Entah sudah yang ke berapa kalinya Mila menghela nafas kesal dan kecewanya. Ia marah juga sekaligus sedih, kapan kesialan akan pergi jauh dari hidupnya?
Rasanya selama ia hidup tak pernah sekalipun kebahagiaan yang hakiki bersamanya. Terlahir dari garis keturunan miskin sebenarnya tak pernah Mila keluhkan, ia selalu bersyukur dan bersyukur dengan kehidupannya.
Tapi tiba di detik ini, Mila merasa sungguh tak sanggup lagi. Orang miskin bukan berarti terus bisa di injak-injak, dihina-hina. Apalagi di tuduh mengambil uang ataupun perhiasan milik orang lain.
Hari ini Mila baru saja dipecat dari pekerjaannya, ia bekerja menjadi pembantu di sebuah rumah orang kaya. Alasan ia dipecat karena dituduh telah mencuri uang dan perhiasan sang majikan.
Mila yang tak pernah merasa mengambil uang dan perhiasan yang di tuduhkan itu tentu saja marah dan berani bersumpah jika ia tidak mengambil barang yang di tuduhkan tersebut.
Tetapi malah sebaliknya, entah bagaimana bisa uang dan perhiasan itu ada di dalam tas selempang lusuh yang memang selalu Mila bawa kemana-mana. Mila menganga tidak percaya, percuma juga baginya untuk bersikeras membela diri toh tidak akan ada yang percaya.
Bosnya murka dan marah besar pada Mila, satu tamparan pun mendarat ke pipi mulus Mila disusul dengan berbagai macam cercaan dan juga hinaan. Mila dipecat dan di usir dari rumah itu dengan cara yang sangat kasar dan tidak terhormat.
Hormat?
Bermimpi saja! Tidak diejek dan dihina saja Mila sudah sangat bersyukur.
"Hiks...."
Cairan bening itu kembali lolos membasahi wajah Mila, gadis itu menengadahkan kepalanya melihat langit yang mengelap.
Sudah setengah jam ia duduk sendirian di trotoar meratapi nasib hidupnya yang begitu sangat menyedihkan.
Sekarang, apa yang harus ia katakan pada sang bibi tercintanya? Pastilah bibinya itu merasa sangat sedih.
Mila tersenyum getir, niat hati datang ke kota ini untuk tinggal bersama dengan sang bibi setelah kepergian kedua orangtuanya yang meninggal dunia. Bibi Marsiah mengajaknya untuk tinggal bersama memulai hidup yang baru. Sejak saat itu Mila bertekad untuk membahagiakan bibinya.
Tapi bukannya kebahagiaan yang di dapat, malah penderitaan yang tak berujung.
****
Mila mengetuk pintu sebuah rumah sederhana yang ia tinggali bersama sang bibi tercinta. Tak lama pintu terbuka dan menampilkan sosok bi Marsiah yang tersenyum hangat menyambut kepulangan ponakannya.
Mila melangkah masuk dan langsung menghambur memeluk tubuh bibinya. "Kangen, Bibi." ucap Mila dengan suara manjanya.
"Mosok kangen? Tiap hari juga ketemu."
"Tapi tetep kangen, setiap detik malah."
Cup.
Mila mengecup lama pipi bi Marsiah, lalu setelah ia berpamitan untuk masuk ke dalam kamar. Setelah di dalam kamarnya sendiri Mila kembali menangis, menumpahkan segala perasaan sesak di dadanya.
Tok.... Tok....
Ketukan di pintu kamarnya terdengar, Mila kaget dan segera menghapus air matanya kemudian membuka pintu kamar.
"Bibi?" kagetnya.
Bi Marsiah menelisik Mila lekat, "kamu tidak apa-apa kan?" tanyanya terlihat khawatir.
Mila menggeleng sembari tersenyum lebar, "a-aku baik-baik saja, Bi. Kenapa?"
"Ah, tidak apa-apa. Hanya saja Bibi kok ngerasa gelisah sedari tadi pagi."
Mila mengigit bibirnya, "paling cuma perasaan Bibi aja itu." kilahnya.
"Kamu beneran gak apa-apa kan?" Mila kembali menggeleng.
"Ya sudah kalau gitu."
Mila hendak menutup pintu kamarnya namun terhenti karena melihat bibinya yang kembali membalikkan badan.
"Kamu sudah makan malam belum?"
"Belum, Bi."
"Kalau gitu ayo kita makan malam bersama, Bibi juga belum makan malam."
"Baik, Bi. Tapi, aku mandi dulu ya."
Mila menutup pintu kamarnya setelah bi Marsiah mengangguk dan pergi. Bukannya segera mandi Mila malah menyandarkan tubuhnya di balik daun pintu yang tertutup.
Ia mengusap kasar wajahnya dan menarik cukup kuat rambut panjang nan Hitam miliknya ke atas. Hal itu selalu ia lakukan setiap kali merasa frustrasi.
Sepuluh menit kemudian Mila sudah selesai mandi kilatnya di sumur yang terletak di belakang rumah. Memakai pakaiannya dengan ceper lalu setelah keluar dari kamar menuju dapur.
Disana ia melihat sang bibi yang duduk lesehan dibawah yang beralaskan tikar usang. Mila juga melihat ada nasi goreng ala kadarnya yang sering menjadi menu andalan mereka makan jika keadaan kritis.
Dengan hidup yang serba pas-pasan mereka lebih menghemat. Itu ajaran sang bibi yang memang sudah terbiasa tak boros, bahkan kelewat irit.
Kadang Mila kesal sendiri melihat bibinya yang sangat irit. Wanita paruh baya itu lebih suka menabung, katanya untuk jaga-jaga bila ada keperluan. Misalnya saja ia ataupun Mila sakit maka sudah ada biaya.
Hmm, kalau untuk yang satu itu Mila setuju dan menjadi irit juga.
"Enak?" tanya bibinya.
"Ya, di enakin ajalah Bi."
Bibirnya tersenyum geli mendengar jawaban Mila yang tampak ogah-ogahan menjawabnya.
"Kapan-kapan kita makan enak ya kalau Bibi udah gajian."
Mila mengangguk, "makan enak lagi kalau Mila juga udah gajian."
"Jangan," bi Marsiah menggeleng. "Uang gaji kamu, kamu tabung saja. Biar yang lain menjadi urusan Bibi."
"Tapi Bi-"
"Oke?"
"Hmm, baiklah." Mila menghela nafas sabar. Percuma juga menjawab ucapan bibinya.
Selesai makan Mila membantu bi Marsiah yang tengah membereskan peralatan makan yang kotor. Sejak tadi ia sudah memikirkannya, antara ingin mengatakan yang sebenarnya pada sang bibi atau tidak.
Mila mengigit bibirnya, kebiasaan setiap kali ia merasa bimbang. Iya, tidak? Iya atau tidak?
"Mila, ada apa?" tanya bi Marsiah mengagetkannya.
"Apa ada yang mengganggu pikiran kamu."
"Uhm, Bibi, aku ingin mengatakan sesuatu."
"Apa itu?" tanya bi Marsiah terlihat penasaran. "Ayo, katakanlah."
"Bibi, sebenarnya aku...." Mila menghentikan ucapannya, menelan salivanya sebentar sebelum kembali melanjutkan. "Aku dipecat."
Bi Marsiah terlihat sangat kaget, "a-apa? Dipecat?"
"Bibi, maafkan aku." isak Mila memeluk tubuh bibinya.
"Aku dipecat karena dituduh mencuri uang dan perhiasan majikanku, Bi." adu Mila yang sudah tak tahan, "padahal jelas-jelas aku tidak melakukannya Bi."
"Iya, tenanglah." bi Marsiah mencoba menenangkan Mila yang semakin terisak pilu.
"Bibi percaya padaku, kan?" Mila melepaskan pelukannya dan mendongak menatap bi Marsiah.
"Tentu saja, mana mungkin keponakan Bibi yang cantik ini melakukan hal serendah itu." bi Marsiah menangkup wajah Mila dengan kedua tangannya.
"Biarpun kita miskin, tetapi kita tidak serendah itu untuk melakukan hal yang tidak baik. Benarkan?"
Mila mengangguk, "tapi kenapa uang dan perhiasan itu ada di dalam tasku ya, Bi?"
"Maksudnya? Kamu dijebak gitu?"
"Lebih tepatnya di fitnah, tapi siapa yang udah tega ngelakuin itu ke aku ya Bi?"
Bi Marsiah menggeleng, "sudahlah. Tidak usah memikirkannya lagi, yang terpenting kamu sudah tidak ada urusan dengan mereka lagi."
"Tapi tetap aja, Bi. Aku gak terima."
"Terus kamu mau apa? Mau kesana dan marah-marah gitu?"
"Ya... enggak sih," lirih Mila cemberut.
Bi Marsiah merasa iba melihatnya, ia peluk Mila dan mengelus punggung keponakannya. "Yang sabar aja, ndok. Tuhan maha adil, dia tidak tidur. Dan yakinlah jika suatu hari nanti kebenaran akan terungkap, bahwa sebenarnya bukan kamu yang melakukan apa yang mereka tuduhkan."
Mila mengangguk setuju, dan ia yakin jika dibalik peristiwa pasti ada hikmahnya.
###
"Kamu ingin bekerja?" tanya bi Marsiah di suatu pagi saat mereka berdua tengah menikmati sarapan seperti biasa. Yaitu, ala kadarnya.Mata Mila tampak berbinar, "ya mau dong, Bi.""Tapi, kerja jadi pembantu kayak Bibi. Gak apa-apa?""Enggak dong. Kerjaanku yang sebelum-sebelumnya juga jadi pembantu kan?""Jadi kamu beneran mau?""Mau, Bi. Eh, tapi kerja jadi pembantu dimana Bi?""Anak majikannya Bibi, kebetulan lagi cari pembantu baru untuk kerja di rumahnya.""Oohh gitu. Memang pembantunya yang lama kemana, Bi?" tanya Mila penasaran."Dipecat.""Uhuk!" Mila tersedak mendengar kata di pecat, kemarin ia baru mengalaminya.Sialan!"Aduh, pelan-pelan ndok makannya." kata bi Marsiah menasehati Mila lembut.Mila mengangguk dan segera mengambil air mineral lalu langsung meneguknya setengah.
Leon Prakasa, anak sulung dari dua bersaudara. Putra dari pasangan Utama Prakasa dan Kartika Andini ini terkenal akan sikapnya yang dingin, angkuh dan arogan.Sementara si bungsu, Agnes Prakasa adik dari Leon terkenal akan sikap manjanya yang luar biasa. Dengan kedua sifat yang saling bertolak belakang ini membuat keduanya tak pernah akur. Tapi, walaupun begitu Leon sangat menyayangi sang adik.Kekejaman Leon pun begitu terkenal hingga santer terdengar kabar jika ia sudah bergonta-ganti beberapa kali pembantu. Alasannya karena tak sesuai kriteria yang dia inginkan.Leon tak perlu pembantu yang muda dan cantik, mau bagaimanapun wujudnya asalkan kinerjanya memuaskan maka Leon tidak akan sampai memecat para pembantu-pembantu sebelumnya. Karena kriteria pembantu yang Leon cari adalah yang mampu membuat Leon puas.Bagi Leon, kinerja yang baik harus layak di teruskan sementara yang buruk harus segera di hempaskan.
Nyonya Kartika menatap Mila dari ujung rambut sampai ujung kaki, dan dari ujung kaki sampai ujung rambut. Terus begitu, ia menatap lekat Mila sekaligus menilai penampilannya.Mila yang ditatap begitu merasa risih dan tak nyaman. Bukan apa-apa, hanya saja tatapan nyonya Kartika tidak enak. Tatapannya seakan-akan mencemoh Mila, tapi demi menjaga sikap di depan majikan bibinya Mila menahan diri dan tetap memaksakan tersenyum."Siapa namamu?""Mila," itu suara bi Marsiah yang menjawab.Nyonya Kartika menatap kesal ke arah bi Marsiah yang lancang."Usia?""25 tahun," lagi-lagi bi Marsiah yang menjawab."Marsiah, saya tidak bertanya pada kamu tetapi saya bertanya pada keponakan kamu. Jadi, tolong jangan kamu yang menjawabnya.""Baik, Nyonya." Bi Marsiah menundukkan kepalanya merasa tak enak hati.Nyonya Kartika menghela nafas sabar dan l
Mila berdecak bingung dan cemas, setelah selesai membersihkan seluruh isi penjuru rumah ini. Sekarang Mila menjadi bingung, apa yang akan ia masak untuk dijadikan hidangan makan malam untuk Leon si tuan menyebalkan itu.Saat Mila membuka lemari pendingin, yang ada hanya telur, beberapa biji tomat dan buah-buah lainnya. Dan yang paling membuat Mila penasaran adalah beberapa macam botol minuman bermerek yang sepertinya mahal.Mila membuka salah satu minuman botol itu dan mencium aromanya. Wangi dan sepertinya enak, Mila menelan salivanya kuat saat dorongan keinginan itu kuat menyuruhnya untuk meminum isinya."Tidak, ini milik pria menyebalkan itu." sanggahnya menolak keinginan batinnya yang terus berontak."Tapi aku penasaran akan isinya," cengirnya mulai bimbang akan pertahanan dirinya. "Aku rasa tidak akan jadi masalah jika aku meminumnya sedikit. Ya, hanya sedikit saja. Lagian ini minuman sehat sepertinya, ba
Keesokan harinya....Mila tiba di rumah besar nan mewah milik Leon tepat pukul sepuluh seperti di peraturan nomor dua. Mila yakin jika Leon tentunya sudah pergi bekerja, dan itu terbukti ketika Mila masuk ke dalam rumah dan tak menemukan siapapun alias sepi.Tempat yang pertama kali Mila tuju adalah ruang makan, ia melihat meja makan dan membuka tudung saji yang ternyata sudah kosong. Itu artinya telur orek buatannya sudah di makan oleh sang majikan.Mila mendelik ke arah wastafel saat melihat dua piring kotor dan satu gelas kotor yang sepertinya bekas minum kopi. Dan Mila kembali mendelik saat matanya menatap secarik kertas yang tertempel di depan pintu kulkas.Hai Mila, keponakan Bi Marsiah. Selamat datang di rumah saya. Semoga kamu betah bekerja disini ya.Terima kasih untuk makan malam yang lezat dan super sederhana, orek telur buatan kamu sangat enak. Benar-benar ide yang good
Mila mendelik kaget saat menemukan lagi sebuah note yang tertempel di depan pintu kulkas. Sepertinya dari tuan majikannya, Leon. Tapi, seingat Mila ia tidak ada meninggalkan note untuk pria itu kecuali mengenai sisa uang belanja yang ia taruh di ranjang tempat tidur Leon.Jadi, untuk apa majikannya meninggalkan note untuknya? Apakah sesuatu yang penting? Mila penasaran menarik note itu dan mulai membacanya.Terima kasih untuk hidangan makanan tadi malam. Sangat enak dan aku menyukainya. Modern maid.Leon :D"Apa? Modern maid?" pekik Mila menganga tak percaya membaca kembali dua kata itu.Entah sebagai panggilan sayang atau sebuah julukan untuknya, Mila tidak tau. Tapi, yang pastinya tak mungkin panggilan sayang. Memangnya dia siapa sampai harus disayang?Cuma pembantu! Itu suara batin Mila yang berseru menyadarkannya dari segala kehaluan.
Aku suka semua jenis makanan apapun, mau yang sederhana ataupun yang rumit. Aku juga suka makanan tradisional maupun yang modern. Mengerti? Uhm, ya. Makanan yang paling aku suka banget adalah olahan daging. Entah itu olahan daging ayam, kambing, atau sapi aku suka. Dan ya, aku juga suka sayur-sayuran. Itu juga bagus untuk kesehatan, begini saja yang penting makanan yang dimakan itu adalah makanan yang seimbang semua takarannya. Gizi, protein, lemak dan sebagainya.Oke. Leon. Mila tersenyum setelah membaca pesan yang Leon tuliskan di secarik kertas. Seperti biasa pria itu menempelkannya di depan pintu kulkas agar mudah bagi Mila menemukannya dan membacanya."Hmm, jadi olahan daging ya." gumam Mila tampak tengah berpikir.Mila menatap lagi secarik kertas itu dan membacanya ulang. Lalu kepalanya menggeleng, t
Seperti biasanya, setiap pagi saat memasuki area dapur maka Mila akan menemukan secarik kertas yang sengaja di tempelkan di pintu kulkas.Sudah tak perlu di ragukan lagi siapa orang yang melakukannya. Jelas saja tentunya Leon, sang tuan majikan yang sangat suka sekali meninggalkan note untuknya.Ya, walaupun Mila tak menampik jika yang memulai semua ini adalah dirinya. Ingatkan lagi dirinya yang pertama kali menuliskan kata-kata yang tak bisa ia ucapkan lewat secarik kertas. Jadilah kini Leon ikut-ikutan melakukan kebiasaan seperti dirinya.Terima kasih untuk informasinya, Mila. Saya sudah tau siapa pria yang kamu maksud. Dia Liam, sepupu saya. Leon. Mila membekap mulutnya sendiri saking syoknya setelah mengetahui penjelasan dari Leon. Jadi, lelaki yang kemarin itu adalah sepupunya tuan Leon?Oh, ya ampun. Mila tidak menyangka sama sekali."Li