Share

BAB 3 : TAKOYAKI

Sudah hampir dua jam kami berputar-putar di sekitar Ueno Park. Taman ini terlalu luas untuk mencari keberadaan orangtuaku. Pada awalnya aku sangat yakin akan berpapasan dengan ayah dan ibu yang pasti juga mencariku. Hanya saja, mengingat kami sudah berputar-putar selama dua jam, hingga langit menjadi gelap, kami masih belum bisa menemukan ayah dan ibuku. Kenyataan ini sedikit membuat harapanku memudar.

Berputar-putar selama dua jam membuat langkahku melambat, betis dan pahaku seakan diikat oleh beban berat. Belum lagi perutku tiba-tiba mengeluarkan suara gemuruh sangat kencang. Aku sangat kelaparan. Anak SMA bernama Gerald masih berjalan di depanku dengan langkah sangat cepat. Sepanjang pencarian, kakiku yang pendek harus terseok-seok mengejar langkah kakinya yang panjang.

“Kak...Kak...Tunggu aku-“ teriakku sambil terus mengejarnya. Begitu tubuhku sejajar dengan Gerald, perutku kembali bergemuruh kencang. Gerald menghentikan langkahnya. Dari ekspresinya yang mendadak kaku, kentara sekali bahwa ia merasa sebal.

“Kak Gerald, aku lapar. Bolehkah kita beli makanan?” tanyaku sambil menundukkan kepala. Aku mungkin terlihat keterlaluan, sudah minta dibantu mencari ayah dan ibu, sekarang aku minta makan. Apa boleh buat, aku memang kelaparan.

“Apa kamu punya uang?” Gerald memicingkan matanya kepadaku. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala sebagai jawaban dari pertanyaannya.

“Tidak punya uang tapi pengen makan?” tudingnya.

“Boleh....Boleh pinjamkan aku uang? Nanti aku pasti akan meminta uang pada ayah untuk membayarnya, Kak!” perutku bergemuruh sekali lagi.

Gerald menghembuskan napas panjang dan berat. Kemudian mengeluarkan dompet hitam dengan sebuah aksen ukiran lambang batman dari saku belakang celananya. Tangannya memeriksa uang-uang di dalam dompetnya.

“Di dekat sini ada pasar, takoyaki yang dijual di salah satu kiosnya murah dan enak. Aku cuma bisa beli takoyaki, kau jangan minta yang lainnya ya-“ Aku mengangguk yakin sebagai jawaban perintah dari Gerald.

Kami berjalan menuju sebuah kios kayu kecil usang dengan lapisan-lapisan kayu pintunya hampir terlepas. Kios itu berukuran kecil, bagian depannya hanya selebar 1,5 meter. Di dalamnya dua koki harus berdempet-dempetan, sesekali bertabrakan saat memasak dan melayani pesanan secara bersamaan. Akan tetapi aroma yang keluar dari kios itu sangat harum dan lezat. Koki kios takoyaki sangat gesit, meskipun jumlah pembeli cukup banyak, tidak ada antrian panjang di hadapan kios itu. Antrian pembeli mengalir seperti air, sehingga kami tidak perlu menunggu lama untuk dilayani.

Gerald mengucapkan beberapa kalimat dalam bahasa Jepang, sepertinya arti kata-katanya adalah jumlah porsi takoyaki yang ia pesan, karena setelah Gerald mengucapkannya, koki wanita berlengan gempal langsung sibuk meletakkan bulatan-bulatan takoyaki pada piring kertas, kemudian menuangkan saus dan bonito di atas takoyaki-takoyaki kami.

Air liur mulai berkumpul di rongga mulutku. Aroma takoyaki yang gurih dan manis membuatku tidak sabar untuk segera menyantapnya. Untung saja Gerald segera mencegahku untuk langsung memakannya. Jika tidak, mulutku pasti terbakar panasnya takoyaki.

“Kita duduk di bawah pohon cherry blossom itu, baru makan takoyakinya-“ Gerald menunjuk sebuah pohon dengan bunga-bunga yang lebat di hadapan kami. Tidak ada orang yang duduk di bawah pohon itu, jadi kami akan lebih bisa menikmati takoyaki dengan leluasa.

Kami duduk bersila di atas rumput hijau terasa halus. Orang-orang tampak hilir mudik di hadapan kami, beberapa lagi terlihat ikut duduk tidak jauh dari kami dan menikmati makanan yang mereka beli.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status