Aku membuka pintu lemari dengan terburu-buru, bersiap mental menghadapi muka masam Mr. Airlangga. Namun yang aku ketemukan membikin aku terbelalak, dia sedang duduk bersila dengan mata tertutup, wajahnya tampak tenang seperti sedang beryoga di tengah pesawahan hijau, bukan di lemari yang tertutup. Aku berjingkat-jingkat mundur beberapa langkah, mencoba memberikan ketenangan ke Mr. Airlangga. Dia sedang bermeditasi, dia membutuhkan ketenangan.
Klontangggggg ….
Kakiku menabrak botol hair spray yang entah kenapa memilih gegoleran manja di lantai, bukan duduk manis di meja seperti seharusnya. Aku melirik ke arah Mr. Airlangga, memberikan senyum terpolosku. Ternyata matanya masih terpejam, kok bisa?
“Aku belum pernah menemukan orang yang sangat pandai membikin kegaduhan sampai aku bertemu dengan kamu”
“Whoops … sorry” aku meletakkan hair spray di meja rias, menatap Mr. Airlangga yang sekarang sudah membuka mata. “Jadi sudah dapet wangsit untuk jalan pulang belum?”
“Kamu semangat sekali mengusir aku dari jaman ini?”
“Look mister, aku tahu kamu suka bakmi GM, penggemar Dan Brown, tapi aku hampir saja ketahuan oleh kakaku semata wayang bahwa aku menyelundupkan laki-laki di apartemenku. Bisa digoreng seperti tempe aku nanti” aku bermonolog panjang lebar yang hanya dibalas kerutan dahi olehnya. Sialan, pikirku.
Dia berdiri dan keluar dari dalam lemari “sekarang kamu tidur. Besok kamu bantu aku untuk mencari jalan pulang”.
Aku terlonjak, terlalu bersemangat mendengar perkataan Mr. Airlangga “jadi kamu sudah tahu bagaimana bisa pulang?” tuntutku tidak sabar. Aku tidak berani membayangkan kalau dia terlalu lama terjebak di jaman ini, bagaimana aku bisa menjelaskan ke dunia luar? Ke Mas Rio, ke Inge dan Arini? Aku bisa dikira gila kalau mengatakan bahwa lelaki tegap yang sekarang stuck di apartemenku ini adalah bukan orang sembarangan, seorang Pangeran dari kerajaan Singosari yang sudah berumur ratusan tahun namun tetap terlihat muda dan seksi bak Edward Cullen si vampire itu.
“Tidur. Duniaku akan terasa lebih tenteram kalau kamu berada di alam mimpi.”
Sialan!
******
Mr. Airlangga melahap toast yang sudah aku olesi selai strawberry dengan gembira. Di jaman Majapahit tidak ada strawberry apalagi selai, makanya dia seneng banget dengan makanan satu ini. Aku terkagum-kagum memandang dia makan sembari menyeruput kopi dukun hitamku.
“Kalau kamu bisa pulang apa kamu mau bawa ini?” tanyaku sambil menunjuk toples selai.
“Tidak ada roti di jamanku, tidak mungkin aku memakan ini dengan nasi bukan?” jawabnya yang menurut aku sangat masuk akal.
“Jadi kamu sudah punya titik terang bagaimana bisa pulang?”
Dia menghentikan aktifitas makannya, mengelap mulutnya dengan tissue yang tersedia di meja makan. Sumpah, dia ini cepet banget beradaptasi dengan jaman ini. Aku tidak yakin kalau seandainya aku yang tersasar ke jaman Majapahit bagaimana aku akan bertahan hidup.
“Negarakertagama.”
“Maksudnya?” Aku kurang mengerti dengan maksud ucapannya.
“Kitab Negarakertagama. Aku harus membaca kitab itu, di sana kemungkinan ada pesan tersembunyi mengenai penjelajah waktu.” Otakku akhirnya nyambung, kitab Nagarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca. Tapi masalahnya aku tidak tahu di mana benda bersejarah itu berada.
“Aku nggak tahu di mana menemukan kitab itu,” jawabku polos. Langsung malu dengan pengetahuan sejarahku yang sangat minim.
“Perpustakaan nasional.”
“Maksudnya kitab itu berada di perpustakaan nasional?” Tanyaku antusias. Bagaimana bisa dia lebih tahu dari aku?
“Kamu mempunyai benda bernama laptop hanya kamu pakai untuk menulis dan melihat tiktok?”
Waduh dia tahu tiktok segala.
******
Aku memandangi gedung Perpustakaan nasional yang berdiri megah. Sumpah seumur hidup aku belum pernah memasuki tempat ini, sebagai seorang penulis aku menjadi malu, seharusnya tempat ini adalah tempat hangout ku, bukan di café sambil menyeruput americano. Menurut petunjuk dari Mbah G****e, yang informasinya sudah dengan terampil di dapatkan oleh Mr. Airlangga, kitab Negarakertagama mempunyai kode NB.9. Yang jadi masalah adalah benda bersejarah itu tidak diperbolehkan dipegang oleh sembarangan orang, tentu saja. Untuk menjaga keamanannya.
“Jadi kamu sudah Menyusun rencana bagaimana kita bisa membaca kitab itu?”
Aku membayangkan diriku memakai pakaian serba hitam, ditambah dengan topi masker hitam menutupi muka, bergerak cepat dan ringan seperti karakter-karakter pencuri benda seni berharga yang aku lihat di film-film Hollywood. Dia tidak menggubris pertanyaanku, malah melangkah memasuki gedung, aku terbirit-birit berlari kecil di belakangnya. Menguap sudah bayanganku menjadi pencuri hebat.
Dia memang bukan orang sembarangan, dari auranya sudah terlihat. Beberapa orang yang berpapasan dengan kami minggir dengan teratur, bukan terlihat takut, tetapi seperti hormat. Dia berhenti sejenak, dengan ketenangan luar biasa mengamati sekeliling ruangan. Aku langsung teringat salah satu adegan di film Jason Bourne, di mana dia dikejar-kejar oleh banyak agen ketika berada di stasiun kereta Waterloo. Jadi begini rupanya tingkah laku orang yang tahu banget seluk beluk berperang? Aku ikut mengamati berkeliling, tidak pasti untuk apa, hanya supaya terlihat cool saja. Aduh aku lupa membawa kacamata hitamku.
Aku berlari kecil untuk mensejajari langkah Mr. Gajah Mada yang panjang, kami mencari-cari di mana keberadaan naskah kuno yang berkode NB.9 tersebut. Akhirnya dia berhenti di depan lemari kaca kecil, di dalam kotak kaca terdapat tulisan-tulisan kuno di atas lontar.
“Ini Negarakertagama?” Tanyaku berbisik, takut terdengar oleh orang lain. Dia mengangguk kecil sembari mengamati naskah kuno tersebut, lalu pandangannya beralih menyapu ruangan.
“Ayuk, kita pulang” katanya.
Pulang? Maksudnya? Bukannya kita datang ke sini untuk menemukan kitab ini? Sekarang setelah kita berada di depan benda kuno ini lalu dengan entengnya dia mengajak pulang. Pemikiran orang jaman dulu memang sangat aneh.
“Loh kok pulang? Bagaimana kamu bisa mendapatkan kode rahasia jalan kembali ke jaman kamu?”
Dia membalikkan badan “kita tidak bisa meminjam benda ini di siang hari, dengan puluhan pasang mata bertebaran. Nanti kita akan kembali lagi.”
Aku langsung bersemangat. Jadi beneran aku akan bisa berperan seperti pencuri-pencuri keren di film-film itu? Mungkin aku harus mengenakan pakaian serba hitam nanti. Aku punya legging keren berwarna hitam, tapi aku tidak punya kaos berwarna hitam. Baiklah, aku akan mampir ke mall sebentar untuk mencari outfit pencuri. Eh tunggu, bagaimana dengan topengnya? Aku tidak punya! Aku bikin saja dari kain hitam dengan bagian mata yang dilubangi, persis seperti yang dipakai Zoro. Yes! Nanti foto dulu sebelum berangkat untuk I*******m.
Ok, foto bukan ide bagus tentunya.
Oh well, cuman buat bahan arsip pribadi saja.
Bersambung ...
“Ambil napas Lus, lalu dorong yang kuat … doroooong,” suara Mama memberikan semangat entah untuk keberapa kalinya.Napasku tersengal-sengal, peluh bercucuran mengalahkan orang yang habis mandi keramas. Entah sudah berapa kali aku mencoba mendorong bayi yang masih bandel bergelung nyaman di dalam perutku ini, rupanya dia masih terlalu malas untuk keluar. Beberapa suster dan juga Dokter Astrid yang berada di ruangan ini, tak henti-hentinya memberikan aku semangat. Mereka bagaikan cheerleader yang sedang menyemangati atlit gymnastic, atlitnya adalah aku dan minus adegan gymnastic berjumpalitan di atas papan empuk, aku sedang terbaring setengah duduk dengan kedua kaki mengangkang lebar dan tangan Dokter Astrid yang dengan siap sedia akan menangkap si bayi lucu yang seharusnya sudah keluar sedari tadi.Aku mendorong lagi, sekuat yang aku bisa menimbulkan sensasi mati rasa selama sepersekian detik sebelum digantikan rasa sakit itu lagi. Tubuh
Cengkeraman kuat ke jok mobil ternyata tidak bisa membantu mengurangi rasa sakit. Seandainya aku bisa menyalurkan rasa sakit ini ke tempat lain. Aku menggeram menahan dorongan kuat dari dalam sana.“Atur napas Lus, masuuuukk … keluar … masuuk … keluar,” kata Mbak Dila mencoba menenangkan.Aku mencoba mengatur napas seiring dengan perkataannya, berharap akan bisa mengurangi sedikit saja rasa sakit ini. Sedikit saja, aku tidak serakah untuk minta semuanya hilang. Tidak berhasil!!Entah karena cengkeraman atau dorongan yang terlalu kuat dari dalam perut, aku merasakan sesuatu yang basah di bawah sana.“Mbaaak …,” erangku.“Ya Lus, sabar. Kita sebentar lagi sampai,” dia menekan klakson dengan kesetanan. Sekarang entah mana yang lebih mengganggu, rasa sakit yang terasa menjalar ke seluruh badan atau suara klakson yang mengalahkan raungan ambulan.“Ada yang basah M
“Menurut saya, ini warnanya terlalu terang … terlalu ceria. Saya mau yang sedikit misterius tetapi tampak agung.” Aku mengomentari revisi sampul novel terbaruku.Entah karena semangat hamil, atau kerinduanku terhadap Airlangga yang semakin bertambah semakin hari bukannya semakin berkurang tetapi malah semakin membumbung, aku berhasil menyelesaikan novel terbaruku dalam waktu beberapa bulan. Dengan genre yang agak nyleneh dari cerita yang selalu aku buat dan ketebalan dua kali dari rata-rata novel sebelumnya.Mbak Dila, editorku mengerutkan kening ketika pertama kali membaca naskahku.“Bukan genre yang biasa kamu buat Lus, tapi brilliant!” serunya.Tentu saja brilliant, lha aku yang mengalami sendiri cerita di dalam tulisan itu. Sayangnya aku hanya bisa mengungkapkan itu di dalam hati, sedangkan Mbak Dila aku respon dengan senyuman rendah hati.Tetapi semangat Mbak Dila yang kemarin menyala-nyala dengan i
Makhluk aneh. Itulah aku sekarang.Tidak mudah menjalani hidup dengan hamil tanpa suami, bahkan di kota sebesar dan secuek Jakarta.Aku kembali ke apartemen, menjalani hidupku di sini, dan perut semakin membesar dengan bertambahnya hari. menegakkan kepala setiap kali bertemu dengan penghuni apartemen lain. Rata-rata mereka melayangkan pandangan risih ke arahku, apalagi ketika tahu bahwa tidak ada laki-laki yang akan menjadi bapak untuk bayi yang sedang berada di dalam perutku.Mas Rio sangat rajin bertandang, dia adalah figur penguat dalam hidupku yang sedang carut marut sekarang. Bagaikan jangkar kapal yang menjaga badanku supaya tidak karam ditengah gemuruh gelombang hidup. Dia selalu menawarkan untuk mengantar setiap jadwal kunjungan ke dokter yang tentu saja aku tolak. Rasanya aneh berkunjung ke dokter kandungan ditemani oleh kakak laki-lakimu, sudah cukup aku hamil diluar nikah, jangan sampai ada yang mengira aku berhubungan sedarah dengan kak
Sendok di tangan Mama terjatuh, menimbulkan bunyi gemelincing yang membuat pendengaran terasa nyeri. Mama menatap ke arahku dengan pandangan marah, terkejut dan takut. Semuanya menjadi satu, mulut beliau ternganga.Aku menundukkan kepala, tidak berani menatap wajah Mama terlalu lama apalagi Papa. Aku tidak berani menyaksikan ekspresi wajahnya, dia pasti marah. Oh bukan, marah sepertinya bukan kata yang tepat. Beliau pasti murka.“Hamil?” suara Papa terdengar menggelegar, lebih mencekam dibandingkan suara geledek di musim hujan.Aku mengangguk, menundukkan kepala semakin dalam.“Siapa yang be-. Pacar kamu, siapa pacar kamu. Kenapa dia tidak berani menampakkan batang hidungnya ke sini, seharusnya dia yang memberi tahu dan akan aku pastikan untuk mendapatkan pelajaran!” lanjut Papa lagi, masih murka.“Begini Pa, masalahnya pacar Lusia tidak akan bisa hadir di si—”“Kamu tahu adik kamu hamil?!&rdqu
“Mama cuman mau bilang bahwa kamu bisa cerita ke Mama kalau ada apa-apa.” Suara Mama terdengar sangat bijaksana.Aku memang sering bercerita banyak hal ke beliau, termasuk ketika aku lagi bokek tingkat dewa dulu yang berakhir dengan selipan beberapa lembar uang lima puluhan ribu di dompet. Tapi masalah yang ini bagaimana aku bisa mengatakannya ke Mama dan juga Papa, semua jalinan kata yang aku rangkai di otakku selalu kandas. Padahal aku ini penulis, tapi kemampuan merangkai kata sekarang mendadak sirna. Tidak ada kalimat yang sepertinya sesuai untuk memberitahukan kehamilanku.“Iya Ma,” kataku tercekat, berpura-pura sibuk menyendok sayur asem dari dalam mangkuk. Berharap Mama akan berhenti bertingkah bak seorang detektif.*Aku berdiri di depan kamar Mas Rio, dengan ragu-ragu mengetuk pintu. Kakakku ini selalu betah berada di dalam kamar, mengurung diri di dalam zona zen berupa teknologi. Di dalam kamarnya terdapat d