Sudah hampir dua jam kami berputar-putar di sekitar Ueno Park. Taman ini terlalu luas untuk mencari keberadaan orangtuaku. Pada awalnya aku sangat yakin akan berpapasan dengan ayah dan ibu yang pasti juga mencariku. Hanya saja, mengingat kami sudah berputar-putar selama dua jam, hingga langit menjadi gelap, kami masih belum bisa menemukan ayah dan ibuku. Kenyataan ini sedikit membuat harapanku memudar.
Berputar-putar selama dua jam membuat langkahku melambat, betis dan pahaku seakan diikat oleh beban berat. Belum lagi perutku tiba-tiba mengeluarkan suara gemuruh sangat kencang. Aku sangat kelaparan. Anak SMA bernama Gerald masih berjalan di depanku dengan langkah sangat cepat. Sepanjang pencarian, kakiku yang pendek harus terseok-seok mengejar langkah kakinya yang panjang.
“Kak...Kak...Tunggu aku-“ teriakku sambil terus mengejarnya. Begitu tubuhku sejajar dengan Gerald, perutku kembali bergemuruh kencang. Gerald menghentikan langkahnya. Dari ekspresinya yang mendadak kaku, kentara sekali bahwa ia merasa sebal.
“Kak Gerald, aku lapar. Bolehkah kita beli makanan?” tanyaku sambil menundukkan kepala. Aku mungkin terlihat keterlaluan, sudah minta dibantu mencari ayah dan ibu, sekarang aku minta makan. Apa boleh buat, aku memang kelaparan.
“Apa kamu punya uang?” Gerald memicingkan matanya kepadaku. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala sebagai jawaban dari pertanyaannya.
“Tidak punya uang tapi pengen makan?” tudingnya.
“Boleh....Boleh pinjamkan aku uang? Nanti aku pasti akan meminta uang pada ayah untuk membayarnya, Kak!” perutku bergemuruh sekali lagi.
Gerald menghembuskan napas panjang dan berat. Kemudian mengeluarkan dompet hitam dengan sebuah aksen ukiran lambang batman dari saku belakang celananya. Tangannya memeriksa uang-uang di dalam dompetnya.
“Di dekat sini ada pasar, takoyaki yang dijual di salah satu kiosnya murah dan enak. Aku cuma bisa beli takoyaki, kau jangan minta yang lainnya ya-“ Aku mengangguk yakin sebagai jawaban perintah dari Gerald.
Kami berjalan menuju sebuah kios kayu kecil usang dengan lapisan-lapisan kayu pintunya hampir terlepas. Kios itu berukuran kecil, bagian depannya hanya selebar 1,5 meter. Di dalamnya dua koki harus berdempet-dempetan, sesekali bertabrakan saat memasak dan melayani pesanan secara bersamaan. Akan tetapi aroma yang keluar dari kios itu sangat harum dan lezat. Koki kios takoyaki sangat gesit, meskipun jumlah pembeli cukup banyak, tidak ada antrian panjang di hadapan kios itu. Antrian pembeli mengalir seperti air, sehingga kami tidak perlu menunggu lama untuk dilayani.
Gerald mengucapkan beberapa kalimat dalam bahasa Jepang, sepertinya arti kata-katanya adalah jumlah porsi takoyaki yang ia pesan, karena setelah Gerald mengucapkannya, koki wanita berlengan gempal langsung sibuk meletakkan bulatan-bulatan takoyaki pada piring kertas, kemudian menuangkan saus dan bonito di atas takoyaki-takoyaki kami.
Air liur mulai berkumpul di rongga mulutku. Aroma takoyaki yang gurih dan manis membuatku tidak sabar untuk segera menyantapnya. Untung saja Gerald segera mencegahku untuk langsung memakannya. Jika tidak, mulutku pasti terbakar panasnya takoyaki.
“Kita duduk di bawah pohon cherry blossom itu, baru makan takoyakinya-“ Gerald menunjuk sebuah pohon dengan bunga-bunga yang lebat di hadapan kami. Tidak ada orang yang duduk di bawah pohon itu, jadi kami akan lebih bisa menikmati takoyaki dengan leluasa.
Kami duduk bersila di atas rumput hijau terasa halus. Orang-orang tampak hilir mudik di hadapan kami, beberapa lagi terlihat ikut duduk tidak jauh dari kami dan menikmati makanan yang mereka beli.
“Bukan begitu cara makan takoyaki. Lidahmu akan terbakar! Dua tusuk gigi yang ditancapkan di piring kertas itu bukan tidak ada manfaatnya. Tusuk gigi itu digunakan untuk membelah takoyaki supaya uap panasnya keluar dan lebih dingin saat kita makan.” Gerald terlihat sibuk membelah takoyaki-takoyaki miliknya, lalu dengan lahap memasukkannya ke dalam mulut. Aku meniru gerakannya. Aku mengangguk-angguk sambil tersenyum, Gerald memang benar, takoyaki ini rasanya sangat lezat.
Pada akhirnya berkat pertolongan Gerald, aku dapat bertemu kembali dengan kedua orangtuaku. Aku langsung berlari memeluk ayah dan ibu sambil menangis begitu melihat sosok mereka di ambang pintu pos polisi. Aku berbicara tanpa henti untuk memperkenalkan Gerald kepada kedua orangtuaku, seakan aku adalah juru bicara Gerald.“Ayah, Ibu, ini adalah Kak Gerald. Dia membantuku berkeliling mencari Ayah dan Ibu saat tersesat tadi. Kakak juga membelikanku takoyaki dan matcha tea. Kak Gerald ini anggota tim olimpiade.Kedua orangtuaku sangat berterima kasih kepada Gerald dan polisi-polisi yang telah membantu kami. Mereka berkali-kali mengucapkan terima kasih dan memeluk Gerald, apalagi setelah mereka melihat seragam sekolah Indonesia yang dikenakan Gerald. Bahkan aku yang anaknya saja hanya dipeluk satu kali ketika mereka baru saja tiba di pos polisi. Selain itu kedua orang tuaku memberikan cemilan-cemilan bermerek Indonesia yang kami bawa di dalam tas unt
“Kyaaa...!” aku berjingkat-jingkat sambil terus menjerit-jerit.“Ada apa? Ada apa Sophie?” Rosa berlari dari dalam kamar dengan wajah sangat panik. Lembaran masker wajah yang menempel di mukanya bergeser dari tempatnya karena pergerakan Rosa secara tiba-tiba.“Akhirnya perusahaan IT Wollim menerimaku bekerja!”“Benarkah? Induk dari perusahaan Orin?” tanya Rosa, teman sekamar, seakan ia tidak percaya pada kabar gembira ini. Aku mengangguk dengan antusias sebagai jawaban dari pertanyaannya.“Iya Rosa, aku akan menyelidiki secara diam-diam apakah mereka terlibat dengan kasus limbah pabrik Orin.” Aku melompat-lompat girang sambil berputar-putar. Rosa memegang tanganku dan ikut melompat-lompat sambil terus tertawa.“Sial, Sophie. Itu terlalu berbahaya. Lagi pula kamu tahu, bukti yang didapat secara ilegal tidak akan diakui dalam persidangan?”“Aku tahu, tapi kita
Aku memilih universitas yang sama dengan Gerald, menjadi bagian dari senat mahasiswa demi bisa berdekatan dengan Gerald. Tapi Gerald benar-benar tidak mengingatku, selain itu terlalu banyak wanita yang mengelilingi dan mengejarnya. Selain itu, entah mengapa Gerald selalu menghindariku, padahal tampak jelas dari matanya bahwa ia menyukaiku. Rosa pun sama yakinnya bahwa Gerald menyukaiku. Aku dan Rosa mengambil jurusan yang sama di kampus kami, jadi Rosa sangat tahu seluruh upaya dan pengorbananku untuk mengejar Gerald.
Lantai dansa nightclub X7 malam ini sudah memanas ketika kami tiba di pintu masuk VIP. Para pengunjung menari dengan semangat mengikuti irama musik bergenre EDM dan pop elektro yang dimainkan oleh seorang Disc Jockey wanita berdandan funky.
“Lily?” tanyaku kembali. Sungguh, aku tidak tahu harus menatap ke arah mana. Aku terlalu malu untuk menatap kembali wajah tampan pria itu.
Sedangkan Jimmy terlihat kontras, pria itu mengenakan kemeja berwarna abu-abu di dalam setelan hitam mengkilat. Dari pakaian dan aksesoris jam serta sepatu yang ia kenakan, terlihat jelas bahwa ia ingin menutupi kekurangan pada wajah, dan kelebihan pada perutnya dengan menggunakan barang-barang mewah. Hal yang akan sangat disukai wanita-wanita mata duitan.
Sebuah gelas cocktail berisi minuman dingin berwarna kemerahan dengan nanas menempel pada tepi gelas telah tersaji di tempat duduk bar yang kududuki sebelumnya. Jimmy masih menungguku sambil menengguk segelas negroni secara perlahan.“Kau sudah kembali, silahkan minum