Share

Chapter 7

Di sepanjang perjalanan kembali ke rumah Senja, air mata Ochi seperti tidak bisa berhenti mengalir. Banyu dengan Dania? Bagaimana bisa dua orang terdekatnya itu menghianatinya sampai sedemikian rupa? Ochi memejamkan mata. Ia tidak sanggup membayangkan adegan yang begitu intim yang biasanya hanya boleh dilakukan oleh sepasang suami istri ternyata sanggup mereka lakukan di belakangnya. Betapa kejamnya mereka berdua!

Isakan-isakan kecil yang lolos dari bibir nya membuat Badai yang sedang menyetir merasa tidak tega. Sedu sedan Ochi makin lama makin membesar saat dia membayangkan persahabatan mereka bertiga, yaitu dirinya, Dania dan Farhani yang sudah mulai terjalin saat MOS mereka di SMU. Suka duka dan canda tawa mewarnai masa putih abu abu, kuliah hingga sekarang. Ochi ingat Dania lah yang terus saja mendesak dan menyemangati Ochi untuk menerima cinta Banyu dulu. Menurut Dania, Banyu itu paket lengkap. Kaya, ganteng dan mencintainya setengah gila. Karena bahkan sampai berani menentang kedua orang tuanya.

Badai yang tidak tahan mendengar tangisan kepedihan Ochi akhirnya menghentikan laju kendaraannya sejenak di ujung jalan.

"Jangan terus menangisi orang yang tidak layak untuk Anda tangisi, Bu Oceania. "

Mendengar kata-kata Badai, Ochi langsung melepaskan safety beltnya dan memeluk erat Sang Polisi. Saat ini, detik ini dadanya begitu sesak oleh kesedihan, kemarahan dan juga kekecewaan karena merasa dibodohi oleh dua orang terdekatnya. Sedih, malu, kecewa, sakit hati, semua bercampur baur menjadi satu dalam benaknya. Dia perlu pelampiasan saat ini. Dan hanya Badai seoranglah orang ada didekatnya. Perlahan Ochi mendengar bunyi klik tanda safety belt yang juga telah dilepas. Berikutnya dia merasakan dua lengan kuat melingkari tubuhnya. Bapak polisi kaku ini akhirnya memeluknya dalam diam. Ochi menumpahkan tangis frustasi nya di dada bidang Badai.

"Bapak tahu selama ini Banyu selalu meminta tanda bukti cinta saya dengan cara memberi dia kehangatan yang tidak bisa saya berikan. Dia berkata saya harus merubah semua prinsip kuno saya kalau saya memang benar-benar mencintainya. Mungkin karena dia tidak bisa mendapatkannya dari saya, makanya dia mencari kehangatan dari wanita lain. Tetapi kenapa harus dengan sahabat saya? Saya jadi bingung, katanya dia mencintai saya. Mencintai 'kan artinya menjaga saya sampai saya halal untuk dimilikinya lahir batin. Tetapi kenapa jadi malah seperti ini akhirnya? Apa saya juga salah dalam hal ini, Pak?"

Ochi mulai mengantuk-antukkan kepalanya ke dada Badai karena merasa frustasi. Dia masih belum bisa menerima kalau dia ternyata telah dikhianati. Badai refleks langsung menahan kening Ochi dengan punggung tangannya. Dia tidak ingin kening gadis ini lecet karena saling beradu dengan kancing-kancing dan badge namanya.

"Anda sama sekali tidak salah, Bu. Yang dia inginkan itu bukan cinta tetapi nafsu. Cinta terbaik adalah cinta yang membuat Anda menjadi diri Anda sendiri, tanpa keinginan untuk mengubah Anda menjadi pribadi yang lain. Toh sebelum berpacaran dengan Anda, Banyu sudah tahu prinsip hidup Anda bukan? Keinginan Anda untuk no sex before marriage itu sudah benar menurut hemat saya. Kalau bukan Anda yang menghargai tubuh yang Tuhan pinjamkan pada Anda, siapa lagi yang akan menghargainya bukan?" ungkap Badai datar. Ia selalu memberi nasehat sesuai dengan kenyataan. Ochi tidak menjawab. Namun isak tangisnya malah menghebat.

"Sudahlah, Bu. Berhentilah menangisinya. Oke?" Badai memeluk tubuh mungil Ochi semakin erat dan diam-diam menghirup aroma apel yang manis dari kerimbunan rambutnya.

"Mulai hari ini, jadilah sangat sibuk untuk mencintai hidup Anda. Sehingga Anda tidak mempunyai waktu untuk membenci, menyesal, ataupun kecewa. Setuju, Bu Guru?" Tanpa sadar Badai bahkan sudah mencium puncak kepala Ochi. Dan Badai pun ingin menyumpah-nyumpah setelahnya.

Come on, wake up Badai! Dia ini saksi yang harus lo lindungi. Bukannya lo cintai. Di mana sikap professional lo!

Ochi mulai cegukan setelah menangis cukup lama. Bukan masalah gagalnya pernikahannya yang dia tangisi. Tetapi perasaan kecewa karena dikhianati dan malunya itu yang belum bisa dia terima dengan ikhlas dan lapang dada. Badai kembali membuka air mineral dan meminumkannya pada Ochi demi meredakan cegukannya. Lama-lama Badai merasa bukan Ochi lah yang seorang guru TK di sini, melainkan dirinya. Bayangkan saja dalam waktu satu jam dia sudah dua kali memberi Ochi minum dan menghapus air matanya. Kalau tadi di kantor polisi dengan sapu tangannya, kali ini dengan tissue yang ada di mobilnya. Betapa cepatnya dia beralih professi bukan?

"Pak, egh kalau misalnya Bapak jadi pacar saya, apa Bapak akan meminta seks sebelum kita menikah egh juga?" Ochi yang masih belum bisa mengerti jalan pikiran Banyu, akhirnya mencoba membandingkan pemikiran Banyu dengan Badai ditengah cegukannya. Badai mengelus-elus punggung Ochi sebelum memberi jawaban yang logis namun jujur.

"Dengar, Bu guru. Terlalu munafik rasanya kalau saya mengatakan bahwa saya tidak mempunyai nafsu sama sekali terhadap wanita, khususnya pasangan saya. Tetapi hal itu tidak serta merta menjadikan saya menghalalkan segala cara demi untuk mereguk kenikmatan dunia tersebut sebelum tiba masanya." Badai menjawab sesuai dengan kenyataannya.

"Dania pernah mengatakan bahwa laki-laki dan binatang itu sama saja. Sama-sama mengejar nafsu syahwat. Punya istri cantik, baik dan sholeha, tetapi masih juga mencari- cari wanita lain yang tidak lebih baik dari istrinya di luar sana. Makanya ada pepatah yang mengatakan kalau laki-laki itu sama dengan anjin* dan juga buaya darat. Benarkah egh... egh... begitu, Pak? Nanti jikalau saya menikah dengan siapapun itu, akankah saya juga diduakan, tigakan dan seterusnya?"

Ochi terus menerus mencecar Badai ditengah-tengah cegukan hebatnya.

Badai terdiam sejenak. Wanita yang berada dipelukannya ini sedang krisis percaya diri dan trauma dengan kaumnya. Dia harus bisa memberi jawaban jujur tetapi tidak sampai menakutinya.

"Analoginya begini, Bu Ocenia. Manusia dan binatang memang diciptakan secara fitrah memiliki kecenderungan untuk memenuhi hawa nafsunya. Tetapi ada perbedaan mendasar dari keduanya dalam proses pemenuhan hawa nafsunya. Binatang, karena mereka tidak diberi akal, maka naluri pemenuhan hawa nafsunya ya sebatas fitrahnya saja. Kalau lapar, ya makan. Jika ingin melampiaskan nafsunya, ya kawin. Sesederhana itu.

Sedangkan manusia yang pada dasarnya diberi akal, maka dalam memenuhi kebutuhan biologisnya manusia bisa membedakan mana hak orang lain, mana hak mutlak dirinya. Mana yang boleh dia nikmati dan mana yang tidak boleh dia dinikmati karena memang bukan hak miliknya. Intinya bukan manusia yang seperti binatang. Tetapi manusia lah yang mengikuti sifat kebinatangan. Dan jangan lupa ya Bu, anjin* dan buaya darat juga ada yang betina bukan? Jadi jangan membuat pengandaian yang berat sebelah. Itu tidak fair namanya. Faham, Bu?"

Ochi mengangguk sambil mencoba menahan-nahan isakannya yang terkadang masih lolos sesekali.

"Ayolah, Bu. Jangan menyamaratakan semua laki-laki di dunia ini hanya karena seorang Banyu Biru Siliwangi, Oke? Ayah Anda juga laki-laki. Tetapi di mata Anda, beliau pria yang hebat bukan? Sekarang tolong hentikan tangis Anda ini. Telinga dan hati saya sakit mendengarnya." Mendengar kalimat terakhir Badai, Ochi menjadi kesal. Keluhannya membuat telinga polisi ini sakit rupanya.

"Kalau telinga Anda sakit, sumpal saja dengan head set ini. Kan bisa sekalian mendengarkan musik juga. Katanya polisi, bukannya bawa pistol di mobil, ini malah head set untuk ajep-ajep yang dibawa-bawa."

Ochi memanjangkan tubuh. Ia mencoba head set yang ditemukan di jok belakang, dan memasangkannya secara paksa pada telinga Badai. Dia kesal sekali karena di katain kalau tangisnya membuat telinga pak polisi ini sakit.

"Itu bukan head set, Bu guru. Tetapi Ear Muff Outdoor Shooting Ear, atau yang biasa disebut PELTOR. Yaitu pelindung telinga kedap suara saat menembak. Kalau pistol tentu saja setiap hari saya bawa. Baik pistol sungguhan yang berisi peluru, ataupun pistol bawaan badan yang isinya cairan tubuh. Ibu mau lihat yang mana? Tinggal sebutkan saja."

Badai mati-matian berusaha menahan tawa, saat melihat Ochi bengong sejenak sebelum akhirnya mengamuk dan mulai memukulinya secara serampangan.

"Dasar polisi mesum! Pervert! Jorok! tidak punya sopan santun!" Ochi mengamuk dan memukuli dada dan bahu Badai dengan kesal. Dia sejenak lupa akan kesedihan dan kemalangan nasib nya akibat kata-kata santai-santai mesum ala perwira polisi kampret ini.

Tawa Badai akhirnya meledak juga saat melihat betapa merahnya selebar wajah Ochi yang entah marah entah malu karena di candai ala ala humor polisi olehnya. Badai pun menahan kedua tangan Ochi yang memukulinya secara membabi buta, serta menahannya sejenak di dadanya.

"Nah begini dong. Sungguh saya lebih suka melihat Anda memukuli saya sambil marah-marah, daripada saya harus melihat dan mendengar Anda menangis-nangis seperti tadi. Dengar ya, Bu. Menangisnya hanya boleh sampai hari ini saja. Mulai besok, Ibu harus memiliki prinsip hidup seperti kereta api. Terus maju, tinggalkan yang tidak perlu. Tabrak semua yang menghalangi. Melangkahlah dijalur yang seharusnya. Dan berhentilah jika sudah sampai ke tujuan. Oke kah Bu?"

Berhentilah jika memang tujuan hidup mu itu saya, batin Badai.

Badai menangkup wajah Ochi dengan kedua belah tangan lebarnya. Menghapus sisa  air mata yang masih mengumpul di sudut bulu mata lentiknya dengan kedua jempolnya. Seperti terkena hipnotis, Ochi pun menggangguk kan kepalanya dengan takzim.

"Anak pintar." Badai mengusap kepala Ochi sambil terkekeh pelan dan memasang kan kembali safety beltnya. Mobil dinas Badai pun kemudian meluncur membelah jalan menuju keperumahan mewah kakak iparnya.

===================

Ochi yang sedang bersiap-siap pulang ke rumah Senja setelah jam mengajarnya selesai, heran saat mendengar tangis seorang anak kecil di sudut gerbang sekolah. Ada seorang gadis kecil yang merupakan murid baru pindahan dari daerah sedang menangis sambil meremas-remas dasinya dengan gelisah. Wajahnya bahkan sudah basah oleh air mata yang membanjir.

"Lho Kinanti kenapa menangis, sayang? Ayo sini duduk didekat ibu. Nah, sekarang coba Kinan bilang sama ibu, kenapa Kinan menangis?" Dan mulut gadis kecil itu pun kembali menjebi-jebi menahan tangis.

"Pak Lukman, belum menjemput Kinan, Bu? Padahal Kinan sudah menunggu lamaaaaa banget di sini. Teman-teman Kinan yang lain bahkan sudah pulang semua. Kinan takut, Bu." Gadis kecil itu kini mulai menggesek-gesek kedua kakinya dengan gelisah. Wajah imutnya tampak sedih dan resah.

"Oh... belum dijemput ya? Sebentar ya, Ibu akan ke TU dulu mencari nomor telepon orang tuamu. Kinan mau menunggu di sini atau ikut dengani Ibu, Sayang?" Kinan tidak menjawab tetapi dia langsung meraih lengan Ochi, menandakan bahwa dia ingin ikut.

"Tapi mama dan papa Kinan  sedang ada di Belanda, Bu guru. Kemarin mereka berangkat kesana karena Granpa meninggal."

"Oh begitu ya? Kinan tahu tidak alamat rumah Kinan? Biar Ibu guru saja yang mengantarkan Kinan pulang. Mau?"

"Mau, Bu guru. Kinan nggak tahu alamat rumah Kinan, Bu. Kinan baru pindah ke rumah baru ini seminggu yang lalu, Bu." Wajah imut itu kembali terlihat seperti ingin menangis lagi. Ochi sendiri juga bingung. Dia sendiri saat ini juga sedang menumpang di rumah orang. Masa iya dia membawa Kinan ke sana juga?

"Tapi Kinan ingat nama kantor Om Raga, Bu. Minggu lalu Kinan ikut papa singgah ke kantor barunya Om Raga."

"Om Raga itu siapa Kinan?"

"Om Raga itu adiknya papa, Bu guru." Ochi pun menarik nafas lega. Akhirnya ada jalan keluar juga.

"Oh ya? Apa nama kantornya Kinan? Biar Ibu antarkan Kinan kesana aja ya, Sayang?" Mata bulat itu menggangguk dan tersenyum gembira. Wajahnya mulai cerah karena akan segera bertemu dengan Om nya.

"Nama kantor Om Raga itu P.T Bangun Griya Persada, Bu. Ibu tahu tidak kantornya?" Mata bulat bening itu terlihat harap-harap cemas menunggu jawaban Ochi.

"Tenang saja, Sayang. Ibu tahu kok alamatnya. Ayo kita berangkat. Sebentar, Ibu pesan taksi online dulu ya, Sayang?" Kinanti terlihat sangat gembira. Dia langsung menarik tangan Ochi saat melihat taksi online tiba di gerbang gedung sekolah.

==================

"Selamat siang, Bu. Saya ingin bertemu dengan Bapak Raganda Perdana bisa Bu?" Ochi dan Kinanti yang sudah tiba di kantor omnya pun segera menghubungi sekretaris yang terlihat duduk di meja depan.

"Anda sudah membuat janji temu terlebih dulu, Bu?" Sang sekretaris berwajah cantik tanpa cela itu bertanya dengan suara ramah dan professional.

"Belum, Bu. Tetapi saya ada keperluan yang sangat mendesak  untuk bertemu dengan beliau, Bu."

"Maaf ya Ibu. Pak Raga sedang ada wawancara dengan media. Ibu buat janji saja dulu, agar bisa saya kondisikan apabila ibu memang memiliki keperluan untuk bertemu dengan beliau. Kalau boleh saya tahu, nama ibu siapa dan ada keperluan apa dengan Pak Raga?"

Tiba-tiba saja Kinanti memberi isyarat agar Ochi sedikit membungkuk, supaya Kinan bisa membisikinya. Mata Ochi membelalak saat Kinan memberinya ide agar mengaku sebagai calon istri Om nya saja. Dengan begitu mereka berdua pasti akan diizinkan masuk. Karena mamanya juga pernah menggunakan trik yang sama sewaktu ingin menemui om nya di kantor nya yang lama.

"Sa—Saya calon istri nya P—Pak Raga, Bu." Dengan amat sangat terpaksa dan terbata-bata Ochi pun akhirnya mengikuti usul Kinanti.

Cekrek! Cekrek!

Tiba-tiba saja begitu banyak kilatan lampu blitz yang memotret Ochi berkali-kali, berikut kerumunan wartawan yang mulai merubunginya dan Kinanti.

"Oh jadi Anda ini adalah calon istrinya, Pak Raga? Sudah berapa lama kalian berdua saling berhubungan? Mengapa selama ini Pak Raga terkesan sangat rapat menyimpan rahasia kehidupan asmaranya?"

Wajah Ochi memucat saat cecaran pertanyaan wartawan terus saja bertubi-tubi tertuju kepadanya.

"Ah, Sayang kamu sudah sampai rupanya. Selamat datang di kantor baru saya ya, sayang."

"Om Ragaaaa!"

Matilah aku kali ini. Batin Ochi dengan wajah memucat yang seakan sudah tidak dialiri boleh darah sama sekali.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status