Suasana pagi yang begitu cerah, membuat seorang gadis yang baru saja turun dari mobilnya tersenyum lebar. Semilir angin menyapu lembut wajahnya, meninggalkan kesan sejuk yang menyegarkan. Kakinya mulai melangkah menelusuri koridor untuk menuju ke kelasnya. Namun, di pertengahan jalan dia mengernyit bingung saat melihat kerumunan di sebuah kelas.
Merasa penasaran, Bella berjalan mendekati seorang mahasiswi yang terlihat pucat pasi. "Permisi, ada apa ya?" tanyanya sopan.
"Ada mayat," jawab mahasiswi tersebut dengan suara yang bergetar antara menahan tangis dan takut.
Mendengar itu membuat Bella membulatkan matanya sempurna. Wajah yang tadinya menampilkan raut penasaran, kini berganti dengan keterkejutan. Bagaimana mungkin ada mayat di kampus?Ini terdengar aneh dan juga mengerikan.
Tanpa mengucapkan apa pun, Bella langsung membalikkan badannya dan berjalan cepat membelah kerumunan. Dia tidak akan percaya sebelum melihat secara langsung.
"Permisi, permisi," ujar Bella berusaha mencari jalan dengan tangan yang mendorong pelan orang-orang di depan dan sampingnya.
"Permisi dong, gue juga mau liat," lanjutnya kesal saat beberapa orang tidak mau memberinya jalan dan ada pula yang mendorong badannya dari belakang, hingga membuat badannya terjepit.
Baru saja menghela napas lega karena sudah sampai di barisan depan, Bella dikejutkan dengan sosok yang terbujur kaku. Dia menutup mulutnya tidak percaya dan perlahan air matanya menetes. Di sana, Alvin - laki-laki yang sedang dekat dengannya memejamkan mata dengan wajah pucat dan luka di pergelangan tangannya.
Bagaimana bisa? Padahal baru kemarin dia dan Alvin bercanda tawa di taman, menikmati indahnya sore hari dengan memakan es krim. Namun sekarang, Alvin ditemukan dalam kondisi yang sudah tidak bernyawa.
Semuanya hanya tinggal kenangan. Senyum, perilaku dan kata-kata manis Alvin yang selama ini diberikan kepadanya berputar di pikirannya.
"Kena-pa?" tanya Bella dengan suara pelan yang bergetar.
Sebagian mahasiswa dan mahasiswi yang dekat dengan Alvin merasa begitu kehilangan. Mereka terpukul, karena Alvin adalah sosok laki-laki yang ramah dan tidak memilih dalam berteman.
"Permisi permisi," ucap kedua sahabat Bella, Luna dan Maya dengan kompak membelah kerumunan.
"Bel," panggil Luna menepuk pundak Bella pelan.
Bella menoleh. Tanpa berkata apa pun, Bella langsung memeluk sahabatnya erat dan menangis histeris. Dadanya terasa sesak, mengetahui orang yang beberapa hari terakhir selalu bersamanya sudah tidak bernyawa.
Mereka yang mendengar tangisan histeris Bella tanpa sadar meneteskan air mata, ikut merasakan apa yang dirasakannya.
Mereka tau, bagaimana rasanya ditinggal seseorang yang terbilang berarti di dalam hidup kita. Apalagi ditinggalnya bukan cuma beda kota atau negara, tetapi beda dunia.
"Kenapa harus Alvin!" raung Bella merasa tidak terima.
Luna dan Maya hanya bisa memeluk Bella erat. Meskipun dengan Alvin hanya sebatas kenal, tetapi mereka juga merasa sakit jika di tinggalkan seperti ini. Apalagi Bella yang baru kemarin jalan berdua dengannya, pasti sangat sulit untuk melupakan.
"Bel, tenangin diri lo. Ini sudah takdir," ucap Maya mengusap punggung Bella lembut.
"Kenapa harus dengan cara seperti ini?" tanya Bella seraya melepas pelukannya dan menghapus air mata yang tidak berhenti mengalir.
Hingga beberapa polisi datang untuk mengurus jenazah Alvin. Salah satu dari mereka mulai memasang garis polisi supaya tidak ada yang memasuki kelas ini sebelum proses penyelidikan selesai. Mereka melihat semua itu dengan tatapan kesedihan dan memundurkan langkahnya, hingga tidak ada lagi yang berada di dalam kelas.
"Anak-anak, berita ini jangan kalian sebar luaskan ya," pinta Pak Wiyo - dosen penasehat akademik. "Biarkan pihak berwajib yang mengurusi ini, kalian cukup do'akan aja. Bagaimana pun juga kita harus menjaga nama baik kampus."
"Iya, Pak," sahut mereka kompak tetapi dengan suara yang begitu pelan.
"Bapak tau kalian pasti merasa sedih dan kehilangan, begitu pula dengan para guru. Namun kita harus ikhlas," lanjut Pak Wiyo.
Mereka hanya bisa mengangguk, karena lidahnya terasa begitu kelu meskipun hanya mengucapkan satu dua kata. Raut duka sangat terlihat dari wajah mereka.
"Kembali ke kelas masing-masing!" titah Bu Yuni yang juga merupakan dosen penasehat akademik.
"Untuk kelas ekonomi, silakan berkumpul di aula," lanjutnya.
Semuanya bubar, menyisakan Bella dan kedua sahabatnya yang menatap lurus ke arah tempat terbaringnya Alvin tadi.
Karena tidak mau Bella histeris seperti tadi, akhirnya Luna dan Maya mengajak Bella ke kelas, meskipun masih dalam keadaan sesenggukan.
Kampus benar-benar berduka.
Beberapa dosen ada yang ikut ke rumah sakit sebagai bentuk tanggung jawab.Mereka tidak bisa membayangkan, bagaimana reaksi kedua orang Alvin saat melihat putra satu-satunya pulang dalam keadaan yang sudah tidak bernyawa.
Banyak mahasiswa dan mahasiswi yang menggosipkan kematian Alvin. Mereka menerka-nerka, masalah seberat apa yang sedang dihadapinya hingga harus memilih cara seperti ini.
"Gue kok merasa aneh ya," celetuk Luna memulai percakapan, setelah mendudukkan diri di bangkunya masing-masing.
"Aneh gimana?" tanya Maya menatap Luna bingung.
Mereka saling berpandangan.
"Apa ya alasan Alvin melakukan itu?" tanya Luna dengan tangan yang menopang dagunya.
"Padahal baru kemarin kita jalan dan semuanya baik-baik aja. Gue sama sekali enggak lihat gelagat aneh dari Alvin," jelas Bella yang sudah berhenti menangis. Sejujurnya dia masih sangat-sangat sedih, tetapi dia ingin Alvin pergi dengan tenang.
Mereka bertiga larut dalam pikiran masing-masing.
"Apa Alvin di bunuh?" tanya Luna pelan.
Mendengar pertanyaan yang dilontarkan Lena, membuat Maya tidak segan menjitak kepalanya.
"Kenapa lo jitak gue?" tanya Luna mendengkus sebal.
"Ya lagian lo aneh-aneh aja, masa iya Alvin dibunuh. Sudah jelas tadi di tangannya ada sayatan gitu," jelas Maya.
"Iya, Lun. Kita 'kan sudah lihat sendiri tadi," sahut Bella.
"Iya iya," ucap Luna yang masih kesal. Tidak ada salahnya mengungkapkan apa yang ada di pikirannya 'kan?
"Bel, gue kok jadi kepikiran sama pertanyaan Luna ya? Gimana kalau Alvin bukan bunuh diri?" tanya Maya menatap Bella dengan wajah seriusnya.
Senyum Luna mengembang, dia menepuk pundak Maya keras. "Tuh 'kan, lo jadi kepikiran. Dengerin omongan orang lain itu kadang perlu, bukan malah dijitak."
Sedangkan Maya hanya menatap Luna sinis, tidak berniat menyahuti perkataannya. Karena sekali diladeni, maka akan semakin panjang dan tidak ada ujungnya.
"Bagian mananya yang kalian anggap bukan bunuh diri?" tanya Bella balik.
Maya dan Luna saling pandang, bingung harus menjawab seperti apa. Karena nyatanya, mereka tidak memiliki bukti yang kuat untuk menganggap bahwa ini bukan kasus bunuh diri."Gue ... gue cuma ngeluarin pendapat aja," jawab Luna seadanya."Kalau dipikir-pikir, Alvin itu adalah sosok laki-laki idaman. Dia ramah, pintar dan segala hal baik melekat sama dia, tetapi apa terdengar masuk akal, kalau tiba-tiba dia mengakhiri hidupnya? Dia ditemukan sudah enggak bernyawa dan itu pasti sudah dari semalam, karena darah di lantai aja udah kering," sambung Maya mengeluarkan apa yang ada di pikirannya. "Emang sih, kondisi dia tadi luka di pergelangan tangan, kayak orang frustrasi karena di sana tempat termudah buat ngelakuinnya."Air mata Bella kembali menetes, rasanya sangat sulit untuk menerima kenyataan kalau Alvin sudah tiada.Melihat Bella menangis, membuat kedua sahabatnya kalang kabut. Mereka saling menyalahkan dengan menendang kaki satu sama lain."Bel, so
Di taman belakang, terdapat seorang laki-laki yang sedang membaca buku di bawah pohon mangga. Dia adalah Galih, mahasiswa yang menyukai tempat sepi dan juga buku. Setelah melihat mayat Alvin tadi, dia langsung melangkah ke sini. Bohong jika dia tidak merasa kehilangan, karena semua yang berada di kampus ini sudah dia anggap saudaranya. Dia hanya bisa berharap, semoga Alvin tenang di alam sana dan semoga seberat apa pun masalah yang akan menimpanya, dia tidak sampai melakukan hal seperti itu.Merasa sudah tidak fokus lagi, dia menutup bukunya pelan dan bersandar pada pohon yang berada di belakangnya. Pandangannya mengarah pada bunga-bunga yang tumbuh subur. Namun, yang menjadi fokusnya bukanlah bunga tersebut, melainkan kertas yang terikat di tangkainya."Iseng banget, kasihan bunganya jadi sesak," gumamnya seraya membereskan bukunya, kemudian melangkah mendekati kertas tersebut. Dia berniat melepaskan tali yang mengikatnya.
"Gimana gue bisa nilai ini penting atau enggak, kalau artinya aja gue enggak tau," gerutu Luna yang diangguki Maya."Lah, kalian enggak tau kalau ini sandi?" tanya Galih menaikkan sebelah alisnya."Enggak, gue enggak paham soal sandi-sandi gitu," jawab Maya jujur."Gue nemu kertas ini tuh di cermin kamar mandi. Oke, sekarang gue jelasin ya. Ini namanya sandi merah putih, gue mulai dari kertas pertama," ucap Bella mengambil kertas sebelah kanan,kemudian meletakkannya semakin ke tangah."AP - AU - MP - EP - MP - EU - MP - AU - MT - MP - AT - MI - MP - AT - EU - HP - RI - MP - AT.""MT - HP - RI - MP - RT - MP - RU - MP - AT - AP - MP - AT - MT - HP - MI - AU - AT - HI - MP - RI - MP - AT - AT - HH - EP - HP - EU - AU - HI - MH - ET - MH - MP - RI - EP - AU - MP - AI - MP."
Baik Bella maupun Maya, sama-sama terdiam setelah mendapat pertanyaan dari Luna. Mereka berperang dengan hati dan pikirannya sendiri, mencoba meyakinkan diri tentang kertas tersebut. Di satu sisi, mereka tidak yakin karena bisa saja ada orang iseng yang menulis itu. Namun di sisi lain, bisa jadi Alvin memang bukan bunuh diri. Apalagi dengan ditutupnya kasus tersebut, membuat mereka merasa ada yang janggal sekaligus tertantang.Ya, tadi sekitar jam lima sore, pihak kampus memberi informasi bahwa Alvin dinyatakan bunuh diri karena tidak ada bukti selain sayatan di pergelangan tangan. Pihak polisi pun tidak bisa melakukan penyelidikan lebih dalam, karena pihak keluarga dan kampus menutup kasus ini."Benar atau tidaknya kertas itu, yang penting kita sudah memiliki niat baik. Besok, kita harus memberi tau dan meminta izin ke Pak Wiyo. Bagaimana pun juga, kita masih mahasiswi dan enggak ada yang tau kedepannya akan gimana," ucap Bella panjang le
Bella menoleh, seketika dahinya mengernyit samar saat tahu bahwa yang memanggilnya adalah Pak Wiyo."Ada apa, Pak?" tanya Bella."Ajak teman kamu ke ruangan saya!" Setelah mengatakan itu, Pak Wiyo berjalan meninggalkan kerumunan.Meskipun bingung, Bella tetap memberitahu para sahabatnya. Karena tidak mau membuang waktu, akhirnya mereka bergegas menuju ruangan Pak Wiyo. Di setiap langkah, tidak ada yang membuka suara sama sekali. Pikiran mereka berkelana kemana-mana, apalagi setelah melihat kejadian barusan. Keyakinan mereka bahwa semua ini bukan bunuh diri semakin besar. Dua hari berturut-turut, kematian yang begitu mendadak membuatnya terasa janggal.Tanpa terasa, mereka sudah sampai di depan ruangan Pak Wiyo."Permisi, Pak," ujar Bella mengetuk pintu sebanyak dua kali."Masuk!" titah Pak Wiyo dari dalam ruangan.Mereka memasuki ruangan dan melihat Pak Wiyo yang berdiri dengan wajah seriusnya."Saya izinkan kalian menyelidiki
"Untuk masalah mental gue enggak bisa ngomong apa-apa. Apalagi orang yang bersangkutan sudah meninggal. Namun, yang selama ini gue lihat sih sepertinya Bima baik-baik aja, enggak ada rumor atau perilaku dia yang aneh," sahut Bella memejamkan matanya lelah.Ada perasaan yang tidak bisa dia ungkapkan kepada para sahabatnya. Dia takut jika suatu saat salah satu dari mereka atau bahkan semuanya ikut menjadi korban. Entah benar atau tidak, dia merasa mereka yang menjadi korban adalah orang yang mencintainya.Pertama Alvin, sosok laki-laki yang beberapa hari terakhir sedang dekat dengannya. Selalu datang membawakan dia makanan saat jam istirahat tiba. Mengantarkan pulang dan mengajaknya jalan-jalan untuk melepas penat.Kedua Bima, laki-laki yang beberapa hari lalu mengatakan cintanya tetapi dia tolak. Berkata bahwa sudah mencintainya sejak hari pertama ospek.Jika memang pemikirannya benar, maka akan banyak laki
Bella dan para sahabatnya terdiam kaku di depan pintu. Dari tempatnya berdiri, mereka dapat mendengar tangisan histeris dari mama Bima. Hati mereka ikut sesak, terasa begitu menyakitkan hingga tanpa sadar air mata mereka mengalir deras. "I - ni pasti mim - pi terburuk bagi mereka. Gue enggak kuat dengernya," celetuk Luna sesenggukan seraya menggenggam tangan Bella erat. "Pasti, secara Bima anak semata wayang, cowok lagi. Gue kasihan sama keluarganya," sahut Maya dengan kepala mendongak, berusaha menghentikan air mata yang ingin terus keluar. Davin mengusap bahu Bella pelan, berusaha menenangkan gadis itu yang menangis dalam diam dengan menggigit bibir bawahnya. "Ayo masuk!" Setelah menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan, mereka mulai melangkah memasuki rumah Bima. Di sana, di tengah ruang tamu, tampak sebuah peti yang di kelilingi orang-orang. Mereka membaca ayat suci Al-Qur'an secar
"Lo mau ngomong apa?" tanya Galih yang duduk di sofa kamar Bella.Setelah Bella mengatakan ada yang ingin dibicarakan, mereka semua memutuskan untuk mencari tempat paling aman yang sekiranya tidak terdengar orang lain. Dan ya, pilihan terbaik adalah rumah Bella. Selain tidak ada tempat lagi, orang tua Bella juga sibuk bekerja yang berarti rumahnya sepi dan hanya ada beberapa pekerja saja."Duduk di bawah aja yuk! Biar lebih enak ngomongnya, masa iya kalian pisah-pisah gitu," ujar Bella menatap sahabatnya satu-persatu. Maya yang berbaring di ranjang, Luna di depan meja rias, Galih duduk bersandar di sofa dan Davin berdiri di pintu balkon."Iya juga sih," sahut Luna berjalan menuju Bella yang sudah duduk di karpet. "Gue lagi ngaca dan ternyata mata gue sembab banget. Pantas aja kayak enggak bisa melek."Davin ikut mendudukkan diri di samping kanan Bella. "Gue pusing setelah mendengar penjelasan orang tuanya Bima.""Iya, kayak gimana gitu. Kalau emang