Pada akhirnya berkat pertolongan Gerald, aku dapat bertemu kembali dengan kedua orangtuaku. Aku langsung berlari memeluk ayah dan ibu sambil menangis begitu melihat sosok mereka di ambang pintu pos polisi. Aku berbicara tanpa henti untuk memperkenalkan Gerald kepada kedua orangtuaku, seakan aku adalah juru bicara Gerald.
“Ayah, Ibu, ini adalah Kak Gerald. Dia membantuku berkeliling mencari Ayah dan Ibu saat tersesat tadi. Kakak juga membelikanku takoyaki dan matcha tea. Kak Gerald ini anggota tim olimpiade.
Kedua orangtuaku sangat berterima kasih kepada Gerald dan polisi-polisi yang telah membantu kami. Mereka berkali-kali mengucapkan terima kasih dan memeluk Gerald, apalagi setelah mereka melihat seragam sekolah Indonesia yang dikenakan Gerald. Bahkan aku yang anaknya saja hanya dipeluk satu kali ketika mereka baru saja tiba di pos polisi. Selain itu kedua orang tuaku memberikan cemilan-cemilan bermerek Indonesia yang kami bawa di dalam tas untuk bekal perjalanan pada Gerald sebagai ungkapan syukur.
“Nak Gerald, bagaimana kalau setelah ini kita makan malam dulu? Kalian pasti kelaparan setelah berputar-putar mencari kami?” ajakan ayah membuat mataku berbinar-binar.
“Tidak perlu, Pak. Waktu istirahatku sudah hampir habis. Aku takut jika terlambat kembali ke penginapan, pelatih dan timku akan menjadi khawatir. Sebaiknya aku kembali sekarang-“ ucap Gerald dengan penuh kesopanan.
“Kamu menginap di mana, Nak? Kami akan mengantarmu.” Sambung ibuku.
“Terima kasih, aku menginap di Coco Grand Ueno Shinobazu. Aku bisa berjalan kaki dari sini, jadi tidak perlu repot-repot mengantar. Terima kasih atas tawarannya. Mohon maaf tapi aku harus pamit sekarang karena aku harus berkemas untuk kepulangan kami besok.” Mataku terbelalak mendengar ucapan Gerald, karena sebelumnya ia mengatakan akan mengikuti olimpiade.
“Kak, bukannya olimpiadenya baru mau diadakan?” tanyaku dengan gelisah.
Gerald menggeleng, “Tidak, olimpiade nya sudah selesai.”
“Wah, jadi kamu ke Jepang karena mengikuti olimpiade? Olimpiade apa?” tanya ayahku.
Gerald menggaruk-garuk belakang lehernya karena malu namun tetap menjawab, “Matematika, Pak.”
“Wah, hebat! Jadi apakah kalian memenangkannya?” tanya ibuku.
“Eh...Tim kami memenangkan emas, Bu-“ ucap Gerald malu-malu. Aku terperangah mendengar jawabannya. Ibu menutup mulutku yang membuka lebar dengan telapak tangannya. Seketika batinku menjerit- Oh Tuhan, orang yang membantuku ternyata sangat pintar, bagaimana caranya untuk jadi lebih pintar darinya?
“Ke...Keren sekali!” pekikku.
“Nak, ini kartu nama, Om. Sekali-kali mainlah ke rumah kami kalau sudah sampai di Indonesia. Alamat rumah kami ada di belakang kartu itu.” Ayahku menyodorkan kartu namanya, alamat yang ditulis tangan tampak jelas di balik kartu itu.
“Terima kasih banyak, Om dan Tante. Kalau begitu saya pamit dulu.” Gerald membungkukkan badannya kepada orangtuaku dan dua polisi di dalam pos kemudian berjalan keluar.
Aku hanya dapat terpaku menatap punggungnya hingga ia menghilang di balik pintu keluar. Ini bisa saja menjadi kesempatan terakhirku bertemu dengannya. Aku tidak boleh membiarkannya, aku tidak boleh kehilangan jejaknya. Tanpa sadar aku sudah berlari keluar mengejar Gerald, tidak peduli dengan seruan-seruan kedua orangtuaku yang memintaku untuk berhati-hati.
“Kak...Tunggu!” aku berlari hingga melihat punggung itu berbalik menghadapku kembali.
“Ada apalagi?” tanyanya dengan alis yang terangkat.
“Berikan alamat rumahmu di Indonesia-” ucapku dengan tersengal-sengal.
“Untuk apa? Jangan sampai kamu tersesat lagi!”
“Aku...Aku...Aku mau membayar hutangku-“ suaraku terdengar sangat melengking karena gugup.
“Haha, yang seperti itu sangat tidak perlu,” jawab Gerald.
“Perlu! Aku orang yang menepati janji, seperti yang aku bilang sebelumnya, aku akan menikahimu saat besar nanti!” tatapanku penuh dengan determinasi. Gerald hanya menggelengkan kepala beberapa kali.
“Kak, kemarikan tanganmu-” Meskipun bingung, Gerald mengikuti perintahku. Aku melepaskan cincin dengan permata berbentuk bunga cherry blossom dari tanganku dan menempatkannya pada jari kelingking pada tangan kanan yang Gerald sodorkan padaku.
“Apa ini?” tanya Gerald padaku.
“Itu tanda jadi, sebagai pengingat janjiku padamu! Kakak tahu? Kemanapun Kakak pergi, cincin ini akan membawamu kembali ke rumah, dan rumahmu adalah aku,” ucapku masih penuh keyakinan.
“Kau ini, memangnya kita sedang transaksi jual beli?” Gerald terdiam dan memandang cincin di jari kelingkingnya cukup lama, sebelum akhirnya berkata, “Oh ya, kamu kan memang berhutang 300 yen untuk takoyaki, dan 300 yen lagi untuk teh matchanya.” Gerald tersenyum jahil padaku.
“Aku akan membayarnya, dan aku pasti akan menjadi istrimu saat dewasa nanti. Aku akan langsung mengingatmu dan mengenalmu meskipun wajahmu sudah berubah saat dewasa nanti-“ ucapku dengan lantang. Gerald hanya tertawa.
Aku menggerak-gerakan tangan untuk memintanya lebih mendekat. Gerald menundukkan tubuhnya dan mendekatkan wajahnya padaku. Saat itu dengan cepat aku...
Mengecup pipinya...
Haloo teman-teman pembaca, mohon maaf kalau saya sering terlambat untuk upload cerita moonlight kiss akhir-akhir ini, karena saya sedang mengikuti lomba menulis novel Mizan Writing Boothcamp, dan tantangan dari lomba lumayan banyak, sehingga banyak menyita fokus perhatian saya. Jadi mohon dukungan dan doanya ya untuk keberhasilan saya. Dan saya akan terus berusaha untuk mengupdate novel moonlight kiss meskipun selama periode lomba MWB, saya akan cukup terlambat mengupdate, Terima kasih banyak atas pengertian, perhatian, dan dukungannya. Saya akan kembali dengan chapter menarik lainnya. Mari kita nantikan bersama bagaimana kelanjutan kisah antara Sophie, Neil, dan Gerald. Kemanakah bunga-bunga cinta mereka akan berlabuh? lalu bagaimana mereka mengatasi para mafia dan senjata pemusnah massal M.K. Project alias Moonlight Kiss? Mari kita tunggu kelanjutannya... Love you all... -Scarlette-
Rasanya sulit menggambarkan perasaanku saat ini. Pada satu sisi aku merasa sangat bersyukur dan gembira karena Gerald telah menyelamatkan kami. Pria bermata sayu itu rupanya memiliki keahlian bela diri. Ia dapat mengalahkan satu per satu lawan dengan menggunakan teknik mematikan. Sejenak aku bahkan merasa seperti telah diselamatkan oleh seorang pangeran berkuda putih. Baiklah, aku pun telah diselamatkan oleh Kevin sebelumnya, dengan keahlian peretas kelas wahid, tapi diselamatkan oleh pria yang kita suka terasa sangat berbeda. Jujur, tindakan Gerald membuatku merasa sangat tersanjung dan terpesona.Akan tetapi, komunikasi kami di sepanjang perjalanan membuatku sangat frustasi. Lompatan-lompatan pikiran Gerald sama sekali tidak dapat kubaca. Mata sayunya tampak tidak fokus, dipenuhi dengan kecemasan yang sangat sulit kukorek. Sepanjang jalan tidak terjadi koneksi di antara kami, baik dalam hal perbincangan maupun dari hati. Wajar saja jika saat ini perasaan kagumku kepadanya sedikit b
Ia masih tidak bereaksi. Sama sekali.Tidak mengangguk ataupun menggeleng.Ia sama sekali tidak menanggapi perasaanku.“Gerald!” Kurenggut lengannya. Ia benar-benar tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri.Syukurlah pada akhirnya Gerald menoleh. Sebuah gerakan sederhana yang menunjukkan bahwa ia telah kembali menjadi manusia, bukan patung tanpa nyawa.“Apa? Ada apa?” tanya Gerald dengan mata berkedip-kedip dan pupil yang terus bergerak ke sana ke mari. Ia tampak kebingungan.“Dari tadi aku hanya mau mengatakan terima kasih...,” kuhentikan sejenak perkataanku dan kembali menatap Gerald, memastikan bahwa pria di sampingku telah memulihkan konsentrasinya. Setelah memastikan bahwa Gerald benar-benar mendengarkan, lalu kulanjutkan ucapanku, “Terima kasih karena tadi, kamu sudah menyelamatkanku.”Gerald menatapku secara cepat, hanya sekilas lantas kembali memandang jalur perjalanan di balik kaca bening pelindung kendaraan kami. Gerald menarik napas sangat dalam kemudian menghembuskannya l
Berbeda dengan ketenangan maupun kesigapan yang Gerald tunjukkan saat menghajar para begundal. Laki-laki yang selalu membuat resah hati dan pikiranku, sedari tadi membungkam mulutnya. Kedua bola matanya bergerak ke sana ke mari seakan memikirkan begitu banyak hal. Keringat membasahi pelipis pria seputih pualam itu. Entah apa yang membuat Gerald resah. Namun satu hal yang kutahu pasti, bahwa pria bermata sayu di sampingku tidak akan pernah mau membicarakan isi hati dan pikirannya. Meskipun aku dapat melihat dengan jelas kecemasan dari sorot mata tidak dapat berbohongnya, karena seperti itulah sosok Gerald yang kutahu sejak dulu. Dingin dan pendiam. Seperti sebuah semesta yang tidak dapat kujelajahi. Namun hal itu juga yang menjadi daya tariknya, sebab hanya aku tahu bahwa sebenarnya Gerald memiliki hati yang hangat. Kedua mataku melirik kembali pada pria yang tampak serius mengemudi. Entah mengapa ia selalu menjadi medan magnet perhatianku. Dahi Gerald tampak berkerut hingga jarak ked
Gerald menggenggam tanganku sangat erat dan sedikit kasar. Ia menarikku dengan cepat. Seandainya aku tidak begitu mengagumi pria di hadapanku, aku dapat mengira bahwa ia sedang menyeretku menuju mobil Mitsubishi Pajero berwarna cokelat muda. Karena posisi mobil yang cukup tinggi, tanpa aba-aba, Gerald membuka pintu, lalu mengangkat tubuhku dengan lembut seakan aku adalah kaca yang sangat rapuh, ia mendudukanku di kursi penumpang depan.Gerakan Gerald sangat taktis dan efisien. Setelah menaikkanku ke dalam mobil, ia meminta laki-laki berjas hitam untuk memanggul Doni yang rupanya tidak sanggup berjalan. Pada awalnya Doni mencoba berlari menghampiri, namun baru beberapa langkah Doni sudah menghentikan langkahnya. Ia terjatuh. Tampaknya pertempuran tadi melukai kaki dan bagian-bagian lain dari tubuhnya.Begitu kami semua telah masuk mobil, Gerald lantas menginjak gas meninggalkan lokasi. Di dalam mobil, Gerald mengemudi dengan kecepatan tinggi. Sedangkan pria
Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menunjukkan ekspresi nyeri meskipun pada kenyataannya luka di leherku sangatlah pedih. Aku tidak ingin Gerald terganggu oleh lukaku. Karena hal terpenting yang harus dilakukan saat ini adalah keluar dari situasi mengerikan dengan selamat dan tanpa kehilangan Moonlight Kiss.Tatapanku kembali mencari sosok Doni, rupanya ia telah roboh di samping mobil tesla. Posisi tidak imbang karena rekan Gerald, si pria berjas hitam harus melawan dua orang. Sebelum menghampiri pria berjas hitam, Gerald dengan gagah menarikku agar berada di balik punggungnya. Kali ini bukan aku yang menjadi perisai hidup bagi seseorang, tapi Gerald menjadikan dirinya perisai hidup yang melindungiku.“Gerald, tolong berhati-hatilah!” ujarku dengan pelan, entah ia mendengarnya atau tidak. Aku bahkan dapat mendengar nada keputusasaan dari suaraku sendiri. Tanganku berusaha menggapai punggung Gerald. Namun debar di dada membuatku urung untuk menjangkaunya