Kami berpamitan ke Pak Suharyono di stasiun kereta api Surabaya, dia tampak terharu biru ketika mengucapkan selamat tinggal terhadap kami. Rupanya kami adalah klien yang cukup membuatnya terkesan. Mungkin karena pengalaman dengan geng motor, dia mewanti-wanti untuk mengabari kalau kami ke Surabaya lagi, beberapa kali meminta kami untuk rajin-rajin bertukar pesan seperti kita adalah best friends forever. Aku meresponnya dengan tersenyum, tidak lupa memberi pesan untuk berhati-hati ketika sedang mengemudi mobil, jangan sampai diganggu geng motor, apalagi nanti tidak ada Mr. Airlangga yang akan menyelamatkan dia.
Gerbong kereta yang kami tumpangi dari Surabaya ke Solo tidak terlalu penuh. Aku duduk berseberangan dengan Mr. Airlangga yang sekarang sedang memandang ke luar jendela dengan memutar-mutar batu lempeng simbol kerajaan Majapahit di tangannya. Aku mendadak trenyuh, mungkin dia rindu untuk pulang ke jamannya. Bayangkan kalau seandainya aku yang tersasar ke sana, mungkin s
Kami sampai di stasiun Solo Bapalan sore hari, hanya memakan waktu sekitar 3.5 jam dari Surabaya ke solo dengan kereta api. 3.5 jam yang cukup romantis dengan Mr. Airlangga, mungkin aku akan merubah cerita novelku nanti menjadi cerita romantis, misalnya berjudul “Cinta dari Kereta,” sepertinya akan cukup menjual. Kisah cinta yang cukup membumi karena berawal di kereta api, tentu saja aku tidak akan menceritakan asal muasal Mr. Airlangga. Mungkin aku hanya akan menyebutnya sebagai Mr. A, seperti Carrie Bradshaw menyebut cintanya dengan nama alias, Mr. Big. Sayang laptopku selalu dikolonisasi sang Pangeran itu, jadi aku tidak bisa menulis.Aku membongkar isi koper kecilku yang rata-rata berisi baju kotor, tidak ada baju bersih apalagi outfit yang tepat untuk petualanganku di Karanganyar. Ini tidak tepat, aku tidak bisa berpetualang dengan baju seadanya, apalagi dengan baju kotor dan bau.Baiklah, petualangan pertama akan di mulai di mall, mencari baju bersih.
Bug!Aku melihat penyerang di depanku terjungkal, dia tidak bangun. Apakah dia pingsan? Mr. Airlangga berdiri di depanku, lalu dengan cepat melayangkan hantaman ke kedua orang yang memegang aku di kiri dan kanan.Bug! Kraakk!Terdengar suara ngilu seperti tulang yang patah, dua orang itu terhuyung-huyung. Dua orang lainnya mencoba bergabung untuk mengeroyok Mr. Airlangga, namun sia-sia. Satu persatu mereka terjatuh mendapatkan hantaman dan tendangan darinya. Salah satu dari mereka tampak melakukan tindakan bijaksana dengan lari terbirit-birit.Mr. Airlangga tampak masih kalap, memberikan hantaman ke mereka beberapa kali.“Airlangga, cukup … sudah!” Teriakku, sebelum Pangeran Airlangga membikin mereka tidak bernyawa dan kami harus berurusan dengan polisi. Dia menghentikan aksinya, dengan susah payah para bandit itu mencoba berdiri lalu lari tunggang langgang. Hanya salah satu dari mereka tetap tergeletak, aku memperhatikan dadanya
Kami sampai di area candi Sukuh ketika hari sudah cukup sore, untuk menghindari terlalu banyak pengunjung dengan sengaja kami berangkat setelah jam tiga. Aku mengenakan topi baseball untuk menutupi lebam di pipi hasil tamparan si bandit kemarin.Mr. Airlangga memandangku tercenung melihat lebam berwarna biru menjadi penghias baru di wajahku. “Nggak papa, udah nggak sakit kok,” kilahku.“Mungkin lebih baik hari ini kamu tinggal di hotel saja, sepertinya kamu adalah magnet untuk sesuatu yang berbahaya.”Aku magnet untuk sesuatu yang berbahaya? Sebelum bertemu dia hidupku aman-aman saja, aku rasa dialah magnet untuk sesuatu berbahaya itu.“Kalau akan ada sesuatu yang berbahaya menanti, mana mungkin aku akan membiarkan kamu sendirian menghadapinya. Akan jadi apa kamu tanpa aku.”Dia tersenyum menanggapi perkataanku, aku tidak mau dia sendirian menghadapi apapun itu, ditambah mana mungkin aku melewatkan petualangan in
Mr. Airlangga meraih senter dari tanganku, memandang ke arahku mengajak menuruni anak tangga. Aku masih belum tersadar dari keterkejutanku atas adanya ruangan rahasia di atap candi sukuh ini. Lubang tangga yang terbentuk dari bergesernya batu tidak terlalu lebar, jadi kami harus masuk satu persatu. Aku meraih handphone dari dalam tas, lampu senter yang terdapat di dalam handphone sangat berguna menjadi penerangan untuk saat ini.Dia mulai berjalan turun, menapaki anak tangga satu demi satu. Aku menarik nafas sebentar lalu mengikutinya. Ruangan ini sangat gelap, dengan bau apak yang luar biasa akibat terkunci ratusan tahun. Aku memandang sekeliling dengan waspada, kuatir ada makhluk tak di kenal tiba-tiba muncul di hadapan kami, seperti dalam film-film horror.Kami sampai di anak tangga terakhir, di kami terdapat ruangan tidak terlalu besar, mungkin hanya berukuran 2x2 meter. Tidak terdapat apapun di dalam ruangan itu, kosong. Aku memandang ke arah Mr. Airlangga dengan
Aku memandangin pantulan diriku di kaca, masih tidak percaya dengan apa yang sekarang melingkar di leherku. Kalung berlian besar dengan warna liontin merah, sangat besar, terlalu besar aku tidak tahu berlian sebesar ini benar-benar ada, kecuali di film.Mr. Airlangga memandang aku dengan mengulum senyum, “kalung itu sangat cocok untuk kamu.” Bisiknya, dia sekarang berdiri di belakangku sedikit membungkukkan badan untuk membisikkan kata-kata itu. Hidupku memang benar-benar penuh kejutan, Pangeran tersasar, berpetualang, sekarang harta karun? Aku hampir mirip dengan bajak laut saja. “Apa kamu akan baik-baik saja, dengan kalung besar itu di leher kamu?” Godanya.Aku memandang dirinya dari pantulan kaca, memandang badannya yang sangat tinggi dan kekar.“Sepertinya kamu masih tersihir dengan teman baru kamu. Baiklah aku akan kembali ke kamarku.” Dia meletakkan kedua tangannya di pundakku lalu memberikan kecupan kecil di pipiku. Den
Kami kembali ke Jakarta. Setelah lebih dari seminggu berpetualang, stok baju bersih mulai menghilang ditambah dengan rejeki nomplok yang kami ketemukan di candi Sukuh, sepertinya kembali ke Jakarta adalah suatu keharusan. Aku tidak mungkin melanjutkan petualangan dengan sekotak berlian yang bernilai ratusan juta itu di ransel punggungku. Ok, memang Mr. Airlangga yang selalu membawa ransel itu di punggungnya tetapi tetap tidak nyaman menenteng sekotak berlian itu ke mana-mana.Mr. Airlangga menurut saja ketika aku mengusulkan ide pulang, dia langsung membikin rencana untuk menonton marathon DVD Iron man. Karena sekarang kita adalah… e hem, couple, maka aku akan merelakan koleksi Iron manku di jajah. Iya kita sudah resmi couple, bahkan sebelum sesi adegan 21++ itu kita sudah menjadi couple, tidak terkatakan tetapi sudah resmi. Apalagi ditambah kalimat romantis noveltisnya ‘kamu sudah mengambil seluruh hatiku’, yang sukses membikin aku tidur
“Pacar?” mulut Inge dan Arini melongo lebar, membuat lalat akan bebas keluar masuk tanpa hambatan. Untung café ini bersih dari lalat.Aku memberi tahu mereka dengan gaya kasual dan ‘it is not a big deal’, bahwa sekarang aku berpacaran dengan Mr. Airlangga. Sengaja aku sensor informasi tentang kolaborasi adegan panas kami, walaupun biasanya aku tidak pernah menyembunyikan rahasia apapun terhadap dua sahabat setiaku ini. Aku khawatir kalau informasi tentang kegiatan ‘panas’ kami sampai ketelinga dua perempuan lucu ini, mereka akan terkapar pingsan, ujung-ujungnya aku harus membawa mereka berdua ke rumah sakit.“Gue pikir loe nggak gitu serius sewaktu mengenalkan tuh cowok ke kita, kenapa sekarang mak jleb langsung pacaran?” Wajah Inge tampak lebih syok dibanding Arini.“Gimana lagi, gue jatuh cinta sama dia.” Kataku kasual, sambil menyeruput americano yang masih panas dari cangkirnya.
Aku menatap Mr. Airlangga yang sedang terpaku menatap risetnya. Beberapa buku yang dia beli dari toko buku tempo hari berserakan di meja dan sofa. Saat ini pandangannya terpaku ke arah laptop yang duduk dengan manis di pangkuannya. Mungkin dia memang perlu bantuan Mas Rio yang seorang IT freak, siapa tahu lebih gampang mendapatkan apapun yang sedang dia cari.Aku meletakkan secangkir kopi panas di meja, wajah Pangeranku ini tampak sangat lelah.“Terimakasih Lusia,” dia mendongak sebentar ke arahku sebelum pandangannya kembali tekun ke arah laptop.Aku meneliti buku-buku yang terbuka dan berserakan di sekelilingnya, tanganku terulur untuk mengambil salah satu buku yang tergeletak di atas meja.“Jangan ditutup, aku sedang butuh halaman itu!” sergahnya cepat, aku langsung menarik tangan, mengurungkan niatku untuk mengambil buku tersebut.“Sudah berhasil mendapatkan petunjuk berikutnya?”“Mungkin, aku ma