“Ma, bolehkah aku tetap memanggil Mama, meski aku dan Vian sudah berpisah?” tanya Farrin.
Wanita berambut pirang itu ragu jika permintaannya akan dituruti oleh sang mama mertua yang sebentar lagi akan menjadi mantan itu. Selama beberapa bulan kebersamaan ia dengan keluarga Avan dan Vian, kasih sayang dari seorang ibu yang didapatnya dari ibu mertua membuat Farrin terlena.
“Sampai kapan pun, Farrin tetap putri Mama,” bisik Nazilla. Ia sudah menganggap Farrin sebagai putrinya, terlepas kepada siapa wanita itu melabuhkan hatinya. Sebagai orang yang sudah mengenal Farrin sejak lama, Nazilla tahu apa yang sudah menantunya itu alami. Karena itu, ia tahu pasti perpisahan mereka memiliki imbas lain.
Pelukan mereka berakhir dan masing-masing mengusap air mata hanya dengan menggunakan tangan kosong. Tak ada pikiran untuk menggunakan tissu, atau apu tangan yang biasa dibawa di tas.
“Ma, setelah ini kami berakhir. Entah ....”
<maaf, ya. lagi-lagi harus lama up karena terkendala banyak hal di duta. yuks, jangan lupa sumbang gems kalian untuk dukung cerita ini
“Jadi, bagaimana setelah ini, Nak? Sebenarnya aku sangat menyayangkan perpisahan kalian. Namun, mau bagaimana lagi? Sebagai seorang ibu aku tak bisa melakukan banyak hal,” ujar Nazilla. Wanita paruh baya itu meletakkan jus yang dipesannya lalu menatap ke netra biru milik Farrin, netra turunan dari sang ayah dan andai ia seorang pria, pasti orang-orang akan mengatakan bahwa ia adalah duplikat sempurna dari sang ayah.Oh, harusnya Nazilla katakan kemiripan itu pada putri dari sahabatnya ini.“Aku akan pergi, Ma.”“Pergi?”Farrin mengangguk. Sejak keputusan untuk berpisah antara ia dan Vian, Farrin belum bertemu dan berbicara secara leluasa seperti ini pada ibu mertuanya. Mungkin, ini saat yang tepat untuk membicarakan hal itu. Mengingat ia sedang berwaktu luang dan tanpa ditemani Vian.“Aku akan memenuhi beasiswa kelanjutan pendidikanku.” Farrin menjawab itu dalam satu tarikan napas.“Kau m
“Ikutlah denganku!”Sebuah suara membuyarkan lamunan Farrin yang tengah berdiri menunggu taksi. Di depannya, berhenti sebuah sedan hitam mengkilap dengan kaca jendela yang diturunkan dan menampilkan seseorang yang sudah ia kenal.“Maaf, aku sedang terburu-buru dan tak bisa ikut denganmu,” tolak Farrin dengan halus.Sungguh! Farrin sama sekali tak mengada-ada atau membuat alasan saat tadi ia mengatakan pada Nazilla bahwa kini ia sedang terburu-buru. Ia memang lupa jika ada janji yang menunggu dan itu berkaitan dengan kepergiannya ke Finlandia.“Aku akan mengantarmu. Ikutlah atau kau akan menyesal.”“Baiklah! Kuharap kau tidak akan mengecewakanku, Rizuki.”Farrin langsung membuka pintu mobil dengan kasar dan masuk ke dalam dengan perasaan dongkolnya, tetapi tak ia tunjukkan secara jelas. Saat ini, Farrin masih cukup sadar untuk tidak membuat Rizuki marah karena aura yang dikeluarkan wanita itu cu
“Ma, aku merindukan Farrin.”Sudah dua minggu Vian tidak bertemu dengan Farrin. Alasannya? Sudah jelas karena wanita itu menghindari Vian. Ia memanfaatkan waktu sibuk prianya di perusahaan dan mencari tempat yang tak mungkin ditemukan.“Bukankah tadi kau sudah cukup memandanginya?” tanya Nazilla. Sebagai seorang ibu, perasaan peka Nazilla membuatnya tahu bahwa Vian ada di sekitar mereka dan mengawasi Farrin dari jauh. Hal itu diperkuat dengan Vian yang sesekali menunjukkan eksistensinya ke Nazilla. Kebetulan? Tentu saja tidak.Vian sudah menduga bahwa Farrin akan datang ke bandara untuk melihat kepergian Avan. Farrin tak akan setega itu untuk melewatkan kepergian terakhir pria yang pernah menjadi kekasih hatinya itu. Vian tahu, dan ada rasa di hatinya ingin menemui Farrin dan mencegahnya mengucapkan selamat tinggal pada sang kakak. Namun, hal itu ia urungkan begitu saja karena tahu jika Farrin tak akan berbuat yang lebih dari memandang.
“Jujur saja, Ma. Aku merasa hancur setelah Papa pergi. Hingga aku memutuskan untuk hidup sendiri, percayalah! Itu adalah bentuk pelarian atas rasa kehilanganku,” aku Vian.Pandangan Vian menatap lurus ke depan dan Nazilla tahu bahwa ucapan itu memang keluar dari hatinya. Ia tahu, semua memang tidak bisa diutarakan dengan gamblang karena tertahan banyak hal. Entah itu emosi, ketidaknyamanan, atau ketidakinginan karena ingin memikul beban itu sendiri. Kini, Vian seolah melepas beban itu dan mengeluarkan apa yang telah lama ia pendam.“Mama bisa mengerti itu, Nak. Kita semua kehilangan Papa dan tidak ada satu pun dari kita yang tak merasakan hal itu. Hanya saja, Mama menyayangkan sikapmu yang memilih lari dan tidak bertahan lalu saling menguatkan.”Pandangan Vian yang semula menatap lurus, kini menunduk. Ia bisa mengerti semua itu. Apa yang ibunya katakan memang benar bahwa seharusnya ia ada di sana dan saling menguatkan. Jika itu terjadi, m
Benar, kan?Vian kini memiliki banyak uang karena pendapan perusahaan sudah mulai beralih pada rekeningnya. Sayang, semua itu tak akan bisa membayar siapa pun untuk mempertahankan Farrin di sisinya. Wanita yang menjadi cinta pertamanya itu akan tetap pergi tak peduli sebanyak apa pun harta yang ia punya.“Ma, Farrin adalah cinta pertamaku,” ujar Vian. Ia meremat rambutnya yang kini mulai memanjang karena Farrin tak memperhatikannya lagi. Sebelum ini, Farrin akan berkomentar jika rambutnya mulai memanjang. Sedang Lena, wanita yang kini menjadi tanggung jawabnya itu tak pernah mengomentari sepanjang apa pun rambutnya. Ah, apa ia harus memanjangkannya seperti milik Avan?Itu ide bagus karena mereka adalah kembar yang identik dari segi penampilan, bukan proporsi tubuh secara detail. Jadi, kali ini ia akan mencoba hal baru dengan meniru penampilan kembarannya yang kini telah berada jauh darinya.Tak peduli apa kata orang yang mengatakan jika ia ber
“Jika begini, aku pun tak tahu harus bagaimana, Ma. Mengapa harus kesalahan yang kubuat menjadi sebegini fatal? Aku tak mau hal ini terulang lagi di kemudian hari,” ujar Vian. Ia menunduk dan menatap lekat jemari yang kini bertautan dan berkeringat entah karena apa.“Mama tahu. Kita semua memang pernah dalam keadaan yang sulit dan Mama yakin, kau pasti akan sanggup menjalaninya. Hanya saja, Mama minta untukmu tidak menyerah, Vi. Sebentar lagi kau memiliki seorang anak, yang ototmatis statusmu berubah menjadi ayah. Seorang ayah harus kuat untuk menjadi penopang dan pelindung anak dan istrinya. Jika kau lemah, siapa yang akan melindungi keluargamu?”Tuk!Kepala Vian diantukkan ke kemudi bulat itu. Memang tak sakit, tetapi cukup untuk membuat Nazilla meringis karenanya. “Mama tahu kamu frustasi. Tapi mengantukkan kepalamu seperti itu tak akan membuatmu amnesia,” ujarnya.“Maksud Mama?”“Ya, Mama pi
Mereka panik!Bukan sebab kecelakaan, kehilangan uang, saham atau apa pun, melainkan karena tiba-tiba saja Farrin tak bisa dihubungi. Awalnya, Nazilla berniat menghubungi calon mantan menantunya itu di jalan menuju minimarket tempat biasa mereka berbelanja yang letaknya tak jauh dari rumah utama. Namun, apa mau dikata saat ponsel Farrin tak bisa dihubungi sama sekali dan operator mengatakan jika ponselnya di luar jangkauan jaringan.Nazilla mengingat dengan jelas saat tadi ia sempat melihat bahwa baterai di ponsel Farrin hanya berkurang seperempatnya saja. Jadi, jangan salahkan ia jika mencurigai hal ini. Otak kritisnya benar-benar mengatakan jika ada hal yang tidak beres. Karena setahunya selama ini, Farrin bukan orang yang dengan mudahnya mematikan ponsel. Juga, area kota tak memiliki titik buta akan jaringan.Begitu ponsel Farrin tak bisa dihubungi, Nazilla langsung menyuruh Vian untuk mengantarnya ke sekolah tempat Farrin mengajar. Sesampainya di sana, pihak
“Aku tahu sesuatu yang mungkin bisa menjadi tujuan Farrin,” ujar Vian kemudian. Ia berharap, semoga hal ini bisa menjadi petunjuk untuk mereka.“Di mana?” tanya Nazilla. Ia merasa penasaran di mana tempat itu. Setahunya, tak pernah wanita yang pernah menjadi menantunya itu mengatakan atau menujukkan dengan gambalnga jika ia menginginkan pergi suatu tempat.bahkan, untuk ia ajak berbelanja dan melakukan hal yang berhubungan dengan kebanyakan wanita pun ia banyak menolaknya. Lalu, harus di mana?Ah, mungkin saja Vian memang benar bahwa ia mengetahui sesuatu karena mereka pernah hidup dekat bersama, kan?“Farrin pernah mengatakan padaku jika ia menyukai pantai, Ma. Hanya saja karena keadaan tubuhnya, ia tak pernah mendapatkan kesempatan untuk ke sana. Pernah sekali aku mengantarkannya, dan setelah itu mendapat keterangan bahwa dia tak pernah diizinkan untuk ke pantai.”Ah, ya. Nazilla ingat itu. Ia ingat mengapa Farrin tak