"Kamu ingin bekerja?" tanya bi Marsiah di suatu pagi saat mereka berdua tengah menikmati sarapan seperti biasa. Yaitu, ala kadarnya.
Mata Mila tampak berbinar, "ya mau dong, Bi."
"Tapi, kerja jadi pembantu kayak Bibi. Gak apa-apa?"
"Enggak dong. Kerjaanku yang sebelum-sebelumnya juga jadi pembantu kan?"
"Jadi kamu beneran mau?"
"Mau, Bi. Eh, tapi kerja jadi pembantu dimana Bi?"
"Anak majikannya Bibi, kebetulan lagi cari pembantu baru untuk kerja di rumahnya."
"Oohh gitu. Memang pembantunya yang lama kemana, Bi?" tanya Mila penasaran.
"Dipecat."
"Uhuk!" Mila tersedak mendengar kata di pecat, kemarin ia baru mengalaminya.
Sialan!
"Aduh, pelan-pelan ndok makannya." kata bi Marsiah menasehati Mila lembut.
Mila mengangguk dan segera mengambil air mineral lalu langsung meneguknya setengah. Ia menatap bibinya yang telah selesai sarapan dan beranjak sembari membawa piring dan gelas kotornya ke belakang untuk dicuci.
Padahal Mila masih ingin bertanya lebih jauh lagi mengenai pembantu lama anak majikannya yang dipecat. Hmm, tapi ya sudahlah.
"Biar aku saja, Bi." pinta Mila mengambil alih apa yang bi Marsiah kerjakan.
Tanpa membantah bi Marsiah mengangguk dan membiarkan Mila yang mencuci gelas dan piring kotor.
Setelah selesai Mila menaruh gelas dan piring yang telah bersih ke tempatnya. Lalu ia menoleh melihat sang bibi yang tampak bersiap-siap akan pergi.
"Sudah mau pergi, Bi?"
"Iya, kamu jaga diri baik-baik di rumah ya ndok." Mila mengangguk namun tatapannya terlihat sendu.
"Kenapa? Kok murung lagi mukanya?"
"Maaf ya, Bi, aku belum dapat pekerjaan baru sampai sekarang." sesal Mila yang merasa bisanya hanya merepotkan dan menyusahkan bibinya saja.
"Iya gak apa-apa ndok. Gak usah sedih gitu, oke?" bi Marsiah menyentuh dagu Mila, "ayo senyum dulu."
Mila memaksakan senyumnya agar bibinya senang. "Nah gitu dong, putri Bibi kembali tersenyum."
"Yaudah kalau gitu, Bibi berangkat kerja dulu ya."
"Hati-hati, Bi."
Bi Marsiah mengacungkan jari jempolnya, kemudian ia keluar. Tapi, baru beberapa menit pintu kembali terbuka.
"Ada apa Bi? Ada yang ketinggalan?"
Bi Marsiah menggeleng, "Bibi hampir lupa. Soal pekerjaan yang Bibi bilang tadi, nanti akan Bibi tanyakan sama majikan Bibi apakah masih berlaku atau tidak."
"Ooh, iya Bi." Mila mengangguk.
Bi Marsiah kembali berpamitan dan mengecup dahi Mila. Lalu setelahnya wanita paruh baya itu beneran pergi.
***
Tak banyak kegiatan yang Mila lakukan di rumah sederhana itu. Setelah selesai melakukan semua pekerjaan rumah dari menyapu, mengepel dan mencuci baju. Mila merasa sedikit lelah dan membaringkan tubuhnya di kasur bawah yang sebenarnya sudah tak layak pakai.
Ia memijit pelipisnya, sampai kapan ia akan begini terus? Menjadi pengangguran sangatlah tidak enak. Mila kepikiran bibinya, pastilah bibinya itu merasa lelah bekerja sebagai pembantu di rumah besar dan mewah milik majikannya yang kaya itu.
Mila menghela nafas, seandainya saja ia memiliki pekerjaan tetap dan banyak uang maka Mila tidak akan lagi mengizinkan bibinya bekerja.
Di usia bibinya kini tentu sudah seharusnya beristirahat di rumah dan menikmati waktu senjanya dengan tenang.
Tapi apa ini? Justru malah Mila yang menjadi beban hidup bibinya.
Mila malu dan kesal pada dirinya sendiri yang merasa sangat tidak berguna. Dan bibinya yang begitu sangat baik dan sabar mengurusinya.
***
Sesuai janjinya dengan sang keponakan, bi Marsiah menghadap sang majikan perempuannya yang terkenal sangat kaya raya.
"Ada apa, Marsiah?" tanya wanita yang berpenampilan sangat anggun dan elegan itu.
"Uhm, anu Nyonya. S-saya mau tanya mengenai lowongan kerja jadi pembantu di rumah Tuan muda. Apakah masih ada atau sudah mendapatkan pembantu yang baru?" ucap bi Marsiah gugup.
"Iya, kenapa memangnya?"
"Kalau belum, keponakan saya mau bekerja jadi pembantu di rumah Tuan muda."
"Oh gitu, tapi maaf sekali Marsiah. Lowongan pekerjaan menjadi pembantu di rumah anak saya sudah tidak berlaku. Dua hari yang lalu Leon sudah mendapatkan pembantu yang baru," tukasnya.
"Baik Nyonya, terima kasih." bi Marsiah menunduk dan kemudian berpamitan undur diri dari hadapan sang majikan.
Nyonya Kartika menatap kepergian bi Marsiah dengan iba. Sayang sekali, wanita itu telat bertanya mengenai lowongan pekerjaan menjadi pembantu di rumah putranya, Leon. Jika belum maka tentu saja pekerjaan itu akan ia berikan.
Drrrtt....
Ponsel Nyonya Kartika berdering, ia menoleh dan melihat nama Leon tertera di layar ponselnya sebagai si penelpon.
Nyonya Kartika berdecak, ada apa gerangan putranya ini mengubungi dirinya.
"Hal—"
"Mom, tolong carikan aku pembantu baru lagi. Dan please, pilih yang sesuai kriteria ku!"
Klik.
Sambungan telepon diputus begitu saja. Nyonya Kartika menghela nafas sabar, kebiasaan putranya ini tak pernah hilang.
Dan apa kata putranya? Dipecat? Astaga, Leon baru saja mendapatkan pembantu yang baru. Tapi, sudah dipecat lagi. Gila memang putranya ini.
"Marsiah!"
Enam tahun kemudian....Leon dan Mila beserta kedua anak mereka ikut dalam sesi pemotretan keluarga. Ya, tepat hari ini Liam sudah resmi mempersunting wanita pujaan hatinya.Butuh waktu sampai enam tahun lamanya bagi Liam untuk benar-benar bisa melupakan Mila dan berhasil melabuhkan hatinya pada seorang wanita cantik yang kini sudah resmi berstatus sebagai istrinya.Nama wanita cantik yang telah berhasil mencuri hati Liam itu bernama Leena. Kebaikan hati dan sikap lembutnya mampu meluluhkan hati Liam."Selamat, bro." ucap Leon disusul Mila yang juga memberikan selamat untuk sepasang pengantin yang tengah berbahagia sebagai raja dan ratu malam ini."Terima kasih," sahut Liam dan Leena kompak kemudian turut membalas senyuman.Si kecil Liora, putri bungsu Mila tampak memperhatikan Liam dan Leena. Karena Leena begitu menyukai anak kecil pun turut gemas akan si kecil lucu Liora."Boleh aku gendong?" tanya Leen
Mila meremas ke sepuluh jarinya yang saat ini tengah gugup luar biasa. Ada Leon yang duduk di sisi kanannya dan ada bi Marsiah yang duduk di sisi kiranya. Juga ada pak Utama yang duduk di depannya, ada juga Agnes yang duduk di samping pak Utama.Dan yang paling membuat Mila gugup luar biasa adalah seseorang yang saat ini duduk di kursi roda tengah menatap lekat dirinya. Mila akui jika kini tak ada lagi tatapan tajam yang dilayangkan orang tersebut, melainkan hanya tatapan sendu yang menyorot kesedihan juga penyesalan.Entahlah. Itu yang Mila tangkap dari netra nyonya Kartika. Tapi, apakah benar?Tadinya juga Mila kaget saat suaminya pulang ke rumah bersama Agnes untuk menjemput dirinya."Mom, ingin bertemu denganmu." itulah kata-kata yang diucapkan Leon sebelum Mila bertanya lebih dulu. "Sayang, ada yang ingin Mom katakan.""Hah? Apa?" kaget Mila terlihat bingung.Pertanyaan Mil
Leon berdiri termenung di depan jendela kamarnya yang masih terbuka. Langit sudah mulai menggelap di sertai angin yang cukup kencang, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan.Leon teringat lagi akan pembicaraannya beberapa jam yang lalu dengan sang papa dan adiknya. Pak Utama dan Agnes meminta Leon untuk pulang ke rumah karena nyonya Kartika yang tengah sakit sebulan terakhir ini.Sebenarnya sakitnya nyonya Kartika sudah dari beberapa bulan yang lalu semenjak perjanjian yang dibuat bersama Leon. Semenjak itu keadaan nyonya Kartika semakin drop, dan parahnya sebulan belakangan ini.Nyonya Kartika jarang makan karena seringnya menolak makan, dan kerap kali mengigau menyebut nama Leon dalam tidurnya. Nyonya Kartika bahkan acap kali mengucapkan permintaan maaf berulang kali yang sepertinya ditujukan pada Leon dan Mila.Sebab itulah pak Utama dan Agnes nekat mem
Beberapa bulan kemudian....Hari ini seperti biasanya, Mila terbangun dengan ceria. Setelah mengecup mesra pipi suaminya, Mila beranjak bangun dari ranjang dengan perlahan. Perutnya yang sudah mulai kelihatan sedikit buncit membuatnya lebih berhati-hati lagi dalam bergerak melakukan aktivitas."Sayang...."Langkah Mila terhenti begitu mendengar suara suaminya yang memanggil namanya. Mila membalikkan badan dan terkejut saat mendapati tubuh Leon yang masih terbaring nyaman di ranjang."Astaga, dia mengigau menyebut namaku." gumam Mila menepuk jidatnya pelan.Kemudian Mila segera bergegas beranjak keluar dari kamar sebelum suaminya itu benar-benar terbangun dan menggeretnya untuk kembali tidur di ranjang."Bibi," sapa Mila melihat bi Marsiah ketika ia tiba di dapur.Bi Marsiah menoleh sebentar dan membalas sapaan Mila sebelum kembali fokus pada masakannya.
Leon menatap dingin sang mama yang datang ke rumahnya. Sedangkan Mila dan bi Marsiah tampak ketakutan melihat kedatangan nyonya Kartika.Kata angkuh tentu saja masih tetap melekat di diri seorang nyonya Kartika yang selalu menatap rendah orang miskin.Membandingkan derajat dan kekayaan orang lain, pada akhirnya membuat nyonya Kartika memilih-milih teman untuk bergaul.Begitupun dalam memilih menantu untuk anak-anaknya. Mila jelas jauh dari kriteria menantu idaman yang di impikannya. Sayangnya, putranya Leon begitu sangat mencintai Mila."Ada apa Mama kesini?" tanya Leon to the point atas kedatangan nyonya Kartika ke rumahnya. Terlihat jelas raut wajah tak bersahabat di wajah Leon, karena ia tentunya masih marah atas sikap dan tindakan jahat mamanya.Nyonya Kartika mengumpat dalam hatinya melihat dingin dan datarnya sikap sang anak padanya. Nyonya Kartika vpastilah Mila sudah mengatakan yang seb
Pak Utama dan Agnes tersenyum menyambut kepulangan menantu dan juga besannya. Pak Utama menepuk bangga puteranya yang telah berhasil menemukan dan membawa pulang kedua wanita tersebut.Mila menghambur memeluk pak Utama yang melebarkan kedua tangannya, tangis Mila pecah di pelukan sang papa mertua yang memberikan kecupan sayang di puncak kepalanya.Mila beralih memeluk Agnes, adik iparnya yang sudah ia anggap seperti adik kandungnya sendiri. Sama seperti pak Utama yang sudah di anggap seperti bapak kandungnya sendiri.Dan dari kedua orang itulah Mila seperti kembali merasakan kebahagiaan bersama keluarga. Sayang, masih kurang lengkap. batin Mila sedih kala mengingat kurangnya satu orang lagi yang seharusnya juga melengkapi kebahagiaan ini.Perubahan raut wajah Mila yang tadinya ceria kini terlihat murung kembali. Dahinya mengernyit mengikuti arah pandangan mat