Home / Rumah Tangga / Misteri di Rumah Mertua / Bab 1 Mengikuti suami

Share

Misteri di Rumah Mertua
Misteri di Rumah Mertua
Author: Pena_yuni

Bab 1 Mengikuti suami

Author: Pena_yuni
last update Last Updated: 2023-02-15 13:34:35

"Mas, aku ikut ke rumah Ibu, ya?"

"Jangan, Tsa! Sudah, kamu diam di rumah, biar aku yang pergi ke sana."

"Tapi, aku juga mau tahu keadaan Ibu," cetusku lagi. Pasalnya, tadi Mas Rendra mendapatkan kabar jika Ibu sedang sakit, dan sekarang suamiku akan pergi ke Jakarta.

Namun, seperti biasa dia melarangku ikut. Dia akan pergi seorang diri, tanpa membawaku ke rumah ibunya.

Mas Rendra berdiri dengan tegak seraya melihatku lekat. Dia menghentikan aktivitasnya yang tengah mengemasi dompet dan ponsel ke dalam tas kecil miliknya.

"Ikut ke rumah Ibu, ya?" pintaku lagi membalas tatapan matanya. "Ibu juga pasti seneng, kok kalau aku datang menjenguknya."

Mas Rendra mengembuskan napas kasar. Dia memegang kedua pundakku dengan tidak mengalihkan pandangan.

"Tsa, aku bukan tidak ingin membawamu. Tapi—"

"Keadaan rumah Ibu yang kumuh, kotor dan bau?" Aku memotong ucapan Mas Rendra yang kuhafal di luar kepala. "Aku tidak masalah dengan itu, Mas. Justru dengan adanya aku, aku bisa bantu beresin rumah Ibu sampai bersih dan rapi," lanjutku membujuknya.

Mas Rendra menggelengkan kepala. Sebelah tangannya mengusap wajah, lalu dia berjalan pelan ke arah jendela kaca kamar kami.

Aku mengikutinya. Kutatap wajahnya yang terlihat resah dan gelisah.

'Ada apa sebenarnya denganmu, Mas?' hatiku berbisik.

Dia seperti tertekan setiap kali aku meminta ikut pergi ke rumah ibu mertua. Ini bukan kali pertama dia menolakku. Sudah sering. Bahkan setelah satu tahun menikah, aku belum satu kalipun dibawanya berkunjung ke rumah Ibu.

"Apa yang kamu sembunyikan dariku, Mas?" tanyaku kemudian. Dan itu sukses membuat wajah Mas Rendra berubah pias.

"Tidak ada. Tidak ada yang aku sembunyikan darimu, Tsania. Sudahlah, jangan banyak tanya dan bicara lagi. Aku harus pergi, dan kamu tetap di rumah."

"Mas—"

"Jangan membantah!" Mas Rendra mengacungkan jari telunjuknya di depan wajahku. "Aku suamimu, maka turuti kata-kataku. Tetep di rumah. Haram hukumnya seorang istri keluar rumah tanpa izin dari suaminya."

Setelah mengatakan itu, Mas Rendra langsung keluar dari kamar, meninggalkan aku yang membeku melihat punggungnya yang berlalu dengan cepat.

Suara deru mobil di depan rumah membuat netraku langsung menoleh ke samping. Dari jendela kaca, aku bisa melihat jika suamiku benar-benar pergi. Ke rumah Ibu, katanya.

Namun, hatiku dihantui rasa curiga akan sikap dia yang semakin ke sini, semakin aneh.

Masa, sih seorang suami melarang istrinya pergi ke rumah orang tuanya, jika tidak ada yang disembunyikan?

"Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan, Mas?" Aku berucap dengan tatapan kosong ke depan sana.

Lima belas menit setelah kepergian Mas Rendra, aku mencoba untuk mendamaikan perasaan curiga pada suamiku. Namun, semakin kuingat, semakin besar ingin tahuku tentang rumah ibu mertua beserta semua cerita di dalamnya.

Mungkinkah Mas Rendra memiliki simpanan di rumah Ibu?

Kuhirup udara agar sesak di dada menghilang bersamaan dengan dia yang baru saja pergi. Satu gelas air minum pun sudah masuk ke dalam perut, membasahi tenggorokan yang tercekat membayangkan sesuatu yang menyakitkan. Hingga akhirnya, dering ponsel mengalihkan pandangan dari gelas bening, ke benda pipih yang tergeletak di meja.

"Halo," ucapku tanpa salam.

"Tsa, kamu di mana?" Sabrina, temanku bertanya dengan nada yang tak biasa. Seperti buru-buru dan terdengar panik.

"Di rumah." Aku menjawab singkat.

"Suamimu ke mana?"

Aku mengerutkan kening mendengar pertanyaan yang menurutku tidak penting untuk dia tanyakan.

"Ngapain kamu nanya Mas Rendra?"

"Jawab saja, Tsa. Suamimu ada di rumah?"

"Enggak. Dia baru saja pergi ke Jakarta. Ke rumah Ibu."

"Dia sedang di toko peralatan bayi!" tukas Sabrina.

Aku diam, mencerna kata-kata temanku yang terdengar ambigu. Siapa yang di toko perlengkapan bayi?

Suamiku kah?

"Na, kamu barusan bilang apa? Siapa yang di toko perlengkapan bayi?" Aku menegakkan tubuh, menajamkan pendengaran agar tidak salah menangkap ucapan Sabrina.

"Rendra. Suamimu masuk ke dalam toko perlengkapan bayi. Dia membeli perlengkapan bayi banyak banget, Tsa. Dari mulai popok sampai kain jarik, terus banyak lagi yang lainnya. Sekarang aku lagi ngikutin dia."

"Di toko mana?" tanyaku semakin penasaran.

"Raya Babyshop. Pokoknya sekarang kamu datang ke sini, buktikan jika kata-kataku memang benar. Sepertinya dugaanku selama ini tentang dia memang benar adanya. Suamimu, punya istri di Jakarta."

Otakku sudah tidak bisa lagi berpikir dengan jernih. Rasa curiga semakin menjadi setelah mendengar penuturan Sabrina.

Bukan hanya omong kosong, Sabrina pun mengirimkan foto Mas Rendra yang memang sedang berbelanja perlengkapan bayi.

Tanpa berpikir panjang lagi. Aku pun pergi dari rumah menuju tempat yang dimaksud Sabrina, menggunakan ojek. Karena aku hanya punya satu mobil, dan itu dipakai Mas Rendra.

"Tsania!"

Aku mencari sumber suara yang memanggil saat kaki ini hendak masuk ke dalam toko yang Sabrina maksud. Temanku itu menarik tanganku, membawanya masuk ke mobil yang tak lain miliknya.

"Apa, sih, Na? Aku mau nemuin Mas Rendra di dalam sana."

"Jangan! Mendingan kita tunggu di sini saja, dan ikuti ke mana dia pergi. Dengan begitu, kamu akan tahu, untuk siapa perlengkapan bayi yang Rendra beli," tutur Sabrina.

Tidak berapa lama aku dan Sabrina menunggu, sosok pria berhidung bangir keluar dari dalam toko seraya membawa banyak belanjaan.

Aku meraba dada yang berdenyut nyeri. Mataku tak lepas dari laki-laki yang satu tahun lalu mengucapkan janji suci, memintaku dengan langsung kepada Papa.

Inikah wajah aslinya? Dia seorang pengkhianat?

"Tega kamu, Mas. Katanya akan ke rumah Ibu, tapi ternyata kamu—" Aku tidak mampu melanjutkan kata-kataku, dan hanya air mata yang keluar sebagai ungkapan perasaan yang teramat sakit ini.

Aku dibohongi. Aku dikhianati oleh dia yang aku cintai.

"Tenang, Tsa. Simpan air matamu. Kita belum tahu yang sebenarnya. Mungkin saja perlengkapan bayi itu untuk saudaranya di Jakarta," ujar Sabrina. Dia melajukan mobil, mengikuti kendaraan Mas Rendra.

"Saudaranya yang mana? Dia tidak punya saudara. Dia anak tunggal, Na."

Sabrina tidak bicara lagi. Dia fokus mengikuti mobil Mas Rendra yang sekarang sudah keluar dari Bandung, lalu masuk Kota Jakarta.

Pikiranku semakin berkecamuk, membayangkan hal buruk, yang akan terjadi dalam rumah tanggaku setelah ini.

Mungkinkah, jika pengkhianatan Mas Rendra diketahui Ibu, dan wanita itu tinggal di rumah mertuaku?

"Pantas saja kamu selalu dilarang ikut ke rumah ibunya, Tsa. Jangan-jangan ... selingkuhannya ada di sana," celetuk Sabrina semakin membuat dadaku bergejolak.

Beberapa jam perjalanan, mobil Mas Rendra belok ke arah pemukiman warga, dan berhenti di depan salah satu rumah. Mataku membulat, rasanya tak percaya saat wanita paruh baya keluar menyambut kedatangan suamiku dengan senyum yang mengembang sempurna.

"Jadi ini rumah Ibu?" ucapku dengan tidak mengalihkan pandangan.

"Astaga, Tsa .... Ini rumah mertuamu ...?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 139

    "Kayaknya bukan masalah kerjaan, Tsa. Coba, deh, kamu tanya baik-baik sama Rendra. Siapa tahu, dia ... merindukan ibunya?"Aku termenung mendengar penuturan Papa barusan. Apa iya, suamiku merindukan Ibu? "Kenapa tidak bilang dan pergi temui Ibu? Aku enggak akan larang, kok," kataku kemudian. "Mungkin Rendra malu untuk bilang, makanya dia diam. Kamu sebagai istri, harusnya inisiatif tanya. Bagaimanapun juga, wanita yang saat ini ada di rumah sakit jiwa itu, wanita yang telah melahirkan suamimu. Wajib hukumnya kamu mengingatkan suami agar tetap memperhatikan ibunya. Kalau sehat badan, ya dengan tenaga, kalau punya harta, ya dengan harta. Kalau punya keduanya, lakukan bersamaan. Paham, Tsa?" Aku mengangguk lemah dengan tatapan pada Mas Rendra yang memejamkan mata.Papa yang sudah merasakan kantuk, ia pun pamit pada Ayu, mencium pipi chubby cucunya itu sebelum pergi ke kamar. "Mas." Aku mengusap pipi Mas Rendra dengan lembut. Tidak ada respon. Hanya embusan napas teratur yang kudenga

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 138

    "Kamu aku izinkan menjenguk Ayu, tapi dengan satu syarat," ujar Mas Rendra, melanjutkan ucapannya yang menggantung. "Apa syaratnya, Mas?" Roy bertanya. "Jangan berharap membawa dia. Aku tidak akan mengizinkan itu."Dengan wajah yang terlihat kecewa, Roy menganggukkan kepalanya. Aku merasa lega, karena Mas Rendra tidak membiarkan Roy mengurus Ayu. Pikirku, Mas Rendra akan dengan senang hati menyerahkan Ayu, membiarkan keponakannya itu diasuh oleh ayah kandungnya. Akan tetapi, itu hanya ketakutanku saja. Mas Rendra juga pasti sudah memikirkan matang-matang tentang jawaban yang dia berikan pada Roy. "Sekarang kamu boleh pergi," ujar Mas Rendra dingin."Mas, sebelum aku pergi, bodoh tidak jika aku menggendong anakku?" Mataku langsung menatap wajah Roy setelah dia berucap demikian. Aku memperhatikan dengan lekat wajah itu, mencari apakah ada niat jelek darinya untuk Ayu. Namun, aku bukan Tuhan yang bisa tahu isi hati manusia. Aku tidak menangkap niat buruk dari Roy, hanya melihat se

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 136 Pria Asing itu Ternyata ....

    Aku dan Mas Rendra saling pandang, sangat terkejut dengan ucapan yang pria itu lontarkan. Mas Rendra membalikkan badan, menatap heran pada pria yang melihat suamiku dengan nyalang. "Siapa yang kau sebut anakku?" tanya suamiku kemudian. Pria itu meneguk ludah dengan kasar. Tanpa mengucapkan satu kata pun, dia pergi menjauhi kami dan naik ke atas kendaraan roda duanya. Mas Rendra mengejar. Suamiku itu berhasil menahan pria asing tadi untuk kabur, sementara aku menghampiri mobil untuk mengambil Ayu yang sengaja kami biarkan di dalam mobil. Awalnya, aku sengaja meninggalkan aku untuk memancing pria itu. Karena aku kira, dia penculik yang mengincar Ayu. Akan tetapi, sepertinya aku salah duga. Dari cara dia tadi berteriak menghentikan Mas Rendra, aku yakin dia bukanlah penculik. "Siapa kamu sebenarnya? Katakan, siapa?!" ujar Mas Rendra, memaksa laki-laki itu untuk bicara. "Lepaskan!" Pria yang kedua tangannya dicekal Mas Rendra, berteriak seraya berontak. "Aku akan melepaskanmu, as

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 135

    "Ini Anak Bayi mau ke mana? Ya ampun ... pagi-pagi gini sudah cantik aja." "Jalan-jalan, dong, Opa," kataku, menjawab pertanyaan yang Papa tujukan pada Ayu. Sekarang hari minggu. Karena pabrik libur di hari ini, aku pun berinisiatif untuk pergi jalan-jalan bersama Ayu. Alhamdulillah-nya, Mas Rendra tidak menolak ketika aku menyampaikan keinginan untuk pergi di hari minggu. Dan sekarang, aku sudah siap untuk pergi. Tinggal menunggu Mas Rendra yang masih mandi, karena tadi gantian menjaga Ayu. "Kalian mau pergi ke mana? Jangan jauh-jauh, kasihan Ayu. Dan ingat kondisi kamu juga, Tsa," ujar Papa seraya meletakkan Ayu di stroller. "Iya, Papa. Palingan ke taman, terus makan-makan doang, sih. Janji, deh enggak akan pulang malam." Aku mengacungkan dua jari ke depan wajah. "Yasudah, kalian hati-hati, ya? Papa udah transfer buat jajan kalian.""Emh ... Papa .... Makasih," tuturku, lalu memeluk Papa. Sebenarnya, Papa sudah aku ajak untuk ikut bersamaku dan Mas Rendra. Akan tetapi, Papa m

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 134

    Gorden yang aku tutup tiba-tiba, aku buka kembali untuk melihat orang tadi. Akan tetapi, orang asing itu sudah tidak ada di tempatnya. Dia pergi dan entah ke mana. Hati semakin khawatir, takut jika orang tadi punya niat buruk padaku, atau semua penghuni rumah ini. Sangat menyeramkan. [Mas, tadi ada orang asing yang ngintai rumah kita,] ujarku, mengirimkan pesan pada Mas Rendra. Sayangnya, suamiku itu membalas pesan yang aku kirim. Jangankan membalasnya, dibaca pun tidak sama sekali. Suamiku itu pasti sedang bekerja saat ini. [Pah.] Aku memanggil Papa, lewat pesan juga. Sama seperti Mas Rendra, Papa juga tidak sama sekali membaca pesanku. Ada rasa kesal pada dua lelaki itu karena mengabaikan pesanku, tapi aku juga sadar jika mereka sedang bekerja saat ini. Lalu aku harus apa untuk mengalihkan rasa takut ini? "Astaghfirullah!"Ketukan di pintu membuatku yang tengah melamun, terlonjak kaget mendengarnya. Dada kuusap berulang kali seraya mengatur napas. "Siapa?" tanyaku, seteng

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 133 Orang Asing

    "Setelah Mama pergi, dia belum pernah datang ke mimpi Papa, Tsa. Papa ingin sekali melihatnya," ujar Papa seraya mengusap kedua matanya. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Tanganku mengusap-usap punggung Papa, lalu akhirnya kami berpelukan. Sebenarnya, aku pun merasakan hal yang sama. Tadi setelah salat maghrib, tiba-tiba mengingat Mama. Namun, aku tidak mengatakannya pada siapa pun. Aku pendam rasa ini, karena mungkin hanya aku yang merasakannya. Ternyata tidak, Papa pun merasakan kerinduan yang sama pada wanita yang sudah tidak lagi bersama kami saat ini. "Masih ada penyesalan di sini, Tsa." Papa meraba dadanya. "Seandainya saja saat itu Papa langsung pulang, mungkin sekarang Mama masih ada, ya?" lanjut Papa lagi. "Ssttt .... Jangan bicara seperti itu, Pah. Kan, kata Papa juga semuanya sudah Allah atur. Kapan kita meninggal, di mana dan dengan cara apa, sudah Allah tentukan lebih dulu sebelum kita dilahirkan ke dunia ini."Papa mengurai pelukan, lalu mengangguk pelan. Dia menari

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status