Share

Bab 2 : Pertemuan (2)

Namika terkejut ketika mendengar suara bel yang kencang. Ia segera turun ke bawah tanpa memedulikan kondisinya yang masih berantakan. Gadis itu membuka pintu gerbang dan melihat seseorang yang ia kenali.

Tante Mutia melambaikan tangannya pelan sambil tersenyum miring. Dengan wajah berkerut, Namika membuka pintu gerbang dan membiarkan Tante Mutia masuk ke dalam.

“Kamu baru bangun ya? Tante udah lama banget lho nungguin di depan, tapi gak dibuka-bukain,” celetuk Tante Mutia.

Namika mendengkus. “Aku itu enggak bisa tidur di tempat yang baru. Ini aja aku baru tidur jam tiga pagi. Oh iya, sebelum tidur, aku ngelihat ada orang yang berenang di pantai jam tiga pagi. Emangnya gak kedinginan ya?”

Tante Mutia mengerutkan keningnya sejenak dan mengembuskan napasnya. “Enggak usah diurusin. Tapi di sini enak banget kan? Tante aja rasanya mau tinggal di sini. Sayang banget ini jauh dari pusat kota.”

Gadis itu mencuci wajahnya dan mengeringkannya. Matanya menatap ke arah kolam renang yang berada di luar. Fasilitas di villa ini memang sangat luar biasa. Siapa pun akan betah untuk tinggal di sini.

Namika menarik sebuah laci dan melotot ketika dia melihat beberapa senjata di dalam sana. Dia langsung menatap Tante Mutia yang sedang duduk di teras. “Tante, kok ada ginian di sini?”

“Tante enggak mungkin ninggalin kamu sendiri gitu aja kan? Siapa tahu kamu juga bisa pakai bakatmu buat menembak. Tante tahu kemampuanmu itu di atas rata-rata,” jawab Tante Mutia dengan santai.

Ia menelan ludahnya dan memegang pistol itu. Sebagai seseorang yang memiliki kekuatan, ia harus mengikuti pelatihan di organisasi Gifted. Hal yang paling Namika sukai adalah menembak.

Namika merasa dia terlihat keren ketika menembak. Mungkin itu dikarenakan dia terlalu sering menonton film aksi, tapi siapa yang menyangka jika Namika berbakat dalam hal itu.

“Tapi kalau aku pakai ini bukannya bakal bikin ribut ya? Paling-paling bakal aku setrum pake taser gun. Gak menimbulkan keributan dan badannya bisa disembunyikan dengan mudah.”

“Kamu ngomongnya kayak udah pernah bunuh orang aja. Padahal tante tahu kalau kamu bakal kabur duluan setiap lihat mayat,” kekeh Tante Mutia.

Perempuan itu tertawa kecil dan menatap ke layar televisi. Ia melihat film yang sedang berlangsung dan menguap pelan. Sepertinya tidur selama empat jam masih kurang cukup untuk tubuhnya.

“Mandi sama sarapan dulu, habis itu baru tidur lagi,” ucap tantenya ketika menyadari bahwa Namika akan kembali ke ke kamarnya.

Namika mendesah kasar dan segera membersihkan dirinya. Ia menghidupkan shower dan membiarkan air hangat menerpa rambutnya. Matanya masih terpejam karena rasa kantuknya tak kunjung hilang.

Ia mengusap wajahnya dan pikirannya kembali tertuju pada kejadian kemarin. Tante Mutia memang mengatakan bahwa dia tidak perlu memikirkan hal itu, namun Namika tahu jika Tante Mutia mengetahui sesuatu.

Namika menelan ludahnya dan segera menggunakan pakaiannya. Ia turun ke bawah dan melihat beberapa makanan cepat saji yang sedang dihangatkan. Namika terkekeh ketika melihat itu.

“Memang kalau sama tante tuh, makanannya pasti sehat banget. Kalau ada mama sama papa, aku enggak bakal dikasih makan junk food sering-sering,” ucap Namika sambil menyomot burger.

Tante Mutia memutar bola matanya. “Kamu pasti tahu kalau tante itu males masak. Lagian masakan tante enggak bakal bisa seenak makanan mama kamu. Jadi mending beli junk food sekalian.”

Namika hanya mengangkat bahunya ketika mendengar itu. Dia tahu jika tantenya itu berbohong. Tante Mutia sangat pintar memasak, namun sebuah kejadian membuatnya tak pernah melakukan hal itu lagi.

Namika sendiri tidak begitu mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Saat itu ibunya hanya mengatakan padanya untuk tidak menghubungi Tante Mutia selama beberapa waktu.

Ayahnya dan Tante Mutia adalah saudara kandung, namun Namika merasa jika Tante Mutia lebih dekat dengan ibunya. Mungkin karena itulah ayahnya juga tidak mengetahui apa yang terjadi pada adiknya.

Perhatian Namika teralih pada langit yang berawan. Udara yang dingin membuat Namika merasa betah untuk berdiam di luar ruangan. Dia kemudian teringat jika dia harus menghubungi Alora dan Yumi.

Tangannya langsung mencari ponselnya dan ia membulatkan matanya ketika Yumi mengatakan bahwa orang tuanya menyuruh Yumi untuk tinggal di kampung halamannya selama satu bulan.

Sementara itu, Alora mengatakan bahwa dia kini sedang berada di ibukota karena pekerjaan ibunya. Sudut bibir Namika naik dan ia mengatakan bahwa mereka harus menceritakan semuanya ketika mereka sudah bertemu kembali.

Tanpa ia sadari, rasa kantuk yang ia rasakan tadi menghilang. Namika meregangkan badannya dan melihat Tante Mutia yang bersiap-siap untuk kembali. Matanya menatap tas hitam yang dipegang tantenya.

“Tante bawa narkoba ya?” tanya Namika asal-asalan. Tante Mutia langsung mengerutkan keningnya dan memukul kepala Namika pelan.

“Ini tuh isinya dokumen penting. Nanti kalau kamu kerja kayak tante juga kamu bakal tahu,” balas Tante Mutia.

Namika sama sekali tidak tertarik untuk bekerja seperti tantenya. Organisasi Gifted bekerja sama dengan negara dan tidak jarang pekerjaan yang mereka lakukan adalah pekerjaan yang berbahaya.

Tante Mutia melirik sebuah mobil yang tiba di depan villa. “Kamu nanti yang bawa mobilnya ya kalau mau kemana-mana. Tante mau lanjut kerja di kabupaten lain.”

Ia melempar sebuah kunci mobil dan Namika menangkapnya dengan sedikit terkejut. “Kenapa enggak bawain aku motor aja? Kayaknya lebih gampang deh pake motor kemana-mana.”

“Ya siapa tahu kamu udah bosen di sini terus tante enggak bisa jemput kamu. Jadi kamu bisa langsung pulang pakai mobilnya kan? Udah ya, tante mau berangkat dulu,” ucap Tante Mutia sambil mencium kening Namika.

Perempuan itu menatap kepergian tantenya dan menatap cuaca yang tampak cocok untuk berjalan-jalan. Dia segera mengunci villanya dan berjalan mengelilingi pantai sambil melihat villa yang lain.

Sedikit sekali orang yang berada di pantai tersebut. Mungkin karena posisinya yang jauh dari pusat kota, hanya orang-orang lokal yang mengunjungi pantai itu. Namun itulah hal yang Namika cari.

Ia dapat mendengar sayup-sayup pikiran orang, namun itu tidak menganggunya sama sekali karena jarak mereka yang jauh. Namika berjalan selama beberapa menit ketika dia bertemu dengan seorang laki-laki.

Jarak mereka cukup dekat, jadi seharusnya Namika dapat mendengar pikirannya. Namun entah mengapa yang terdengar hanyalah suara ombak.

Laki-laki itu menoleh dan Namika langsung menelan ludahnya. Rambutnya yang berwarna kecoklatan dipadukan dengan mata birunya menimbulkan sebuah sensasi di tubuh Namika.

Ia pun tersenyum kecil dan melambaikan tangannya. “Halo, kamu penghuni villa yang baru datang kemarin ya? Kenalin, nama aku Aruna.”

Namika tersentak dan langsung membalas jabatan tangannya. “Nama aku Namika. Kamu juga nginep di villa ya?” tanyanya dengan nada terbata-bata.

Sial, Namika membenci dirinya sendiri karena suaranya yang terlihat sangat gugup. Gadis itu merasa jika dia kembali pada saat umur sepuluh tahun di mana ia harus mengobrol dengan laki-laki yang ia sukai.

Aruna terkekeh. “Iya, aku tinggal di villa yang sebelah kanan. Kamu keponakannya Tante Mutia ya? Muka kalian lumayan mirip.”

“Oh? Kamu kenal sama Tante Mutia ya? Iya, aku keponakannya. Kamu ada keturunan western ya?” tanya Namika sambil memperhatikan wajah Aruna yang terlihat seperti orang blasteran.

Namun, laki-laki itu tampak membulatkan matanya seolah itu adalah pertanyaan yang tak seharusnya Namika tanyakan. Gadis itu menjadi gugup ketika ia melihat reaksi Aruna.

Well, kalau boleh jujur aku enggak tahu siapa orang tuaku. Mungkin salah satu dari mereka itu orang barat,” kekeh Aruna.

Rasa bersalah memenuhi dada Namika. Ia memutuskan untuk duduk di sebelah Aruna dan menikmati angin pantai yang terus berhembus. Entah mengapa, Namika merasa nyaman dengan Aruna.

Dia bahkan lupa jika dia tidak bisa membaca pikiran Aruna. Seharusnya itu membuat Namika merasa curiga, tapi ia bahkan tidak memikirkan hal seperti itu. Aruna melirik Namika dan memiringkan bibirnya.

“Sebentar, tanteku bilang kalau kamu itu sepupu kenalan yang punya villa. Kalau kamu enggak tahu siapa orang tuamu, kok kenalan tanteku bisa jadi sepupumu?” tanya Namika.

Aruna membuka mulutnya sebentar dan tertawa. “Sirius punya yayasan buat mengadopsi anak-anak yang tidak punya orang tua. Karena aku cuma berbeda tujuh tahun, jadi dia menganggap aku sebagai sepupunya.”

“Dinamika yang rumit tapi okey,” sahut Namika sambil merapikan rambutnya yang berantakan. Pikirannya kemudian teralih pada Sirius.

Namika pernah bertemu dengan laki-laki itu sekali dan dia mengeluarkan sebuah aura yang aneh. Sirius masuk ke dalam organisasi Gifted namun Tante Mutia mengatakan bahwa dia tidak memiliki kekuatan apa pun.

Itu membuat Namika mengerutkan keningnya. Apakah Aruna mengetahui tentang hubungan Sirius dengan Gifted? Dari gerak-geriknya, sepertinya Aruna mengetahuinya.

Tapi Namika tahu dia tidak boleh menanyakan hal itu pada pertemuan pertama mereka. Ia dan Aruna masih tidak mengetahui satu sama lain, mungkin akan lebih baik mereka membahas yang lain saja.

Tangannya memainkan pasir dan mencoba untuk membuat suatu bentuk. Setelah mencoba beberapa saat, Namika mendengkus ketika karyanya itu jatuh dan hancur ketika ia baru selesai.

“Kamu umurnya berapa sih?” celetuk Aruna. Namika menoleh dan ia melihat mata biru Aruna yang menatapnya dengan penasaran.

“Delapan belas. Bulan Desember nanti sembilan belas. Kalau kamu berapa?” tanya Namika balik. Gadis itu menduga jika Aruna sudah berusia dua puluh tahun jika melihat fisiknya.

“Wow sama. Aku juga delapan belas. Nanti bulan September aku ulang tahun yang ke sembilan belas,” jawab Aruna sambil memamerkan senyumnya.

Namika membulatkan matanya sejenak dan memalingkan wajahnya dengan cepat. “Ah, berarti kita seumuran dong. Kayaknya kita bisa jadi temen yang baik,” kekeh perempuan itu.

Senyum Aruna pun memudar namun dia mencoba untuk memaksakan senyumannya. “Boleh aja kalau kamu mau. Aku bisa kenalin kamu ke tempat-tempat bagus di dekat sini.”

“Beneran? Berarti mulai besok kamu bakal jadi tour guideku ya! Soalnya aku bakal di sini selama tiga bulan, jadi kamu harus jadi temenku selama aku ada di sini!” ucap Namika semangat.

Laki-laki itu menganggukkan kepalanya. “Terserah kamu aja. Aku juga bosen karena enggak punya temen seumuran di sini.”

Namika pun terkekeh dan kembali menikmati pemandangan pantai. Aruna hanya menatap perempuan itu dengan tatapan yang sulit diartikan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status