“Kyaaa...!” aku berjingkat-jingkat sambil terus menjerit-jerit.
“Ada apa? Ada apa Sophie?” Rosa berlari dari dalam kamar dengan wajah sangat panik. Lembaran masker wajah yang menempel di mukanya bergeser dari tempatnya karena pergerakan Rosa secara tiba-tiba.
“Akhirnya perusahaan IT Wollim menerimaku bekerja!”
“Benarkah? Induk dari perusahaan Orin?” tanya Rosa, teman sekamar, seakan ia tidak percaya pada kabar gembira ini. Aku mengangguk dengan antusias sebagai jawaban dari pertanyaannya.
“Iya Rosa, aku akan menyelidiki secara diam-diam apakah mereka terlibat dengan kasus limbah pabrik Orin.” Aku melompat-lompat girang sambil berputar-putar. Rosa memegang tanganku dan ikut melompat-lompat sambil terus tertawa.
“Sial, Sophie. Itu terlalu berbahaya. Lagi pula kamu tahu, bukti yang didapat secara ilegal tidak akan diakui dalam persidangan?”
“Aku tahu, tapi kita harus melakukannya, nanti akan kupikirkan bagaimana menjadikan setiap bukti yang kudapat legal!”
“Tunggu...Tunggu sebentar...Bagaimana dengan ayahmu? Apa yang harus kukatakan pada ayahmu? Kamu tidak akan mengabaikan firma hukum kita kan? Kamu dan aku adalah advokat andalan di firma hukum ayahmu! Bagaimana dengan kasus-kasus kita yang lain? Apa kamu mau meninggalkannya begitu saja?” Rosa berhenti melompat dan memasang wajah kaku.
“Tidak mungkin aku akan mengabaikan tanggung jawabku, apalagi merugikan firma hukum dan klien. Saat ini aku sedang melakukan penyelidikan kasus. Bantu aku, Ros- Kau kan sudah tahu bagaimana aku berusaha menyelesaikan kasusnya selama ini-“ aku sengaja membuat wajah paling mengiba, aku sungguh berharap Rosa mau mendukungku.
“Tapi, Sophie. Bagaimana dengan konsultasi klien? Bagaimana dengan sidang-sidang?” Kali ini wajah Rosa tampak lebih ragu dari sebelumnya.
“Sementara ini kamu yang akan menggantikanku untuk konsultasi hukum dengan klien. Sedangkan sidang, aku tetap akan melakukannya-” Alis Rosa berkedut-kedut mendengar jawaban dariku. Aku harus bisa meyakinkan sahabat sekaligus tangan kanan di perusahaanku ini. Gadis ini memang sangat perfectionis dan terlalu berhati-hati.
“Tiga bulan, paling lama aku akan bekerja selama tiga bulan di perusahaan itu dan berusaha mendapatkan buktinya. Berhasil ataupun gagal, aku akan kembali setelah tiga bulan. Bagaimana? Tentunya dengan jaminan, aku akan tersedia kapanpun untuk menyelesaikan semua kasus,” sambungku.
Di usiaku yang ke dua puluh lima ini, aku telah menjadi sosok wanita yang tahu prioritas, jadi aku tidak akan pernah melupakan tanggung jawab. Aku pun tidak pernah ragu untuk mengambil resiko apapun demi tercapainya semua tujuan-tujuan hidup maupun karierku.
Selain itu, tujuan lainku memasuki perusahaan itu karena Gerald. Aku mendapatkan informasi bahwa Gerald bekerja di perusahaan itu. Aku harus menunjukkan seluruh perubahan dan usahaku untuk menjadi wanita yang lebih pantas bagi Gerald, bukan lagi gadis dua belas tahun yang mudah tersesat dan hanya bisa menangis. Bukan pula gadis delapan belas tahun polos yang menyatakan cinta pada Gerald dengan sembrono.
Rosa menatapku dalam diam yang cukup lama, dia tampak berpikir keras seolah dari tatapannya berkata menginginkan janji lebih dariku.
“Baiklah, hanya tiga bulan! Aku hanya sanggup membantu dan menutupi kepergianmu selama tiga bulan. Selain itu kamu harus berjanji untuk selalu siap kapanpun firma kita membutuhkanmu. Kalau tidak, aku akan melaporkanmu pada ayahmu, pemilik Firma Hukum Benjamin dengan nama baik yang tidak diragukan lagi. Oh tidak, aku mungkin sudah gila. Aku bisa saja kehilangan pekerjaan gara-gara kamu. Lebih parah lagi integritas perusahaan kita tergantung padamu-“ Wajah Rosa langsung berubah lebih muram setelah menyebut ayahku.
“Aku janji, semua yang kamu inginkan akan kupenuhi. Hanya saja... kamu tidak perlu mengingatkan siapa ayahku untuk menakuti-nakuti seperti itu dong!” rajukku kembali.
“Harus, siapa yang tahu kedepannya mungkin kamu akan ingkar janji! Karena kamu itu sangat keras kepala,“ Rosa mendesah dengan berat.
“Aye...Aye...Captain! Percayalah, aku tidak akan pernah ingkar janji! Karena lusa hari pertamaku, aku harus belanja pakaian baru agar penampilanku terlihat lebih meyakinkan. Tidak boleh ada pakaian-pakaian bermerek mahal. Dan aku harus mengatakan padamu, mungkin aku akan bertemu dengan Gerald di perusahaan itu.”
“Hah, Gerald? Senior kita?” Rosa membulatkan kedua bola matanya.
“Betul, senior kita yang sudah kunantikan sejak lama.” Aku menatap Rosa dengan lekat.
“Apa yang akan kamu lakukan jika bertemu dengannya?” Raut Rosa penuh dengan kekhawatiran.
“Kali ini aku akan benar-benar memastikannya.”
Betul, penantianku memang cukup lama, karena Gerald dan anggota tim olimpiade matematikanya harus pindah ke Lawrenceville, Georgia. Mereka mendapatkan beasiswa pendidikan di Gwinnett School of Mathematics, Science, & Technology. Bahkan kabarnya Princeton University sudah membidik mereka untuk menjadi mahasiswa di universitas itu, tapi seluruh anggota tim olimpiade yang terdiri dari tiga orang termasuk Gerald, memilih untuk menerima beasiswa dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) . Aku mengetahui kabar itu setelah menyelidiki ke sana ke mari, terutama bertanya pada beberapa siswa di SMA Angkasa.
Syukurlah keberuntungan berpihak padaku, seorang narasumberku yang merupakan teman seangkatan Gerald memberitahuku bahwa Gerald kembali ke Indonesia untuk meneruskan sisa semester tingkat tiga dan tempatnya di universitas nomor satu Indonesia. Tidak jelas apa alasan mengapa ia tidak menuntaskan pendidikannya di MIT dan malah kembali begitu cepat, yang pasti aku senang apapun alasannya, selama aku bisa bertemu kembali dengannya.
Aku memilih universitas yang sama dengan Gerald, menjadi bagian dari senat mahasiswa demi bisa berdekatan dengan Gerald. Tapi Gerald benar-benar tidak mengingatku, selain itu terlalu banyak wanita yang mengelilingi dan mengejarnya. Selain itu, entah mengapa Gerald selalu menghindariku, padahal tampak jelas dari matanya bahwa ia menyukaiku. Rosa pun sama yakinnya bahwa Gerald menyukaiku. Aku dan Rosa mengambil jurusan yang sama di kampus kami, jadi Rosa sangat tahu seluruh upaya dan pengorbananku untuk mengejar Gerald.
Lantai dansa nightclub X7 malam ini sudah memanas ketika kami tiba di pintu masuk VIP. Para pengunjung menari dengan semangat mengikuti irama musik bergenre EDM dan pop elektro yang dimainkan oleh seorang Disc Jockey wanita berdandan funky.
“Lily?” tanyaku kembali. Sungguh, aku tidak tahu harus menatap ke arah mana. Aku terlalu malu untuk menatap kembali wajah tampan pria itu.
Sedangkan Jimmy terlihat kontras, pria itu mengenakan kemeja berwarna abu-abu di dalam setelan hitam mengkilat. Dari pakaian dan aksesoris jam serta sepatu yang ia kenakan, terlihat jelas bahwa ia ingin menutupi kekurangan pada wajah, dan kelebihan pada perutnya dengan menggunakan barang-barang mewah. Hal yang akan sangat disukai wanita-wanita mata duitan.
Sebuah gelas cocktail berisi minuman dingin berwarna kemerahan dengan nanas menempel pada tepi gelas telah tersaji di tempat duduk bar yang kududuki sebelumnya. Jimmy masih menungguku sambil menengguk segelas negroni secara perlahan.“Kau sudah kembali, silahkan minum
Jimmy memelukku ketika tubuhku hampir ambruk di atas panggung. Tubuhku terasa semakin panas. Sentuhan Jimmy di pinggangku terasa menggelitik dan mempercepat detk jantungku. “Jimmy, apa yang telah kau lakukan padaku?” tanyaku sambil terus berusaha membangunkan kesadaran. “Hanya membuatmu merasa bersemangat dan sedikit terangsang.” Jimmy tersenyum cerah. “Berengsek!” aku berusaha untuk menghindarinya, tapi pelukan Jimmy semakin erat. Ia sengaja mengusap punggungku naik turun dengan perlahan, sensasi sentuhannya sungguh membakar sesuatu di dalam diriku. Aku harus mencari Rosa dan Jimmy. Aku mencoba berteriak tapi sentuhan jemari Jimmy justru membuatku menyuarakan desahan. Jimmy merangkulku dan menggiringku menuju lorong bagian belakang club yang sangat sepi. Aku berusaha melawannya dengan sekuat tenaga, namun tubuhku tidak memiliki tenaga untuk memberontak. Tolong aku...Siapapun..Tolong aku! Aku terus berdoa agar seseorang datang
“Ruangan ini kedap suara, jadi kau boleh mengeluarkan suara sekencang apapun.” Pria itu berjalan mendekatiku, mengambil sebuah permen mint dari atas meja. Dalam satu kali sobekan, bungkus permen telah terbelah, pria itu memasukan bulatan permen mint ke dalam mulutnya dengan cara paling menggoda. “Namaku Neil, Neil Morianno kau harus mengingat namaku. Aku akan mengingat namamu, Sophie” Aku terkejut ketika Neil menyebutkan namaku. Mungkinkah ia mendengarkan setiap pembicaraanku? Neil menekan tubuhku pada sofa silver. Secara sengaja dia semakin merapatkan tubuhnya padaku, telingaku bahkan dapat mendengar debaran jantungnya yang semakin cepat. Perpaduan aroma ozonic, tonka bean, bergamot dan pir dari tubuh Neil serta dada bidangnya yang terasa hangat, seketika meredakan pusing di kepalaku. Semua kenyamanan itu membangkitkan alarm dalam otakku. Ini tidak boleh terjadi, tidak boleh terjadi! Otakku terus berkata seperti itu, tapi hatiku menyukai apa yang pria kekar ini laku
“Sophie, bolehkah aku membuka pakaianmu?” Neil membaringkanku di atas ranjang berukuran king size. Aku menutup wajah dengan kedua tanganku. Aku benar-benar malu menyadari bahwa seorang pria terkesima menatap tubuhku, bahkan ini pertama kalinya aku akan menunjukkan tubuhku. Pria berbola mata hitam itu menurunkan kedua tanganku sambil tersenyum menggoda, “Kamu mau, Sayang?” “Aku ... mau. Tapi tolong jangan ledek bentuk tubuhku.” Aku menutup wajah sekali lagi. “Percayalah padaku, aku benar-benar menyukai setiap lekuk tubuhmu. Jangan menutup wajahmu. Aku ingin melihat wajah cantikmu,” jawabnya singkat. Kali ini aku memberanikan diri menatap wajahnya. Neil lantas menurunkan seleting dress, dan melepaskan dress hitam ketatku dari seluruh tubuhku. Aku nyaris telanjang, hanya tersisa bra dan g-string putih yang membalut tubuhku. Pria tampan di hadapanku tampak terpana melihat tubuhku. Mataku tidak pernah berbohong. Aku melihat tatapan mata laki-laki p