Share

9. Hampir saja

“Sekarang apa?” tanyaku ke Mr. Airlangga yang sedang asik membaca novel Da Vinci Code. Entah kenapa semenjak berkenalan dengan salah satu buku Dan Brown tersebut dia seperti terobsesi, dengan tanpa henti dia terus menerus terpaku di dengan buku di tangan.

“Buku ini sangat menarik, aku benar-benar ingin bertemu dengan orang yang bernama Professor Langdon ini” katanya dengan pandangan masih terkunci ke arah buku.

Aku mengerutkan bibir dengan kesal “itu hanya fiksi, karangan, bukan hal nyata, hanya rekaan sang penulis” aku mencoba menerangkan.

“Maksudnya ini tidak benar-benar terjadi?” ada nada sedikit kecewa dengan pertanyaannya.

“Ya tentu saja tidak, tetapi tempat-tempat di novel itu nyata. Benar-benar ada” jawabku kesal.

“Waaahh … jadi benar-benar ada lukisan yang bernama Monalisa?” katanya dengan raut muka penasaran tingkat tinggi.

“Iya ada, di musium bernama Louvre di kota bernama Paris dan negara bernama Perancis” terangku. Aku ingat pertanyaan awalku yang belum dijawab olehnya malah terpotong dengan obrolan tentang Da vinci code. “Jadi kamu sudah tahu gimana bisa pulang?” tanyaku dengan nada sungguh-sungguh.

Dia hanya menggeleng tanpa memandang ke arahku.

Aduuuh, orang ini gimana sih? Jangan-jangan sekarang dia tidak mau pulang, setelah keasikan membaca novelnya Dan Brown, menonton Avengers dan merasakan nikmatnya bakmi GM!

“Apakah kita bisa ke tempat di mana Monalisa berada?”

Ok, kali ini aku kesel tingkat dewa. Bukannya fokus untuk mencari tahu jalan bagaimana bisa pulang eee dia malah terobsesi dengan Monalisa, pengen ketemu sengala dengan si mbak mona. Dikiranya ke Paris itu sama jaraknya dengan ke bogor. Aku merengut kesal.

“Mo na li sa?” lanjutnya mada sambil melambaikan tangan ke arahku.

“Paris itu jauh, jauuuh banget. Si Monalisa itu kecil, tidak sebesar dugaan kamu. Mana harus berdesakan dengan puluhan orang lainnya” jawabku bersungut-sungut. “Sepertinya kamu menjadi terlalu kerasan tinggal di jaman ini” lanjutku.

Dia tidak menghiraukan omonganku matanya masih tertuju ke buku. Sial!

Aku sedang mencari-cari sesuatu untuk menimpuknya ketika hanphoneku mendadak berbunyi jejeritan. Ketika aku melihat caller ID yang sedang melonjak-lonjak di layar hanphone, aku hampir terjatuh dari sofa, detak jantungku langsung berpacu bak habis balapan dengan Usain Bolt. Mas Rio!

Aku melihat layar handphone dengan penuh ketakutan, seperti melihat kuntilanak di siang bolong, walaupun jujur aku belum pernah melihat kuntilanak.

“Kamu tidak mau mengangkat benda kecil yang suka rewel itu?” Dia bertanya tanpa dosa. Suka rewel, memangnya bayi! Aku memaksa otakku bekerja keras untuk memutuskan mengangkat atau tidak panggilan tersebut, beberapa alasan yang bisa aku berikan nanti untuk ngeles ke Mas Rio. Tetapi ternyata otakku sepertinya sedang ngambek, kerjanya lelet banget bak komputer masih berpentium 2.

“Halo” jawabku akhirnya, dengan suara agak gemetar bak menghadapi seorang algojo.

“Lama banget ngangkatnya” kata Mas Rio dengan nanda penuh kecurigaan. Aku langsung menciut bak kucing menghadapi anjing German sheperd.

“Handphone di kamar mas, nggak denger. Tumben nelpon?” pertanyaan yang langsung aku sesali karena tidak aneh Mas Rio menelpon aku, adik semata wayangnya ini. Biarpun aku sudah berusia 28 tahun, tetapi dia masih memperlakukan aku bak usia 8 tahun.

“Aku bawa martabak nih, sampai ketemu di atas yah.”

Tut … tut … tut ….

Mati aku!

Dengan sontak aku berdiri dari sofa, dilanda kepanikan tingkat dewa. Think Lusia, think … think … think! Aku memaksa otakku bekerja secepat otak Einstein walaupun jelas sia-sia.

“Ada yang salah dengan tempat duduk kamu?” Mr. Airlangga bertanya tanpa dosa. Aku mendelik ke arahnya.

“Ayok cepetan berdiri” perintahku kepadanya, tangan mungilku mencekal tangannya yang jelas lebih besar dan berotot. Namun tanpa patah semangat aku menariknya dengan segenap kekuatan yang aku punya.

“Ada apa memangnya?” dia bertanya kebingungan.

“Kamu harus ngumpet, sekarang juga!” Dia berjalan di belakangku, jelas-jelas bukan karena kekuatan tarikan tanganku. Mungkin dia kasihan aku bakalan jatuh pingsan menarik-narik tangannya. Aku memindai seluruh ruangan, memilah-milah tempat mana yang bisa dijadikan lahan persembunyian si makhluk besar ini. aku Tarik dia menuju walk in closet miniku, aku buka salah satu lemari baju dengan pintu geser. “Masuk dan duduk di sini!” perintahku ke Mr. Airlangga.

Dia memberikan pandangan “kamu main-main yah?” dengan menaikkan satu alisnya, aku balas dengan pelototan sangar. Akhirnya dengan patuh dia menyumpalkan tubuh besarnya ke lemari bajuku.

Aku mengatur nafas yang naik turun satu-satu, mencoba menghilangkan kengerianku ketika aku mendengar pintu depan dibuka. Dengan gaya sesantai mungkin aku keluar dari kamar, menyandarkan satu tangan di pintu dan tangan lainnya berkacak pinggang.

Mas Rio memandangku dengan tatapan aneh “kamu ngapain pose-pose segala” katanya. Aku langsung menurunkan kedua tanganku, memang gayaku terlihat sangat aneh.

“Nggak papa … lagi nunggu martabak aja” jawabku dengan pandangan mata tidak fokus.

Mas Rio mengambil piring dan garpu dari dapur sebelum meletakkannya dan sebox martabak manis yang menebarkan bau wangi menggiurkan di meja makan mungilku.

“Niiih buat my little sista” dengan bangga dia membuka box martabak. Bau wanginya langsung membikin aku berlari dan duduk dengan manis di meja makan. melupakan Mr. Airlangga yang sedang meringkuk di lemari bajuku.

“Tumben mas ke sini?” tanyaku dengan mulut penuh martabak.

“Yeee … kakaknya ke sini kok malah ditumbenin. Kamu di suruh pulang sama Mama”

Berbeda dengan aku yang dengan lincah kepingin hidup mandiri, kakak cowokku ini masih dengan bergembira ria tinggal bersama kedua orang tuaku. Masih belum bisa meninggalkan hidup yang semuanya serba tersedia dan rapi. Aku suka mengolok-olok dia, sebagai cowok berusia 30 tahun harusnya dia sudah hidup sendiri. Mandiri seperti bachelor-bachelor di luar negeri itu, tetapi dia tetep saja cuek bebek nangkring di rumah Papa dan Mama.

Setelah kenyang melahap martabak Mas Rio beralih ke sofa, membaringkan tubuhnya dengan santai dan mulai memindah-mindah channel tv. Kalau sudah posisi begini biasanya dia akan lama tinggal di sini, nyaliku kembali ciut.

“Mas aku mau ngelanjutin nulis, butuh privasi biar inspirasi mengalir” kataku.

“Aku mau nginep di sini aja dek, aku bawa baju kok di tas” responnya cuek tanpa sedikitpun menengok ke arahku. Jantungku langsung berpacu bak sedang dikejar-kejar oleh seekor cheetah. Gimana kalau dia menginap di sini, aku nggak mungkin membiarkan Mr. Airlangga meringkuk semalaman di lemari. Bisa pegel linu dia besok pagi.

“Nggak bisa Mas, aku harus nulis!” jawabku terlalu keras. Mas Rio langsung menoleh ke arahku penuh keheranan. Dia memandangku penuh selidik.

“Kamu punya pacar?”

Deg!

Dari segala kemungkinan yang ada kenapa dia berhipotesa yang mengikutsertakan laki-laki di dalamnya.

“Nggak Mas, mau nulis. Udah mepet deadline nih, aku bisa kena semprot Mbak Dila kalau tidak bisa menyelesaikan naskah sesuai jadwal” kilahku kurang meyakinkan.

“Lha bukannya buku baru kamu baru mau terbit?”

 Doooooh kenapa sih kakakku ini mendadak jadi tahu semua detail kehidupanku. “Aku ada kontrak dua naskah, baru satu yang selesai” jawabku sebisanya.

Mas Rio menghela nafas lalu dengan malas bangkit dari sofa. Hatiku mulai berbunga-bunga, sepertinya dia termakan gombalanku.

“Udah dibawain martabak tetep aja masih ngusir” katanya sewot.

“Nggak mas … asli, karena dikejar deadline. Nanti-nanti boleh nginep kok, aku traktir juga deh … okeh … okeh” kataku bersuka cita sambil mendorong dia untuk cepat-cepat keluar dari apartemen.

“Jangan lupa weekend ini pulang. Mama sudah ngenes kangen kamu” katanya sambil ngucek-ucek rambutku. Aku balas dengan senyuman termanis yang aku punya.

Setelah memastikan Mas Rio sudah masuk ke dalam lift secepat kilat aku langsung berlari ke dalam kamar. Jangan-jangan Mr. Airlangga sudah kena kram kelamaan meringkuk di lemari.

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status