan kondisi Dita yang seperti itu.

Gayatri tampak sangat terpukul waktu itu, karena bisnis dekorasi ini sudah menjadi bagian dari jiwanya. Mungkin Gayatri menikah dengan Pak Nyoman sebagian karena cintanya pada profesi ini. Harapan adanya pernikahan terasa semakin jauh.

"Dika, kemari kamu." Pak Head Manager memanggil Dika ke dalam ruangannya. Ia kemudian mempersilahkan Dika duduk.

"Dika, kami dari pihak perusahaan memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrakmu."

"Jadi saya ..."

"Iya, hanya sampai bulan Agustus ini."

"Tapi Pak, walau saya terlambat, saya izin dahulu pada bapak. Bukan sekedar alasan, Pak. Keluarga saya memang tertimpa musibah," ujar Dika.

"Saya mengerti, Dika. Tapi ini tidak adil juga bagi rekan kerjamu yang lain. Produktivitas mereka bisa kamu lihat sendiri. Untuk perusahaan, mereka pulang di atas jam delapan. Sementara beberapa project menjadi delay karena kamu tidak ada. Pihak marketing yang kena oleh klien. Saya juga."

Dika membisu masih dengan ekspresi bingung dan tidak percaya. "Baik kalau begitu, Pak. Terima kasih banyak atas kesempatan yang telah diberikan selama ini."

"Iya, kembali, Dika."

Dika kembali ke kursi kerjanya dengan langkah gontai. Oh Tuhan, karma buruk apa yang dulu aku lakukan?

***

"Jihoon! Jihoon, Nak, ayo cepat bangun!"

Saat Jihoon membuka matanya, Ibu Yeo sudah ada di hadapannya sambil membawa setumpuk pakaian. Koper di atas kasurnya terbuka, lalu dia memasukkan tumpukan itu ke dalamnya.

"Ada apa, Bu?" Jihoon yang masih belum pulih dari kejadian kemarin yang menguras emosinya itu bertanya bingung.

"Kita harus cepat pergi dari sini nak. Pak Kim sudah menunggu."

"Ada apa, Bu?!" Jihoon kembali bertanya.

"Sudah siapkan saja kopermu. Kita akan menginap di tempat aman."

Tempat aman?!

Jihoon segera mengepak barang-barangnya dengan cepat. Lalu keluar pintu rumah.

"Ayo, ayo cepat masuk mobil," desak Pak Kim sambil turut membawa barang-barang mereka masuk ke dalam mobil.

"Sepanjang perjalanan, kalian menunduklah. Kita akan melewati Coffee Shop-mu Jihoon. Jangan sampai kau terlihat oleh mereka."

Walaupun penasaran, Jihoon tetap melakukan semua perintah Pak Kim.

"KELUAR KAU SETAN KOREA!!"

Terdengar suara pecahan kaca. Kaca di Coffee Shop Jihoon dipecahkan oleh sekelompok massa tak dikenal. Beberapa kursi dibakar dan teronggok di samping jalan. Sebuah coffee maker digotong keluar seseorang dari dalam. Yang Jihoon tahu, mereka bukanlah karyawan. Beberapa orang terlihat menonton dari jauh dan merekam.

"Berita sudah menyebar, Jihoon. Kalian menginap di penginapanku dulu. Nanti setelah kamu menikah, kalian harus kembali ke Korea. Di sini sudah tidak aman," ujar Pengacara Kim.

"Menikah?! Kembali ke Korea?!" Jihoon tidak percaya akan apa yang baru saja dia dengar. Seluruh kejadian ini ... terlalu banyak ...

Ibu Yeo mengusap kepala Jihoon. "Keluarga Dita memutuskan untuk berdamai. Kau akan menikah dengannya."

Mata Jihoon membelalak. Dia tidak tahu apakah dia harus senang atau tidak. 

"Apa yang telah ... kalian lakukan?"

"Awalnya Pak Nyoman tidak setuju, sangat tidak setuju. Dia hampir mematahkan hidungku.. " Pak Kim mulai bercerita dengan senyuman di wajahnya."Tapi istrinya Gayatri yang meyakinkannya. "

"Mengapa?" tanya Jihoon dengan kening berkerut dalam.

"Workshop mereka terbakar. Saya menjanjikan modal mereka untuk membangun kembali."

"Paman, kau menjijikan!" ketus Jihoon sementara Ibu Yeo kini terus mengusap bahu Jihoon, mencoba menenangkannya.

"Oke, aku takkan bercerita lagi dan kau kukeluarkan dari mobil ini, bagaimana?!" ancam Pengacara Kim penuh emosi.

"Jihoon, Pengacara Kim hanya ingin membantu," bela Ibu Yeo dengan kukuh.

"Kau sangat ingin di penjara, hah?! Kau pikir kau akan keluar dengan tubuh yang utuh?! Napi dengan kasus perkosaan adalah kasta terendah di sana. Kalau kau mau selamat, kau harus terus menyetor uang. Dan darimana lagi kalau tidak dari Ibumu!!" Kesabaran Pengacara Kim habis, dia berteriak marah pada Jihoon.

Rahang Jihoon mengatup keras. Menahan amarah yang mendadak memuncak.

Menghela napas panjang, Pengacara Kim melanjutkan bercerita,"Pak Nyoman awalnya menolak. Lalu, Gayatri mengancam untuk memilih dirinya atau putrinya."

"Lalu, Pak Nyoman setuju?" tanya Jihoon penuh keraguan.

"Tidak. Justru Dita yang setuju."

"Apa, paman?!" Jihoon membelalak terkejut ketika mendengar itu.

"Ibu Yeo melihatnya sendiri."

"Sudah ya, Nak, sudah. Pokoknya besok kita ke catatan sipil. Kamu harus bersiap," ujar Ibu Yeo, mengelus bahu Jihoon dengan penuh cinta.

***

Meredith memperlihatkan suatu rekaman video kepada Lina yang berada di dekatnya. "I recorded it yesterday afternoon. Such a chaos. Poor Jihoon. There is nothing left in there. "

Tak lama Lina sudah memalingkan wajahnya. Ia tak sanggup melihat lebih jauh lagi. Ditambah dengan tangan dilipat di depan dada dan bibir bagian bawah digigit, itu sudah menunjukkan bahwa ia sangat marah.

"Meridith, please take me to Dita's house."

"Sure. " Meredith dapat merasa jika dirinya akan melihat keseruan sebentar lagi.

Di dalam mobil Meredith tidak ada seorang pun yang bicara. Meredith dapat melihat melalui pantulan kaca jendela mobil, Lina yang hanya memandangi pemandangan di luar saat mobil melaju. Tetapi tampak pikirannya ada di tempat lain.

Begitu sampai di depan rumah Dita, Lina langsung melangkah keluar dari mobil. "Kak Dita! Kak Dita! KELUAR KAU LONTE!

Dita yang tengah berada di dalam kamarnya dapat mendengar dengan sangat jelas. Lina?

"Puas kau ya sekarang?! Ngaku-ngaku diperkosa, cih! Kamu aja yang kegatelan godain Kak Jihoon!" maki Lina tepat di depan pagar rumah Dita. "Coffee Shop Kak Jihoon habis dijarah, puas kamu Perek?!"

Pak Nyoman langsung menuju ruang tamu mengintip siapakah yang sedang kesurupan pagi-pagi begini. Sekilas, dia melihat istrinya, Gayatri, yang membawa parang langsung menuju pagar.

"Aku tebas mulutmu pakai ini bagaimana?!" ancam Gayatri sesaat setelah membuka pintu gerbang.

"Please don't scratch my car," kata Meredith reflek penuh permohonan ketika melihat betapa berkaratnya parang itu.

"Oh I will if you two don't fuckin leave from here," kata Gayatri sembari mengacungkan parang di tangannya.

Pak Nyoman mendengar senyap seseorang yang tengah menangis. Dita!!

Bergegas membuka pintu kamarnya, Pak Nyoman langsung memeluk dan menutup kedua daun telinga anaknya. "Jangan dengar, Nak. Jangan dengar, sayang."

Perasaan Dita hancur berantakan. Tangisannya pecah saat itu juga. Lina adalah sosok yang ceria dan lucu. Dita terkadang bercerita betapa konyol perkataan atau tindakan Lina selama ini. Lina adalah matahari bagi Dita.

Rasa sakit yang tidak nyata, membuat Dita terus saja memukuli dirinya sendiri.

"Sudah, Nak. Kumohon ... hentikan, Nak."  Andai saja aku tak ambil orderan itu, Pak Nyoman berganti menyalahkan dirinya sendiri.

"Gayatri! Gayatri!"

Mendengar suara panik Pak Nyoman, Gayatri bergegas masuk ke dalam rumah kembali dan ternyata Dita sudah terlepas dari cengkraman Pak Nyoman.

"Gayatri! Dita ke dapur!"

Dengan sigap, Gayatri mencegah Dita yang sudah membuka laci peralatan makan. Gayatri tahu apa tujuan Dita. Sebuah pisau.

Gayatri mencengkram pergelangan tangan Dita dan menghempaskannya ke lantai. Di lantai, Dita bergelung memegangi perutnya sendiri.

Syok. Gayatri membulatkan matanya, langsung bertanya pada Dita dengan cepat. "Dita, apakah kau?" Tangan Gayatri ditepis saat ingin menyentuh perut Dita.

Sembari berlari ke arah kamar mandi, Dita memukul-mukul perutnya sendiri.

"Gayatri ... apa yang terjadi?" Pak Nyoman ikut berlari masuk ke dalam kamar mandi. Berjalan pelan kemudian di daun pintu, dia bisa melihat Gayatri berdiri lunglai. Pak Nyoman kemudian menengok memandang istrinya.

"Dita mengandung."

***

Suasana dalam ruang tamu sungguh sangat canggung saat ini. Pengacara Kim, Ibu Yeo, dan Jihoon sudah datang untuk mengajak Dita sekeluarga ke catatan sipil. 

Perut mereka terasa sedang diaduk-aduk. Mereka tidak tahu apa reaksi yang akan mereka terima saat ini. Apakah janji akan ditepati? Atau kah keluarga Dita berubah pikiran? Akan tetapi keadaan sudah mendesak. Sekarang atau tidak sama sekali.

"Alpard is ready up front. I have prepared a driver to take you. I, Miss Yeo, and son will follow closely behind." Pengacara langsung menyampaikan tujuannya.

Melihat sang suami tak bicara, Gayatri mengambil inisiatif. "Saya akan membantu Dita bersiap."

Jihoon beranjak langsung ke halaman rumah Dita. Dia tidak sanggup bertemu Dita saat ini. Ibu Yeo yang melihat itu segera menghampiri Jihoon dan berbisik, "Jangan jadi pengecut, Nak."

Melawan hati yang rasanya tak karuan, Jihoon akhirnya memaksakan diri lagi masuk ke ruang tamu.

Dita akhirnya muncul dengan dipapah oleh Gayatri. Dita tidak memandang diri Jihoon sama sekali. Lagi-lagi tidak ada ekspresi di wajahnya.

"Ayo, Pak." Gayatri mengajak suaminya beranjak. Pak Nyoman melakukannya dengan malas.

Pak Kim langsung berlari keluar, menginstruksikan sang sopir untuk maju sampai depan pintu pagar. Lalu ia membuka pintu mobil. Setelah keluarga Dita masuk mobil, dia menutup pintunya rapat-rapat. Pak Kim bergegas menuju mobil pribadi yang di parkir di belakangnya. Setelah Ibu Yeo dan Jihoon masuk, mereka melaju.

Dita duduk di belakang sopir sebelah kanan dan pak Nyoman di sebelah kiri. Sedangkan Gayatri di kursi belakang. Selang berapa lama pada spion kanan mobil, Dita melihat seorang pengendara motor yang mengikuti mereka.

Dita mengenali jaket, helm, dan juga motornya. Lalu motor itu segera menyamakan kecepatannya dengan Alpard pas sebelah kanan pintu.

Pengendara itu membuka helmnya.

Dika?! Pak Nyoman membuka kaca jendela sebelah kanan.

"Pak!" Gayatri kaget dengan apa yang dilakukan Pak Nyoman saat ini.

"Ssst." Rupanya Pak Nyoman sudah mengetahui hal ini.

"Dita, kau tahu aku. Ke mana pun kau pergi, aku akan mengejarmu! Selalu seperti dahulu!" Dika berteriak keras.

Motor Dika kini menyamakan kecepatan lagi. "Aku tahu kau akan ke Korea besok!"

Gayatri memandang Pak Nyoman tajam, Pak Nyoman memalingkan wajahnya tidak peduli.

Dari belakang, Pak Kim melihat sepeda motor tersebut dan pengendaranya. Sial!!

Pak Kim segera menekan klakson keras-keras. "You! Dika! Stay away from that car. I warned you!" Pak Kim sudah berteriak dari jendela mobilnya.

"Aku akan menunggumu di Airport dan membawamu lari!"

Pak Kim ingin mendahului mobil, akan tetapi ada mobil dari arah berlawanan.

"Jangan menikah dengannya!"

Jihoon dapat mendengar suara Dika yang begitu keras. Dia merasa seperti pecundang saat ini.

"Bayi itu adalah milik kita!"

Bayi?! Jihoon memandang Ibunya dan Pak Kim melalui cermin tengah dengan kening berkerut.

Akan tetapi Pak Kim lebih fokus untuk mendahului Alpard dan dia hampir berhasil.

"Aku cinta kamu!!" Motor yang Dika kendarai melaju kencang meninggalkan mereka.

Jantung Dita berdegup kencang. Perasaan yang hangat. Senyum kecilnya tak terasa merekah. Melihatnya, Pak Nyoman juga ikut tersenyum.

***

Terdengar suara sambungan telpon.

"Halo Hyuk?"

"Ah iya, ada apa, Paman Kim?" Suara Hyuk terdengar di ujung sambungan.

"Gawat ... gawat, Hyuk. Dita tidak mau menandatangani buku nikah."

"Lho ... lho, Paman bukannya dia sudah setuju waktu itu?" tanya Hyuk kebingungan.

"Dika sialan datang, Hyuk. Dia ingin membawa lari Dita dari airport. Oh ya Hyuk, ternyata ada alasan mengapa Dita mau menikahi Jihoon," ujar Paman Kim.

"Apa, Pak Kim?"

"Dia mengandung."

Hyuk tersentak kaget. Apa yang dia dengar benar? "Astaga."

"Bersiaplah, kau ada kemungkinan jadi bapak sekaligus di penjara."

"Jangan bilang begitu, Paman Kim."

"Tentu saja, bila Dika dan Dita bersama. Tentu saja kau dan kawan-kawan akan dilaporkan."

"Paman!" seru Hyuk.

"Makanya bantu aku cari ide. Hei ... apakah kau yang membakar workshop dan membayar provokator? The Coffee Shop?" tanya Paman Kim.

"Maksudmu, paman?"

"Tak apa. Tak apa. "

"Ehmm, Paman ... bisakah paman mencari nomor telepon seseorang?"

***

Mobil Meredith bersembunyi di tempat yang agak jauh dari pintu gerbang kantor Dika. Aku sudah gila.

Ya itu benar, Meredith memang sudah gila. Semua bermula saat Hyuk men-video call dirinya dalam keadaan menangis.

"I'm innocent Meredith. Me and my friends. We didn't do that." Hyuk mengiba dengan wajah memelas.

"Then prove that to the police. I'm sure justice will be served."

"My sarang Meredith. Do you think they will believe foreigners? They won't care. Oh my sarang. I don't want to go to prison." Lalu Hyuk kembali terisak.

"Oh honey, please don't cry."

"Oppa should be with you right know. We should be in Korea. If not because all of these. I love you Meredith." Hyuk menyentuh layar laptopnya seakan-akan membelai wajah Meredith yang terlihat olehnya.

"I love you too, Oppa," tangis Meredith.

Kata-kata itu yang membuatnya dirinya di sini sekarang, membuntuti Dika.

Mereka menuruni lembah dan mulai menuju ke arah terowongan. Meredith kini menambah kecepatannya, mendahului Dika. Di dalam terowongan, dia berhenti mendadak.

Terdengar suara decitan rem dan suara motor Dika yang menabrak bemper belakang mobil. Tubuhnya berguling ke arah kaca lalu terjatuh ke ban belakang.

"Saranghae Hyuk!" teriak Meredith sambil menangis histeris. Tubuhnya bergetar hebat dan tanpa ragu, mobil bergerak ke belakang. Melindas tubuh Dika.

***

"Hyuk, mereka sudah di airport."

"Benarkah begitu Paman?" Hyuk sumringah mendengar berita gembira ini.

"Iya. Mereka sudah bersamaku. Kita di ruang tunggu Boarding dan Dika tidak muncul! Ah, aku lega sekali."

Perhatian! Perhatian! Kepada para penumpang yang telah memiliki boarding pass harap segera memasuki kabin pesawat.

"Ah, Hyuk sudah dulu, ya. Nanti aku telpon lagi sesampainya di Seoul." Paman Kim segera menutup telepon tanpa menunggu jawaban Hyuk.

Hyuk membuka tirai kamarnya, dia membiarkan sinar matahari masuk ke dalam.

Hari yang sangat indah baginya.

Dia kemudian mencari sebuah lagu di playlist smartphone. Lagu yang dapat membangkitkan mood-nya. Lalu ia pun menyalakan bluetooth speaker.

Tubuhnya bergoyang mengikuti irama lagu memandangi sepasang boneka di lemari kaca. Boneka dari masa yang lampaunya.

I look inside myself and see my heart is black

I see my red door, I must have it painted black

Jihoon berjalan menyusuri jembatan menuju kabin pesawat. Dia menengok ke arah ibunya selama ini berjuang menyesuaikan diri di Bali. Merelakan tabungannya dan sebagian peninggalan ayah untuk mendirikan Coffee Shop. Dan sekarang dia harus kembali ke Korea. Perjuangannya menghindari keluarga Jung dan Han sia-sia.

Dan Dita. Ditaku yang malang. Hari ini Dika tak datang menjemput. Harapan satu-satunya telah menguap. Tatapannya kembali sama. Seperti saat Jihoon menemuinya di rumah sakit.

Jihoon-a. Kalau semua pintu tertutup untukmu apakah kau akan menyerah dan berhenti. Mengapa kau hanya melihat dinding? Tak dapatkah kau lihat ada jendela di sana.

Jihoon mencengkram pergelangan tangan Ibu Yeo dan Dita. Berjalan cepat ke arah kebalikannya, menjauhi kabin pesawat.

"Jihoon!" Ibu Yeo kaget.

"Ssst, jangan sampai Paman Kim sadar, Bu," bisik Jihoon, menatap sekelilingnya dengan mata menyipit.

Keluar dari bandara, Jihoon langsung mengambil taksi yang berada di sana.

"Kita ke mana, Pak? " tanya sopir taksi.

"Ke pelabuhan Gilimanuk. Pak," jawab Jihoon tegas dan tanpa keraguan.

"Jihoon, kita ke mana, Nak? " tanya Ibu Yeo kebingungan. Ini semua tidak sesuai rencana!

"Kita ke Jakarta, Bu."

Iya Ibu kita tidak akan kembali ke Korea. Perjuanganmu selama ini tidak akan sia-sia. Dan Dita setidaknya kau tidak akan ke negeri yang asing. Kau akan tetap berada di tempat yang familiar bagimu. Aku akan mengobati lukamu sedikit demi sedikit. Aku tak tahu apakah itu mungkin.

***

Bersambung ke chapter 7

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Jasmin Mubarak
mhal nya coin..... 😭😭😭😭
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status