Share

2. Mayat Alvin

Suasana pagi yang begitu cerah, membuat seorang gadis yang baru saja turun dari mobilnya tersenyum lebar. Semilir angin menyapu lembut wajahnya, meninggalkan kesan sejuk yang menyegarkan. Kakinya mulai melangkah menelusuri koridor untuk menuju ke kelasnya. Namun, di pertengahan jalan dia mengernyit bingung saat melihat kerumunan di sebuah kelas.

Disana, para mahasiswa dan dosen berkumpul di depan kelas ekonomi.

Merasa penasaran, Bella berjalan mendekati seorang mahasiswi yang terlihat pucat pasi. "Permisi, ada apa ya?" tanyanya sopan.

"Ada mayat," jawab mahasiswi tersebut dengan suara yang bergetar antara menahan tangis dan takut.

Mendengar itu membuat Bella membulatkan matanya sempurna. Wajah yang tadinya menampilkan raut penasaran, kini berganti dengan keterkejutan. Bagaimana mungkin ada mayat di kampus?Ini terdengar aneh dan juga mengerikan.

Tanpa mengucapkan apa pun, Bella langsung membalikkan badannya dan berjalan cepat membelah kerumunan. Dia tidak akan percaya sebelum melihat secara langsung.

"Permisi, permisi," ujar Bella berusaha mencari jalan dengan tangan yang mendorong pelan orang-orang di depan dan sampingnya.

"Permisi dong, gue juga mau liat," lanjutnya kesal saat beberapa orang tidak mau memberinya jalan dan ada pula yang mendorong badannya dari belakang, hingga membuat badannya terjepit.

Baru saja menghela napas lega karena sudah sampai di barisan depan, Bella dikejutkan dengan sosok yang terbujur kaku. Dia menutup mulutnya tidak percaya dan perlahan air matanya menetes. Di sana, Alvin - laki-laki yang sedang dekat dengannya memejamkan mata dengan wajah pucat dan luka di pergelangan tangannya.

Bagaimana bisa? Padahal baru kemarin dia dan Alvin bercanda tawa di taman, menikmati indahnya sore hari dengan memakan es krim. Namun sekarang, Alvin ditemukan dalam kondisi yang sudah tidak bernyawa.

Semuanya hanya tinggal kenangan. Senyum, perilaku dan kata-kata manis Alvin yang selama ini diberikan kepadanya berputar di pikirannya.

"Kena-pa?" tanya Bella dengan suara pelan yang bergetar.

Sebagian mahasiswa dan mahasiswi yang dekat dengan Alvin merasa begitu kehilangan. Mereka terpukul, karena Alvin adalah sosok laki-laki yang ramah dan tidak memilih dalam berteman.

"Permisi permisi," ucap kedua sahabat Bella, Luna dan Maya dengan kompak membelah kerumunan.

"Bel," panggil Luna menepuk pundak Bella pelan.

Bella menoleh. Tanpa berkata apa pun, Bella langsung memeluk sahabatnya erat dan menangis histeris. Dadanya terasa sesak, mengetahui orang yang beberapa hari terakhir selalu bersamanya sudah tidak bernyawa.

Mereka yang mendengar tangisan histeris Bella tanpa sadar meneteskan air mata, ikut merasakan apa yang dirasakannya.

Mereka tau, bagaimana rasanya ditinggal seseorang yang terbilang berarti di dalam hidup kita. Apalagi ditinggalnya bukan cuma beda kota atau negara, tetapi beda dunia.

"Kenapa harus Alvin!" raung Bella merasa tidak terima.

Luna dan Maya hanya bisa memeluk Bella erat. Meskipun dengan Alvin hanya sebatas kenal, tetapi mereka juga merasa sakit jika di tinggalkan seperti ini. Apalagi Bella yang baru kemarin jalan berdua dengannya, pasti sangat sulit untuk melupakan.

"Bel, tenangin diri lo. Ini sudah takdir," ucap Maya mengusap punggung Bella lembut.

"Kenapa harus dengan cara seperti ini?" tanya Bella seraya melepas pelukannya dan menghapus air mata yang tidak berhenti mengalir.

Hingga beberapa polisi datang untuk mengurus jenazah Alvin. Salah satu dari mereka mulai memasang garis polisi supaya tidak ada yang memasuki kelas ini sebelum proses penyelidikan selesai. Mereka melihat semua itu dengan tatapan kesedihan dan memundurkan langkahnya, hingga tidak ada lagi yang berada di dalam kelas.

"Anak-anak, berita ini jangan kalian sebar luaskan ya," pinta Pak Wiyo - dosen penasehat akademik. "Biarkan pihak berwajib yang mengurusi ini, kalian cukup do'akan aja. Bagaimana pun juga kita harus menjaga nama baik kampus."

"Iya, Pak," sahut mereka kompak tetapi dengan suara yang begitu pelan.

"Bapak tau kalian pasti merasa sedih dan kehilangan, begitu pula dengan para guru. Namun kita harus ikhlas," lanjut Pak Wiyo.

Mereka hanya bisa mengangguk, karena lidahnya terasa begitu kelu meskipun hanya mengucapkan satu dua kata. Raut duka sangat terlihat dari wajah mereka.

"Kembali ke kelas masing-masing!" titah Bu Yuni yang juga merupakan dosen penasehat akademik.

"Untuk kelas ekonomi, silakan berkumpul di aula," lanjutnya.

Semuanya bubar, menyisakan Bella dan kedua sahabatnya yang menatap lurus ke arah tempat terbaringnya Alvin tadi.

Karena tidak mau Bella histeris seperti tadi, akhirnya Luna dan Maya mengajak Bella ke kelas, meskipun masih dalam keadaan sesenggukan.

Kampus benar-benar berduka.

Beberapa dosen ada yang ikut ke rumah sakit sebagai bentuk tanggung jawab.

Mereka tidak bisa membayangkan, bagaimana reaksi kedua orang Alvin saat melihat putra satu-satunya pulang dalam keadaan yang sudah tidak bernyawa.

Banyak mahasiswa dan mahasiswi yang menggosipkan kematian Alvin. Mereka menerka-nerka, masalah seberat apa yang sedang dihadapinya hingga harus memilih cara seperti ini.

"Gue kok merasa aneh ya," celetuk Luna memulai percakapan, setelah mendudukkan diri di bangkunya masing-masing.

"Aneh gimana?" tanya Maya menatap Luna bingung.

Mereka saling berpandangan.

"Apa ya alasan Alvin melakukan itu?" tanya Luna dengan tangan yang menopang dagunya.

"Padahal baru kemarin kita jalan dan semuanya baik-baik aja. Gue sama sekali enggak lihat gelagat aneh dari Alvin," jelas Bella yang sudah berhenti menangis. Sejujurnya dia masih sangat-sangat sedih, tetapi dia ingin Alvin pergi dengan tenang.

Mereka bertiga larut dalam pikiran masing-masing.

"Apa Alvin di bunuh?" tanya Luna pelan.

Mendengar pertanyaan yang dilontarkan Lena, membuat Maya tidak segan menjitak kepalanya.

"Kenapa lo jitak gue?" tanya Luna mendengkus sebal.

"Ya lagian lo aneh-aneh aja, masa iya Alvin dibunuh. Sudah jelas tadi di tangannya ada sayatan gitu," jelas Maya.

"Iya, Lun. Kita 'kan sudah lihat sendiri tadi," sahut Bella.

"Iya iya," ucap Luna yang masih kesal. Tidak ada salahnya mengungkapkan apa yang ada di pikirannya 'kan?

"Bel, gue kok jadi kepikiran sama pertanyaan Luna ya? Gimana kalau Alvin bukan bunuh diri?" tanya Maya menatap Bella dengan wajah seriusnya.

Senyum Luna mengembang, dia menepuk pundak Maya keras. "Tuh 'kan, lo jadi kepikiran. Dengerin omongan orang lain itu kadang perlu, bukan malah dijitak."

Sedangkan Maya hanya menatap Luna sinis, tidak berniat menyahuti perkataannya. Karena sekali diladeni, maka akan semakin panjang dan tidak ada ujungnya.

"Bagian mananya yang kalian anggap bukan bunuh diri?" tanya Bella balik.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status