Enam bulan kemudian ....Siang ini, Safiyya tampak tengah berkutat dengan peralatan memasaknya. Sedang Gibran seperti biasa, ke pesantren. Nalen sendiri sudah pergi ke kafe. Biasanya laki-laki itu akan pulang menjelang zuhur untuk makan siang bersama dan shalat.Tak berapa lama, samar-samar terdengar suara percakapan dari luar villa. Safiyya yang tengah sibuk menata makanan buru-buru menyudahi aktivitas. Ia bersiap menyambut kedatangan Nalen, menyusulnya ke depan.Namun, baru hendak melangkah ia menangkap siluet seorang wanita. Yang ia kenali sebagai Anna. Senyum di wajah Safiyya memudar berganti wajah datar. Selama enam bulan di sini, kehadiran wanita bernama Anastasia Anderson itu, semakin mengusiknya. Terlebih ketika melihat interaksi wanita berwajah bule itu dengan Nalen yang teramat dekat dan intim. Seperti pemandangan yang tengah dilihatnya sekarang ini. Nalen tengah menggandeng tangan Anna.Nyeri sekali ulu hati Safiyya ketika melihat perbedaan Nalen memperlakukan Anastasia, ya
Nalen menatap pemandangan di depannya dengan hati kesal. Di sana tampak Mark tengah terlibat obrolan seru dengan Safiyya. Sedari tadi keduanya terus saja tertawa tanpa berniat membantunya yang tengah kerepotan memanggang daging. Sedang Anna dari tadi tak terlihat batang hidungnya sejak pamit untuk mengangkat panggilan yang entah dari siapa.Nalen memang tengah mengadakan pesta barbeque di balkon villanya. Ia mengundang beberapa teman dan semua karyawan kafe.Nalen tak mempermasalahkan soal Safiyya, karena kondisi istrinya memang sudah tak bisa banyak bergerak. Sedang Mark, entah lah. Nalen benar-benar kesal dengan kehadiran laki-laki itu di sini. Mark adalah teman lama Nalen dari Australia. Lebih tepatnya teman Anna, karena sebenarnya ia dan Mark tak seakrab itu. Terakhir kali bertemu laki-laki ini adalah beberapa tahun yang lalu saat Anna mengenalkannya.Dari cerita Anna, Mark memutuskan datang ke Bali untuk berlibur sekaligus menemui seseorang. Nalen tak terlalu peduli soal laki-lak
Safiyya menengadahkan tangan, meminta pengampunan dan kekuatan untuk bertahan dengan semua cobaan yang tengah ia hadapi. Air matanya turun semakin deras. Wanita itu mulai menyadari satu hal, bahwa hanya Allah lah yang saat ini bisa meringankan beban di hatinya. Rasa sesak yang setiap hari semakin menjadi, membuat Safiyya nyaris putus asa. Pernah suatu hari sebelum Nafisa lahir, ia berniat bunuh diri dengan melompat ke danau. Namun, niat itu harus gagal karena kontraksi di perutnya. Selain itu Safiyya juga memikirkan nasib Gibran jika dirinya tak ada.Safiyya melirik bayi perempuan yang tengah tertidur pulas di ranjang. Jika bukan karena bayi mungil itu, ia tak yakin masih bertahan. Karena Nafisa lah yang menyelamatkannya dari rasa putus asa. Awalnya safiyya tak yakin bisa menerima kehadiran sang putri. Tapi ketika mendengar tangisan pertama bayi itu, entah mengapa ada kekuatan yang mendorongnya untuk tetap tegar. Ia tahu, hidupnya sekarang bukan lagi tentang diri sendiri. Tapi ada Naf
Nalen tampak tengah sibuk membantu karyawannya melayani pengunjung. Hari ini kafe begitu ramai karena liburan akhir tahun. Sesekali ia terlihat akrab dengan beberapa tamu yang datang. Kebanyakan dari mereka adalah wanita-wanita lajang. Tak jarang ada yang meminta berkenalan bahkan meminta kontak ponselnya. Namun, sebisa mungkin Nalen mengabaikan hal itu saat mengingat Safiyya."Jadi boleh nggak saya minta nomor hp Mas nya?" ujar wanita berambut panjang yang tengah asyik menikmati pemandangan sore bersama teman-temannya."Boleh, ya? Kita udah bolak-balik ke sini dari tiga hari lalu cuman buat ketemu Mas, loh," timpal salah satu yang lain.Nalen hanya menanggapi ucapan itu dengan senyum ramah. Tak berapa lama, dari jauh terlihat Safiyya datang bersama Mark. "Maaf, saya tinggal dulu, ya. Kalian silahkan nikmati hidangannya," pamit Nalen, gegas ia menghampiri istrinya. Sedang di belakang sana wanita-wanita tadi hanya bisa mendesah kecewa karena lagi-lagi diabaikan oleh target taruhan mere
Nalen mengamati interaksi Safiyya dengan Mark di bawah sana. Keduanya tengah asyik bermain dengan Nafis di taman belakang Villa. Sejujurnya Nalen sangat terganggu sekali dengan interaksi itu. Namun, ia masih berusaha berpikir positif walau sebenarnya agak takut. Ia yakin Safiyya pasti bisa dipercaya. Istrinya tak akan berkhianat. Tapi masalahnya Mark lah yang setiap hari seakan berusaha terus mendekati istrinya. Terlebih sejak kelahiran Nafis.Selain itu, ada hal yang sering mengganggu pikiran Nalen. Yaitu kemiripan Nafis dengan Mark yang terlalu kentara, kadang sering menimbulkan tanya dalam hati. Sementara orang suruhan yang dipercaya Nalen untuk mencari tahu prihal pria yang memerkosa Safiyya, belum menemukan titik terang."Kamu sedang apa di sini?" Pertanyaan Anna membuat lamunan Nalen buyar. Wanita dengan gaun hitam itu mendekat dan berdiri di sampingnya.Senyum Anna merekah ketika mengetahui apa yang tengah Nalen lihat. "Mereka sangat cocok bukan?"Mendengar pernyataan Anna yang
"Aku benar-benar merindukanmu dan Nafis. Harusnya kemarin kalian ikut saja ke Jakarta." Nalen menarik nafas dalam saat mengatakan hal itu pada orang di seberang yang tak lain Safiyya. Sudah dua minggu ini keduanya benar-benar menjalani hubungan jarak jauh yang sangat menyiksa. Tak terhitung berapa kali Nalen menghubungi istrinya hanya untuk mengeluhkan betapa rindunya dia.Di seberang sana Safiyya pun terkekeh mendengar keluhan suaminya. "Sabarlah, selesaikan dulu urusan Mas soal perusahaan. Aku dan Nafis nggak kemana-mana, kok, selalu di sini nunggu kamu pulang." Safiyya menenangkan.Nalen yang mendengar nasihat itu mengangguk walau Safiyya tak melihat. Laki-laki dengan kemeja abu-abu itu menarik nafas panjang setelahnya. "Baiklah, aku akan sabar menahan rindu ini. Tapi berjanjilah tunggu aku pulang. Jangan pergi ke tempat di mana aku nggak bisa menemukanmu, mengerti."Safiyya tersenyum samar mendengar kalimat bernada mengintimidasi suaminya "Ya, aku janji. Kalau begitu lanjutkan pek
Nalen berjalan dengan langkah cepat memasuki rumah Mark. Kehadirannya yang tak terduga membuat Anna dan Mark yang tengah mengobrol serius kaget sekaligus panik. Takut kalau laki-laki itu mendengar pembicaraan mereka."Nalen, bukannya kamu di Ja-" Belum selesai kalimat yang Anna ucapkan, Nalen tiba-tiba bergerak dengan cepat dan langsung mengarahkan bogem mentah pada Mark.BUGH! BUGH!"Aaaa!" Anna memekik kaget. Ia langsung menyingkir menjauhi dua pria yang kini terlibat adu jotos di depannya."Di mana kamu menyembunyikan Safiyya, Brengsek!" seru Nalen dengan kemarahan tak terkendali.Laki-laki itu masih mengenakan kemeja rapi. Memang usai semua masalah perusahaan beres, Nalen langsung tebang ke Bali. Sesuai rencana, ia berniat menjemput Safiyya dan Nafis, tapi pertemuan indah yang sudah dibayangkan dalam benaknya justru harus berakhir dengan kenyataan berbeda. Safiyya tak ada di rumah. Bahkan semua barang-barang sang istri, Nafis, dan Gibran pun sudah tak ada.Tanpa menunggu waktu ia
Nalen duduk dengan gelisah di sebuah kafe. Sudah sekitar setengah jam ia di sana. Tapi orang yang ditunggunya tak kunjung datang. Bolak-balik ia menatap ke arah pintu masuk, berharap orang itu tiba-tiba muncul. Walau kemungkinannya kecil, Nalen akan tetap menunggu.Tak berapa lama, seorang wanita berhijab masuk. Nalen melambaikan tangan ke arah Maira saat melihatnya mengedarkan pandangan. Dengan langkah anggun akhirnya wanita itu mendekat."Ada apa kamu meminta bertemu? Waktuku nggak banyak. Jadi cepatlah katakan," ujar Maira ketus. Lalu menjatuhkan diri di kursi, tepat di depan Nalen.Lama Nalen menatap Maira yang kini memalingkan wajahnya ke luar jendela. Wanita di depannya sekarang ini, terlihat jauh berbeda dari dua tahun lalu. Maira tampak lebih dewasa. "Maaf, karena kedatangan saya mungkin menganggu ketenangan hidupmu lagi," ujar Nalen akhirnya. Biar bagaimanapun Nalen masih merasa bersalah pada wanita ini dan keluarganya. Dari ayahnya, Nalen tahu kalau keluarga Maira pun memut