“Aku berhutang maaf dan penjelasan karena meninggalkanmu begitu saja malam itu? Kau bertanya apakah aku merasa bersalah?” gumamku dengan nada yang nyaris hanya terdengar oleh telingaku sendiri. Rasa bersalah? Aku merasakannya, tapi bukan kepada dirimu. Aku merasa bersalah sekaligus takut pada diriku sendiri. Takut pada kenyataan bahwa aku telah melakukan perbuatan yang tidak bermoral. Takut pada fakta bahwa aku menikmatinya.
Gelisah dengan keadaan bahwasanya aku tidak dapat mempersembahkan cintaku yang utuh kepada Gerald lagi, karena kesucianku telah hilang. Aku merasa marah pada keadaan, pada dirimu, pada Jimmy yang membuatku menjadi seperti ini, terlebih pada diriku sendiri. Aku merasa frustasi.
Kau pikir tubuhku saat ini terasa baik-baik saja? Aku merasakan perih hingga selalu kesakitan ketika berjalan. Hanya saja aku bertingkah seolah semua baik-baik saja. Aku, bukanlah seorang perempuan cengeng, dan aku adalah seorang pengacara. Ada begitu banyak orang yang meng
Neil mendesiskan tawa. Di sela tawanya, Neil berkata, ”Baiklah, aku akan berterima kasih dan memberimu reward, asalkan kau tetap menjalankan satu hukuman dariku.” Aku memperhatikan pria di hadapanku dengan saksama, napasku memburu untuk memakinya dengan segala sumpah serapah. Segala bentuk antisipasi bangkit dalam tubuhku hingga tanganku mengepal dan bergetar. “Bernyanyilah,” ujar Neil pelan, namun dengan nada yang memancarkan kekuasaan. “Itu hukuman atas sikap tidak sopanmu saat rapat, dan karena telah meninggalkanku tanpa pesan apapun di klub,” sambungnya. “Apa?” Seluruh emosiku meledak, aku nyaris berteriak. “Kau ingin aku menyanyi? Aku harus menyanyi apa?” Mataku berkedip-kedip. Wajahku memerah, tidak memercayai apa yang baru saja kudengar dari mulut Neil. Alih-alih kaget melihat kemarahanku, Neil justru terlihat tenang. Ia mengedipkan matanya persis seperti yang kulakukan. “Terserah, yang penting menyanyilah. Otakku sudah terlalu suntuk,
Aku memejamkan mata sejenak. Menarik nafas panjang. Hal yang paling memusingkan adalah kenyataan bahwa aku tidak mengingat satu lagu apapun. Aku tidak pernah menghafal lagu dari awal sampai akhir. Aku tidak tahu harus menyanyikan lagu apa! Tapi karena aku sudah berjanji kepada Nana, aku mencoba membuka mulut. “Sophie Amalia, menyanyilah!” teriak Neil dengan penuh semangat. Aku kaget bukan main. Di saat aku tengah membuka mulut, ia memotongku begitu saja. Sontak sifat latahku kumat, dan aku langsung berceloteh tanpa rem, “Eh nyanyi...Nyanyi...Siap nyanyii...Nyanyi apa tapi? Eh nyanyi...” Hoooo… Nak tidur mana? Hoooo… Nak tidur mana? Mengantuk… Mengantuk Nak tidur mana? Mengantuk… Mengantuk Tolonglah saya Jumpa katil (katil) Jumpa katil (katil) Katil yang bulat Yeay… Nak tidur (okay) Ouch! Ouch! Ouch! Ouch!
“Memang apa lagi yang harus kita bicarakan?” tanyaku setelah sang CEO menyuruhku duduk kembali. Dia menggeleng. Tersenyum. “Tidak ada.” “Apa?” Aku menggeleng gusar. “Kau memintaku menunggu tanpa alasan yang jelas? Kau pikir aku ini apa?” Lancar sekali ucapan ini keluar dari mulut tanpa tertahan. Lagi Neil hanya mengangguk tenang kemudian menjawab, “Kau adalah anak buahku. Sedangkan aku adalah CEOnya.” “Kau tahu istilah ‘kurang ajar’ tidak. Kamu itu adalah..” Ingin sekali aku menghujaninya lagi dengan rentetan kalimat yang lebih banyak, namun kibasan tangan sang CEO membuatku terdiam. Neil mengubah sikap duduk menjadi condong ke depan sembari menepiskan tangannya. Dia berbicara setelah yakin mulutku terdiam. “Dengar, ya, aku juga tidak lama. Sebentar lagi aku ada meeting di Senayan.” “Lantas kenapa kau menyuruhku bertahan di sini?” “Karena aku hanya ingin menatap wajahmu lebih lama,” jawabnya singkat namun diiringi tata
“Nana, sebelum kau pergi, bolehkah aku memintamu menghapus sebuah file?” Nana menoleh penuh kepadaku, “File yang mana, Nona?” “File tadi yang ada di rapat. File berisi foto yang ditunjukkan oleh pengacara...” “File yang ada foto dan profil dirimu, Nona?” sebelum aku menyelesaikan kalimatku Nana sudah memotong. Apa? Ucapan menusuk kedua dari si A.I. hari inil. Kalau di pertandingan sepak bola, Kali ini dia sudah membuat skor menjadi 2-0. “File yang ada foto diriku?” tanyaku berupaya bersikap seolah-olah tidak tahu. “Tentu dengan pembesaran zoom dua puluh kali dan pertajaman gambar saja, aku sudah dapat melihat figure wanita yang mengantarkan para saksi tadi adalah dirimu, Nona Sophie. Apakah Anda menginginkan saya untuk membuka file foto Anda beserta identitasnya?” Brengsek! Kenapa mereka menciptakan AI secanggih ini, harus bagaimana aku ini? “Tidak... Tidak...Kau tidak perlu menunjukkan file itu pa
Ucapan Neil dan A.I. sok tahu, Nana, kemarin, membuatku tidak dapat tidur dengan nyenyak. Sepanjang malam kalimat jatuh cinta, cantik, serta pertanyaan apakah aku menyesali atau tidak peristiwa one night stand yang terjadi antara aku dan Neil terus-menerus terngiang-ngiang di telingaku. Bahkan lucunya aku tidak dapat menyingkirkan wajah dan sorot mata Neil, meskipun sudah berusaha menyingkirkannya dari otak dengan berusaha memejamkan mata. Sial kenapa wajah laki-laki menyebalkan itu selalu muncul di kepalaku? Kupukul kepalaku beberapa kali untuk menyingkirkan wajah manis itu dari otakku. Manis? Hah! Rupanya aku sudah gila! Memikirkan laki-laki tengil itu membuat seluruh tubuh dan pikiranku terasa amat lelah. Padahal ini akhir pekan, dan Sabtu Minggu adalah hari liburku baik di Firma Hukum Benjamin maupun Wollim, tapi pagi ini aku justru terpaksa menembus jalanan ibukota untuk bertemu dengan salah satu korban pencemaran lingkungan PT Orin be
“Pak Doni, apa terjadi sesuatu?” Entah mengapa tiba-tiba muncul firasat tidak enak di hatiku. Kali ini aku memperbaiki posisi duduk dan menatap layar head unit, kemudianmenyalakan mode merekam panggilan telepon. Tidak ada jawaban dari seberang, hanya ada suara napas yang terdengar ragu. “Katakan saja, Pak Doni. Mungkin aku bisa membantu.” aku mencoba bersikap tenang. “Akhir-akhir ini....Aku selalu merasa sedang diikuti seseorang," Suara Doni terhenti, ia terdengar menghela napas panjang sebelum kembali berkata, “Kurasa seseorang mengikutiku semenjak pertemuan kita untuk pengambilan sampel darah dua minggu lalu. Sepertinya mereka mengikutiku semenjak aku dan para korban keluar dari gedung Firma anda.” Aku menahan napas ketika Doni menyebutkan gedung firmaku. Aku tahu bahwa yang diucapkan Doni benar, karena fotoku pun muncul di rapat Wollim. Bisa jadi orang yang mengikuti Doni adalah suruhan Wollim. “Apa kau masih diikuti?” Aku harus mema
BAB 37 : KEDAI K Waktu pada jam tanganku menunjukkan pukul 08.25 WIB. Aku memarkirkan mobil tepat di depan sebuah kedai kopi 24 jam dengan nuansa rumahan. Kedai kopi ini didominasi warna cokelat kayu pada bagian depan bangunan, serta dipenuhi berbagai tanaman hijau yang ditata secara apik sehingga menimbulkan kesan asri. Sebuah plang kayu berukir tulisan ‘Rumah Kopi’ menggantung di atas pintu masuk kedai. Aroma kopi tercium cukup pekat dari depan bangunan rumah kopi tempatku berdiri. Kehangatan harum kopi bercampur karamel menenangkan pikiran sekaligus mampu meningkatkan semangatku yang sedikit layu. Begitu aku melangkah masuk ke dalam kedai tersebut, irama petikan gitar mengiringi nyanyian merdu seorang wanita yang melantunkan lagu I’m yours milik Jason Myraz. Pilihan playlist yang cukup bagus, sebab lagu ini mampu membangkitkan semangat para pengunjung yang masih mengantuk dengan cara yang lembut. Selain itu aku melihat sebuah meja bar berb
“Bu Sophie! Tidak...Tidak...Aku baru saja tiba. Silahkan duduk.“ Doni langsung berdiri dan mengulurkan tangannya begitu melihat kehadiranku. Doni berbohong padaku, Doni mungkin sudah cukup lama menungguku, bisa jadi ia sudah tiba jauh sebelum meneleponku tadi. Aku tahu itu jika melihat dari batang rokok yang sudah hampir habis di tangannya, serta lima sisa puntung rokok lain yang sudah habis terbakar di dalam asbak. Tangan Doni yang memegang rokok terlihat gemetar, sedangkan wajahnya cukup pucat dan kuyu, janggut dan kumisnya pun tampak tumbuh tidak terawat. Saat itulah aku tahu bahwa telah terjadi sesuatu yang lebih besar dari yang aku kira. Doni menarik kursi di sampingnya untuk kududuki. Begitu kami duduk, namun belum sempat berbincang, salah satu bartender berwajah oriental layaknya artis Korea mendekati kami. “Mau pesan kopi apa, Kak?” tanya bartender berwajah ramah dengan mata tersenyum seperti bulan sabit. “Satu cafe au lait,