Share

Pertemuan Kedua

Di perjalanan pulang, Khanza nampak sedih mengingat Hanif tidak mengangkat telfon darinya. Ia sangat menyesal jika benar Hanif di skors karena dirinya.

Bagaimanapun juga, Hanif lah satu-satunya orang yang mau berteman dengannya. Selalu membantunya di saat ia susah. Tak hanya itu saja, bahkan Hanif selalu pasang badan ketika apapun hal buruk yang terjadi menimpanya.

Ia akan berinisiatif mengatakan kebenarannya besok pagi ke guru bimbingan, agar mencabut hukuman yang guru itu berikan kepada Hanif. Kemudian, dirinya siap menerima apapun hukuman dari guru bimbingan.

***

Sore itu, Khanza duduk di bawah rindangnya pohon rambutan. Menghitung uang hasil bernyanyinya siang tadi. Ketika sampai di uang lembaran kedua, tiba-tiba dia teringat akan Bos sombong siang itu.

"Hufft, rasanya aku ingin sekali menaikkan dasinya hingga tercekik dia," umpatnya.

"Dan aku selalu berharap, semoga dia mendapat pacar pengamen sepertiku, biar tau rasa! Kesal banget aku, sepertinya--" imbuhnya dengan sibuk membuka earphone-nya

Agar dirinya tetap nyaman, Khanza memutar lagu menggunakan earphone-nya. Hanya musik yang mampu menenangkan pikirannya. Kali ini ia mengubah genre musiknya menjadi genre melow, sehingga bisa membuatnya tertidur.

"Hm, tenangnya …." lenguh Khanza menyenderkan kepalanya di pohon samping rumahnya. "Kalau begini bisa merem nih!" gumamnya. 

Sejenak, Khanza dapat melukiskan perasaannya yang saat itu sedang kacau.

Musik tak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari manusia. Tanpa musik, dunia mungkin akan sepi dan hampa. Selain bisa membangkitkan suasana hati, musik juga punya kekuatan untuk menenangkan seseorang. Bahkan, penelitian terbaru menemukan bahwa musik terkait dengan proses kognitif otak, terutama dalam hal pembelajaran.

---

Pagi hari yang cerah. Khanza berangkat pagi-pagi sekali hanya untuk bisa bertemu dengan Guru Bimbingan. Meskipun Khanza itu siswi yang cerdas, namun absennya sangat buruk. Itu kenapa? Sebab, Khanza sering sekali masuk terlambat. Bukan hanya itu saja, Khanza sendiri juga selalu membuat masalah di sekolah. Dirinya juga sering sekali membolos meski di waktu jam kosong. 

Tok tok tok…

Suara pintu diketuk, Khanza memang berniat bernegosiasi dengan guru bimbingan, agar beliau mau mempertimbangkan hukuman skorsing yang diberikan kepada sahabatnya. 

"Iya masuk! " sambut guru bimbingan. "Oh … Khanza, siswi istimewa ternyata yang berkunjung rupanya," sambungnya.

"Wah saya nggak nyangka, ternyata ibu mengistimewakan saya ya hehe," celoteh Khanza dengan bibir menyeringai.

Guru bimbingan mempersilahkan Khanza duduk dengan tatapan yang tajam. Guru bimbingan di sekolah Khanza memang terkenal sulit disenangi, selalu tegas dan tak mudah dibujuk. 

"Katakan apa yang kamu inginkan. Sehingga datang ke singgah sana Ibu ini?" tanya Guru pembimbing. 

"Kenapa Ibu skors Hanif?" tanya Khanza to the poin. 

"Karena dia bersalah!" jawab Guru pembimbing dengan tegas. 

"Apa kesalahannya?" protes Khanza lagi.

"Karena membantumu bolos sekolah lah! Apa lagi?" jelas beliau. 

"Hanif tidak pernah membantu saya bolos, Bu. Wah sok tau Ibu ini, bahkan Hanif lah yang mencegah saya bolos, Bu Ibu!," ungkap Khanza melipat tangannya, lalu memalingkan wajahnya.

Guru bimbingan memang tegas dengan semua murid yang melanggar aturan sekolah. Akan tetapi, dengan Khanza sebuah pengecualian. Lalu, Guru pembimbing itu bertanya dengan sinis, "Lantas, kenapa kamu tetap bolos sekolah?"

"Ada hal yang Ibu tidak mengerti. Tolong Bu, Ibu harus cabut hukuman untuk Hanif. Saya yang seharusnya di skors, bukan Hanif Bu--" Khanza memohon.

"Ibu akan mencabut hukuman Hanif kalau kamu mengakui kesalahanmu di depan para guru dan kepala sekolah. Kemudian, kamu harus meminta maaf pada Hanif di depan teman-temanmu juga. Bagaimana?" usul Guru pembimbing itu. 

"Iya, Bu. It's okay, saya akan mengakui kesalahan saya. Saya janji nggak akan bolos lagi dah. Jika saya mengulanginya lagi, silahkan Ibu hukum saya, hukuman apapun akan saya terima dengan ikhlas." janji Khanza. 

Guru pembimbing itu menatap mata Khanza dengan seksama. Kali ini, Khanza terlihat sangat yakin. Sehingga membuat hati guru pembimbing menyetujui janji Khanza tersebut. 

"Baik, Ibu terima permohonan maaf kamu. Dengan segera Ibu akan menelfon orang tua Hanif, mengatakan bahwa anif bisa masuk sekolah seperti biasa besok," terang guru pembimbing itu. 

"Terima kasih, Bu. Selamat siang," pamit Khanza dengan wajah yang sumringah. 

"Khanza, kamu ini kenapa? Kamu murid yang sangat cerdas, tapi kenapa kamu mengecewakan Ibu begini? Apa yang sebenarnya terjadi kepadamu?" gumam guru pembimbing itu dalam hati. 

___

Setelah berhasil menyakinkan guru pembimbing. Khanza bisa jauh lebih tenang karena sahabatnya akan kembali sekolah esok hari. Namun, Khanza sendiri yang akan menjalani hukumannya. 

Hari dimana Khanza mulai di skors, tetap saja Khanza tidak memberitahukan kepada orang tuanya akan hal itu. Ia tetap bersikap seperti biasa. 

Meski Khanza berusaha menutupinya, tetap saja perasaan Sang Ayah tidak bisa diragukan lagi. Saat itu …. 

"Khanza!" panggil Ayahnya. 

"Iya, Yah. Ayah butuh apa? Biar Khanza ambilkan," jawab Khanza santun. 

"Ah tidak, Ayah hanya ingin ngobrol sebentar dengan kamu, kemarilah!" pinta Ayahnya. 

"Iya Yah, sebentar!"

Khanza masih sibuk dengan buku-bukunya rupanya. Ia hendak memberikan buku bekas itu kepada anak-a akan yang membutuhkan nantinya. 

Ia pun mendekat ke arah Ayahnya seraya bertanya, "Ada apa ya, Yah?"

"Ayah, kok, merasa … tak enak hati. Perasaan Ayah sangat gelisah. Kamu baik-baik saja kan di sekolah?" tanya Ayahnya menyentuh tangannya dengan lembut. 

"Eemm iya, Yah. Khanza baik-baik saja, kok, di sekolah. Tumben Ayah tanya tentang sekolah Khanza, ada apa?" 

"Memang tidak boleh, ya?" goda Ayah Khanza dengan senyuman terpaksa.

"Boleh banget, Ayah. Ayah kan orang paling baik, Khanza sayang banget sama Ayah," ucap Khanza memeluk Ayahnya. 

Tiba-tiba, sang Ayah mengucapkan hal yang membuat Khanza terkejut. Ayahnya mengatakan jika Khanza harus meraih cita-citanya dan tidak boleh gagal dalam pendidikannya. 

"Bukan hanya itu saja, takutnya … Ayah sudah tidak bisa lagi melihat kesuksesanmu jika kamu tidak bisa serius dalam belajar, Nak," tutur Ayahnya dengan nada yang lembut. 

"Ayah apaan, sih? Tidak perlu Ayah nasihati, selamnya Khanza akan selalu jadi anak baik sesuai seperti yang Ayah inginkan, kok." janji Khanza menyepelekan penuturan Ayahnya.

Seperti biasa Khanza sangat dekat dengan Ayahnya. Bahkan untuk ngobrol berjam-jam pun mereka berdua bisa betah sampai malam. Kedekatan Khanza dengan Ayahnya memang sudah tak diragukan lagi. 

Meski dekat dengan sang Ayah, tetap saja ia juga dekat dengan sang Ibu. Namun, ibunya lebih dekat dengan adiknya, karena memang Lisa jauh lebih manja dengan Ibunya. 

**

Malam itu, Khanza meminta izin kepada Ayah dan ibunya untuk pergi membelikan adiknya nasi goreng. Khanza memang royal dengan Lisa. Apapun yang adiknya mau, Khanza selalu berusaha memberikannya.

Saat perjalanan pulang, Khanza bertemu lagi dengan Laki-laki yang menjengkelkan baginya (Vano), dan mereka memulai pertengkaran lagi.

Di dalam mobil Vano melihat Khanza yang saat itu tengah berjalan sendirian. Vano berniat untuk menjahili Khanza karena masih memiliki dendam kecil dengannya.  

"Itu bukannya cewek sok tau waktu itu, ya? Bener nggak, sih?" Vano bergumam. 

"Beneran dia? Aku kerjain ah!" serunya.

Vano mengambil botol air minumnya yang ada di samping tangannya. Kemudian melemparkan botol tersebut ke arah Khanza dan tepat mengenai kepalanya. 

"Aduh!" jerit Khanza. 

"Botol mineral? Sial, siapa yang buang sampah sembarangan sih!" teriaknya menoleh ke kanan kiri.

"Woy, keluar dong!" 

Vano pun keluar dari mobilnya. Dengan tawa jahatnya, ia mendekati Khanza dan meledek penampilan kampungan Khanza yang membuat matanya sakit. 

Meski di sisi lain Vano adalah seorang dermawan, tetap saja ia juga memiliki kesombongan atas hartanya. 

"Hey, pengamen!" serunya. 

"Kamu?" Khanza langsung mengenalinya.

"Buset, Tuan Muda--"

"… Jangan nyampah, dong!" ledek Khanza meninggalkan Vano sesegera mungkin. 

Jika saja Khanza sedang di mood yang baik, ia akan meladeni orang seperti Vano. Kebetulan sekali ia baru saja dapat masalah. Ia tak akan lagi menambah masalah saat itu. Khanza pun pergi dengan terburu-buru.

"Eh, dia tidak melawanku?"

"Ini tidaklah seru, tapi penasaran juga sama cewek itu." gumam Vano.

Vano mulai tertarik dengan Khanza setelah terus memikirkannya. Kini ia mulai mencari informasi tentang Khanza, dan mulai mengikuti kegiatan gadis yang mampu membuatnya sibuk itu melalui asisten pribadinya. 

Vano masih saja membuntuti Khanza dari belakang. Kali ini dia berjalan kaki mengikuti langkah Khanza masuk ke gang sempit. Sambil bernyanyi di jalan, dan memontang-mantingkan nasi gorengnya Lisa, Khanza pun mulai di fase mood yang baik

Tiba-tiba ada suara teriakan minta tolong. Tanpa ragu lagi, Khanza langsung berlari mencari sumber suara minta tolong tersebut. Dan rupanya, Hanif yang sedang dalam masalah dengan dua orang dewasa di hadapannya. 

"Hanif?"

"Siapa mereka? Mengapa mereka--"

Belum juga Khanza menyelesaikan pemikirannya, ia langsung memukul dan menendang dua orang itu dari belakang. Memukulinya dengan sekuat tenaga dan menekuk lengan salah satu dari dua orang itu.

"Khanza, lepaskan!" pinta Hanif dengan wajah panik. 

"Lah, dia kan udah berbuat jahat sama kamu, Nif. Masa di lepasin gitu aja, sih. Kan nggak lucu!" pekik Khanza. 

"Khanza! Lepaskan!" teriak Hanif.

Mendengar teriakan Hanif, mau tidak mau Khanza melepaskan orang itu. Hanif memberikan penjelasan bahwa kedua orang itu adalah, kakak sepupunya yang sedang memberinya pelajaran karena dia di skors dari sekolah.

"Kalau gitu, harusnya kalian memarahiku, jangan marahi Hanif. Hanif di skors kan gara-gara aku," ucap Khanza menyesali perbuatannya di depan kedua orang yang diduga sepupu Hanif tersebut. 

"Maafkan aku dan jangan pukul Hanif lagi, aku mohon …." pinta Khanza dengan menyatukan tangannya. 

Plakkkk.. 

Tamparan itu di dapat dari lelaki yang satunya lagi, ia sangat marah kepada Khanza, karena telah membuat Hanif di skors dan membuat nama keluarganya menjadi tercela.

"Lu kok nampar cewek, sih?" sulut Gustav, cowok yang tadi di plintir tangannya oleh Khanza.

"Kok, lu belain dia? Gara-gara dia kan Hanif jadi bandel begini, lu sebaiknya pergi jauh-jauh gih dari Hanif!" bentak Tara, cowok satunya lagi yang menampar Khanza.

Hanif di bawa oleh Tara pergi jauh dari Khanza, ia sangat sedih melihat tatapan Hanif saat itu. Dalam hatinya, ia ingin sekali meminta maaf langsung malam itu.

"Maafin Tara, ya. Dia udah nampar kamu. Sakit nggak? Aku antar pulang, ya," Gustav memiliki hati yang sangat baik. Ia sepupu Hanif yang kedua, dan Tara adalah sepupu pertama dengan watak yang keras. 

"Tidak apa-apa, kok, Kak. Tamparan tadi juga Hanif merasakan, 'kan? Makanya dia minta tolong. Aku bisa pulang sendiri, terima kasih tawarannya. Maaf yang tadi, ya. Permisi." jawab Khanza dengan raut wajah sedih.

Khanza sedih bukan karena di tampar oleh Kakak sepupu Hanif, melainkan melihat Hanif yang sengaja menjauhinya. Bahkan tidak menyapanya ketika bertemu baru saja.

Di sisi lain, Vano masih saja mengikutinya dengan hati-hati, agar Khanza tidak mengetahuinya. Laki-laki berusia 30 tahun ini sangat penasaran dengan kehidupan Khanza, satu-satunya gadis yang bisa mengalihkan dunia kesibukannya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status