Sepuluh menit menuju tengah malam. Seluruh penghuni rumah sudah terlelap namun Tara masih terjaga, tidak bisa tidur. Ia memandang langit-langit dan menjadikan tangannya sendiri sebagai bantal. Entahlah, dia tiba-tiba merasa khawatir dengan keadaan adik-adiknya dirumah. Walau Ia yakin Yeri pasti mengundang teman-temannya menginap tapi rasa cemas tetap datang menghampirinya.
Tara mendudukan tubuhnya dan mengusap wajahnya. Disaat yang bersamaan, pintu kamar Tara terbuka dan memperlihatkan Jena dengan piyama tidurnya. Ada raut gelisah di wajahnya, “Kenapa Jen?”
“Can we go home now? Perasaan gue gak enak.”
Tanpa berpikir dua kali, Tara mengangguk menyetujui saran adiknya. Dengan tidak enak hati, Tara dan Jena harus membangunkan om serta tantenya di tengah malam untuk berpamitan. Namun siapa sangka Juna dan istrinya memutuskan untuk ikut keponakannya pulang ke rumah. Dengan waktu yang singkat untu
Sebuah mobil audi hitam memasuki halaman sebuah rumah yang cukup besar. Si pengendara mematikan mesin mobil setelah memastikan kendaraannya terparkir dengan sempurna kemudian bergegas untuk membuka bagasi mobil. Para penumpang pun ikut turun dari mobil. Merenggangkan tubuh mereka yang pegal karena perjalanan yang cukup panjang. "Lo yakin kita bakal tinggal disini? rumahnya kaya udah gak keurus gini." "Ck, kemarin gue sama Om Jun nyari rumah yang murah, dan ini yang paling murah." jelas Tara- kakak pertama gadis itu- sambil mengeluarkan koper dari bagasi mobil. Gadis itu tidak menimpali ucapan lelaki itu lagi, dia tidak habis pikir kenapa kakak pertamanya itu membeli rumah yang setara dengan rumah hantu. Yeriana-nama gadis itu- atau lebih akrab dengan panggilan Yeri, mengedarkan pandangannya ke setiap sudut rumah besar dihadapannya. Cat dinding yang luntur, dinding yang retak dibeberapa bagian, teras yang tertutup dengan daun-daun kering. Yeri tidak bisa menebak pada tahun berapa rum
Malam semakin larut, jarum jam terus berputar, sinar bulan masuk melalui celah jendela menerangi sebagian kamar Yeri. Sudah pukul 23.30 malam tetapi Yeri masih belum bisa menutup matanya. Baru kali ini ia tidak bisa tertidur, sewaktu ia tinggal di rumah Om Jun pukul 10 malam saja dia sudah mengarungi lautan mimpi. Tok tok tok Lagi. Yeri mendengar suara ketukan, namun kali ini bukan dari jendela nya tetapi dari langit-langit kayu kamarnya. Yeri mencoba menghiraukannya dan meyakinkan dirinya bahwa ia hanya salah dengar. Tapi dirinya kembali teringat serangkaian kejadian Ia alami semenjak menapakkan kaki di rumah ini. Anak kecil yang mengintip, sosok yang menatapnya dari jendela loteng dan ucapan selamat datang yang entah siapa yang menulis. Saat membaca kalimat tersebut tentu saja Yeri merinding. Apalagi ada namanya dalam tulisan itu. Apa ini hanya lelucon? Pikirnya. Yeri memejamkan matanya berharap dia bisa tidur dan tidak mengalami hal-hal yang aneh. Tok tok tok tok Yeri membuka
"Morning everyone!" teriak Jena nyaring kemudian ia mencubiti pipi Yeri dengan gemas, Yeri meringis dan berusaha melepaskan tangan Jena dari pipinya. Tara hanya memutar bola mata nya. Sudah terbiasa. Tidak ada yang berbicara lagi. Semua tengah fokus pada makanannya masing-masing. Tidak juga sih. Jena sesekali mengecek ponselnya saat memasukkan makanan ke dalam mulutnya dan Tara membantu Key memotong lauknya. "Kak Tara..." panggil Yeri, Tara hanya berdehem. "Pinjem kunci loteng dong, gue mau naro barang-barang gue yang ga kepake disana." "Jangan." Yeri menyerngit heran, "kenapa?" Seketika keheningan menyelimuti ruang makan saat itu. Yeri masih menatap Tara, menunggu jawaban. Sedangkan yang ditatap masih asyik dengan makanan dihadapannya. Jena yang merasa suasana berubah menjadi canggung menyuruh Yeri menghabiskan makanannya dengan cepat dengan alasan takut telat. Yeri menurut. “Gue udah selesai.” Ucap Yeri sambil beranjak menuju kitchen sink. Kemudian menyambar tas yang ia sangku
Jena menghentikan langkahnya menuju kamarnya saat melihat Tara yang baru keluar kamarnya dengan pakaian rapi dan kunci mobil yang berada di genggamannya, "Lo mau kemana? Katanya libur kerja." "Mau ngapelin Irena" “Gak jemput Yeri?” Ucap Jena. Tara menepuk jidatnya, dia lupa akan rutinitasnya menjemput Yeri. Mampus, rutuknya dalam hati. Akhirnya Ia bergegas menjemput Yeri. Namun, saat Tara melewati ruang keluarga, Ia melihat Yeri sudah berada dirumah. Duduk dengan tegak disofa dan pandangan lurus kedepan. Dahi Tara berkerut bingung. Pasalnya, Televisi dihadapan Yeri tidak menyala tetapi Yeri masih saja memandang televisi dengan tatapan yang Tara juga tidak mengerti. “Yeri, lo pulang sama siapa tadi?” tanya Tara. Namun Yeri tetap diam tidak menjawab. Tara merasa ada yang aneh dengan adik nya. Wajah Yeri pucat. "Yeri, lo sakit?" Tanya Tara khawatir, ia ingin menempelkan punggung tangannya ke dahi Yeri dengan maksud memeriksa suhu tubuhnya. Belum sempat Tara memeriksa dahi adiknya, sua
Matahari telah menunjukkan eksistensinya, menandakan hari sudah pagi. Suasana di rumah Yeri lebih ramai dari biasanya karena para sahabatnya menginap. Dentingan garpu dan sendok menggema di ruang makan, sesekali terlontar candaan membuat minggu pagi ini terasa lebih menyenangkan. "Oh iya, Yeri dimana?" Tanya Jena saat menyadari Yeri belum berkumpul dengan mereka. Semua yang ada di ruang makan hanya saling menatap hingga Wendy bersuara, "Dia masih di kamar"Jawab Wendy sambil menyantap makanannya. -:- Yeri baru saja menyelesaikan ritual paginya, mandi. Setelah memakai busana, Yeri melihat pantulannya di cermin, memoles sedikit bedak pada wajahnya dan menyisir rambutnya. Dukk Gerakan Yeri terhenti. Yeri mengedarkan pandangan keseluruh penjuru kamarnya, namun nihil. tidak ada apa-apa. Yeri mengangkat bahunya dan kembali mematut dirinya di cermin. Tak berselang lama, suara itu terdengar lagi. Kali ini pandangan Yeri tertuju pada lemari pakaiannya. Dengan tangan yang masih mengenggam si
Koridor yang sepi membuat suara langkah kakinya menggema. Hanya segelintir orang yang terlihat. Maklum, jam sekolah telah usai satu jam yang lalu. Yeri diminta oleh Pak Jodi untuk membantunya memasukkan nilai dan itu membuatnya pulang lebih lambat dari siswa lainnya. Yeri berjalan dengan santai, tangannya mengenggam tali tas. Tak sengaja matanya melihat sekelompok murid perempuan di ujung koridor. Yeri menghela napas. Dengan terpaksa Yeri harus melewati mereka karena tidak ada jalan lain. Ia mempercepat langkahnya saat melewati para perempuan itu, lagipula Tara sudah menunggunya di depan gerbang sekolah, ia harus cepat. “Hallo, Yeri!” Langkah Yeri terhenti dan menoleh kearah orang yang tadi menyapanya. Nancy- yang tadi menyapa Yeri- menampilkan wajah mengejek dan senyuman sinis, “Sekarang lo udah sadar kan? Jordan ga bakal ngelirik dan milih lo!” Teman-teman Nancy tertawa setelahnya sedangkan Nancy bersidekap dada dengan angkuh, menunggu respon yang akan Yeri berikan. Namun Yeri ti
"Cepetan buka bagasi nya." "Iya bawel." Setelah selesai berbelanja kebutuhan rumah, Jena dan Tara langsung bergegas pulang kerumah. Namun, saat mereka sudah masuk kedalam mobil, Tara tidak langsung menyalakan mesin mobil melainkan berkutat dengan ponselnya. Hal itu pun membuat Jena kesal. "Buruan jalan. Kasian dua bocil dirumah sendirian," Omel Jena sambil memukul bahu Tara. "Bentar napa sih! gue mau bales chat Irena dulu." jawab Tara dan dibalas dengan puluhan ocehan Jena. "Sumpah, besok-besok mending gue ngajak Yeri buat belanja. Lo bikin gue pengen gigit stir mobil mulu." dumel Tara. Setelah itu mobil Tara melaju dengan kecepatan rata-rata. Jalanan yang tidak terlalu ramai mempersingkat waktu perjalanan. Saat berada di jalan menuju rumahnya, tiba-tiba sesuatu melesat dengan cepat di depan mobil Tara. Tara yang terkejut pun menginjak rem dengan kuat membuat tubuhnya dan Jena terhuyung ke depan. "Apaan itu? jangan-jangan lu nabrak orang!!" ucap Jena Histeris. Jena pun menyuruh
Atensi Yeri terpaku pada layar televisi. Sesekali tanganya mengambil cemilan diatas meja kemudian memasukkannya kedalam mulutnya. Hanya Yeri yang berada di ruang tamu. Jena sedang membantu adik bungsunya mengerjakan tugas rumah dikamar Key, sedangkan Tara belum kembali dari tempat kerjanya.tuk tuk tukSuara ketukan sedari tadi terdengar dari arah dapur. Yeri yang mulanya menikmati siaran televisi harus terganggu oleh suara yang membuat siapapun yang mendengarnya menjadi parno. Entah mengapa semakin Yeri mengabaikan suara itu, semakin keras pula suara itu terdengar. Yeri meraih remote kemudian menambah volume suara televisi. Sesaat suara itu tidak lagi terdengar. Yeri pun kembali menyamankan tubuhnya diatas sofa dengan kaki yang Ia naikkan keatas meja.Tidak lama kemudian tubuh Yeri kembali menegang. Suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras dan jelas seakan suara itu berasal dari samping Yeri. Sangat jelas. Yeri mengigit bibir bawahnya dan mencengkram erat pinggiran sofa. Ia ing