Share

Bab 4 gambar yang dikirimkan Sabrina

"Kontraksi?" Aku mengulang kata yang baru saja disebutkan suamiku itu.

Aku langsung memundurkan tubuh saat pandangan Mas Rendra menoleh ke arahku. Dengan cepat dan tanpa suara, aku pergi ke kamar sebelum dia mengetahui aku telah menguping pembicaraannya.

Sepertinya aku tidak bisa mendesak Mas Rendra untuk bicara yang sejujurnya. Aku juga tidak yakin, jika dia akan mengatakan yang sebenarnya.

Aku harus punya cara lain untuk bisa mengetahui rahasia yang ada di rumah ibu mertua.

"Tsania."

Aku terperanjat saat Mas Rendra tiba-tiba masuk ke dalam kamar. Namun, buru-buru kusembunyikan rasa terkejutku dengan menghindari tatapan darinya.

"Tsania, aku ingin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di rumah Ibu. Oke, jujur aku emang sudah berbohong padamu," ujarnya lagi membuatku menatap dia.

Mas Rendra maju beberapa langkah hingga akhirnya dia berada di depanku yang duduk di ujung ranjang. Dia pun ikut duduk, lalu menggenggam tanganku ini.

Aku menariknya, tapi tidak berhasil melepaskan pegangan tangan suamiku itu.

"Maaf." Dia kembali berucap seraya mencium tanganku.

Aku sama sekali tidak merasa bahagia. Yang ada geli dan jijik karena tahu itu hanyalah sebuah sandiwara belaka. Dia tidak benar-benar mencintaiku.

"Tidak usah berbasa-basi. Kalau mau bicara, ya bicara saja. Enggak usah sok romantis," kataku, benar-benar menarik tangan ini hingga terlepas darinya.

Aku juga menggeser tubuhku sedikit menjauhi dirinya. Rasanya takut saja jika dia akan mengulangi tindakan kasar padaku. Meskipun hanya teriakan, menurutku itu sudah kasar dan aku tidak mau diperlakukan seperti itu.

"Maafkan, Mas, Tsania. Maaf karena tadi sudah teriak, marah dan ... menyeretmu sampai pergelanganmu memerah seperti itu."

Aku langsung menutupi tanganku dengan bantal.

"Jangan basa-basi," tukasku lagi.

Mas Rendra menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kasar.

"Iya, aku memang membeli peralatan bayi. Tapi, itu bukan untuk selingkuhanku atau wanita simpananku seperti yang kamu tuduhkan. Peralatan bayi itu untuk tetangga Ibu yang sudah beliau anggap anak. Dia punya suami. Dan aku kenal juga sama suaminya itu. Kalau aku ke rumah Ibu, aku juga datang ke rumah mereka untuk menitipkan Ibu."

Mas Rendra menjeda ucapannya. Dia menoleh ke arahku yang tidak memberikan reaksi apa pun.

Entahlah, aku sama sekali tidak percaya dengan kata-kata Mas Rendra. Bisa saja dia berdusta untuk menutupi kebohongan yang disimpannya di rumah ibu mertua.

"Soal rumah Ibu, sebenarnya aku sudah punya rencana untuk membawamu ke sana saat ulang tahun pernikahan kita, satu minggu lagi. Tapi ... kamu sudah tahu lebih dulu. Dan dengan cara yang tidak menyenangkan seperti tadi. Yah, harusnya aku memang jujur. Maaf, ya, aku sudah membuatmu cemburu dan berpikiran buruk. Tapi, percayalah jika hanya kamu wanita yang aku cintai setelah Ibu. Jangankan untuk menduakanmu, Tsa. Berpikir ke sana pun tidak ada. Aku sangat mencintaimu, Sayang." Mas Rendra kembali berujar dengan panjang lebar.

Aku masih membeku tidak memberikan tanggapan apa pun.

Jujur, hatiku masih sakit dengan kebohongan dia, dan aku juga tidak percaya dengan alasannya padaku tentang rumah Ibu.

"Tsa, kamu masih marah?" tanya Mas Rendra kemudian.

Aku diam.

Otakku terus berpikir bagaimana caranya membuka kebusukan Mas Rendra, tanpa harus terangan-terangan memintanya bicara jujur.

Haruskah aku bersandiwara memaafkan dia? Namun, hatiku masih merasa terluka. Rasanya sulit bersikap biasa saja seperti yang tidak pernah terjadi apa-apa.

"Sayang .... Bicara, dong. Jangan diamkan aku seperti itu?" ujar Mas Rendra. Sekarang dia berlutut di hadapanku dengan tatapan yang menyedihkan.

Aku memalingkan wajah menghindari bersitatap dengannya. Namun, kepala kuanggukan demi sebuah tujuan.

Jika Mas Rendra saja bersandiwara, kenapa aku tidak?

Kita lihat saja, akting siapa yang lebih sempurna. Aku, atau dia?

"Kamu memaafkan aku?" tanya Mas Rendra lagi.

Untuk yang kedua kali aku menganggukkan kepala. "Iya. Ak–aku juga minta maaf karena lancang mengikuti kamu, Mas. Aku takut kamu berpaling dariku," ujarku membuat wajah di depan sana tersenyum penuh kemenangan.

Mas Rendra langsung memelukku, bahkan menciumi wajah ini dengan sangat bahagia.

Biarlah aku pura-pura bodoh untuk saat ini, sampai semuanya terbuka dengan sendirinya.

Aku juga tidak akan tinggal diam dan pasti mencari tahu tentang rumah ibu mertua dengan segala isi di dalamnya. Termasuk wanita hamil yang katanya tetangga si baik hati.

"Tanganku sakit, Mas." Aku mengurai pelukan lalu mengusap-usap pergelangan tangan.

"Oh, ya ampun ... sampai merah banget, Sayang. Maaf, ya?" Mas Rendra meniup tanganku, lalu mengecupnya lama.

"Jangan diulangi lagi, ya? Aku takut banget pas tadi kamu marah-marah. Sebelumnya kamu tidak pernah seperti itu, loh."

"Iya, maafkan aku, ya? Aku janji tidak akan mengulanginya lagi. Tadi aku kaget dan malu sama Ibu, karena kamu datang-datang langsung marah sama beliau. Aku ini anak laki-laki yang seumur hidup harus menjaga Ibu. Rasanya tak terima saja, saat tadi kamu berteriak di depannya. Jangan ulangi lagi, ya?" balas dia.

Aku mengangguk menyanggupi permintaannya. Namun, dalam hati aku tidak janji. Bisa saja aku melakukan hal yang lebih dari sekadar berteriak pada ibu mertua, jika wanita paruh baya itu ikut andil dalam kebohongan putranya ini.

Bukannya aku munafik, tapi sedang main cantik.

*

Hari beranjak malam. Meskipun aku sudah memaafkan Mas Rendra, tapi pikiran tetap waspada. Aku juga belum tidur meskipun jam sudah menunjukkan pukul sepuluh.

Lagipula, pria itu masih berada di ruang tengah, belum masuk kamar. Membuatku semakin curiga saja.

Saat akan keluar dari kamar untuk melihat suamiku, Mas Rendra datang dan kami saling berhadapan di tengah-tengah anak tangga.

"Sayang mau ke mana? Kok, belum tidur?" tanyanya dengan sebelah alis terangkat ke atas.

"Emh ...."

"Aku enggak macem-macem, kok. Aku juga enggak menghubungi siapa pun. Baru selesai nonton bola. Sekarang kita masuk dan bobok, yuk?"

Aku tersenyum kecil seraya mengangguk lemah.

Lihatlah, bahkan aku sama sekali tidak bertanya dia sedang apa ataupun bicara dengan siapa. Tapi, tanpa sadar dia telah menjawab pertanyaan yang hanya aku pendam dalam hati.

Mas Rendra berucap sebaliknya dari yang dia lakukan. Bisa saja dia bicara demikian untuk menutupi kebohongannya lagi.

"Kamu jangan berpikiran buruk terus tentang aku, Tsa. Sampai belum tidur begini," tuturnya lagi seraya berjalan masuk ke dalam kamar.

Aku duduk di pinggir ranjang, melihat dia yang mengunci pintu dan mematikan lampu utama.

Setelahnya, Mas Rendra merebahkan diri di atas pembaringan dengan menarik tanganku pelan.

"Tidur, Tsa. Sudah malam. Atau ... kamu ingin kita—"

"Aku lelah, ingin istirahat," tepisku memotong ucapan Mas Rendra.

Aku langsung merebahkan diri dengan membelakangiku pria itu. Namun, tangan Mas Rendra menyelusup memeluk pinggangku, menarik tubuh ini agar semakin dekat dengannya.

Semakin lama, napas suamiku semakin teratur. Aku membalikkan badan, memastikan jika dia benar-benar sudah terlelap.

"Kamu tidur, Mas?" ujarku, dan dia tidak ada reaksi.

Aku tersenyum, lalu dengan pelan beringsut duduk. Kugapai ponsel milik Mas Rendra yang berada di belakang dia, lalu menyalakan layarnya.

"Loh, pake password?" gumamku, tidak bisa mencari bukti dari barang pribadi suamiku.

Saat tangan ini berusaha mencari angka yang tepat untuk bisa membuka kunci layar ponsel Mas Rendra, ponsel milikku berdenting membuatku mengalihkan pandangan.

Kusimpan kembali ke tempat semula benda pipih milik Mas Rendra, lalu mengambil ponselku.

[Tsa, aku dapat gambar ini di rumah ibu mertuamu tadi. Kuharap, ini bisa meyakinkanmu mengenai Rendra.]

Dadaku berdenyut melihat gambar yang dikirimkan Sabrina padaku.

"Astaga ...."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
mampuslah kau yg gampang ditipu dg embel2 sayang dan cinta
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status