“Bukan begitu cara makan takoyaki. Lidahmu akan terbakar! Dua tusuk gigi yang ditancapkan di piring kertas itu bukan tidak ada manfaatnya. Tusuk gigi itu digunakan untuk membelah takoyaki supaya uap panasnya keluar dan lebih dingin saat kita makan.” Gerald terlihat sibuk membelah takoyaki-takoyaki miliknya, lalu dengan lahap memasukkannya ke dalam mulut. Aku meniru gerakannya. Aku mengangguk-angguk sambil tersenyum, Gerald memang benar, takoyaki ini rasanya sangat lezat.
Tapi selezat apapun takoyaki, tidak akan terasa nikmat jika disantap ketika tenggorokan kering akibat kelelahan berjalan. Aku menarik napas panjang ketika melihat orang-orang di samping kami menyeruput segelas teh matcha secara perlahan.
“Hei, jangan bilang kamu mau teh itu juga? Kau berhutang 300 yen karena takoyaki ini. Aku tidak mau mengeluarkan uang lebih banyak!”
Aku tahu sudah berjanji untuk tidak membeli apapun selain takoyaki, jadi aku hanya dapat memandang Gerald dengan tatapan memohon yang mengenaskan. Gerald semakin membelalakan kedua matanya untuk menangkis tatapanku.
“Ah sial! Baiklah aku akan membelikannya untukmu, jadi cepat habiskan takoyakimu! Kita beli matcha tea sambil meneruskan perjalanan-” Gerald berjalan menuju kios matcha sambil mengedarkan pandangannya, mencari-cari sosok kedua orangtuaku sesuai dengan penggambaran yang sudah kuberikan kepadanya. Dari belakang aku dapat melihat punggung dan bahu lebar Gerald yang kokoh meskipun usianya tidak jauh dariku.
Selang beberapa menit, Gerald berjalan kembali sambil membawa dua gelas kertas berisi teh hijau. Wajahnya terlihat seperti baru saja mendapatkan ide brilian. Tidak lama kemudian tiba-tiba ia berteriak, “Benar, seharusnya kita ke pos polisi sejak awal, mereka pasti bisa membantu. Ayo cepat habiskan makananmu, ambil matchanya, lalu kita harus meminta bantuan polisi!”
Aku memandang cincin cherry blossom di jari manisku dengan senyuman sangat lebar. Sekali lagi kami harus berjalan, tapi kali ini kami berjalan dengan lebih ceria. Karena aku tahu bahwa aku akan pulang.
Kami dapat menemukan pos polisi berupa gedung dua tingkat berdinding krem dan atap hijau dengan jam dinding bulat berukuran besar menempel pada bagian muka gedung. Jam itu menunjukkan pukul delapan malam, seolah menegaskan bahwa aku telah hilang selama tiga jam. Awalnya kupikir itu adalah toko biasa, karena semua papan menggunakan huruf jepang, bahkan huruf-huruf yang menempel di bagian atas dinding luar pos itupun menggunakan huruf jepang.
Gerald mengetuk pintu pos polisi itu dan langsung disambut oleh seorang polisi berusia paruh baya. Aku sangat takjub ketika mendengar Gerald sangat fasih berbicara dengan polisi Jepang, aku tahu ia berbicara dalam bahasa Jepang karena Gerald mengucapkan kata arigato sambil membungkuk beberapa kali pada polisi berambut penuh uban itu.
Gerald cukup serius menjelaskan keadaan kami pada polisi itu. Sesekali polisi beruban melirikku dengan senyum yang ramah. Polisi itu langsung meminta kami menunggu dan menenangkan diri pada kursi besi panjang di dalam pos itu. Polisi lain yang berusia lebih muda bahkan memberikan kami minuman hangat dan camilan berupa kue ikan. Sedangkan polisi yang lebih tua terlihat sibuk menelepon, kemudian memberikan pengumuman di depan sebuah microphone.
“Hei, tenanglah, tadi polisi itu sudah mengumumkan berita kehilanganmu, mereka juga berkoordinasi dengan petugas lapangannya. Katanya, orang tuamu juga sedang mencarimu. Saat ini mereka sedang berada di pos polisi lain. Kamu pasti bisa bertemu kembali dengan ayah ibumu-” Gerald melirikku sambil menyandarkan punggungnya di kursi. Aku baru sadar bahwa mungkin Gerald selama ini kelelahan karena berkeliling membantuku.
Pada akhirnya berkat pertolongan Gerald, aku dapat bertemu kembali dengan kedua orangtuaku. Aku langsung berlari memeluk ayah dan ibu sambil menangis begitu melihat sosok mereka di ambang pintu pos polisi. Aku berbicara tanpa henti untuk memperkenalkan Gerald kepada kedua orangtuaku, seakan aku adalah juru bicara Gerald.“Ayah, Ibu, ini adalah Kak Gerald. Dia membantuku berkeliling mencari Ayah dan Ibu saat tersesat tadi. Kakak juga membelikanku takoyaki dan matcha tea. Kak Gerald ini anggota tim olimpiade.Kedua orangtuaku sangat berterima kasih kepada Gerald dan polisi-polisi yang telah membantu kami. Mereka berkali-kali mengucapkan terima kasih dan memeluk Gerald, apalagi setelah mereka melihat seragam sekolah Indonesia yang dikenakan Gerald. Bahkan aku yang anaknya saja hanya dipeluk satu kali ketika mereka baru saja tiba di pos polisi. Selain itu kedua orang tuaku memberikan cemilan-cemilan bermerek Indonesia yang kami bawa di dalam tas unt
“Kyaaa...!” aku berjingkat-jingkat sambil terus menjerit-jerit.“Ada apa? Ada apa Sophie?” Rosa berlari dari dalam kamar dengan wajah sangat panik. Lembaran masker wajah yang menempel di mukanya bergeser dari tempatnya karena pergerakan Rosa secara tiba-tiba.“Akhirnya perusahaan IT Wollim menerimaku bekerja!”“Benarkah? Induk dari perusahaan Orin?” tanya Rosa, teman sekamar, seakan ia tidak percaya pada kabar gembira ini. Aku mengangguk dengan antusias sebagai jawaban dari pertanyaannya.“Iya Rosa, aku akan menyelidiki secara diam-diam apakah mereka terlibat dengan kasus limbah pabrik Orin.” Aku melompat-lompat girang sambil berputar-putar. Rosa memegang tanganku dan ikut melompat-lompat sambil terus tertawa.“Sial, Sophie. Itu terlalu berbahaya. Lagi pula kamu tahu, bukti yang didapat secara ilegal tidak akan diakui dalam persidangan?”“Aku tahu, tapi kita
Aku memilih universitas yang sama dengan Gerald, menjadi bagian dari senat mahasiswa demi bisa berdekatan dengan Gerald. Tapi Gerald benar-benar tidak mengingatku, selain itu terlalu banyak wanita yang mengelilingi dan mengejarnya. Selain itu, entah mengapa Gerald selalu menghindariku, padahal tampak jelas dari matanya bahwa ia menyukaiku. Rosa pun sama yakinnya bahwa Gerald menyukaiku. Aku dan Rosa mengambil jurusan yang sama di kampus kami, jadi Rosa sangat tahu seluruh upaya dan pengorbananku untuk mengejar Gerald.
Lantai dansa nightclub X7 malam ini sudah memanas ketika kami tiba di pintu masuk VIP. Para pengunjung menari dengan semangat mengikuti irama musik bergenre EDM dan pop elektro yang dimainkan oleh seorang Disc Jockey wanita berdandan funky.
“Lily?” tanyaku kembali. Sungguh, aku tidak tahu harus menatap ke arah mana. Aku terlalu malu untuk menatap kembali wajah tampan pria itu.
Sedangkan Jimmy terlihat kontras, pria itu mengenakan kemeja berwarna abu-abu di dalam setelan hitam mengkilat. Dari pakaian dan aksesoris jam serta sepatu yang ia kenakan, terlihat jelas bahwa ia ingin menutupi kekurangan pada wajah, dan kelebihan pada perutnya dengan menggunakan barang-barang mewah. Hal yang akan sangat disukai wanita-wanita mata duitan.
Sebuah gelas cocktail berisi minuman dingin berwarna kemerahan dengan nanas menempel pada tepi gelas telah tersaji di tempat duduk bar yang kududuki sebelumnya. Jimmy masih menungguku sambil menengguk segelas negroni secara perlahan.“Kau sudah kembali, silahkan minum
Jimmy memelukku ketika tubuhku hampir ambruk di atas panggung. Tubuhku terasa semakin panas. Sentuhan Jimmy di pinggangku terasa menggelitik dan mempercepat detk jantungku. “Jimmy, apa yang telah kau lakukan padaku?” tanyaku sambil terus berusaha membangunkan kesadaran. “Hanya membuatmu merasa bersemangat dan sedikit terangsang.” Jimmy tersenyum cerah. “Berengsek!” aku berusaha untuk menghindarinya, tapi pelukan Jimmy semakin erat. Ia sengaja mengusap punggungku naik turun dengan perlahan, sensasi sentuhannya sungguh membakar sesuatu di dalam diriku. Aku harus mencari Rosa dan Jimmy. Aku mencoba berteriak tapi sentuhan jemari Jimmy justru membuatku menyuarakan desahan. Jimmy merangkulku dan menggiringku menuju lorong bagian belakang club yang sangat sepi. Aku berusaha melawannya dengan sekuat tenaga, namun tubuhku tidak memiliki tenaga untuk memberontak. Tolong aku...Siapapun..Tolong aku! Aku terus berdoa agar seseorang datang