“Haa!”
Ares terlentang di atas ranjang, tubuhnya gemetar panik. Kedua telapak tangan menutupi wajahnya yang menyembur merah. Sensasi asing nan nikmat yang menjalar di seluruh tubuhnya membuatnya hampir hilang akal. Dibawa oleh darah muda yang mendesir mesra. “Haa … jangan berhenti,” Ares terisak memohon, tangannya mencekeram erat sprei ranjang. Ares kelelahan, namun hatinya enggan menghentikan kenikmatan ini. Perlahan ia membuka matanya yang selama ini dipejamkan lantaran malu. Pandangan matanya yang masih kabur mulai menangkap pemandangan di mana sepasang tangan lembut dengan jari lentik memainkan miliknya. “Lebih cepet Kak … hmm… jangan ngendor.” Ares memohon lagi, kali ini dengan menatap kedua mata Biba yang berlinang air mata. “Argh! Udah cukup Bang Ares! Kenapa Kak Biba yang harus beresin barangnya Bang Ares?! Bang Ares bisa beresin sendiri!” Semprot wanita itu, mukanya memerah tomat saking malunya melihat kondisi tangannya yang basah enggak karuan. “Ogah! Ares ogah megang itu!” “Lah kok?! Kan itu barangnya Bang Ares sendiri!” Sembur Biba. “Ogah! Itu kayaknya bukan barang Ares!” Timpal Ares ngotot, kemudian menutupi bagiannya dengan selimut. “Mana ada! Orang nempel di selangkangan Bang Ares tuh! Belajar beresin sendiri! Kak Biba udah enggak mau bantuin Bang Ares lagi. Atau panggil Dokter Jefri aja lah, kan sama-sama cowok, jadi bisa saling bantu!” “Kak Biba pengen barang Ares dipegang Bang Jefri?! Cih!” Ares merajuk, seolah ucapan Biba itu sangat enggak masuk akal. Ares bergegas sembunyi dibawah selimut. Biba tepuk lehernya yang adem panas. “Ta~di bilangnya bukan barangnya! Gimana sih?!” Sewotnya Biba udah level mematikan. “Katanya kalau udah gede harus mau tanggung jawab sama perbuatannya, tapi Kak Biba sendiri enggak mau tanggung jawab setelah bikin Ares tegang gini. Tsk!” “Halooo, Kak Biba tanggung jawab apa ya?! Bukan Kak Biba juga dong yang bikin itunya Bang Ares tegang.” Kalau di komik, mungkin kepala Biba bakal digambar menyerupai gunung meletus. “Jelas Kak Biba kok yang bikin Ares macem gini. Waktu Ares mikirin Kak Biba, tiba-tiba tit*t Ares jadi begini. Keras banget! Hiks. Hiks.” Ares terisak untuk yang kesekian kalinya. ‘Mampus! Gimana bisa aku ada di situasi sampah kayak gini?!’ Biba merutuki nasibnya, lalu terduduk lemas sambil memijit pelipis kepalanya yang semakin tipis tiga bulan belakangan ini. Ya, semuanya berawal sejak tiga bulan yang lalu. *** Biba Berlianti merupakan wanita yang berprofesi sebagai guru Biologi di sebuah SMP swasta di Kota Malang. Rambutnya hitam legam bergelombang, yang kalau pagi sulit diatur. Tingginya kurang lebih 160 senti dengan perawakan tubuh yang enggak ramping-ramping amat, tapi juga enggak gendut-gendut amat. Tubuhnya cukup berisi dan berkembang dengan apik di beberapa bagian penting. Kulitnya cenderung kuning langsat serupa warna madu murni yang lezat. Terlihat eksotis dan membuat orang yang memandang ingin mencicipi rasanya. Fitur wajahnya terkesan kuat dengan jembatan hidung yang tinggi, lipatan kelopak mata yang dalam, bibir penuh, serta dua lesung pipi di sebelah kanan dan kiri. Yang kalau Biba tersenyum, akan dengan mudah nongol dan mempertegas anggapan bahwa wanita ini manis abis. Biba sangat menyukai dunia anak-anak. Dia lemah saat melihat yang imut-imut. Jadi kalau bertemu anak-anak, bibirnya akan tersenyum lebar, mata berbinar dan badan goyang-goyang gemes. Hingga pada usianya yang ke-24 tahun, akhirnya mimpinya menjadi seorang guru terwujudkan. Kecuali, Biba harus menjadi guru bocah-bocah SMP yang keimutan dan kelucuannya udah dipangkas habis semasa SD. Tetap saja, Biba bersyukur. Kini usianya 29 tahun. Artinya sudah lima tahun Biba mengemban tugas sebagai guru Biologi di SMP. Tidak lama lagi ia berniat mengundurkan diri karena akan segera menikah. Kecuali, “Maaf, aku enggak bisa menikahimu, Biba.” Ujar pria berkacamata. Ada hujan badai di hati wanita itu. Dia mengelus dadanya, mati-matian menahan tangis yang siap membanjiri wajahnya. “Kenapa tiba-tiba?” “Jujur aja, aku enggak yakin kalau kamu orang yang tepat buat aku. Lagipula, umurmu udah tua. Mamaku kuatir kalau kamu enggak begitu subur. Tapi, bukan itu alasan utamanya. Aku udah enggak bisa banget sama kamu.” “Setelah lima tahun pacaran, kamu tiba-tiba enggak yakin?” Tanya Biba menyelidik. Pria berkacamata itu melepas kacamatanya. Mengusap wajahnya yang kusut. “Selama ini aku nahan semuanya, hng? Aku enggak suka gimana kamu hemat banget sampai enggak peduliin pakaianmu yang lusuh. Kamu juga terlalu sering ngalah ke om-kayak pecundang. Aku juga enggak suka cara makanmu, berisik. Tapi aku tahan itu semua demi bisa bareng kamu. Tapi, aku enggak tahan lagi sekarang.” “Kenapa kamu enggak bilang dari dulu? Apa aku yang minta kamu untuk menahan itu semua?” “Haa, kamu enggak ngerti. Aku lakuin itu karena aku sayang kamu, dan enggak pengen kamu kecewa. Tapi semua yang aku tahan itu enggak bikin kamu mengembalikan perasaanku, tsk,” “Hmmm. Oke, aku ngerti.” “Kamu … bilang oke gitu aja? Segampang itu? Padahal aku mikirin hal ini sampai kepalaku hampir pecah, tapi kamu bilang oke?! Cukup dengan kata gitu aja?!” Pria itu menghardik, bikin Biba menarik nafas dalam-dalam. Biba menatap mata pria itu dengan ekspresi wajah yang datar. “Ini alasanku enggak yakin sama kamu! Kamu itu kayak tong kosong, Bi. Emangnya kamu enggak punya otak, huh? Buat mikir! Buat enggak setuju sama ucapanku! Lihat sekarang, kamu segampang itu ngelepas hubungan kita?! Aku enggak habis pikir kenapa aku sempat berpikir untuk menikahimu!” “Apa kamu masih mau diperjuangkan?” Tanya Biba. “Apa?” “Kamu udah enggak mau aku perjuangkan kan, jadi buat apa aku coba merubah pikiranmu?” “Heh. Masih sok bijak, sok ngalah, sok jadi korban. Denger ya, yang jadi korban dalam hubungan ini itu aku! Kamu itu cewek apatis! Egois! Yang selalu sok ngalah padahal nggerundel di belakang. Kamu itu-” “Cukup bilang kalau kamu suka cewek itu dan udah muak sama aku. Cukup bilang kalau kamu pengen membersamainya. Jangan serang kepribadianku yang FINE-FINE aja!” Biba menggebrak meja. “Apa?” “Plis, aku tahu kamu selingkuh sama guru Bahasa Inggris baru. Aku lihat dia naik ke pahamu dan kalian saling cium di dalem mobil di parkiran sekolah pas ada acara kemah.” “Ha! Kamu tahu itu semua tapi pura-pura enggak tahu? Jalang. Kamu pikir kamu bakal dapet apa dengan pura-pura enggak tahu gitu? Kamu pikir aku bakal tetap menikahi kamu? Lalu menjadikan kamu nyonya besar kayak perhitunganmu? Kamu, enggak benar-benar sayang aku kan? Kamu cuma mengincar statusku, kan?” “Jangan! Jangan menghakimi perasaanku ke kamu. Kamu enggak berhak atas itu. Ha, apa kamu udah selesai ngomong? Aku pergi.” “Dasar cewek matre. Kalau mau aku bawa kelon dari dulu, kamu bisa aja jadi nyonya kayak ibumu yang pelacur.” Gumaman pria itu bikin Biba melayangkan bogeman ke mukanya, tapi! Pria itu menghentikan kepalan tangan Biba tepat sebelum menghantam wajahnya. Ia meringis. “Lihat, lihat, kamu juga cewek kasar yang main tangan. Kamu pikir tangan selemah ini bisa mukul ak- BWAK!” Biba berhasil melayangkan tinjuan maut ke mata pria yang langsung jatuh tersungkur. “Aku punya dua tangan. Bego!” Biba enggak menyangka kalau pukulannya sore hari itu bikin dia kehilangan pekerjaannya.Ares emang enggak seberapa suka Pak Darwin. Tapi malam itu Ares jauh lebih enggak suka sekali banget dengan Pak Darwin! Dia tiba-tiba nyelonong masuk ke kamar Ares. Sok akrab ke Ares dengan nepuk pundak Ares. Lalu duduk di sofa sambil merhatiin setiap sudut kamar Ares. “Yang tadi itu… ng.. saya bisa jelaskan, Pak,” Kak Biba kelihatan gugup, Ares enggak tahu kenapa dia begitu. “Yang tadi? Memangnya tadi ada apa? Yang Nanny Biba jumpalitan terus sampai nyium lantai gitu?” “Ah.. oh.. uhm.. itu… Pak Darwin haha… apa enggak lihat?” suara Kak Biba jadi nyandet-nyandet terus menciut. “Enggak ada apa-apa kok Pak. Iya enggak ada apapun, haha..ha,” sekarang Kak Biba ketawa canggung sambil garuk-garuk pahanya. Tuh kan, tuh kan, gelagat Kak Biba jadi aneh. Ngapain dia berlutut di lantai gitu? Ares menajamkan tatapan ke Pak Darwin biar dia peka kalau kedatangannya enggak Ares inginkan sama sekali! Kak Biba juga sama, dia juga enggak suka dengan adanya Pak Darwin yang bikin kita stop ciuma
“Ih, bentar Bang Ares, Kak Biba mau ngecek siapa yang nutup pintu itu.” Biba menggeliat, mencoba lepas dari pelukan Ares yang tanpa sepengetahuannya semakin erat. “Halah, paling juga siapa. Pelayan dari rumah utama kali. Mana pipi satunya belum Kak Biba.” Ares merengek terus monyong-monyongin bibir untuk mencium pipi lainnya. “Astaga, bentar. Cek ke depan dulu, kalau orang asing yang masuk gimana?” Ares menyeringai. “Bukan bukan, emang siapa yang berani masuk rumah ini?” Omongan Ares ada benarnya. Enggak mudah menyusup ke rumah ini yang pengamanannya super ketat. Dan sekalinya masuk pun, keluarnya enggak gampang. Jadi siapapun yang buka pintu barusan mungkin adalah pegawai yang nganter makan malam seperti biasanya. Hanya saja kali ini pintunya kebanting. Mungkin karena angin atau lagi terburu-buru? Semoga hanya karena itu. Cuma, firasat Biba tuh enggak enak banget. Kayak ada yang ngeganjel di hati. Dan firasat buruknya tuh selalu kejadian gitu. Makanya Biba was-was, apalagi s
Mereka saling pandang cukup lama. Tapi pandangan mereka instense banget, udah kayak mau perang aja. Ares sampai gugup karena dilihatin Biba dengan tegas banget. Cuma karena dia enggak mau kalah, dia juga tetap menatap Biba, sok berani gitu. Meskipun pada akhirnya dia kalah karena buang muka duluan akibat mukanya makin merah. “Kak Biba? Ayo ciuman!” “Tsk, Bang Ares ngajak ciuman atau ngajak berantem sih?! Enggak mau. Ciuman itu cuma dilakuin oleh dua orang yang saling suka. Jadi Kak Biba enggak mau.” “Jadi… Kak Biba enggak suka Ares? Selama ini Kak Biba bohong? Katanya suka Ares!” “Itu beda konteks –suka-. Ciuman itu buat dua orang yang saling cinta. Paham?” “Kak Biba enggak cinta Ares?” “Enggak lah. Kak Biba suka Ares, tapi enggak sampai cinta juga ih,” Ares cemberut. “Tahu dari mana? Kan Kak Biba belum ngecek! Kata Kak Cherish, cara ngeceknya ya dengan ciuman!” “Ih! Logika macam apa ya itu? Jangan mau dikibulin Cherish deh Bang Ares. Udah ayok cuci tangan - cuci kaki
“Belum telat Res, lu juga bisa kok terangsang karena cewek lain. Kita latihan mulai hari ini dengan nonton video-video yang gua kirim ke nomor lu.” Dokter Jefri nepuk pundak Ares prihatin. “Males ah. Entar ceritanya enggak nyambung semua.” “Bukan soal ceritanya o’on, tapi visualnya~!” Dokter Jefri mulai gemes. “Lah kenapa Ares cuma bisa terangsang karena Kak Biba doang?” “Itu-” “Karena cinta dong. Ares, lo itu jatuh cinta ke Biba makanya cuma bisa terangsang sama dia.” sahut Cherish yang nongol tiba-tiba. Cherish nyender di gagang pintu kamar Ares. Dengan kaki disilangkan dan sunglasses ditarik ke atas mirip bando. Enggak lupa dengan muter-muter tas mininya seraya jalan ke arah dua laki-laki yang bengong. Lagaknya udah kayak model papan atas. “Ehem.” Biba ngekorin Cherish yang masuk dengan pedenya. Telinga Biba nyembur merah. “Bukan Res! Lu lebih percaya gua daripada mantan nanny lu yang sinting ini kan?” jerit Dokter Jefri panik. Dia menggenggam tangan Ares den
Seenggaknya mereka cukup tahu diri dengan menghentikan pertarungan anjing mereka sebelum satpam rumah sakit menyeret mereka keluar dengan memalukan. Mereka pindah lokasi ke kafe kecil di dekat kafetaria rumah sakit. Ketiganya duduk melingkar sambil menyeruput minuman layaknya masyarakat beradab. “Ares, sejak kapan lo jadi anjing?” Celetuk Cherish. PWLAK! “Kok mukul tangan sih lo Bib?” “Ketimbang mukul muka hayo lho,” Biba kelihatan garangnya, sedang Ares hanya geleng-geleng kepala diapit oleh dua wanita heboh. “Ouch. Iya, jangan deh. Muka gue dipake buat kerja nih” Ares menyeruput jus melonnya, sok enggak terusik dengan keberadaan dua cewek yang lagi gontok-gontokan. Enggak lama duduk di kafe, Dokter Jefri tiba buat ngambil Ares pergi dari tempat itu. “Kak Biba ntar nyusul Ares kan?” “Iya dong. Kak Biba masih ada urusan sama orang ini, jadi Bang Ares duluan aja sama Dokter Jefri. Semangat Bang!” Hidung ares kembang-kempis lagi. Mesti kayak gitu kalau dia lagi malu. D
JTAK! Kepala Ares kena jitakan maut Biba. Ares yakin Biba enggak menjitak pakai tangan, tapi batu! Sakit banget! “Ngapain kamu, Bang?” tanya Biba, mukanya horror. “Biar mata Kak Biba enggak sembab! Mama sering gituin Ares!” “Astaga… untung ke Kak Biba. Lain kali jangan asal kayak gitu ke orang lain loh Bang,” “Kenapa?!” “Ya karena bisa dijitak, Bang Ares.” tutur Biba kalem. “Lah Kak Biba juga jitak Ares!” “….. ouch, iya ya.” Ares meraba-raba kepalanya. Kalau di kartun Shinchan, biasanya langsung nongol benjolan di kepala. Ares ngeri aja kalau itu beneran terjadi ke dia. Sepanjang sembilan tahun hidupnya, dia enggak pernah dijitak orang, begitu batin Ares yang menggigit bagian dalam mulutnya, saking kesalnya dengan Biba. ‘Kenapa dia marah-marah gitu? Kan niat Ares baik. Mama juga sering nyium mata Ares kalau Ares habis nangis biar enggak sembab katanya. Tsk.’ “Apa Bang Ares khawatir kalau Kak Biba nangis gara-gara ditabok Oma?” Ares buang muka. Hidungnya kembang-ke
Biba terpaku di tempat, mengatur nafasnya. Kalau dia bisa, dia juga pengen mengatur ritme detak jantungnya yang berdegup kencang. Tapi sayang, dia enggak mampu. Tubuhnya gemetar, tapi ia coba menenangkan dirinya. Biba enggak ingin dirinya tampak menyedihkan di hadapan Ares. Bukan karena harga diri, tapi karena kuatir Ares jadi trauma menyaksikan kekerasan. Ini bukan kali pertamanya ditampar oleh ibu-ibu. Pipi sebelah kirinya sudah pernah merasakan tamparan, tapi, ini pertama kalinya dia ditampar pakai tas branded mahal! Apa ini sebuah pencapaian? Entahlah. “Kenapa anak ini masih di sini? Anak ini yang bikin Ares enggak sadar diri dua hari di rumah, kan? Sekarang dia juga bikin Ares pingsan, padahal waktunya kontrol!” suara menggelegar datang dari mulut seorang wanita paruh baya yang bertubuh mungil. “Saya mohon maaf, bu- Nyonya? Saya akan berusaha lebih baik lagi agar tuan Ares-” “Diem. Sekarang, kamu keluar.” Perintah Oma Deril. Padahal Biba lebih tinggi daripada Oma Deril,
Wait..wait. Kenapa paha Kak Biba jadi bantalan Ares rebahan begini? Pas Ares mau bangun, tangan Kak Biba nahan kepala Ares. Ada yang enggak beres deh. Perasaan tadi kita ada di rumah sakit buat kontrol sekalian ketemu Jenni. Tapi sekarang kok Ares di ayunan belakang rumah? Ares mandangin telapak tangan Ares. Jari-jari Ares balik pendek dan chubby kayak jari Ares biasanya! Wow! Ini bukan jari-jari panjang dan telapak tangan besar yang aneh. Ares raba muka Ares. Udah enggak ada rambut tajem-tajem di dagu. Pipi Ares juga tembem kayak pipi kesukaan mama dan papa. Mereka sering nguyel-nguyel pipi tembem Ares. Ha, syukurlah Ares balik ke tubuh Ares. Kak Biba senyum. Enggak tahu kenapa tapi setiap kali Kak Biba senyum, Ares jadi kayak sebel gitu. Ares sentuh bibir Kak Biba, terus Ares uyel-uyel biar enggak senyum-senyum lagi. Eh tiba-tiba Kak Biba mangap lalu gigit jari Ares, lah?! “Kak Biba?! Jari Ares enggak enak tahu!” “Ih enak tahu,” ralat Kak Biba yang lanjut nyiumin punggung t
Seumur-umur Ares enggak pernah rambutnya dijambak orang. Bahkan kalau berantem sama Gea pun, enggak pernah juga tuh sampai jambak rambut. Nah ini udah rambut dijambak, badan diseret-seret masuk ke dalem lift lagi sama Kak Biba! Ares enggak paham deh sama orang ini. Bukan cuma sekali, tapi berkali-kali Ares enggak paham sama kelakuan Kak Biba. Kenapa dia ngejauhin Ares dari Jenni, pacar Ares?! “Bang Ares, umurnya Jenni berapa?” “Dia bilang sebelas tahun!” “Arrgh!” Tuh kan, Kak Biba aneh. Dia nguyel-nguyel rambutnya sendiri sambil komat-kamit enggak jelas. Kalau dihitung-hitung, Kak Biba sering komat-kamit enggak jelas gitu. Eh sekarang dia malah pukul-pukul dinding lift sambil menggeliat kayak uget-uget. Apa dia enggak malu sama orang lain yang ada di lift? “Kak Biba, Ares pengen ketemu Jenni!” “Stop! Kita kudu ngobrol bentar, Bang Ares. Bisa bahaya kalau diterusin.” matanya Kak Biba kayak enggak fokus gitu sambil gigitin kukunya. Satu tangannya nahan lengan Ares. “Ogah! A